• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interaksi Sosial Yang Dilakukan Buruh Gendong di Pasar Giwangan Yogyakarta

METODE PENELITIAN

B. Data Hasil Penelitian

3. Interaksi Sosial Yang Dilakukan Buruh Gendong di Pasar Giwangan Yogyakarta

sosial dan komunikasi merupakan syarat dari proses terjadinya interaksi sosial.

3. Interaksi Sosial Yang Dilakukan Buruh Gendong di Pasar Giwangan Yogyakarta

Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial. Dimana interaksi sosial sebagai awal permulaan proses sosial adalah saling mempengaruhi yang melibatkan suatu sistem nilai atau sikap yang pada akhirnya akan membentuk pola yang berwujud sikap atau tindakan dari individu pada masyarakat tertentu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang bekerja sebagai buruh gendong masih berstatus sebagai ibu rumah tangga dan memiliki peran ganda yaitu sebagai perempuan yang bekerja dan juga sebagai ibu rumah tangga. Sebagai orang yang hidup di lingkungan masyarakat mereka juga masih memiliki peran dalam masyarakat. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi buruh gendong di sini bekerja terutama untuk membantu suami mencari nafkah dan menambah penghasilan. Selain itu mereka bekerja karena paksaan atau tuntutan yang mengharuskan mereka bekerja yang disebabkan mereka harus menjadi tulang punggung untuk keluarga.

Menurut Herbert Blumer, manusia mengetahui sesuatu, menilai sesuatu, memberi makna dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna itu. (Margaret M Poloma, 2004:261). Dengan demikian seseorang itu

103   

mendapatkan barang gendongan. Endong-endong sibuk mencari gendongan masing-masing dengan aktif menawarkan jasa, mengejar kendaraan yang membawa dagangan, bahkan berdesak-desakan memperebutkan barang gendongan, ini adalah proses interaksi dengan diri sendiri. Mereka akan belajar dengan sesama endong-endong lainnya dengan menggunakan simbol dan isyarat. Simbol yang mereka gunakan dalam berinteraksi dengan sesama endong-endong dan pedagang adalah bahasa. Antar sesama endong-endong

dan endong-endong dengan pedagang atau pengguna jasa menggunakan Bahasa Jawa dalam berinteraksi. Dan simbol ini berada dalam proses yang kontinue. Makna tersebut akan disempurnakan ketika proses interaksi sosial berlangsung, yaitu kerjasama antar endong-endong dan dengan pedagang yang terjadi ketika melayani pengguna jasa atau saat bekerja menggendong.

Pola interaksi dalam kegiatan atau bekerja di Pasar Giwangan Yogyakarta terbentuk karena adanya kepentingan ekonomi dan proses ini terbentuk tidak dengan spontan, namun didahului oleh adanya interaksi personal oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dan kebutuhan yang sama, sehingga terjadi integrasi. Pola interaksi antar endong-endong di Pasar Giwangan Yogyakarta melibatkan endong-endong, pedagang pasar, pedagang eceran atau pembeli. Namun karena pekerjaan sebagai buruh gendong ini sangat menyita waktu, dimana ketika bekerja endong-endong ini harus aktif menawarkan jasa gendong kepada pedagang maupun pembeli di pasar,

104   

interaksi endong-endong sangat terbatas. Tidak ada waktu yang di sia-siakan karena mereka tidak mau waktunya terbuang karena bagi mereka waktu sangat berharga sekali mereka tidak ingin dalam satu hari tidak mendapatkan barang gendongan.

Berdasarkan hasil penelitian, interaksi sosial yang dilakukan oleh endong-endong di Pasar Giwangan Yogyakarta dapat membentuk dua pola

yaitu :

a. Pola Asosiatif

Pola asosiatif berupa kerjasama, akomodasi dan asimilasi. Pola ini dapat dilihat dari berbagai aktivitas yang dilakukan para endong-endong di Pasar Giwangan Yogyakarta. Interaksi asosiatif yang dilakukan para endong-endong di Pasar Giwangan Yogyakarta yaitu :

