• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai penting fee IPPK bagi perekonomian rumah tangga

Penghasilan tunai semakin penting bagi masyarakat di kawasan Malinau, apalagi di lokasi yang memiliki infrastruktur lebih baik (Wollenberg dkk, 2001; Levang, 2002). Kecenderungan ini semakin tampak pada masyarakat yang terkena dampak IPPK karena

fee adalah cara mudah mendapatkan uang tunai. Mengapa harus susah payah atau berpuas

diri dengan hal yang kurang bagus kalau bisa menikmati manfaat dari hutan hanya dengan membuat kesepakatan dengan pemegang konsesi? (Levang, 2002).

Menurut hasil penelitian kami, pendapatan dari fee IPPK merupakan sumber utama uang tunai di ketiga lokasi studi (lihat Gambar 7.1). Hal ini sangat nyata di Adiu dan Tanjung Nanga. Hasil itu berbeda dengan di Sengayan, di mana pendapatan dari kegiatan

Catatan: kurangnya nilai/error bar mengindikasikan bahwa nilai/error adalah nol.

Gambar 7.11 Persentase warga menyebut alasan penyebab berkurangnya akses ke dan/atau lebih sulitnya panen: Persentase ini didasarkan pada jumlah rumah tangga yang mengungkapkan kesulitan mendapatkan hasil-hasil hutan dan bukan jumlah total pengguna (persentase dihitung sebagai rata-rata jumlah rumah tangga dan diikuti oleh ± 2 * SE)

% rumah tangga 0 20 40 60 80 100 Aktivitas IPPK Lebih ban yak or ang

Kayu Berburu Memancing Pengumpul buah-buahan Pengumpul

rotan Pengumpulgaharu

Pembua

tan ladang baru Aktivitas IPPK Lebih ban yak or ang Aktivitas IPPK Lebih ban yak or ang Aktivitas IPPK Lebih ban yak or ang Pembua tan ladang baru Teknolog

i baru

Teknolog i baru

Tebang pohon Aktivitas IPPK Lebih ban yak or ang Aktivitas IPPK Lebih ban yak or ang

Tanjung Nanga Adiu Sengayan Ke tiga desa

pertanian lebih besar daripada fee IPPK, sementara pendapatan dari pekerjaan di luar pertanian dipandang memiliki nilai penting yang setara. Rumah tangga di Sengayan punya akses bagus kepada pasar dan berbagai sumber pendapatan stabil lain, yang memberi peluang membeli kebutuhan pokok dan memungkinkan mereka memperdagangkan produk-produk pertanian sendiri. Di Tanjung Nanga, fee IPPK menjadi pendapatan tunai utama karena lebih kecilnya persentase rumah tangga yang terlibat dalam kegiatan penghasilan lain. Walaupun rumah tangga di Tanjung Nanga menerima fee terkecil dibanding dengan dua desa lainnya, mereka tetap memandang penghasilan ini sebagai lebih besar daripada sumber-sumber lain, yang menunjukkan lebih rendahnya tingkat penghasilan di desa ini. Di Adiu, bekerja di operator IPPK dan relatif baiknya akses pasar telah membuka pilihan sumber pendapatan yang stabil dan signifikan, yang menyediakan tingkat pendapatan lebih tinggi. Namun, rumah tangga di Adiu tidak yakin apakah kesempatan pendapatan lain itu bisa menggantikan fee IPPK. Sebaliknya, rumah tangga di Sengayan pada umumnya yakin bisa mendapatkan uang tunai sama banyaknya dari aktivitas lainnya. Terlebih lagi, rumah tangga di Sengayan secara umum memandang kondisi finansial mereka tidak terlalu terpengaruh oleh fee daripada rumah tangga di dua desa lainnya. Di Tanjung Nanga, rumah tangga pada umumnya memandang kondisi keuangan mereka sangat terpengaruh, yang sesuai dengan penemuan dari pemeringkatan perbandingan.

