• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebelum desentralisasi dan bahkan sampai sekarang, hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat dapat dicirikan sebagai hubungan patron-klien, tanpa mekanisme kelembagaan yang berfungsi formal dalam hal pertanggungjawaban dan transparansi ke bawah. Selain itu, rezim otoriter Soeharto berhasil mengerdilkan partisipasi rakyat Indonesia dalam proses politik. Akibatnya, desentralisasi dan pengalihan wewenang pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten berlangsung dalam konteks di mana para pejabat pemerintah kabupaten kurang siap, kelompok masyarakat sipil dan para pemangku kepentingan masih lemah dan kurang berpengalaman dalam proses politik demokrasi partisipatif.

Warga desa sendiri memandang hubungan mereka dengan pemerintah kabupaten sebagai patron-klien. Misalnya, beberapa warga menyatakan sering membawa daging atau hasil hutan kepada para pejabat pemerintah untuk memudahkan membuat janji temu dengan para pejabat itu.

Hubungan patron-klien ini tertanam dalam beberapa struktur sosial penting. Pertama, ideologi Orde Baru bahwa pemerintah ‘membimbing’ atau ‘membina’, dan mengarahkan warga desa menuju ‘kemajuan’ dan ‘modernitas’ masih kuat berakar, sehingga belum terbiasa pada gagasan bahwa warga desa mungkin lebih tahu apa kebutuhan mereka. Selain itu, pemerintah juga berkepentingan untuk mempertahankan hubungan dan ideologi ini karena ‘pembangunan’ dan ‘kemajuan’ biasanya disertai proyek-proyek skala besar yang tidak hanya membuka peluang keuntungan pribadi tetapi juga lebih mudah dikendalikan dan dengan biaya transaksi lebih rendah. Kedua, sebagaimana disebutkan sebelumnya, sejarah hubungan di antara kelompok suku (antara suku Dayak dengan non-Dayak, dan di antara suku Dayak itu sendiri) menjadi faktor sangat penting dalam memperoleh akses ke pejabat pemerintah. Warga desa sering mendekati pejabat pemerintah berdasarkan ikatan suku; ungkapan yang sering terdengar di antara warga desa adalah ‘mereka orang kita’. Jadi, suku Punan, yang nyaris tidak terwakili dalam pemerintah kabupaten, paling sulit mendapatkan izin bertemu pejabat pemerintah. Salah satu kepala desa Punan memang menyatakan bahwa kendala terbesar penanggulangan kemiskinan suku Punan adalah

tidak terwakilinya suku Punan di DPRD kabupaten. Ketiga, struktur sosial internal

desa tradisional, seperti para tetua, bangsawan, dan hubungan kekeluargaan berperan penting dalam pembuatan keputusan, penyelesaian sengketa, dan pendekatan ke pejabat pemerintah. Misalnya, di sebagian besar desa Kenyah di DAS Malinau, pemerintah desa didominasi oleh paren, atau para keturunan ningrat. Mungkin begitu juga dengan suku Merap, Punan, dan sedikit banyak Lundaye (lihat Rousseau, 1995, Sellato, 2001, dan Kaskija, 2002, tentang hierarki kelompok-kelompok ini). Selain itu, suku Punan, yang secara historis adalah klien dari para petani ladang, masih tetap sangat bergantung pada kelompok-kelompok itu yang kini menjadi pejabat penting dalam pemerintahan setempat. Lebih jauh lagi, para pejabat pemerintah memandang pemerintah lokal ini secara struktur tradisional. Hubungan antara kepala desa, camat dan bupati, misalnya, digambarkan seperti hubungan anak, bapak dan kakek.

Lembaga-lembaga di atas saling melapis dalam membentuk pemahaman penduduk desa tentang cara mengakses pejabat dan layanan yang seharusnya diberikan pemerintah, dan sebaliknya bagaimana pejabat pemerintah memandang warga desa. Peran pemerintah

kabupaten dalam kerangka pemerintah yang lebih luas di Indonesia adalah tidak jelas, dan hak serta tanggung jawab pemerintah kabupaten terhadap warga desa – konstituen semunya – masih rancu. Oleh karena itu salah satu cara warga desa mencari dukungan di masa pasca Orde Baru adalah protes atau demonstrasi, agar pemerintah lebih bertanggung-jawab. Protes dan demonstrasi adalah hal yang umum di Indonesia, dan di Malinau, seperti juga di tempat lain, terkadang dimanfaatkan dan disalahgunakan oleh beberapa pihak untuk menuntut kompensasi tunai berdasarkan klaim curang (lihat Bab 10, dalam pembahasan mengenai konflik).

