• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masyarakat di sekitar hutan pada umumnya sangat bergantung pada hutan dan hasil hutan. Hal ini berlaku di Malinau, walaupun derajat ketergan tung an nya berbeda secara mencolok di antara setiap kelompok dan lokasi. Masyarakat Dayak pada umumnya adalah petani, yang menerapkan perladangan gilir-balik padi gogoh. Sebaliknya, suku Punan dianggap sebagai kelompok pemburu-pengumpul dengan cara hidup nomaden. Walaupun memudahkan, pembedaan ini tidak selamanya tepat, apalagi di masa sekarang. Hampir semua kelompok Dayak mengumpulkan hasil hutan di masa-masa sulit dan kebanyakan orang Punan membuka ladang secara teratur (Levang dkk, 2002). Walaupun demikian, hutan tetap sangat penting bagi seluruh penduduk lokal.

Levang dkk (2002) menemukan kecenderungan umum di mana desa-desa yang lebih terpencil lebih tergantung pada pengumpulan dan penjualan hasil hutan, sementara masyarakat di hilir mencari nafkah dari kegiatan pertanian. Di sini, ladang menjadi penting dan masyarakat telah berupaya untuk mendiversifi kasi pertanian mereka dengan kopi atau coklat. Lebih hilir lagi, kegiatan yang bertopang pada gaji menjadi lebih penting (lihat Gambar 2.4).

Dalam beberapa tahun terakhir ini, pekerjaan yang bergaji semakin penting, walaupun hal ini terutama terjadi di sekitar Malinau Kota. Namun semakin membesarnya pemerintahan telah membuka banyak posisi baru, termasuk empat kantor kecamatan yang dibuka pada tahun 2002.

Pemerintah kabupaten

Dengan berkurangnya perang antar suku, Belanda6 dan setelah tahun 1950-an kemudian

Indonesia,7 menambah lapisan dalam hirarki kelembagaan, mula-mula di kesultanan

Bulungan dan kemudian di kabupaten Bulungan. Setelah mengalahkan Tidung sekitar tahun 1731, Bulungan menjadi kesultanan yang diakui oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah kemerdekaan, Bulungan menjadi wilayah otonom dan pada tahun 1959 menjadi

Sumber: Levang dkk. (2002)

Gambar 2.4 Pendapatan rata-rata rumah-tangga (juta Rupiah per tahun)

kabupaten. Sebagai bagian dari Bulungan, Malinau berubah status beberapa kali sesuai dengan perubahan administratif nasional. Sebagai pengakuan atas kerajaan Tidung di wilayah ini, pada masa kolonial Belanda wilayah ini menjadi Kewedanaan Tanah Tidung, sub-bagian khusus dari kabupaten, dan akhirnya menjadi kecamatan. Seorang pejabat yang dikenal sebagai Bupati Penghubung Perwakilan Tanah Tidung ditempat kan di Malinau Kota. Pejabat ini mengepalai Malinau, Mentarang dan Lumbis. Yang menarik, pada tahun 2007 dibentuk Kabupaten Tane Tidung, terdiri dari kecamatan-kecamatan dari Bulungan dan Nunukan, namun tidak satu pun dari wilayah Malinau.

Penguasaan terpusat dan Undang-undang Tahun 1979 mengacaukan peran dan tanggung jawab kepala adat karena banyak yang ditunjuk oleh pejabat luar sebagai kepala desa dan bertanggungjawab kepada camat, bupati, gubernur, dan Presiden. Lembaga-lembaga lokal kehilangan wibawa oleh delegitimasi hukum adat dan kepala adat. Peta-peta desa buatan pemerintah sama sekali tidak menggambarkan keadaan pemukiman dan klaim mereka yang sebenarnya. Akhirnya, penduduk desa secara politis terasingkan dan jauh dari pemerintah. Namun sebagian besar urusan desa masih terus diselesaikan oleh para kepala adat, terutama yang juga bekerja untuk pemerintah sebagai kepala desa. Para kepala adat ini membuat keputusan yang berlaku bagi satu kelompok etnis yang homogen. Akses terhadap lahan dan hutan tetap dikelola sebagaimana sebelumnya.

