• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI HASIL PELAYANAN DAN PEMBERDAYAAN A. Kerangka Pemecahan Masalah

KKN SAYA Oleh: Dewi Annisa

Persepsi Tentang KKN….

Mengabdi kepada masyarakat. Itulah hal yang pertama ada di benak saya ketika mendengar istilah KKN. Saya mendengar dari cerita-cerita para orang tua, KKN jaman dulu itu 3 bulan. Beda generasi beda cerita, begitulah kiranya. Banyak kisah dan hikmah yang bisa dipetik dari kegiatan KKN ini. Kalau mau lulus ya ikut KKN dulu, pikir saya waktu masih mahasiswa baru. Waktu KKN yang di tunggu akhirnya tiba, awalnya saya merasa tak ingin mengikuti kegiatan ini. Pasti liburan keluar kota lebih enak, bermacam persepsi dan penolakan datang dari dalam diri. “Nanti masaknya bagaimana?” menggelayuti pikiran saya.

Tempat KKN kami Cibodas, Rumpin. Sejak awal survei sensasinya seperti menerjang di jalan-jalan acara My Trip My Adventure. Sungguh prihatin. Padahal Rumpin masih termasuk daerah Bogor, kawasan di selatan Jakarta. Daerahnya enak, tapi karena infrastruktur jalan yang tidak memadai menjadikan akses ke daerah Rumpin menjadi sulit dan wilayahnya terisolasi. Dari segi sumber daya manusia, kebanyakan masyarakat di sana menjadi buruh pabrik terdekat maupun buruh karet. Jumlah sarjana bisa dihitung tangan. Mayoritas setelah SMA mereka bekerja atau menikah. Kesadaran untuk melanjutkan ke universitas belum merata di antara murid-murid.

Dari Rumpin ke tempat saya lumayan tak terlalu jauh. Karena saya berdomisili di Sawangan, Depok yang cukup dengan Parung, akses menuju Rumpin terdekat. Butuh perjuangan mencapai ke sana, di sela-sela perjalanan rela menyalip truk-truk yang berlalu lalang. Tak tahan dengan debu pasir yang beterbangan, kapan nasib Rumpin akan berakhir kalau begini terus?

Entah kenapa sejak dari sekolah dulu, saya menjadi bagian dari angkatan perdana. Perdana dan perdana, dan ini juga terjadi pada angkatan 2013 di kampus tercinta dalam rangka KKN. KKN tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, yang sekarang sistem pembagian kelompok ditentukan oleh PPM langsung. Sebelumya, sebagian besar mahasiswa mungkin sudah menentukan kelompoknya masing-masing, mencari

teman-teman dekat mereka untuk bergabung dalam satu kelompok. Dari mereka sudah mengenal satu sama lain serta satu pemikiran.

11 mahasiswa dari berbagai fakultas, berbagai karakter, berbagai pemikiran. Berusaha menyatukan pandangan dan langkah kaki agar lebih serasi. Tapi tak semudah yang dibayangkan, KKN tahun ini sesuatu sekali menurut saya, ya karena itu orang-orangnya baru kami kenal, tidak ada yang sekelas dan lain –lain. Sangat menantang membayangkan sebulan berada di antara orang-orang baru.

It’s Me…..

Karakter saya cenderung introvert tapi jika sudah kenal dekat dengan orang lain, justru saya cerewet. Beradaptasi dengan orang baru mungkin sangat susah apabila tidak mempunyai kesukaan/ hobby yang sama. Tapi di KKN ini saya mencoba untuk tidak menjadi “Nisa” di rumah yang enak sendiri. Hindari jauh-jauh sifat egois, begitu dalam benak saya. Selama sebulan, jujur saya kadang-kadang merasa kangen dengan rumah. Biasalah, sebulan itu cepat, saya menghibur diri sendiri.

All About KKN…..

