• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam semua kasus yang disurvei di Malinau, tampaknya tidak ada negosiasi nyata mengenai aturan pembalakan, ukuran dan lokasi areal konsesi, atau perkebunan. Biasanya broker akan muncul di pertemuan dengan peta areal yang sudah diputuskan secara prinsip oleh pemerintah kabupaten. Masyarakat memang memiliki suara dalam komposisi areal konsesi yang diajukan dan batas-batas pembalakan. Long Adiu dan Punan Adiu menegosiasikan ukuran IPPK yang akan dibalak dalam klaim wilayah hutan masing-masing dan penjadwalan pelaksanaannya. Bila perkebunan juga dibicarakan dan dinegosiasikan, terlihat variasi pada kontrak IPPK dari satu desa ke desa yang lain, dalam hal jenis tanaman perkebunan, ukuran perkebunan dan sifat bantuan yang dijanjikan untuk pengembangan perkebunan. Namun pada sejumlah kasus (lihat Tabel 6.3), dalam kesepakatan akhir tidak tercantum aturan pembalakan atau ketentuan penanaman sekalipun telah dibicarakan sebelum kesepakatan disusun. Beberapa responden (misalnya di Tanjung Nanga) menjelaskan bahwa aturan perkebunan dan pembalakan merupakan tanggung jawab pemerintah kabupaten, sehingga merupakan ‘persyaratan hukum’. Oleh karena itu unsur-unsur ini dianggap tidak perlu dimasukkan dalam kontrak mereka dengan broker.

Separuh dari kesepakatan yang disurvei di Malinau tidak menetapkan batas waktu kapan perusahaan harus menyelesaikan pembalakan (lihat Tabel 6.3) tapi mensyaratkan harus memulai pembalakan enam bulan setelah negosiasi selesai. Juga tak satu pun izin resmi IPPK yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten menyebutkan batas waktu. Selain itu secara umum tidak ada kesepakatan yang memuat rencana jadwal produksi kayu. Dari semua kesepakatan yang diteliti, semuanya sangat memberi keleluasaan bagi perusahaan IPPK dalam pelaksanaan operasinya.

Dalam negosiasi, warga biasanya ditanya apa yang mereka inginkan dalam hal keuntungan finansial (pembayaran uang muka, fee per meter kubik), kesempatan kerja, dan pembangunan sosial, misalnya beasiswa untuk anak-anak atau kantor desa. Dalam beberapa kasus, khususnya masyarakat pertama yang dilibatkan dalam negosiasi IPPK, harapan masyarakat tidak ada atau sangat rendah. Sebagai contoh, Long Adiu dan Punan Adiu, hanya meminta fee 5000 rupiah per kubik meter karena acuan mereka adalah instruksi dari Gubernur Kalimantan Timur (SK 20/2000) bahwa perusahaan harus membayar kompensasi 3000 rupiah per meter kubik ke masyarakat adat. Semua desa yang terikat kesepakatan dengan CV Wana Bakti akan dibayar 20.000 rupiah per meter kubik untuk

alasan yang tidak jelas (lihat Tabel 6.3 dan Gambar 6.1). Secara teoretis perusahaan bisa

menawarkan berapa saja antara 5000 rupiah hingga 20.000 rupiah per meter kubik.13

Dalam kasus lain, seperti Malinau Seberang, warga meminta pembayaran lebih besar. Di sini mulanya desa tersebut meminta 70.000 rupiah hingga 80.000 rupiah per meter kubik, dan akhirnya ditawarkan 40.000 rupiah per meter kubik, tingkat fee kedua tertinggi pada kelompok kesepakatan pertama dalam sampel masyarakat Malinau kami. Hanya Setarap dan Punan Setarap yang juga menegosiasikan harga pada tingkat ini. Tanjung Nanga berhasil menegosiasikan harga tertinggi: 50.000 rupiah per meter kubik (lihat Gambar 6.1), meskipun tidak mencantumkan janji sarana umum. Tiap desa lainnya dalam sampel ini menegosiasikan beberapa sarana umum meski berbeda-beda di setiap kasus. Pada kasus Long Sulit, fee yang dijanjikan tidak diketahui, meski tidak seperti kesepakatan lainnya,

fee tidak diatur berdasarkan produksi (misalnya, per meter kubik). Dalam kesepakatan

bersama, manfaat sosial biasanya dibagi bersama.

Sejumlah desa berhasil menaikkan tingkat fee menjadi 50.000 rupiah per meter kubik dalam negosiasi ulang setelah tercapai kesepakatan awal. Sebagai contoh, di Long Simau, warga meminta kepala desa dan pewaris untuk mengubah kesepakatan dengan membatalkan semua fasilitas yang telah disepakati dan menaikkan harga menjadi 50.000 rupiah per meter kubik setelah kesepakatan dibuat, sebelum desa menerima pembayaran pertama. Hal ini karena khawatir bahwa fasilitas sosial yang dibangun oleh perusahaan hanya akan digunakan oleh mereka yang tinggal di salah satu dari kedua lokasi bagian Long Simau. Warga juga menjelaskan bagaimana mereka belajar dari pengalaman Tajan, Tanjung Lima dan Sebatiung, yang waktu itu baru saja berhasil menaikkan fee menjadi 50.000 rupiah per meter kubik, juga dengan menghapuskan semua fasilitas sosial dari