Selain membentuk struktur administratif baru, negara mengklaim wilayah yang sangat luas mulai tahun 1960-an pada saat berkembangnya boom kayu. Tiba-tiba penduduk desa harus berbagi hutan dengan pengusaha dan diberitahu bahwa lahan itu milik pemerintah Indonesia. Pernyataan yang tegas dari negara atas penguasaan lahan melalui kehadiran HPH secara terbuka menantang kedaulatan lokal dan klaim atas lahan dengan cara-cara yang tidak pernah dilakukan oleh para sultan dan Belanda. Penduduk desa biasanya menerima HPH, sebagian besar karena perasaan terintimi dasi (anggota militer biasanya menemani staf HPH atau mengganggu penduduk desa yang berpotensi menyusahkan). Degradasi

hutan secara berangsur, hilangnya buruan liar dan menurunnya kualitas air yang mereka rasakan sebagian diimbangi dengan dibangunnya jalan, sarana transportasi, penyerapan tenaga kerja, meskipun secara terbatas, dan sekali-sekali kontribusi bagi proyek desa. Pengusaha hutan lokal tidak menerapkan larangan berburu dan membakar lahan secara ketat, dan membiarkan kegiatan berladang di sebagian areal hutan sebagai upaya untuk memelihara hubungan baik. Pada waktu itu, konflik yang berhubungan dengan hutan terutama adalah perseteruan antar desa atas akses ke lahan pertanian, dan bagi beberapa individu, atas upaya menjaga klaim atas gua-gua sarang burung. Negara tidak mengijinkan terjadinya konflik dengan pemerintah daerah atau dengan pengusaha hutan.

Kekuasaan kepala adat semakin terkikis dan klaim atas lahan menjadi lebih kompleks ketika kelompok-kelompok etnis mulai berbagi wilayah. Program pemukiman kembali oleh pemerintah antara tahun 1960-an sampai tahun 1980-an, dan satu kasus pemukiman

kembali ad hoc pada tahun 1999, telah mengalihkan lahan bekas suku Merap8 di sepanjang

Sungai Malinau kepada kelompok Dayak lainnya yang datang dari wilayah yang lebih terpencil. Namun para pendatang baru ini tidak selalu memutuskan hubungan dengan wilayah mereka sebelumnya. Selalu ada sebagian yang tetap tinggal di dalam atau di dekat wilayah desa semula. Akibatnya, dua sampai empat kelompok etnis secara kolektif mendiami 9 dari 16 pemukiman sepanjang hulu Sungai Malinau, sehingga tekanan terhadap sumberdaya lokal juga semakin besar. Semua kelompok itu mengajukan klaim atas wilayah yang bertumpang tindih dengan klaim kelompok lainnya, dan menimbulkan pertanyaan siapa pemegang kekuasaan atas lahan mana, dan bagaimana pembagian peran penguasa adat dan pemerintah dalam menyelesaikan klaim ini. Karena itulah maka tumpang-tindihnya klaim atas lahan di daerah hulu Sungai Malinau lebih banyak daripada daerah lainnya di Kabupaten Malinau.

Perkembangan terakhir menyangkut bertumpangtindihnya tiga hal: desentralisasi, akses baru bagi penduduk desa untuk memperoleh pembayaran tunai untuk kayu dan lahan, dan dibentuknya Kabupaten Malinau yang baru. Dengan dimulainya desentralisasi dan ketidakpastian yang menyertainya, berbagai kalangan masyarakat lokal berusaha mendapatkan bagian dari sumberdaya Malinau. Bahkan sebelum berlaku kebijakan desentralisasi di tingkat kabupaten, desentralisasi de facto telah terjadi, di mana desa-desa mengajukan klaim atas tanah-tanah adat dan bernegosiasi secara langsung dengan investor lokal (Rhee, 2003). Penduduk desa lebih bebas mengajukan tuntutan kompensasi atau manfaat dari perusahaan kayu atau tambang dan menuntut lebih besar daripada