Pada minggu pertama, kami mulai disibukkan oleh catatan-catatan program kerja yang terpampang. Di SD saya mengajar IPS kelas 4, kenapa memilih IPS karena itu adalah pelajaran favorit. Saya jadi teringat dengan masa SD dulu ketika saya belajar tentang Ibu Kota dan Provinsi di Indonesia maupun Dunia. Wah, saya sangat senang sekali menghafalnya, tak lupa atlas yang menjadi rujukan bagi mata pelajaran ini jadi santapan saya. Berharap kelak akan bisa mengelilingi dunia suatu saat nanti.

Tak jauh dari lingkungan rumah kontrak kami terdapat Madrasah Diniyyah lebih lengkapnya lagi yaitu Madrasah Diniyyah Attakmiliyah Arrofi’iyah. Orang-orang di sana menyebutnya juga majelis. Setiap Jum’at diadakan pengajian ibu-ibu dan kami mengikuti kegiatan ini guna ta’aruf dengan ibu warga sekitar. Salah satu kendala yang mengganggu adalah

didengar sebelumnya tetap dilafalkan sebagai tanda partisipasi dan terdapat buku bagi kami karena kami tidak hafal bait perbait. Saya senang semuanya menyambut kami dengan baik dan di akhir pengajian kami bersalam-salaman dengan ibu-ibu. Entah kenapa saya terharu jika di setiap moment ada

mushafahah seperti itu, pantas kiranya dikaitkan dengan sebuah hadist yang

menyatakan semua mukmin itu bersaudara dan di hadist lain orang-orang mukmin bagaikan satu tubuh jika ada satu bagian yang sakit, maka terkena sakitlah semuanya.

Matahari pun sudah di atas kepala. Sangat terik. Hingga kiranya sudah menurun sedikit, kami bergegas menuju madrasah. Ya selain tempat pengajian, majelis dipakai untuk sarana madrasah. Saya mengapresiasi sekali keberadaan madrasah ini walaupun baru beberapa tahun dimulai kegiatan belajar mengajarnya. Pada saat interview dengan ustadz pendiri sebelum KKN, terdapat suatu pelajaran yang diambil dan ini tepat dengan nilai yang ditanamkan oleh kyai saya di Pondok dulu, yaitu ruh ikhlas dalam mengajar. Di sana hanya terdapat dua pengajar tetap yaitu ustadznya sendiri dan istri, dan dua lainnya dari santri santriwati di sana yang sudah lulus dan berniat membantu pengajaran di madrasah. Mereka tidak ada yang membayar. Lalu bagaimana dengan uang untuk pembangunan madrasah dan pondok? Mereka mendapatkannya dari infak para ibu-ibu serta donatur jika ada. Sulit diungkapkan dengan kata-kata, seperti inilah contoh semangat-semangat para pendidik yang sejati demi kemajuan dalam aspek pendidikan yang tertinggal di daerahnya mereka rela menyumbangkan jiwa dan tenaga. Saya sangat suka dengan anak-anak madrasah ini, mereka santun dan menghargai kami, walau kami pengajar sementara dan baru namun anak-anak tetap mendengar dan menyimak apa yang kami sampaikan dengan antusias. Mereka rata-rata anak usia SD. Dari segi kecerdasannya pun yang saya terkejut ialah mereka cepat menghafal, hanya beberapa menit. Dalam batin saya mungkin dikarenakan banyak pelajaran yang membutuhkan memorize atau hafalan, jadi mereka sudah terlatih dan terbiasa.

Matahari pun tenggelam, hanya tinggal mega yang nampak. Setelah

Maghrib kami mengajari mengaji anak-anak sekitar untuk mengembangkan

ilmu membaca al-Qur’an. Di sini, saya menemukan lagi hikmah, yaitu kesabaran. Karena saya kebetulan mengajar seorang anak yang sangat sulit melafalkan huruf per huruf. Ya sangat dibutuhkan kesabaran, terkadang

mungkin saya kesal tapi dari situ saya berpikir tak perlu menyalahkan siapa-siapa, hanya butuh kesabaran dan kalau dia dilatih terus pasti akan terus berkembang dan maju. Ini masih permulaan dan anak-anak kecil di hadapan saya menyimpan banyak harapan. Anak-anak merupakan harapan orang tua terbesar, jika sayang, orang tua pasti memberikan fasilitas atau sarana yang bagus dan baik buat anaknya. Kami senang sudah dipercaya sebagai pengajar al-Qur’an walau kiranya masih banyak kekurangan di sana-sini. Selanjutnya kami saling sharing dan membantu bimbingan belajar bagi anak-anak yang kesulitan dalam memahami pelajaran di sekolahnya.