1) Kerjasama

Kerjasama adalah suatu bentuk proses sosial dimana didalamnya terdapat aktivitas tertentu dengan saling membantu dan saling memahami terhadap aktivitasmasing-masing. Kerjasama merupakan proses sosial yang akan selalu melekat di masyarakat guna memenuhi kebutuhan seseorang yang tidak mungkin dapat dipenuhi sendiri. Kerjasama dilakukan antara orang-perorangan, atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Kerjasama dilakukan atas dasar untuk memenuhi kebutuhan mereka bersama. Adapun kerjasama yang dilakukan oleh

105   

“ya karena disini kita kerjanya hanya mburuh mbak, dan tujuan kita kerja juga untuk mencari sandang dan pangan. Kita juga saling bekerjasama misal ketika ada teman yang pas gendong gak bisa menaikkan barang dagangan ya kita bantu, kalau ada barang dagangan yang jatuh pas digendong ya kita bantu mengambilkannya gitu mbak”

Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Ibu “JMN” selaku buruh gendong yang paling lama bekerja sebagai berikut:

“ya kita saling membantu mbak, wong kita disini juga sama-sama mburuh tau keadaane gimana jadi wong cilik. Misal ada teman yang pas gendong gak bisa menaikkan ya kita bantu, kita juga terkadang berbagi gendongan mbak dengan teman-teman yang belum sama sekali mendapatkan barang gendongan terutama kepada buruh gendong yang sudah sepuh kasihan mbak. Geh itung-itung juga berbagi rezeki. Dan sudah biasa mbak kalau ada teman yang gendonganya jatuh geh kita bantu”

Selain kerjasama yang dilakukan secara personal atau individu oleh buruh gendong terhadap buruh gendong lainnya, mereka juga bekerjasama dalam kelompok. Banyak buruh gendong terutama yang dibagian buah yang melakukan kerjanya secara berkelompok. Anggota kelompok ini disesuaikan dengan lokasi kerja atau tempat mangkal antar endong-endong. Wilayah atau tempat mangkal biasanya dimulai dari proses awalnya seorang memasuki wilyah tertentu dan disitulah seterusnya seorang endong-endong akan menempatinya. Apabila ada endong-endong baru yang akan bergabung dalam wilayah yang sama, terlebih dahulu harus mendapatkan “rekomendasi” dari endong-endong lain yang sebelumnya telah menempati wilayah tersebut. Dari proses pertemanan dengan adanya “rekomendasi”

106   

kekeluargaan atau hubungan keluarga ataupun hubungan sosial yang terjadi di suatu wilayah tempat mangkal ini, maka kekompakan antar endong-endong jelas terlihat, sehingga “ngobrol” dan “guyonan” bersama di

saat-saat menunggu barang gendongan merupakan pemandangan yang selalu nampak sehari-harinya.

Biasanya mereka berkelompok sekitar dua sampai enam orang buruh dimana mereka kerjanya menggendong barang dagangan dibagian bongkar muat dan menyortir buah-buahan secara berkelompok. Pada umumnya untuk mereka yang bekerja secara tim (kelompok) mereka sudah mempunyai pelanggan. Sistem kerjanya endong-endong bersama tim (kelompok) nya memborong muatan, sementara upah yang akan diterima oleh endong-endong bagiannya sama rata. Seperti yang dituturkan oleh Ibu “TMR” sebagai berikut :

“ kerjasama yang dilakukan dalam tim (kelompok) saat bekerja ya nanti kalau ada buruh gendong yang mendapatkan barang bongkaran atau mengeses buah ya kita kerjakan bersama-sama tim (kelompok) mbak, saat bekerja biasanya ada salah satu dari endong-endong yang masuk kedalam pick-up untuk menggeser barang-barang ke bibir pintu mobil untuk kemudian di pindahkan ke punggung endong-endong lain”

Buruh gendong di pasar Giwangan dalam aktivitasnya tidak hanya bekerjasama dengan sesama buruh gendong di pasar, namun juga bekerjasama dengan para pedagang di pasar Giwangan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu “JMN” sebagai berikut :

107   

gendongan, begitu juga pedagange mbak nek gak ada kerjasama dengan buruh gendong geh kerjaannya gak akan selesai. Siapa yang mau membantu menggendongkan dagangannya atau kulakannya” Hubungan mutualisme juga terjadi antara endong-endong dengan pedagang di Pasar Giwangan. Buruh gendong di pasar bekerjasama dengan para pedagang dalam hal membantu menyelesaikan pekerjaan pedagang seperti menggendongkan barang dagangan, menyortir buah-buahan, nguntingi sayur-mayur. Sebaliknya, pedagang bekerjasama dengan

endong-endong untuk memberikan mereka pekerjaan atau gendong-endongan sehingga

endong-endong dapat menghasilkan uang. Hal ini seperti yang dikemukakan

oleh Ibu “SNH” seperti dibawah ini :