sebelumnya.9 SK Gubernur Kalimantan Timur No 20/2000 memperkuat momentum

ini dengan meletakkan dasar hukum bagi masyarakat untuk menuntut kompensasi. Sejak Presiden Soeharto meletakkan jabatan, penduduk desa mengatakan bahwa mereka bisa menyuarakan ketidakpuasan mereka tanpa rasa takut dan jauh lebih bebas berbicara mengenai pemimpin mereka dan pemerintah. Anggota militer saat ini jarang menemani perusahaan kayu atau rombongan pemerintah. Persekutuan politik baru telah terbentuk di antara berbagai kelompok etnis. Kepala desa bisa ditemui di pusat kota Malinau, dalam pertemuan dengan pejabat pemerintah atau pengusaha, sesering mereka ditemui di desa mereka sendiri.

Dengan terbentuknya Pemerintah Kabupaten Malinau pada tahun 2001, untuk pertama kalinya, banyak posisi utama diisi oleh orang-orang dari dalam kabupaten sendiri. Dayakisasi telah membuat penguasa berakar di dalam politik lokal yang berisi lebih dari 18 kelompok etnis. Adat menjadi penting karena masyarakat mencari aliansi dan posisi politis melalui berbagai kelompok etnis (Anau dkk, 2001), dan menimbulkan

persaingan atas lahan dan kekuasaan berbasis etnis. Pengorganisasian kelompok-kelompok adat berdasarkan hirarki pemerintah juga diwarisi dari masa penjajahan Belanda. Di masa itu, kepala adat dikooptasi melalui pengakuan formal dan pemberian honorarium. Untuk menegakkan ketertiban, Belanda menyusun hirarki di mana kelompok-kelompok adat lokal diatur dalam majelis yang lebih besar yang dipimpin oleh Kepala Adat Besar. Di Malinau, dibentuk Majelis Kerapatan Besar Tanah-tanah Tidung, yang anggotanya terdiri dari Raja Tidung, kepala adat Merap dari Langap dan empat kepala adat lainnya (Césard, 2001; Sellato, 2001). Kepala adat Merap ditunjuk sebagai Kepala Adat Besar Malinau pada tahun 1940. Kedudukannya diformalkan melalui keputusan kolonial, dan dia tetap memegang kedudukan ini sampai kematiannya pada tahun 1980.

Saat ini, kelompok adat mulai mengatur diri dengan memperkuat organisasi atau membentuk organisasi baru, dan meminta pemerintah untuk mengakuinya secara formal. Pada bulan Februari 2002, kelompok Tidung menghidupkan kembali lembaga adat mereka dengan memilih kepala-kepala adat baru dalam upacara yang megah. Kelompok Punan juga membentuk Lembaga Adat Besar Punan Kalimantan Timur, selain juga Yayasan Adat

Punan pada tahun 1994.

Dengan membaiknya kehidupan sejak bermigrasi ke DAS Malinau, suku Kenyah mulai menantang kekuasaan politis suku Merap (Rhee, 2003). Setelah memiliki lembaga adat dan hukum adat tertulis sejak tahun 1968 (N. Anau, komunikasi pribadi, 2001), mereka telah lebih terorganisir dan menjadi kekuatan penting di Malinau. Bupati yang sekarang adalah seorang Dayak Kenyah. Maka kelompok Merap pun mereorganisasi diri, dan pada tahun 1998 berhasil menempati posisi yang kosong: Kepala Adat Besar Malinau. Sementara itu, setelah lama vakum, suku Merap yang didukung suku Kenyah berusaha menghidupkan kembali Lembaga Adat Besar Se-Sungai Malinau dan memilih Impang Alang sebagai Kepala Adat Besar di tahun 2003. Tahun 2006 Impang Alang mengundurkan diri dan diganti oleh puteranya, ketua DPRD Malinau.