Para pejabat pemerintah kabupaten pada umumnya memandang hubungan dengan warga desa sebagai hubungan timbal balik, sebagai ‘bapak’ warga desa. Namun para pejabat pemerintah kabupaten pada umumnya tidak tahu, tidak ingin tahu dan/atau tidak mau tahu kehendak dan aspirasi warga desa. Mereka jarang, kalaupun pernah, meminta input

dari warga desa.18 Selain itu, mereka cenderung menganggap warga desa bodoh dan tidak

mampu membuat keputusan yang ‘pintar’. Hal ini tercermin pada penolakan para pejabat untuk membagikan buku-buku pengetahuan hukum kepada warga desa karena warga akan

‘salah memahami’ atau ‘salah menafsirkan’ isinya.19 Para pejabat pemerintah merasa lebih

pintar daripada warga desa dan lebih tahu apa yang terbaik bagi warga desa, terutama karena mereka berasal dari daerah itu. Bagi beberapa pejabat pemerintah, persepsi ini berdasarkan pada kenyataan bahwa mereka berkuasa, yang berarti warga desa mempercayakan nasibnya pada mereka, maka warga desa tidak perlu memberi input kepada pemerintah. Alasan lain mengapa para pejabat pemerintah jarang bertemu dengan warga desa, adalah untuk menghindari keluhan dan tuntutan mereka, yang memang menjadi lebih sering dan agresif setelah desentralisasi.

Sikap pemerintah kabupaten terhadap warga desa melekat dalam struktur kelembagaan yang tidak menghargai tanggung jawab ke bawah. Para pejabat kabupaten juga kurang berpengalaman dengan mekanisme ini maupun dengan proses demokrasi lainnya. Pengalaman mereka sebagai pegawai negeri di masa rezim Soeharto adalah bagaimana bertanggung-jawab ke atas. Struktur kepemerintahan kabupaten tidak banyak berubah dengan transisi semu menuju desentralisasi.

Kesimpulan

Adanya legitimasi di tingkat kabupaten dan desa menjadi sangat penting untuk menciptakan, mengakses dan mengonsolidasikan kekuasaan atas sumberdaya alam. Sarana utama pewujudan legitimasi ini adalah dengan mengidentifikasi dan menyatakan kesepemahaman atas landasan dan tujuan bersama dan juga terhadap perbedaan.

Jadi, di Malinau, seperti di daerah lainnya, istilah ‘pemangku kepentingan’ mungkin kurang bermakna, dan lebih perlu memahami ‘identitas penting’. Pada dasarnya, aliansi di Malinau dan posisi-tawar yang menyertainya bergantung pada batasan sosial masyarakat sebagai ‘orang dalam’ atau ‘orang luar’. Para pelaku di tingkat kabupaten memang berusaha untuk menaikkan posisi mereka dan bertindak strategis dengan menciptakan hubungan baru, atau melalui hubungan lama dengan para pelaku lainnya di tingkat desa dan kabupaten. Kendati desentralisasi telah menciptakan peluang agar suara masyarakat lokal didengar oleh pemerintah dan pihak-pihak lainnya, namun konflik internal maupun antar-masyarakat, baik masalah lama maupun yang baru, jauh lebih terbuka dan lebih banyak karena terbukanya peluang oleh desentralisasi. Kebanyakan konflik ini berakar

pada kesukuan, yang memang lebih penting dan lebih politis dalam mengatur status dan posisi warga desa saat berhubungan dengan pihak lain.

Selain itu, organisasi-organisasi internasional yang peduli terhadap hutan dan kehidupan masyarakat yang tergantung pada sumberdaya hutan dan partai-partai politik terkadang juga bisa menjadi sarana yang berguna dalam membentuk, menyatakan dan menetapkan kerja sama dan aliansi untuk menaikkan kekuasaan atas sumberdaya, secara simbolis maupun nyata.

Bersama dengan pembentukan aliansi dan identitas ini, pemerintah kabupaten berusaha untuk mengkonsolidasikan kendali dan kekuasaan, menjaga jarak dari tuntutan masyarakat dengan lebih mendekatkan birokrasi kepada warga; tetapi juga harus menghadapi ketegangan antar-suku di dalam tubuh pemerintahan. Para pejabat kabupaten yang berpengaruh, meskipun asli daerah, sudah terdidik sebagai pegawai negeri dalam sistem Orde Baru dan masih sangat menganut nilai-nilai Orde Baru tentang ‘pembangunan/ kemajuan’, pertanggungjawaban ke atas, dan hubungan patron-klien. Pertarungan politik antar suku di Malinau terjadi di dalam pemerintah kabupaten, persatuan kedaerahan bisa menyelimuti ketegangan dan rentannya keseimbangan yang menghambat konsolidasi di tingkat pemerintah kabupaten. Terakhir, birokrasi pemerintah kabupaten telah tumbuh dan menyebar bersama dengan proses desentralisasi.