“Pekerjaan saya dapat cepat terselesaikan karena ada buruh gendong di pasar mbak, bisa meringankan pekerjaan saya dan cukup membantulah mbak dengan adanya buruh gendong”

Berdasarkan keterangan di atas jelas bahwa perilaku para endong di Pasar Giwangan baik terhadap antar sesama pekerja

endong-endong maupun dengan pedagang terwujud dalam bidang sosial ekonomi

yang ditunjukkan dalam sikap saling membantu, tolong menolong dalam kegiatan atau aktivitas perekonomian di Pasar.

2) Akomodasi

Dalam interaksi sosial para buruh gendong di Pasar Giwangan Yogyakarta tentunya banyak diwarnai dengan berbagai macam interkasi yang bersifat positif dan bersifat negatif. Interaksi sosial yang positif dapat mengarah dalam bentuk kerjasama sedangkan interaksi negatif dapat

108   

akhirnya akan menimbulkan pertentangan atau pertikaian di masyarakat karena pandangan hidup dan cara berpikir manusia yang berbeda-beda. Perselisihan antar endong-endong di Pasar Giwangan Yogyakarta paling sering terjadi di bagian sayur-mayur dari pada di bagian buah-buahan. Ketika interaksi sosial menghasilkan hal yang negatif, maka perlu melibatkan endong-endong untuk meredakan ketegangan-ketegangan yang terjadi diantara mereka dengan akomodasi.

Bentuk akomodasi yang dilakukan adalah dengan cara arbitration, yaitu dilakukan oleh pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak. Penyelesainnya yaitu dengan cara para buruh gendong ini dikumpulkan di shelter milik Yasanti yang berada di sebelah timur pasar Giwangan untuk

dicarikan solusi atau jalan keluar dengan dibantu oleh pengurus dari Yasanti. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu “UMA”

“ya namanya juga mencari rejeki di pasar mbak sebagaimana lazimnya karakter pasar yang keras, tak banyak endong-endong penuh dengan persaingan dalam mencari barang gendongan sehingga menimbulkan pertentangan. Jika nanti sampai pada masalah yang besar, nanti para endong-endong ini kita kumpulkan untuk kita beri pengarahan”

Usaha selanjutnya yang di adakan oleh Yasanti adalah dengan adanya kumpulan antar buruh gendong yang ada di Pasar Giwangan yang dinamakan dengan paguyuban “Sayuk Rukun”. Kumpulan tersebut selain untuk mempererat tali silaturahmi sekaligus untuk penyuluhan dari pengurus Yasanti yang selama ini telah mendampingi para

endong-109   

rohani anggota paguyuban ini dan penyadaran hak-hak perempuan. Hal serupa juga dikemukakan oleh Ibu “UMA”, selaku pengurus Yasanti yang mendampingi paguyuban di Pasar Giwangan Yogyakarta :

“Dulu kami melakukan untuk mengadakan kumpulan para endong-endong di lapak pasar bagian timur yang tidak dipakai untuk berdagang untuk memberikan penyuluhan tentang bagaimana bekerja yang baik, penyadaran hak-hak perempuan pekerja, cara memperlakukan pengguna jasa, Jika ada konflik kami sebatas mendamaikan dan memberikan solusi saja”

Berdasarkan keterangan data diatas nampak bahwa akomodasi yang ada dalam kehidupan interaksi sosial antar endong-endong di pasar Giwangan Yogyakarta sudah berjalan dengan baik yaitu dengan adanya peran aktif dari para aktivis yang peduli dengan keberadaan buruh gendong untuk memberikan penyuluhan-penyuluhan dan meredakan perselisihan yang terjadi akomodasi. Hal ini terjadi juga berkat adanya kerjasama yang sangat baik dari endong-endong dan semua pihak yang berhubungan langsung dengan pedagang.