Kelompok Lundaye dan Tidung juga menjadi lebih agresif secara politik beberapa tahun terakhir ini. Kedua kelompok ini sedang berusaha mengkonsolidasi klaim-klaim mereka atas lahan, sementara kelompok Punan hampir tidak terwakili di pemerintahan kabupaten dan mempunyai klaim kesejarahan yang lemah atas lahan. Selain itu, kelompok Punan selalu merupakan mitra yang lebih lemah dalam aliansi-aliansi dengan kelompok etnis lainnya (Anau dkk, 2001).

Administrasi Kabupaten saat ini

Sudah disebutkan sebelumnya bahwa Kabupaten Malinau dibentuk pada tahun 1999. Sampai tahun 2001, kabupaten ini dipimpin oleh seorang Bupati sementara, sehingga selama satu setengah tahun kabupaten ini dipimpin oleh pemimpin sementara yang tidak bertanggungjawab pada DPRD. Pada masa inilah sebagian besar izin pembalakan skala kecil diberikan (lihat Bagian II). Pada tahun 2001, Bupati terpilih disumpah. Pada tahun itu juga terbentuklah struktur pemerintahan resmi dengan sembilan kantor administratif (SK No. 117 Bupati Malinau 2001).

Salah satu aspek penting dari pemerintah kabupaten ini adalah bahwa untuk pertama kalinya kebanyakan posisi diisi oleh orang yang berasal, atau menikah dengan warga, dari dalam kabupaten. Para pejabat sebelumnya sebagian besar berasal dari Jawa, Sulawesi, atau daerah lain di Kalimantan (terutama Samarinda dan Banjarmasin). Dayakisasi pemerintah lokal berarti bahwa kini penguasa lebih berakar pada politik lokal yang melibatkan lebih

Tabel 2.1 Distribusi afiliasi etnis pegawai pemerintah di Malinau Kantor Bupati

Kantor/Dinas Total Etnis Wakil bupati/sekretaris

daerah, asisten Kepala bagian

Kenyah 2 2 3 7 Lundaye 2 1 6 9 Toraja 1 4 5 Jawa 4 4 Tidung 2 2 Kutai 1 1 Banjar 1 1 Total 6 4 19 29 Sumber: Andrianto (2006)

dari 18 kelompok etnis. Hubungan kekuasaan lokal lebih saling berkait dan rumit daripada di masa sebelumnya.

Menyadari hubungan yang kompleks ini, Bupati bekerja keras untuk mencapai keseimbangan antara kelompok-kelompok etnis dan agama yang berbeda (lihat Tabel 2.1 untuk penjelasan komposisi etnis pemerintah Kabupaten Malinau).

Walaupun tidak mempunyai wakil di pemerintahan, kelompok Merap mengetuai

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) – untuk kedua kalinya. Kedudukan ini sangat

kuat dan telah berakibat pada penguatan klaim kelompok Merap atas hutan, termasuk bagian dari tambang batubara baru di wilayah Langap.

Walaupun pada awalnya kelihatannya desentralisasi dan pemerintah yang baru telah mendekatkan negara kepada masyarakat, setelah pemerintah kabupaten yang baru semakin mapan dan diakui kewenangan dan kehadirannya, akses terhadap pejabat pemerintah menjadi lebih formal dan berjarak. Namun sebagai pembelaan pemerintah kabupaten,

mudahnya aksesibilitas di tahun-tahun awal telah menimbulkan banjir permintaan dan tuntutan. Dengan menempatkan kembali Camat sebagai penghubung antara desa dengan kabupaten, pejabat kabupaten bisa mengurangi interaksi dengan penduduk desa ke tingkat yang lebih bisa dikelola.