Hubungan patron-klien masih memainkan peran penting, terutama dari perspektif warga desa dalam hubungan mereka dengan pemerintah. Sampai sekarang, hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat masih dapat dicirikan sebagai hubungan patron-klien, tanpa mekanisme kelembagaan yang berfungsi formal dalam pertanggungjawaban dan transparansi ke bawah. Selain itu, rezim otoriter Soeharto berhasil mengerdilkan pentingnya partisipasi rakyat Indonesia dalam proses politik. Jadi, desentralisasi dan pengalihan wewenang ke pemerintah kabupaten setelah desentralisasi berlangsung dalam konteks di mana para pejabat pemerintah kabupaten kurang siap, kelompok masyarakat sipil dan para pemangku kepentingan masih lemah dan kurang berpengalaman dalam proses politik demokrasi partisipatif.

Catatan

1 Menurut Li (2002, hal.417):

… untuk mempertemukan proyek-proyek yang dituntut warga pedesaan dengan kendala dan peluang yang ada, dibutuhkan konsep yang kokoh mengenai pelaku, seperti ekonomi politik berorientasi budaya yang dikembangkan oleh William Roseberry. Roseberry (1989) menyatakan bahwa ekonomisme, analisa hubungan produksi formal saja, baik internal desa maupun antara produsen di pedesaan dengan formasi sosial yang lebih besar, adalah kurang memadai untuk memahami perubahan agraria. Konsep itu harus diperdalam dengan mengeksplorasi manusia pelakunya, yang dapat dipahami secara historis sebagai produk tekanan transnasional, proses regional pembentukan kelas, dan konstelasi kekuasaan lokal. Secara ekonomi, pelaku terwujud dalam strategi pencaharian dan sasaran mereka. Secara politis, pelaku dapat dipahami sebagai bentuk-bentuk militansi (atau kepasifan) yang dilakukan pada saat tertentu. Secara budaya, hal itu terasa dalam bagaimana dan mengapa mereka melakukan suatu hal, dan kerangka kerja di mana di dalamnya mereka menyatakan hak dan membuat klaim.

2 Perdagangan HHNK dengan Cina tercatat dalam arsip Cina sekitar 1000 M (Sellato, 2001).

3 Damar adalah getah dari pohon keluarga Dipterocarpaceae dan ‘digunakan untuk membuat korek api, pernis, dan terpentin’ (Peluso, 1983).

4 Ada perbedaan pendapat mengenai sejauh mana dan sifat keterlibatan Belanda di pedalaman. Whittier (1973, hal. 38) menyatakan bahwa di Apau Kayan, Belanda ‘kurang keras dalam merubah gaya hidup suku Kenyah, kecuali untuk pengayauan dan peperangan.’ Sellato (2001) mempunyai pendapat yang sama tentang suku Merap di Malinau, dan kurang menekankan pengaruh pengayauan dan peperangan serta perbudakan. Menurut King (1993, hal. 158-159), penghapusan itu mengakibatkan kekuasaan dan pengaruh beralih ke Belanda dari para pemimpin daerah asli yang mencari ‘cara-cara lain dalam kemajuan dan kepemimpinan’.

5 Rousseau (1990, hal.198) menyatakan bahwa ‘undang-undang kolonial menyebabkan stabilisasi kepemimpinan dengan mengendalikan jabatan-jabatan politis’.

6 Pemerintah tidak memaksa secara langsung masyarakat di dataran tinggi untuk bermukim kembali di daerah ini. Warga desa sendiri yang berinisiatif untuk pindah, sedangkan dalam kasus lain, pemerintah sangat mendorong pemukiman kembali.

7 Kaskija (2002) menyatakan bahwa hal ini bukan pindah-tangan kepemilikan, tetapi lebih merupakan pemberian hak pakai. Terlepas dari hal itu, semua kelompok yang pindah ke hulu dan hilir Malinau mengakui kepemilikan wilayah Merap dan meminta tanah dari mereka.

8 Masing-masing identitas ini adalah bagian dari dikotomi yang membentuk dan memelihara batas antara ‘orang dalam’ dan ‘orang luar’; putra daerah versus orang luar; asli versus pendatang; setempat versus dari tempat lain; dan pemerintah kabupaten versus pemerintah pusat.