kesepakatan mereka.14

Kasus Langap dan Tanjung Nanga lebih menggambarkan pengaruh pewaris dalam negosiasi ulang. Di Langap, ada suatu keluarga yang terdiri dari sekitar sepuluh kepala keluarga yang memiliki klaim lama terhadap pemanfaatan sarang burung walet, suatu hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang mahal. Orang yang paling berpengaruh dalam keluarga waktu itu, kebetulan juga Kepala Adat Besar (pemimpin seluruh daerah aliran sungai menurut hukum adat). Setelah Langap menyelesaikan negosiasi dan melakukan kesepakatan dengan CV Hanura, dan perusahaan telah mulai beroperasi, Langap dan pewaris melakukan negosiasi kembali untuk menaikkan fee, karena pewaris bisa mengklaim hutan (tanah warisan) yang mengelilingi lokasi sarang burung. Desa tersebut menaikkan

feenya menjadi 15.000 rupiah per meter kubik, masih yang terendah dari semua desa

yang disurvei di Malinau. Sementara pewaris mengklaim 10.000 rupiah per meter kubik, sehingga total fee menjadi 25.000 rupiah per meter kubik.

Pewaris yang sama juga mengeluh ketika IPPK yang beroperasi atas nama Tanjung Nanga, CV Meranti Wana Lestari, melakukan pembalakan di sekitar gua sarang burung. Negosiasi ulang kesepakatan Tanjung Nanga dengan perusahaan menyebabkan masyarakat saling berbagi uang fee dengan pewaris Langap: keseluruhan fee naik menjadi 64.000 rupiah per meter kubik, 40.000 rupiah dibayarkan untuk Tanjung Nanga dan sisanya 24.000 rupiah untuk Langap. 24.000 rupiah per meter kubik untuk Langap akan dibagi 50:50 antara pewaris dan warga Langap. Namun uang tersebut dibayarkan ke pewaris dan tidak jelas apakah warga desa Langap menerima bagiannya.

Dari kasus yang ada, tampak adanya variasi keuntungan yang dinegosiasikan di Malinau Selatan, terutama terkait dengan sarana umum. Variasi itu berkurang di daerah

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 Long Sulit Langap Long Sim au Batu Lidu ng Sesu a-Pun an Be ngalu n Long Adiu -Pun an A diu Tanju ng Li ma-T aja n-Seba tiung Pakin g Lam a-Sem olon Nunu k Tan ah Ki bang Selid ung Kelap is Salap Seta rap-P unan Seta rap Malina u Seb erang -Kali amok Tanju ng N anga ID R p e r m e te r ku b ik

Fee yang dijanjikan Fee yang dibayarkan

Catatan: Tidak termasuk harga yang dinegosiasikan ulang. Sumber: Charles Palmer, 2003–2004

Gambar 6.1 Fee yang dijanjikan dan yang sesungguhnya dibayarkan untuk kesepakatan IPPK pertama yang dikaji di Malinau

contoh, semua kesepakatan yang memakai broker gabungan CV Putra Mentarang dan BBP menghasilkan harga 30.000 rupiah per meter kubik (Kelapis, Selidung dan Salap), dan di daerah Sungai Bengalun disepakati fee sebesar 20.000 rupiah per meter kubik di Batu Lidung dan Sesuà–Punan Bengalun. Jelas terlihat proses negosiasi di beberapa daerah Malinau telah terkacaukan oleh sedikit atau tidak adanya persaingan di antara sesama broker, sehingga terjadi praktik menyerupai kartel. Pematokan harga ini terlihat mengakibatkan relatif kecilnya variasi pada manfaat yang dinegosiasikan dalam sejumlah kesepakatan.

Meskipun besarnya fee yang dinegosiasikan sangat bervariasi, dimasukkannya perjanjian sarana sosial membuat satu kesepakatan dengan kesepakatan yang lain lebih setara, khususnya ketika mempertimbangkan negosiasi ulang fee untuk Tanjung Lima– Sebatiung–Tajan, Long Simua dan Tanjung Nanga (semuanya 50.000 rupiah per meter kubik). Tak satu pun dari kesepakatan itu yang mensyaratkan sarana umum, tidak seperti Selidung atau Long Adiu–Punan Adiu, yang memuat banyak janji. Setelah belajar dari pengalaman dan dari masyarakat lain, masyarakat kabupaten itu meminta negosiasi ulang kesepakatannya atau membuat kesepakatan baru dengan kepercayaan diri yang baru dalam berurusan dengan broker dan pihak luar lainnya. Setelah negosiasi ulang, fee paling rendah di kabupaten itu adalah 15.000 rupiah per meter kubik dan yang tertinggi 50.000 rupiah

per meter kubik.16

Mengamati perolehan fee pada negosiasi pertama, penerima fee terendah adalah desa yang kurang kompak dalam membicarakan akses terhadap hutan dan penggunaannya, serta yang masyarakatnya kurang berpartisipasi dalam organisasi desa. Lebih jauh lagi, desa

yang sebelum negosiasi memiliki lebih banyak keluarga yang pernah bekerja di luar desa dan memiliki mobilitas lebih tinggi (memiliki perahu longboat atau bentuk transportasi lainnya), fee yang dinegosiasikan cenderung lebih tinggi.

Kenyataan hasil kesepakatan dengan IPPK