Kompleks kantor pemerintahan kabupaten yang baru dan megah, serta prosedur formal yang diperlukan untuk masuk, membuat warga masyarakat enggan menghadap pemerintah. Apalagi karena letaknya agak jauh dari pusat kegiatan Malinau. Lagipula, walaupun pemerintah kabupaten merasa nyaman dengan retorika partisipasi masyarakat madani, mereka tetap curiga dan tidak tahu bagaimana cara melaksanakannya.

Modernisasi dan pergolakan politik telah mendatangkan banyak tantangan dan kesempatan bagi masyarakat Malinau. Dalam lima tahun terakhir, cukup banyak terjadi pergolakan yang berkaitan dengan undang-undang dan peraturan tentang hak-hak atas lahan dan sumberdaya alam. Kondisi itu menciptakan ketidakpastian dan berbagai peluang baru untuk memperoleh pendapatan tunai. Dua aspek aksesibilitas senantiasa berubah (yaitu aspek peluang pencapaian suatu lokasi dan mengekstraksi sumberdaya, serta aspek penguasaan hukum dan sosial yang bisa mempengaruhi pilihan cara melakukannya). Munculnya motor untuk perahu, jalan-jalan baru, meningkatnya perdagangan, serta

Foto diambil oleh Godwin Limberg (2004)

Gambar 2.5 Pada tahun 2004, pemerintahan Kabupaten Malinau menempati kompleks gedung yang baru, seperti ditunjukkan di sini

naiknya harga bahan bakar, semuanya mempengaruhi akses fisik, begitu pula dengan berkurangnya sumberdaya di bekas wilayah penebangan. Pada saat bersamaan, berbagai klaim dan klaim yang tumpang tindih serta penguasaan oleh pemegang konsesi, pemerintah kabupaten, dan masyarakat, cukup menciptakan kebingungan. Pada saat ini, ‘tragedi kepemilikan komunal’ agaknya lebih memilih menguangkan hutan daripada pilihan lain yang lebih berjangka panjang. Hilangnya keanekaragaman hayati bagi masyarakat lokal dan pemangku kepentingan lainnya tampaknya akan besar. Stabilitas dan kepastian kepemilikan lahan amat sangat diperlukan.

Catatan

1 Diperkirakan dari sensus pemilu tahun 2003.

2 Lihat Soerat Pengangkatan Alang Ampang sebagai Kepala Besar Bao Dajak di Langap oleh

Pemerintah Keradjaan Boelongan, 30-1-1940.

3 Lihat Sellato (2001) untuk tinjauan sejarah hulu Sungai Malinau dalam 150 tahun terakhir.

4 Fox (2002) mencirikan tumpang-tindihnya kedaulatan pada akhir tahun 1800-an di Thailand. Ia menulis bahwa hal ini ‘bukan berdiri sendiri maupun eksklusif’ (Fox, 2002, hal 2), tetapi, (mengutip Winichakul, 1994, hal 88) ‘dapat dibagi – satu untuk penguasa dan satu untuk atasannya – tidak dalam arti berbagi kedaulatan, tapi lebih merupakan lapisan-lapisan hirarkis.

5 Yang menarik, surat bukti pembayaran pajak di jaman lebih modern telah digunakan untuk menetapkan kepemilikan atas gua-gua sarang burung.

6 Menurut Sellato (2001), kekuasaan Belanda atas kesultanan Bulungan mulai pada tahun 1850 dengan sebuah kontrak Politiek, yang pada tahun 1877 diperpanjang dengan perjanjian yang menetapkan bahwa Belanda akan mengurus sebagian urusan Kesultanan; lalu diformalkan pada akhir tahun 1880-an sebagai bagian dari koloni Belanda. Pada awal 1900-an, Belanda memaksa Sultan menyerahkan kekuasaannya atas daerah-daerah Sungai Bahau, Pujungan, dan Apo Kayan yang lebih terpencil. Belanda juga bekerjasama dengan Kesultanan, untuk, misalnya, mengatasi pemberontakan suku Dayak tahun 1909 di Tanah Tidung, yang mencakup daerah Sungai Malinau yang sekarang.