Salah satu progam kerja yang saya sangat diapresiasi adalah Komunitas Cinta Al-Qur’an. Menurut saya ini adalah program brilliant yang memotivasi anak-anak untuk terus mencintai al-Qur’an, menghafalkan, dan memaknai artinya. Saya jadi teringat dengan program RCTI “Hafidz Indonesia”, di sana anak-anak seumuran 3 tahun hingga 8 tahun sudah menghafal surat-surat tidak hanya Buku Juz ‘Amma. Subhanallah. Saya sangat salut dan hanya sanggup berkata ‘keren dah kalian”. Kegiatan ini difokuskan di majelis dan terbagi dalam tiga kelompok, saya sendiri menjadi pembantu hafalan bagi anak-anak yang masih Iqra dan mereka diharuskan menghafal surat An Naba’, saya berinisiatif untuk mengajar mereka hafalan tanpa membaca, jadi hanya dilafalkan saja dan dihafalkan. Alhamdulillah ada satu orang yang hafalannya lancar dan bisa mengikuti sementara yang lain karena masih dalam tahap Iqra bawah, mereka harus banyak bimbingan khusus terlebih dahulu. Di sela-sela keliling saya menemui seorang anak dan bertanya, “sudah hafal An-Naba’?”, “Insya Allah” jawabnya. Saya tes, dan ternyata sanggup menghafal dari ayat 1 hingga 40. “Subhanallah” dalam hati saya. Ayo teruskan dek hafalanmu, semoga menjadi hafidz kelak di masa yang akan datang. Betapa senangnya orang tua yang mempunyai anak hafiz/hafizah, saya pernah membaca hadis bagi siapa penghafal al-Qur’an, maka di hari kiamat orang tuanya akan dipakaikan mahkota.

Tepat di malam 17 Agustus, kami mengadakan nonton bersama masyarakat. Sangat seru, inilah kebersamaan yang langka, tak kalah jauh

setelah hujan, atau filmnya yang tidak menarik. Entahlah. Saya hanya menonton dua dari empat film yang ditayangkan. Terlalu asyik menonton hingga tak sadar jam menunjukkan pukul 00.30, saya langsung masuk ke kamar dan tertidur pulas. Keesokan harinya teman saya bercerita bahwa film Surga Yang Tak Dirindukan ditayangkan tadi malam, Wow bagaimana reaksi penontonnya? Sebagian besar penontonnya walau bapak-bapak tak luput dari air mata saat menyaksikannya. Saya sendiri menangis pilu menontonnya, bayangkan seorang suami berpoligami diam-diam tanpa sepengetahuan istri pertamanya. Pernikahan itu didasarkan karena alasan darurat demi menyelamatkan korban yang ingin bunuh diri. Tapi perasaan semua perempuan pasti sama. Sampai teman saya berkata “sakit sakit pasti

digituin” sambil terisak-isak.

Pada siang harinya, lomba yang sangat familiar di kalangan masyarakat Rumpin ialah panjat pinang. Pinang dilumuri dengan oli dan bagian atasnya diberi hadiah-hadiah menarik. Lomba ini erat dengan kaitan filosofi “makin tinggi sebuah pohon, makin dahsyat terjangan anginnya”, dan seakan-akan hadiah di atas ibarat sebuah keberhasilan yang harus digapai. Banyak yang tergelincir karena banyak oli dan tidak sampai-sampai, tapi karena kegigihan dan kerjasama antar kelompok yang begitu kuat. Akhirnya ada beberapa yang berhasil tiba di atas. Perjuangan hingga baju kotor berlumpur dan wajah berlumuran tanah becek berbuah manis. Waah, betapa senangnya. Itu sangat sulit sekali menurut saya, tapi bagi yang tak kenal lelah dan tahu taktik, mereka akan terus berjuang dan mendapatkannya.