Fee IPPK secara umum diberi peringkat di atas sumber-sumber pendapatan lainnya

di pemeringkatan pembandingan (lihat Gambar 7.1), disebabkan oleh dampak kombinasi dari ketersediaan dan besarannya (lihat Gambar 7.2). Dibandingkan dengan kegiatan sumber tunai lainnya, fee IPPK bisa diperoleh oleh kebanyakan rumah tangga (hanya dua rumah tangga yang tidak menerimanya), sehingga sering disebut di dalam pemeringkatan

perbandingan. Dalam hal besarnya penghasilan, hanya gaji bekerja di Malaysia saja yang disebut lebih menarik daripada fee IPPK. Namun, penghasilan dari gaji IPPK, pekerjaan non-pertanian maupun penjualan hasil hutan tidak bisa diabaikan karena juga dianggap sebagai sumber penting pemasukan uang tunai. Rumah tangga sering menyebut bahwa, berlawanan dengan pekerjaan di luar pertanian, penghasilan dari fee IPPK bersifat tidak teratur dan tidak stabil (lihat Kotak 7.2). Ketidakpastian besar tak hanya tentang skema IPPK dan harapan masyarakat sekitar hutan untuk menerima uang dari eksploitasi hutan (Barr dkk, 2001), tetapi juga persepsi rumah tangga tentang fee itu: berapa yang akan mereka terima per pembayaran, seberapa sering dan kapan? Kurang stabilnya penghasilan bisa dianggap mempengaruhi cara rumah tangga dan masyarakat menggunakan fee IPPK. Terungkap bahwa rumah tangga di Tanjung Nanga yang termasuk strata penghasilan menengah menerima tiga kali lebih besar daripada yang di strata sangat rendah. Hasil ini menunjukkan ketidaksetaraan pembagian manfaat di dalam desa, yang tidak hanya terbatas antara kalangan elit dan masyarakat kebanyakan, tetapi juga melibatkan tingkatan sosial lainnya. Terlebih lagi, penemuan ini menyokong kuatnya karakteristik hirarki di desa-desa suku Kenyah (Sellato, 2001). Kiranya ada empat penjelasan tentang ketidaksamaan fee per rumah tangga (lihat Gambar 7.8), yaitu:

1 Responden sengaja mengakui jumlah yang diterima dan banyaknya pembayaran lebih kecil dari sebenarnya (karena mengira dengan demikian akan menguntungkan niatan mereka menerima bantuan dari luar) (Sellato, 2001).

2 Responden tidak menghitung pembayaran yang diterima oleh anggota keluarga lain di dalam rumah tangga itu (contohnya anak atau pemuda).

3 Sebenarnya lebih banyak rumah tangga menerima fee daripada yang diasumsikan di dalam perhitungan (ada sejumlah rumah tangga di Long Jalan menerima fee dari desa Tanjung Nanga, tetangganya).

4 Kurangnya informasi tentang pengeluaran dan investasi di tingkat desa. Perkiraan realistis fee total yang diterima rumah tangga agaknya adalah perkiraan rata-rata kedua estimasi ini.

Investasi jangka pendek vs jangka panjang

‘Bila menerima uang yang tidak stabil semacam ini, kita gunakan untuk senang-senang!’ Seorang responden di Sengayan dengan pendapatan relatif stabil menyatakan pandangan ini dan secara implisit mengindikasikan perspektif jangka pendek. Angelsen dan Wunder (2003) mengatakan pilihan subjektif jangka pendek orang lokal tidak berkaitan dengan tujuan perbaikan kesejahteraan jangka panjang atau nilai-nilai eksternal mereka. Apa yang kita nilai sebagai investasi jangka pendek dan tidak bijak boleh jadi sangat penting bagi kesejahteraan orang lokal. Pada umumnya seseorang tidak hanya mementingkan penghasilan absolut, tetapi juga membandingkan status penghasilan sendiri dengan status rumah tangga panutannya. Boleh jadi mereka akan mendahulukan membeli pesawat televisi seperti yang dilakukan tetangga, daripada meningkatkan gizi makanan atau memperbaiki atap (Angelsen dan Wunder, 2003). Pada kasus-kasus seperti masuknya IPPK, ketika banyak uang masuk secara tiba-tiba, kemiskinan dalam arti keterbatasan material bisa berkurang (Angelsen dan Wunder, 2003). Namun sayangnya, menurut Levang (2002), produk-produk modern tidak hanya mahal, tetapi juga mudah rusak dan butuh perawatan atau pergantian cepat. Akibatnya, berbagai strategi kehidupan tradisional yang mementingkan investasi jangka panjang untuk melindungi masyarakat dan rumah tangga dari kerentanan bisa tererosi (Angelsen dan Wunder, 2003).