7 Menurut Sellato (2001), pada tahun 1950, Bulungan menjadi sebuah Wilayah Swapraja setelah pendudukan Jepang, dan pada tahun 1955 menjadi Wilayah Istimewa. Pada tahun 1959, setelah meninggalnya Sultan yang terakhir pada tahun 1958, yaitu Sultan Jalaluddin, kesultanan dihapuskan dan Bulungan menjadi Daerah Tingkat II atau kabupaten. 8 Sebelum suku Merap, suku Berusu and Punan dipercayai telah menduduki wilayah ini

(Kaskija, 2000; Sellato 2001).

9 Walaupun tuntutan kompensasi telah diajukan sebelumnya, dan warga desa hanya menerima sangat sedikit, kalaupun ada.

Rujukan

Anau, N., van Heist, M., Iwan, R., Limberg, G., Sudana, M. dan Wollenberg, E., 2001. Pemetaan Desa Partisipatif dan Penyelesaian Konflik Batas: Studi Kasus di Desa-Desa Daerah Aliran Sungai Malinau, Januari s/d Juli, 2000, Laporan Pengelolaan Hutan Bersama, CIFOR, Bogor, Indonesia.

Anau, N., Iwan, R., van Heist, M., Limberg, G., Sudana, M. dan Wollenberg, E., 2002. Negotiating more than boundaries: Conflict, power and agreement building in the demarcation of village borders in Malinau, dalam CIFOR (penyunting), Forest, Science and Sustainability: The Bulungan Model Forest. Technical Report Phase I 1997-2001, ITTO Project PD 12/97 Rev 1 (F), CIFOR, Bogor, Indonesia.

Andrianto, A., 2006. Peran Pemerintah Kabupaten dalam Mengurangi Kemiskinan: Studi Kasus di Kabupaten Malinau dan Kutai Barat, Kalimantan Timur, Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia.

Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) dan BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Malinau, 2005. Kabupaten Malinau Dalam Angka 2004/2005, Bappeda Malinau, Malinau, Indonesia.

Bappeda Malinau, 2001. Kabupaten Malinau Dalam Angka 2000, Bappeda Malinau, Malinau, Indonesia.

Barr, C., Wollenberg, E., Limberg, G., Anau, N., Iwan, R., Sudana, I. M., Moeliono, M. dan Djogo, T., 2001. The Impacts of Decentralization on Forests and Forest-Dependent Communities in Malinau District, East Kalimantan: Case Studies on Decentralisation and Forests in Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia.

Basuki, I. dan Sheil, D., 2005. Local Perspectives of Forest Landscapes: A Preliminary Evaluation of Land and Soils, and Their Importance in Malinau, East Kalimantan, Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia.

BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional), 2001. Daftar Desa Miskin di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, BKKBN, Malinau, Indonesia.

Césard, N., 2001. Four Ethnic Groups (Punan, Kenyah, Merap, Lun Dayeh) Faced with Changes along the Malinau River (Kalimantan Timur), Forest Product and People Programme, CIFOR, Bogor, Indonesia.

Fox, J., 2002. Siam mapped and mapping in Cambodia: Boundaries, sovereignty, and indigenous conceptions of space, Society and Natural Resources, vol 15, no 1, hal 65–78

Kaskija, L., 2000. Punan Malinau and the Bulungan Research Forest, Laporan diajukan kepada CIFOR, Bogor, Indonesia.

Levang, P. dan Tim FPP-Bulungan, 2002. Peoples dependencies on forests, dalam CIFOR (penyunting) Forest, Science and Sustainability: The Bulungan Model Forest. Technical Report Phase I 1997-2001, ITTO Project PD 12/97 Rev 1 (F), CIFOR, Bogor, Indonesia.