9 Kita harus mencatat di sini bahwa suku Merap itu sendiri datang ke DAS Malinau sekitar 120 tahun lalu; maka klaim mereka berdasarkan sejarah adalah relatif (Sellato, 2001). 10 Kasus Tidung adalah pelajaran dalam kaitannya dengan seringnya terjadi klaim berdasarkan

sejarah ‘yang disalahgunakan’ dan sifat klaim ini yang kental dengan persaingan. Meskipun mengakui klaim gua-gua sarang burung, dokumen-dokumen Belanda itu sama sekali tidak menyebutkan klaim atas hutan sekitarnya, sesuai dengan pola saat itu yang tidak menunjuk batas dengan tepat dalam kaitannya dengan klaim lokal karena tanah yang ada luas sekali dan komoditas tertentu merupakan sumberdaya langka. Saat itu tidak ada batas wilayah yang ‘tegas’ dan ‘pasti’ bagi masyarakat setempat. Masalah tidak adanya batas pasti, kini muncul ketika para pemilik gua sarang burung ditanya tentang sampai sejauh mana klaim mereka atas wilayah hutan di sekitar gua-gua itu. Beberapa pemilik, dengan seenaknya menyatakan bahwa luasnya sampai sejauh suara gong yang dipukul dari gua dapat didengar. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan tentang seberapa besar gong yang dipukul dan seberapa keras gong itu dipukul. Para pemilik tersebut kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.

11 Suku Punan tiba di suku Daerah Aliran Sungai Malinau mungkin sebelum atau bersama dengan suku Merap (lihat Kaskija, 2002).

12 Karena dilahirkan di desa Naha Kramo, sekarang bagian dari Malinau, maka hal itu juga memperkuat ‘keaslian’-nya.

13 Pengamatan kami menunjukkan bahwa istilah putra daerah mencakup aspek-aspek tempat lahir, silsilah, tempat tinggal untuk waktu yang lama dan pengakuan orang lain sebagai putra daerah. Misalnya, sekretaris daerah Malinau berasal dari Krayan dan keluarganya juga berasal dari daerah itu; tetapi karena masyarakat di desa-desa di Malinau – Tanjung Lapang, Pulau Sapi dan Sempayang – mendukung dia sebagai putra daerah, maka dia diterima sebagai Sekretaris Daerah. Sebaliknya, ada orang yang juga berasal dari Krayan

tetapi tidak diterima oleh masyarakat Lundaye di Malinau, maka dia ditolak untuk menduduki jabatan Ketua BAPPEDA.

14 Anggota DPRD dan para pejabat pemerintah lokal mempunyai lebih banyak peluang penghasilan dan keuntungan pribadi dengan IPPK daripada dengan HPH. Dalam kasus Inhutani II, perusahaan kayu milik negara ini memegang konsesi yang sebagian besar tumpang-tindih dengan wilayah klaim ayah ketua DPRD, yang juga Kepala Adat Besar. 15 Seorang anggota lembaga legislatif ditawari uang untuk memilih calon tertentu (R. Iwan,

komunikasi pribadi, 2003).

16 Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa jumlah individu dan potensi produk yang diangkut antara Malinau Kota dan daerah-daerah terpencil itu tidak membenarkan biaya pembangunan dan perawatan jalan. Rute yang dipilih juga melalui daerah-daerah yang mempunyai kayu bernilai tinggi dan berhenti di tengah jalan karena hambatan topografi. 17 Perubahan pemerintahan dan undang-undang ini terjadi karena disahkannya UU

No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Meskipun UU tidak menetapkan bahwa struktur desa di seluruh negeri harus seragam, dan seharusnya ditetapkan berdasarkan kondisi setempat, para pejabat pemerintah daerah jarang melaksanakannya karena kurang berpengalaman dan tidak pernah dilatih untuk melakukannya. Meskipun sebenarnya UU ini dan peraturan-peraturan lainnya tampak progresif dan partisipatif, namun dalam kenyataannya tidak demikian, karena kurangnya peraturan pelaksanaan, pelatihan staf pemerintah dan dukungan dana. Lihat Antlöv (2003) untuk analisa lengkap mengenai peluang dan kendala demokratisasi politik tingkat desa dengan disahkannya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.

18 Dalam pemilihan tingkat kabupaten yang lalu, warga memilih partai politik dan bukan calon. Partai yang menang kemudian memutuskan siapa yang mengisi posisi yang dimenangkan partai. Warga desa memilih lembaga legislatif kabupaten, yang kemudian memilih Bupati untuk disetujui oleh pemerintah pusat. Sistem ini tidak kondusif untuk pertanggungjawaban ke bawah. Sistem itu diubah pada tahun 2004 menjadi memilih calon langsung, bukan partai.