Sebagian dari survei rumah tangga dimaksudkan untuk mengungkap apakah pola pembelanjaan rumah tangga setelah adanya penerimaan fee IPPK masih mengandung strategi investasi yang berwawasan jangka panjang. Pengeluaran untuk ’pemeliharaan modal insani’, ‘pembuka peluang penghasilan tambahan,’ dan ‘tabungan’ dikategorikan mengandung prospek masa depan, sedangkan investasi ’barang mewah’ dipandang sebagai investasi jangka pendek. Walaupun sebagian barang yang memungkinkan rumah tangga mendapatkan penghasilan tambahan hanya berusia singkat (a.l. mesin ketinting dan peralatan pertanian), semua investasi ini bisa menjadi batu pijakan ke arah kesempatan penghasilan yang lebih stabil. Kebanyakan rumah tangga yang diteliti menginvestasikan sebagian fee yang diterima untuk ’menyediakan peluang mendapatkan penghasilan tambahan’ dan ‘memelihara modal insani’. Modal insani dipandang sebagai investasi jangka panjang karena menjamin perkembangan di masa depan. Investasi yang bisa ‘membuka peluang penghasilan tambahan’ terutama disukai di Adiu. Kecuali rumah tangga di Sengayan, banyak rumah tangga telah menginvestasikan sebagian fee IPPK mereka dalam bentuk peralatan yang bisa memudahkan kegiatan pertanian dan menjadikan pertanian mereka lebih produktif. Contohnya, fee ini telah menyebabkan bertambahnya jumlah rumah tangga yang mampu menggunakan pupuk dan pestisida di ladang mereka. Bahkan di Tanjung Nanga dan terutama di Adiu, rumah tangga membeli gergaji mesin. Lebih banyaknya pembelian gergaji mesin di Adiu daripada di Tanjung Nanga kemungkinan disebabkan oleh lebih bagusnya akses Adiu ke pasar kayu karena jarak ke Malinau Kota lebih dekat. Karena rumah tangga di Tanjung Nanga menerima jumlah fee yang relatif lebih kecil, tentu saja, pilihan mereka untuk pengeluaran dalam hal transportasi dan gergaji mesin lebih terbatas. Di Sengayan, dengan adanya jalan utama dan relatif lebih kuatnya daya beli sebelum pemberlakuan IPPK sangat mungkin mempengaruhi kurangnya insentif untuk membeli mesin ketinting, peralatan pertanian atau pun gergaji mesin. Walaupun Levang et al (2005) menemukan bahwa panen kayu oleh masing-masing rumah tangga menjadi sumber penghasilan yang semakin penting bagi desa-desa yang cukup terhubung dengan pasar (lebih dari Rp. 225.000 per hari dengan resiko kecil), perlu tetap diperhatikan kerugian bagi sumberdaya hutan sebagai jaring pengaman. Kondisi geografis dan logistik desa Adiu juga merupakan insentif bagi rumah tangga untuk membeli mesin ketinting, oleh hampir semua rumah tangga. Walaupun Malinau bisa dicapai dalam waktu satu jam dengan kendaraan roda-empat dobel kardan (fourwheel drive), transportasi darat dinilai mahal dan biasanya tak terjangkau bagi sebagian besar warga desa. Akibatnya, jalan buatan IPPK jarang dipakai sebagai jalur pintas menuju Malinau. Lebih mudah lewat sungai, yang bisa mencapai Malinau dalam waktu sekitar 3 jam. Maka investasi mesin ketinting relatif lebih bermanfaat. Secara umum, adanya pendapatan tambahan dari IPPK telah meningkatkan mobilitas dan karenanya meningkatkan akses penduduk desa kepada pasar dan informasi. Warga desa di Adiu maupun Tanjung Nanga mengatakan mereka sekarang sering mengunjungi desa-desa tetangga atau bahkan Malinau Kota atau Tarakan. Kami berpendapat bahwa dampak utama membaiknya akses ke pasar adalah pada pengeluaran warga desa dan bukannya pada kesempatan mereka untuk menjual produk-produk hasil produksi mereka. Namun, perdagangan produk kepada karyawan IPPK tampaknya mempengaruhi penduduk desa secara lebih langsung. Terutama, jarak ke kamp pembalakan tampak berdampak cukup besar pada berbagai peluang menyumbang pendapatan rumah tangga dengan cara menjual produk kepada karyawan IPPK.