17 Agustus menjadi hari yang tepat untuk merekatkan kebersamaan di antara warga. Dari yang kecil hingga para orang tua pun mengikuti lomba yang kami adakan. Mulai dari lomba kelereng, memasukkan paku ke dalam botol, mengambil koin dari Jeruk Bali yang dilumuri kecap, hingga mengambil belut. Gelak tawa menghiasi kebersamaan antar mereka. Senang rasanya.

Refreshing….

Hari-hari terakhir KKN kami isi dengan refreshing atau jalan-jalan. Suatu malam kami berdiskusi menentukan tempat wisata mana yang akan dituju, setelah berembuk panjang dan dikarenakan tak mungkin kami

mengunjungi banyak tempat dalam sehari. Jadi kami memilih Curug Cigamea sebagai destinasi jalan-jalan. Keesokan harinya pukul 10.00 kami bergegas menuju tempat yang dituju. Melewati Leuwiliang dan masuk ke Jl Kapten Dasuki Bakeri lurus terus dan sampailah di daerah Pamijahan. Jujur saya dari dulu penasaran dengan Curug Cigamea ini, kata teman saya bagus. Melewati jalur-jalur menanjak, ini mengingatkan saya pada daerah Puncak yang dikelilingi pohon-pohon pinus. Coba Jakarta setiap hari seperti ini, tentulah saya betah. Apa mungkin, di Jakarta saja lahan sudah dibeli oleh para pengembang.

Jalan-jalan sehabis kegiatan non-stop sangat penting bagi menjaga kebugaran tubuh. Seperti mata yang tak kuat jika menatap layar laptop atau TV lama-lama maka dibutuhkan istirahat. Begitu juga dengan anggota badan yang lain. Oleh karena itu saya sangat senang diajak jalan-jalan, entah ini juga bawaan dari kecil ketika saya tidak diajak dan dibawa pasti saya langsung menangis.

Badan yang sudah lelah mengingatkan kami untuk beristirahat dan makan sejenak. Di warung tempat kami berteduh hanya ada dua pilihan yaitu nasi atau mie, dan saya memesan nasi goreng karena jika belum makan nasi pastilah belum kenyang. Perjalanan berlanjut menuju Curug Cigamea, dan tak lama kami sudah sampai di tempat tujuan.

Guyuran air dari atas membuat kami terpukau. Percikan air menyibak ke segala penjuru. Subhanallah, ini pemandangan yang menakjubkan, batin saya. Tapi kenapa ekspektasi saya terlalu berlebihan dan menyebut curug ini biasa. Tak apa, jalan-jalan ini cukup menghibur dan tak ada yang perlu disesali. Setelah berpuas-puas bermandikan air terjun, kami pergi ke pemandian air panas sebagai pelepas lelah, menghangatkan tubuh. Tangga turun naiknya tak beda jauh dari Cigamea.

Matahari sepenggalan turun, menandakan kami harus cepat pulang. Selanjutnya, tempat kuliner yang kami cari. “yang kuah-kuah aja” kata salah satu temanku. Pendapat orang berbeda-beda, mungkin karena

Di hari-hari terakhir pula, tetangga mengajak kami untuk ngeliwet bareng. Selama sebulan, kami sudah ngeliwet empat kali bersama warga. Inilah artinya berbagi. Karena itulah saya lebih suka kehidupan di desa daripada di kota. Di desa sosialnya lebih tinggi, sedangkan kota bersifat individualis. Di desa, masyarakatnya saling mengenal satu sama lain walau beda kampung. Di kota, mungkin dengan tetangga saja tidak saling mengenal.