19 ‘Salah memahami’ dan ‘salah menafsirkan’ diartikan sebagai warga desa tidak menafsirkan undang-undang seperti yang diinginkan oleh pemerintah kabupaten. Contoh keengganan pemerintah menyebarkan literatur pengetahuan hukum terkait dengan laporan singkat yang memberi informasi tentang masalah hukum tertentu. CIFOR telah membuat rancangan laporan singkat ini dan meminta masukan dari pemerintah kabupaten, lalu hendak disebarkan bagi warga desa setelah dikoreksi berdasarkan komentar dari pemerintah kabupaten.

Rujukan

Antlöv, H., 2003. Village government and rural development in Indonesia: The new democratic framework, Bulletin of Indonesian Economic Studies, vol 39, no 2, hal.193–214. Barber, C., Johnson, N. C. dan Hafild, E., 1994. Breaking Through the Logjam: Obstacles

to Forest Policy Reform in Indonesia and the United States, World Resources Institute, Washington, DC.

Barr, C., Wollenberg, E., Limberg, G., Anau, N., Iwan, R., Sudana, I. M., Moeliono, M. dan Djogo, T., 2001. The Impacts of Decentralization on Forests and Forest-Dependent Communities in Malinau District, East Kalimantan, Studi kasus mengenai desentralisasi dan hutan di Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia.

Eghenter, C., 2000. Memetakan Hutan Rakyat: Peran Pemetaan Partisipatif Dalam Perencanaan Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Masyarakat, Biodiversity Support Program, Washington, DC.

Harwell, E., 2000. Remote sensibilities: Discourses of technology and the making of Indonesias natural disaster, Development and Change, vol 31, no 1, hal.307–340.

Kaskija, L., 1999. Stuck at the Bottom: Opportunity Structures and Punan Malinau Identity, CIFOR, Bogor, Indonesia.

Kaskija, L., 2002. Claiming the Forest: Punan Local Histories and Recent Developments in Bulungan, East Kalimantan, CIFOR, Bogor, Indonesia.

King, V. T., 1993. The Peoples of Borneo, Peoples of South-East Asia and the Pacific, Blackwell Publishers, Oxford.

Li, T. M., 1999. Compromising power: Development, culture and rule in Indonesia, Cultural Anthropology, vol 14, no 3, hal. 295–322.

Li, T. M., 2002. Local histories, global markets: Cocoa and class in upland Sulawesi, Development and Change, vol 33, no 3, hal. 415–437.

Lynch, O. J. dan Talbott, K., 1995. Balancing Acts: Community-Based Forest Management and National Law in Asia and the Pacific, World Resources Institute, Washington, DC. Peet, R. dan Watts, M., 1996. Liberation ecology: Development, sustainability, and environment

in an age of market triumphalism, dalam Peet, R. dan Watts, M. (penyunting), Liberation Ecologies: Environment, Development, Social Movements, Routledge, London.

Peluso, N. L., 1983. Markets and Merchants: The Forest Product Trade of East Kalimantan in Historical Perspective, MA thesis, Cornell University, Ithaca, NY.

Poffenberger, M. (penyunting), 1990. Keepers of the Forest: Land Management Alternatives in Southeast Asia, Kumarian Press, Hartford.

Roseberry, W., 1989. Anthropologies and Histories: Essays in Culture, History, and Political Economy, Rutgers University Press, New Brunswick and London.

Rousseau, J., 1990. Central Borneo: Ethnic Identity and Social Life in a Stratified Society, Clarendon Press, Oxford.

Sellato, B., 1994. Nomads of the Borneo Rainforest: The Economics, Politics, and Ideology of Settling Down, University of Hawaii Press, Honolulu, HI.

Sellato, B., 2001. Forest, Resources and People in Bulungan: Elements for a History of Settlement, Trade and Social Dynamics in Borneo, 1880–2000, CIFOR, Bogor, Indonesia.

Tsing, A., 1999. Becoming a tribal elder, and other green development fantasies, dalam Li, T. M. (penyunting) Transforming the Indonesian Uplands: Marginality, Power and Production, Harwood Academic Publishers, London.

Warren, J. F., 1981. The Sulu Zone, 1768–1898: The Dynamics of External Trade, Slavery, and Ethnicity in the Transformation of a Southeast Asian Maritime State, Singapore University Press, Kent Ridge.

Whittier, H. L., 1973. Social Organization and Symbols of Social Differentiation: An Ethnographic Study of the Kenyah Dayak of East Kalimantan (Borneo), PhD thesis, Michigan State University, East Lansing.

Keanekaragaman Hayati, Lansekap