3) Asimilasi

Asimilasi merupakan hasil dari akomodasi yang lebih lanjut yaitu dengan adanya usaha-usaha dan kesadaran dari para endong-endong dan pedagang untuk mengurangi perbedaan-perbedaan seperti pandangan hidup, cara berpikir dan keadaan sosial ekonomi.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara terlihat bahwa para endong-endong dan para pedagang di pasar Giwangan Yogyakarta untuk

110   

adalah teman seprofesi yang sama-sama bekerja menjadi buruh gendong untuk mencari nafkah di Pasar Giwangan Yogyakarta. Dan dalam hubungannya dengan pedagang endong-endong berusaha untuk menghindari karena mereka mengganggap bahwa hubungan dengan pedagang bersifat buruh dan juragan. Hal ini ditandai dengan seringnya mereka yang mengungkapkan bahwa mereka bekerja pada pedagang dan yang memberi pekerjaan gendongan dari pedagang. Selain itu mereka juga menyadari berasal dari desa yang sama dan masih mempunyai hubungan kekerabatan sehingga tidak perlu untuk saling menonjolkan, ingin menang sendiri, ingin berkuasa, meremehkan endong-endong yang lainya. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Ibu “JMN” sebagai berikut :

“endong-endong disini menyikapi persaingan dan perbedaan barang gendongan ya dengan biasa saja mbak, namanya juga sama-sama mencari nafkah dan penghasilan. Kalau ada masalah ya paling nanti sekedar adu mulut, habis itu biasa lagi, sudah ya sudah kembali ke keadaan semula. Kalau dengan pedagang juga sudah biasa mbak kalau mendapatkan marah di bentak-bentak ya diterima aja wong kita juga cuman mburuh”

Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, terlihat bahwa proses asimilasi sebagai hasil tindak lanjut dari proses akomodasi para endong-endong dan para pedagang di pasar Giwangan Yogyakarta sudah berjalan

dengan sangat baik dengan mengurangi pertentangan yang terjadi diantara mereka. Pola interaksi sosial yang berdasarkan pada kedekatan emosional yang saling menguntungkan antara endong-endong dengan pedagang yang

111   

b. Pola Disosiatif

Proses disosiatif merupakan bentuk interaksi sosial yang cenderung menimbulkan konflik. Bentuk interaksi sosial disosiatif adalah persaingan, kontravensi, dan pertentangan (pertikaian atau konflik). (Soerjono Soekamto, 2010:125).Adapun bentuk interaksi sosial disosiatif yang terjadi dalam kehidupan sosial endong-endong di Pasar Giwangan Yogyakarta yaitu berupa persaingan dan konflik.

1) Persaingan

Persaingan merupakan bentuk interaksi sosial yang bersifat disosiatif, yaitu suatu perjuangan melawan seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu. Persaingan adalah suatu perjuangan dari pihak-pihak untuk mecapai suatu tujuan tertentu. Persaingan dapat terjadi dalam segala bidang kehidupan manusia, misalnya bidang ekonomi dalam pelayanan jasa, perdagangan, kedudukan, kekuasaan dan lain sebagainya.

Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, para endong-endong di Pasar Giwangan Yogyakarta melakukan persaingan. Persaingan terjadi antar sesama endong-endong lainnya. Para endong-endong di pasar buah dan sayur Giwangan Yogyakarta bertemu dan berinteraksi setiap hari. Karena pada dasarnya pasar adalah tempat orang bersaing. Persaingan yang terjadi adalah persaingan untuk mendapatkan barang gendongan. Dengan

112   

persaingan semakin ketat, hingga sering terjadi perselisihan karena berebutan barang gendongan. Ketika pemasok (supplyer) barang dagangan datang, biasanya para endong-endong langsung berebutan aktif menawarkan jasa, mengejar kendaraan yang membawa barang dagangan dan berdesak-desakan memperebutkan barang gendongan. Jika ada endong-endong yang berhasil menarik pedagang untuk menggunakan jasanya, hal ini bisa menimbulkan sikap iri dari para endong-endong lainnya yang belum mendapatkan gendongan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu “SMR” sebagai berikut :

“bentuk persaingan yang terjadi di pasar adalah saingan mendapatkan barang gendongan. Saya sendiri sering jengkel karena kadang barang yang harusnya saya gendong sudah direbut sama endong-endong yang lain mbak”