Walaupun pada umumnya rumah tangga tampak tidak mampu atau tidak ingin menabung fee yang diterima, ternyata setengah dari rumah tangga di Sengayan menyisihkan

sebagian dari fee itu. Tingkat pendapatan dan perbedaan biaya peluang menabung mungkin bisa sedikit menjelaskan latar belakang adanya perbedaan pola menabung ini. Ketersediaan sumber-sumber penghasilan yang stabil di Sengayan sepertinya mendorong rumah tangga menyisihkan penghasilan tak diduga ini karena biayanya rendah. Bagian lain dari penjelasan ini berasal dari karakteristik sosial dan etnis di desa ini, seperti yang dikomentari oleh Carol J. Pierce Colfer (komunikasi personal, Juni 2003):

Perlu diingat bahwa di masa lalu (dan mungkin masih sampai sekarang), tuntutan untuk bermurah hati bisa menghalangi seseorang untuk menabung. Kalau mereka punya uang, lalu ada yang mengetahuinya dan datang meminjam – seseorang jarang bisa menolak karena si pemohon mungkin perlu berobat, anak-anak mereka terancam putus sekolah tanpa uang itu atau keprihatinan manusiawi penting lainnya.

Mekanisme sosial ini terutama tampak di masyarakat suku Kenyah (contohnya Tanjung Nanga). Rumah tangga juga bisa menganggap tabungan sebagai ’menyia-nyiakan uang’ karena yakin bahwa kelak akan ada alternatif lagi selain IPPK. Mengapa harus menabung sebagian fee kalau tersedia sangat banyak kayu di belakang rumah dan orang luar mau membayarnya? Berbeda dengan Sengayan, Tanjung Nanga dan Adiu telah membuat beberapa sarana umum dan tabungan cukup besar di tingkat desa. Pendekatan semacam ini bisa membantu mengamankan kesetaraan pembagian manfaat dari IPPK, yang menurut Angelsen dan Wunder (2003) merupakan sebuah hal penting kalau tujuannya adalah pertumbuhan ekonomi dengan cara mengurangi kemiskinan.

Modal sosial

Transparansi dipandang oleh Oakerson (1992), Ostrom (1990, 1999) dan Wollenberg (1998) sebagai satu prasyarat membangun rasa saling percaya, menciptakan kebersamaan dan mencegah perilaku oportunistis. Penelitian kami mengindikasikan bahwa warga desa hanya diberi informasi terbatas tentang kontrak IPPK. Adiu tampak memiliki tingkat transparansi yang tertinggi dan Tanjung Nanga yang terendah. Kesannya adalah hanya beberapa warga desa yang berpengaruh dilibatkan di dalam negosiasi dengan perusahaan dan hanya beberapa hal, atau bahkan hanya kesepakatan final, yang didiskusikan di rapat desa. Negosiasi terjadi dengan cara yang tidak transparan tanpa keterlibatan seluruh desa. Namun, keteraturan struktur kelembagaan yang menjadi karakter masyarakat suku Kenyah dan pengalaman dari berbagai operasi HPH di area ini tampaknya telah membentuk manajemen fee IPPK di Tanjung Nanga dengan cara yang positif. Sarana umum, rapinya pengorganisasian distribusi fee bagi warga desa (walaupun tidak setara!) dan pertimbangan penuh kehati-hatian tentang keterlibatan di dalam IPPK mencerminkan tingkat perkembangan kelembagaan yang tinggi.