Perpisahan…

Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Siapa yang tak bersedih bila sebentar lagi akan berpisah? Tapi bagi saya ini belum perpisahan yang nyata, perpisahan yang meninggalkan dunia ini, jadi apa gunanya berlarut dalam kesedihan, toh kami akan bertemu lagi. Kenangan-kenangan beragam dari teman-teman saya, kebaikan-kebaikan mereka akan selalu diingat, dan keburukan mereka akan saya buang jauh.

Di malam perpisahan, kami mengutarakan berbagai macam isi dari hati yang selama ini mungkin disimpan rapat-rapat. Entah kritikan maupun saran dan kesan bercampur menjadi satu malam itu. Tangis dan tawa, mengingatkan kami pada flashback satu bulan penuh. Hidup bersama dalam suka dan duka, pahit dan manis kami rasakan sama-sama. Karena saya susah sekali mengkritik orang, maka dari itu saya hanya utarakan yang positif untuk individu masing-masing. Saya masih ingat di kalimat pertama, “terima kasih teman-teman sudah mewarnai hari-hari KKN ini”, dan langsung mengutarakan kesan-kesan saya ke mereka.

Keesokan harinya, hari perpisahan tiba. Kami dan warga berpelukan, khususnya dengan ibu-ibu yang sudah menerima kami dengan sangat baik. Sedih rasanya harus pisah dengan mereka. Serta anak-anak yang ikut mengaji di tempat kami, “kakaak… kaakaak…” mereka memanggil nama kami. Sedihnya mengingat kembali kala itu. Kami sudah seperti saudara, kata mereka ‘jangan sungkan-sungkan datang ke sini lagi, di sini juga ada musim buah”. Saya rasa, hari itu benar-benar saya nangis hingga muka memerah. Jarang sekali bagi saya nangis dengan berpelukan. Ucapan terima kasih banyak kepada mereka yang sudah memberikan kami tempat yang layak, memberi kami lauk atau sayur, dan sebagainya.

Pesan Dan Kesan

Kesan dan pesan selama KKN bagi saya, point pentingnya untuk mengingatkan saya bahwa jangan cuek terhadap lingkungan sekitar. Apa-apa yang tidak bersih dibersihkan, apa-apa yang tidak rapi dirapikan, tidak harus menunggu instruksi dari yang lain. Khususnya karena saya seorang wanita yang di masa depan akan menjadi ibu rumah tangga tentunya, kepekaan harus ditanamkan dari sekarang. Menjadi orang yang sempurna sangatlah tidak mungkin, tapi menjadi baik sangatlah mungkin. Selalu teringat dengan nasehat Kyai saya, “jangan bosan jadi orang baik”. Apabila di dalami lagi, apa ruginya menjadi orang baik toh kebaikannya akan selalu dikenang walau sudah tiada jasad.

Pelajaran kedua dari KKN mengingatkan bahwa hidup tak selamanya di atas. Roda kehidupan terus berputar. Jalan tak pernah mulus, pasti ada duri-duri yang menghalang. Mencoba mengerti bagaimana kehidupan yang sebenarnya, mencoba memahami perasaan mereka. Berempati walau masih banyak kekurangan yang diberikan kepada masyarakat, kami berusaha untuk berkontribusi dengan program-program kerja yang telah kami jalankan selama sebulan. Semoga untuk kedepan hikmah dan pelajaran dari cerita-cerita ini bisa menjadi cambuk buat kami. Berubah ke arah yang lebih baik. Tak ada kata terlambat, selama masih ada keinginan untuk berubah.

Terima kasih juga kepada kawan-kawan KKN yang telah menerima saya apa adanya, menghibur saya dengan ekpresi yang kocak, perhatiannya dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Kawan-kawan yang hebat, punya sifat beragam-ragam yang kadang tak ditemukan di selain pertemanan KKN ini. Proud of you all!

Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing Bu Hani’ah Hanafi yang telah memberikan masukan dan kritik yang membangun bagi kami, anak bimbingannya. Beliau tidak hanya menjadi sekedar dosen, tapi beliau juga menjadi Ibu bagi kami yang sering menasehati layaknya seorang Ibu yang perhatian kepada anak-anaknya.

CERITA KKN