Selain endong-endong bersaing dengan sesama endong-endong, tak jarang mereka juga harus bersaing dengan para manol. Manol adalah sebutan untuk buruh gendong laki-laki yang ada di pasar Giwangan Yogyakarta. Ada kecenderungan barang-barang yang dikemas dengan dengan ukuran besar/berat, sehingga pedagang lebih banyak mengorderkan barang ke manol, misalnya bobot 150 – 250 kg. Dengan sekali angkut manol tersebut langsung mendapatkan upah sebesar Rp. 1.500,- sampai Rp 2.000,- . Apabila dilakukan oleh endong-endong dibutuhkan 3-4 kali angkutan, ongkosnya mungkin kurang lebih sama, tetapi dari sisi waktu

113   

“biasanya barang yang bobotnya lebih banyak yang diatas 100 kg diberikan sama manol itu mbak, kita tinggal mendapatkan barang yang ringan-ringan dan jumlahnya dikit. Jadinya kan pendapatan kita juga berkurang to mbak”

Dengan demikian biasanya endong-endong hanya mendapatkan barang gendongan yang ringan-ringan atau kemasan kecil (50-100 kg) dan jumlahnya sedikit. Apabila kecenderungan ini terjadi secara menyeluruh dan terus menerus, endong-endong akan semakin kehilangan kesempatan dan rejeki.

Tidak semua para endong-endong melakukan persaingan, karena bagi mereka yang tidak bersaing mburuh gendong itu adalah pekerjaan yang ikhlas mereka jalani dari hati, jadi tidak perlu ada persaingan karena setiap orang sudah mempunyai rejeki masing-masing. Dan ada sebagian endong-endong yang ikut dengan juragan, sehingga mereka tidak perlu untuk aktif

menawarkan jasa gendongan. Sehingga keberadaan juragan sudah membuat seorang endong-endong merasa aman terlebih dulu dari sisi penghasilan. 2) Konflik

Berdasarkan hasil wawancara, konflik yang terjadi antar endong di pasar Giwangan Yogyakarta adalah konflik antara

endong-endong dengan endong-endong-endong-endong di pasar Giwangan, antara endong-endong-endong-endong

dengan pedagang atau pengguna jasa gendongan di pasar Giwangan Yogyakarta.

114   

gendongan. Konflik yang terjadi masih dalam taraf kecil, tidak sampai pada konflik yang besar. Cara endong-endong yang berbeda-beda dalam menarik pedagang atau pembeli untuk menggunakan jasa gendongan sering menimbulkan rasa iri kepada mereka yang sudah berhasil mendapatkan barang gendongan. Rasa iri ini diungkapkan melalui adu mulut. Namun endong-endong menganggap hal ini merupakan hal yang sudah biasa yang

wajar terjadi di antara mereka karena sama-sama mencari nafkah. Selama adu mulut dan menggendong barang dagangan itu selesai mereka menganggap masalah selesai, jadi konflik tersebut hanya bersifat sementara tidak berkepanjangan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu “JMN” sebagai berikut :

“...Kalau konflik dengan teman gendong pernah mbak, ya kalau bertengkar cuman marah-marah adu mulut terus udah nanti ya akur lagi mbak”

Begitu juga dengan konflik yang terjadi dengan pengguna jasa, endong-endong sering mendapatkan cacian, marah dari pengguna jasa

gendongan. Namun hal itu juga tidak menimbulkan konflik yang besar karena mereka memandang bahwa pedagang merupakan juragan mereka yang memberi pekerjaan atau gendongan. Endong-endong merasa dirinya orang kecil, dalam perkembangannya kemudian memandang dirinya seperti pesuruh yang harus menerima apapun perintah juragan, yang dalam hal ini

115   

“konfliknya ya masalah gendongan sama masalah upah mbak, seperti saya pernah dimarah-marahi karena salah meletakkan barang dagangan, dan pas saya minta ditambahi uang upah gendongan mbak karena barang yang saya gendong kan banyak dan berat-berat mbak. Dulu juga saya pernah dimarahi karena pas gendong hujan jadi saya gak bisa cepet jalannya. ya kalau dimarahi saya kadang diam saja mbak,kadang ya adu mulut tapi sudah ya sudah nanti balik lagi gak ada apa-apa, saya gak suka berlarut-larut nanti kalau berlarut-larut ndak saya gak dapat gedongan”

4. Dampak Yang Ditimbulkan Perilaku Sosial Oleh Endong-endong