Penelitian kami di Adiu menunjukkan bahwa suku Punan kurang diperhatikan karena mereka tidak mengikuti negosiasi awal ataupun menerima pembayaran terakhir dan sarana umum yang sama seperti suku Merap (kantor desa dan klinik kesehatan). Situasi ini mendukung hasil penelitian lain bahwa para mantan pemburu-pengumpul (peramu) ini – suku Punan – adalah kelompok etnis yang paling termarjinalkan secara politik di daerah ini (Levang dkk, 2005).

Berbagai program pembangunan seperti IPPK seringkali disertai ketidaksetaraan pembagian manfaat di tahap-tahap awal. Sudah teramati bahwa ada sebagian orang yang

memiliki aset atau keahlian yang menguntungkan mereka dalam memanfaatkan berbagai peluang baru, dan sebagian lagi lebih memiliki jiwa wiraswasta, sehingga bisa menanggapi lebih cepat dan mendapat manfaat lebih besar, seringkali berakibat semakin besarnya ketidaksetaraan (Angelsen dan Wunder, 2003). Situasi serupa diamati dalam penelitian lapangan. Di Sengayan, jumlah manfaat yang diterima rumah tangga tampak bergantung pada status sosial dan hubungan mereka dengan kaum elit dan bukan pada sebuah aturan yang baku. Dalam kasus Tanjung Nanga, tampak ada kecenderungan ke arah perkayaan diri kaum elit. Banyak responden dari survei rumah tangga baik di Tanjung Nanga maupun Sengayan mengklaim bahwa kepala desa, dan terkadang, kepala adat, menerima bagian fee yang tidak wajar. Di Adiu, kedua mantan kepala desa telah mengundurkan diri karena desas-desus dan tuduhan kecurangan.

Studi-studi lain tentang isu tingkat partisipasi dalam manajemen hutan menyatakan bahwa para pemangku kepentingan yang kuat, seperti perusahaan IPPK, tidak memandang masyarakat lokal sebagai pihak yang memiliki hak ataupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan (Colfer dan Wadley, 2001). Sebaliknya, para pemegang konsesi lebih menyukai jalur cepat, mudah, dan tingkat partisipasi yang rendah, yang dalam kasus daerah Malinau sering berarti bahwa hanya kepala desa yang diajak membuat kesepakatan (Sellato, 2001). Penelitian kami menunjukkan bahwa penduduk desa memiliki kesempatan kecil untuk berpartisipasi dalam penyusunan kontrak dan hanya tokoh-tokoh masyarakat yang berperan dalam proses negosiasi. Situasi semacam ini, di mana hanya beberapa pemangku kepentingan yang dilibatkan dalam manajemen sumberdaya, diduga menjadi penyebab rendahnya rasa memiliki, sehingga lebih banyak konflik, sengketa, dan kecilnya akuntabilitas (Ostrom, 1990; Colfer dan Wadley, 2001).