Machfudh., 2002. General description of the Bulungan Research Forest, dalam CIFOR (penyunting) Forest, Science and Sustainability: The Bulungan Model Forest. Technical Report Phase I 1997-2001, ITTO Project PD 12/97 Rev 1 (F), CIFOR, Bogor, Indonesia.

Sensus Pemilu Malinau, 2003. Data Sensus Pemilu, Pemerintah Daerah Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia.

Meijaard, E., Sheil, D, Nasi, R., Augeri, D., Rosenbaum, B., Iskandar, D., Setyawati, T., Lammertink, A., Rachmatika, I., Wong, A., Soehartono, T., Stanley, S. dan O’Brien, T., 2005. Life after Logging: Reconciling Wildlife Conservation and Production Forestry in Indonesian Borneo, CIFOR, ITTO and UNESCO, Bogor, Indonesia.

Rhee, S., 2000. De facto decentralization and the management of natural resources in East Kalimantan during a period of transition, Asia Pacific Community Forestry Newsletter, vol 13, no 2, hal 34–40.

Rhee, S., 2003. De facto decentralization and community conflicts in East Kalimantan, Indonesia: Explanations from local history and implications for community forestry, dalam Tuk-Po, L., de Jong, W. dan Ken-ichi, A., (penyunting) The Political Ecology of Tropical Forests in Southeast Asia: Historical Perspectives, Kyoto Area Studies on Asia 6, Kyoto University Press, Kyoto, Japan, hal 152–176.

Sellato, B., 2001. Forest, Resources and People in Bulungan: Elements for a History of Settlement, Trade and Social Dynamics in Borneo, 1880–2000, CIFOR, Bogor, Indonesia.

Sheil, D., 2002. Biodiversity research in Malinau, dalam CIFOR (penyunting) Forest, Science and Sustainability: The Bulungan Model Forest. Technical Report Phase I 1997-2001, ITTO Project PD 12/97 Rev 1 (F), CIFOR, Bogor, Indonesia.

Sheil, D., Puri, R., Basuki, I., van Heist, M., Wan, M., Liswanti, N., Rukmiyati, Sardjono, M. A., Samsoedin, I., Sidiyasa, K., Chrisandini, Permana, E., Angi, E. M., Gatzweiler, F., Johnson, B. dan Wijaya, A., 2003. Exploring Biological Diversity, Environment and Local Peoples Perspectives in Forest Landscapes, 2nd edition, Center for International Forestry Research, Ministry of Forestry and International Tropical Timber Organization, Bogor, Indonesia.

SK 117 Bupati Malinau, 2001. Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kabupaten Malinau, Malinau, Indonesia.

Soerat Pengangkatan Alang Ampang sebagai Kepala Besar Bao Dajak di Langap oleh Pemerintah Keradjaan Boelongan, 30-1-1940.

TAP MPR (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia), 2001. Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, Jakarta, Indonesia.

Uluk, A., Sudana, M. and Wollenberg, E., 2001. Ketergantungan Masyarakat Dayak Terhadap Hutan di Sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang, CIFOR, Bogor, Indonesia.

Widyastuti, R. S., 2003. Otonomi: Kabupaten Malinau, Kompas, 17 Juni 2003, www. kompas. com/kompas-cetak/0306/17/otonomi/373649.htm.

Wollenberg, E., Iwan, R., Limberg, G., Moeliono, M., Rhee, S. dan Sudana, I. M., 2007. Muddling towards cooperation: spontaneous orders and shared learning in Malinau district, Indonesia, dalam Fisher, R., Prabhu, R. dan McDougall, C. (penyunting) Adaptive collaborative management of community forests in Asia: experiences from Nepal, Indonesia and the Philippines, Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia.

WWF (World Wildlife Fund for Nature), 2003. Management of Kayan Mentarang National Park to Promote Trans-boundary Conservation along the Border between Indonesia and Malaysian States of Sabah and Sarawak, ITTO Project, PD 38/00 REV I (F) WWF, Jakarta, Indonesia.

Politik Budaya Kolaborasi untuk Mengontrol