Aspek penting lain dalam analisa modal sosial adalah tingkat konflik. Rata-rata, lebih dari separuh rumah tangga mengalami konflik yang berkaitan dengan IPPK. Analisa kualitatif mengungkapkan bahwa sebagian besar konflik berkaitan dengan rendahnya tingkat transparansi dan partisipasi di tahap awal pelaksanaan IPPK. Banyak rumah tangga di ketiga lokasi penelitian ini menyalahkan aturan pembagian sebagai penyebab konflik. Aturan pembagian dinilai sebagai hasil dari tingkat transparansi dan partisipasi di desa ini, untuk bisa berperan di dalam manajemen, warga desa seharusnya punya kesempatan untuk mengubah dan mengatur ulang aturan-aturan operasional yang mempengaruhi kehidupan mereka (Ostrom 1990, 1999; Colfer dan Wadley, 2001). Aturan-aturan ini tampak tidak terlalu berkembang di Sengayan, yang berhubungan secara signifikan dengan lebih banyaknya warga desa yang menilai pembagiannya tidak adil, dibandingkan dengan Tanjung Nanga dan Adiu. Selain itu, lebih banyaknya pendatang baru di Sengayan mungkin membuat masyarakatnya tidak begitu homogen. Tingkat homogenitas budaya di dalam masyarakat ini diidentifikasi oleh banyak peneliti sebagai faktor penting bagi kinerja manajemen kolektif (Ostrom, 1990, 1999; Oakerson, 1992; Wollenberg, 1998).

Komunitas yang diteliti tampak telah meningkatkan sebagian modal sosial mereka melalui pembelajaran sosial. Di Tanjung Nanga dan Adiu, berbagai aturan pembagian

fee diubah selama periode IPPK. Aturan-aturan yang berasal dari masa HPH dinilai

tidak pas dan harus diubah. Di Adiu, kriteria diubah sehingga fee dialokasikan kepada orang dewasa, pemuda dan siswa dan bukannya per rumah tangga karena dipandang sebagai sistem yang lebih adil. Kedua masyarakat ini tampak mampu menyesuaikan dan mengadaptasikan berbagai aturan dari kondisi yang sudah ada, menunjukkan ketangguhan sebagai satu lembaga (Ostrom, 1990; Wollenberg, 1998; Buck dkk, 2001). Pembelajaran sosial dalam bentuk lain juga diamati. Penelitian lain mengatakan adanya peningkatan

minat dalam perencanaan penggunaan lahan di daerah ini, terutama oleh meningkatnya ketidakpercayaan pada pemegang izin IPPK dan meluasnya hutan yang hilang atau turun mutunya (Barr dkk, 2001; Levang, 2002). Dalam penelitian ini, para informan kunci di ketiga lokasi mengungkapkan keinginan mereka melindungi sebagian hutan mereka karena ingin mendukung konservasi air dan hewan buruan, meningkatkan prospek wisata dan tetap membuka peluang perluasan ladang. Perubahan dan gagasan ini menggambarkan bahwa masyarakat telah mengalami kekurangan hasil hutan sehingga lebih cenderung untuk peduli pada akses mereka kepada, dan kualitas dari, sumberdaya hutan. Pergeseran fokus manajemen ini oleh peneliti lain dilihat sebagai mengikuti perubahan insentif ekonomi dan kekurangan sumberdaya (Ostrom, 1990; Oakerson, 1992; Wollenberg, 1998; Angelsen dan Wunder, 2003).

Walaupun banyak konflik muncul di ketiga desa, ada kesan bahwa Adiu adalah desa yang paling mampu bertahan dan memiliki modal sosial yang tangguh. Selain itu, walaupun Tanjung Nanga tampak seperti memiliki struktur kelembagaan yang kuat, secara umum partisipasi dan transparansi tampak diabaikan. Adiu memiliki tingkat transparansi, frekuensi partisipasi, dan tingkat penerimaan yang tertinggi terhadap prosedur pembagian IPPK. Kuatnya modal sosial di Adiu mungkin disebabkan oleh tidak terlalu banyaknya penduduknya dibandingkan dengan dua desa lainnya. Ostrom (1990) dan Wollenberg (1998) menyatakan bahwa strategi kerjasama dan rasa saling percaya lebih bisa muncul dan terjaga dalam komunitas yang lebih kecil daripada masyarakat yang lebih besar.

Modal sumberdaya manusia Perubahan pendidikan dan kesehatan

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dampak pertumbuhan terhadap pengurangan kemiskinan diperkuat oleh investasi umum, contohnya, di bidang kesehatan dan pendidikan (Gillis dkk, 1996; Angelsen dan Wunder, 2003). Pendidikan merupakan faktor paling penting yang sekaligus juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan dan menyetarakan distribusi pendapatan (Gillis dkk, 1996; Sen, 1999; Angelsen dan Wunder, 2003). Dampak IPPK terhadap pendidikan dipandang sangat signifikan bagi masyarakat. Sekitar separuh dari semua rumah tangga menggunakan sebagian dari fee IPPK untuk berbagai keperluan yang berkaitan dengan pendidikan dan seperempat dari mereka menggunakan sebagian pendapatan mereka untuk membayar uang sekolah anak pada tingkat di atas sekolah dasar. Terkesan dari berbagai wawancara kelompok terfokus di ketiga desa adalah terbatasnya kemungkinan mendapatkan pendidikan lebih dari SD sebelum hadirnya IPPK. Penghalangnya adalah ketidakmampuan ekonomi, namun dalam kasus Tanjung Nanga dan Adiu (Long Adiu), juga disertai kurangnya fasilitas perumahan di Malinau Kota. Tanjung Nanga maupun Long Adiu memutuskan menggunakan sebagian

fee mereka untuk mendirikan akomodasi siswa di Malinau Kota.

Kesehatan dipandang sebagai target penting pembangunan karena membentuk dasar kemampuan keluarga atau masyarakat untuk menjaga dan memperkuat kesejahteraan sosial dan mengejar strategi penghidupan baru (Carney, 1998; Lindenberg, 2002). Kehadiran IPPK mempengaruhi kualitas dan akses terhadap layanan kesehatan, secara langsung maupun tidak langsung. Warga desa mampu berobat ke dokter dengan lebih teratur di Malinau Kota dan Long Loreh, membeli obat-obatan yang dibutuhkan dan terkadang pergi ke Malinau atau Tarakan untuk masalah kesehatan yang serius. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa sebagian besar dari total jumlah rumah tangga menghabiskan

sebagian dari fee IPPK untuk keperluan sehari-hari dan peralatan dapur, yang berpotensial memperbaiki kesehatan. Sebagian besar rumah tangga di ketiga desa juga menilai kondisi kehidupan mereka kini lebih baik daripada di masa sebelum IPPK. Walaupun perbaikan dalam hal kualitas hidup tidak bisa dikelompokkan berdasarkan dampak dari pemegang konsesi, program pemerintah, atau penyebab lain, sebagian besar penjelasan yang diberikan berkaitan dengan perubahan yang secara umum dipicu oleh perusahaan IPPK, dan secara khusus berkat meningkatnya kesehatan dan pendidikan.

Kesempatan kerja

Sering dinyatakan bahwa pekerjaan bergaji di perusahaan konsesi adalah salah satu manfaat tak langsung bagi masyarakat lokal di berbagai daerah yang terkena dampak oleh perusahaan konsesi kayu ini. Namun, kesempatan kerja ini seringkali hanya terbatas bagi orang luar yang memiliki keahlian dan berpendidikan (Barr dkk, 2001; Levang, 2002; Angelsen dan Wunder, 2003). Selain itu, kehadiran perusahaan konsesi sering dinyatakan untuk memperluas pilihan penghasilan bagi masyarakat dengan terciptanya peluang menjual produk-produk lokal, serta secara langsung memberi uang tunai kepada masyarakat yang bisa diinvestasikan kembali dalam berbagai sarana penyedia sumber penghasilan baru (Barr dkk, 2001; Levang, 2002; Angelsen dan Wunder, 2003). Dalam penelitian ini, jarak ke kamp pembalakan tampak berdampak cukup besar bagi kemungkinan dipekerjakan. Upah kerja memiliki potensi untuk mendiversifikasi peluang pendapatan di tingkat rumah tangga