• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desentralisasi bukan hal baru di Indonesia. Meskipun laju reformasi yang paling dramatis terjadi pada tahun 1998 hingga 2003, desentralisasi dan reformasi demokratisasi bermula jauh sebelum tahun-tahun tersebut. Isu desentralisasi timbul tenggelam sepanjang sejarah Indonesia sejak periode kolonial Belanda. Gelombang desentralisasi bukanlah hal yang aneh. Setidaknya, ada empat gelombang di Francophone Afrika Barat sejak 1917 (Ribot 1999) dan tiga gelombang di Asia Selatan sejak pertengahan 1800-an (Agrawal dan Ribot 1999).

Bagian ini mengkaji secara singkat sejarah upaya desentralisasi di Indonesia, bagaimana keseimbangan kekuasaan lokal dan pusat serta makna desentralisasi dan otonomi berubah dari waktu ke waktu. Karena masa kolonial berperan sangat penting dalam evolusi negara Indonesia, kami mulai dengan memaparkan secara singkat sejarah masa tersebut. Gambaran produk hukum yang membentuk struktur proses desentralisasi, dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Upaya awal

Percobaan pertama desentralisasi adalah Undang-undang Desentralisasi pada tahun 1903 yang diterbitkan oleh pemerintah kolonial Belanda (Matsui, 2003).

Ketika menguasai Nusantara di tahun 1800, Belanda mewarisi sistem pemerintahan tidak langsung yang diawali oleh Perusahaan Dagang Hindia Timur (Vereenigde

Oost-Indische Compagnie, atau VOC). Pemerintah Belanda kemudian mulai membangun

kekuasaan negara yang sentralistik dan hirarkis di atas struktur tradisional yang beragam. Memasuki periode politik etis pada pertengahan 1800-an, kekuasaan Belanda telah bersifat sentralistik dan menguasai secara langsung sebagian besar Pulau Jawa; sementara pulau-pulau di luar Jawa, termasuk Kalimantan, di bawah pemerintahan yang tidak langsung.

Akhir tahun 1800-an, Belanda mulai menguasai pulau-pulau di luar Jawa. UU Desentralisasi tahun 1903 dimaksudkan untuk meringankan beban pemerintah dalam mengatur wilayah terpencil dan memperkuat penguasaan atas wilayah tersebut (Furnivall, 1956). Dengan UU ini, pemerintah pusat mengalihkan wewenang kepada

karesidenan1, dan menetapkan dewan daerah (Pide, 1999; Engelfriet, 2000). Dewan

daerah berwenang mengambil keputusan keuangan; namun karena sebagian besar terdiri dari pejabat pemerintah dan diketuai oleh Residen atau Asisten Residen yang ditunjuk dan bukannya dipilih, pada umumnya dewan ini hanya menjadi badan penasehat. Upaya awal desentralisasi ini membentuk pola upaya berikutnya: bukannya mendevolusi administrasi pemerintah pusat, namun mendukung tumbuhnya administrasi lokal oleh organisasi lokal (Pide, 1999; Matsui, 2003) di tingkat kabupaten.

Tabel 1.1 Kronologi undang-undang tentang desentralisasi dan kehutanan

Tahun Administrasi Daerah Kehutanan

1903 Undang-undang tentang Desentralisasi Kolonial Belanda

1922 Revisi UU Desentralisasi; pembentukan provinsi dan kabupaten

1942 Pendudukan Jepang 1945 Kemerdekaan Indonesia;

UU No. 1/1945 mengatur administrasi daerah termasuk pendirian komisi nasional daerah; pemimpin eksekutif terpilih dari komisi ini adalah pejabat pemerintah pusat dan sekaligus pemimpin pemerintah daerah; titik berat pada upaya dekonsentrasi.

1948 UU No. 22/1948 menetapkan fungsi legislatif dan eksekutif di tiga tingkat pemerintahan otonom (provinsi, kabupaten/kota, dan desa); titik berat pada upaya desentralisasi

1957 UU No. 1/1957, mengakui otonomi pemerintah daerah secara ekstensif yang berkaitan dengan kekuasaan yang tidak dimiliki oleh pemerintah pusat (Matsui, 2003, hal. 7); Memilih DPR Daerah.

1957 PP No. 64/1957 (Hutabarat, 2001),

memberikan wewenang kepada provinsi untuk mengeluarkan izin pembalakan untuk wilayah seluas 10000 hektar untuk jangka waktu 20 tahun dan wilayah seluas 5000 hektar untuk jangka waktu 5 tahun.

1959 Dekrit Presiden No. 6/1959 untuk kembali kepada UUD 1945; kembali ke sistem yang sentralistik.

1960 Undang-undang No. 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang oleh sejumlah pihak dianggap sebagai payung hukum, meskipun baru-baru ini diperdebatkan bahwa undang-undang ini hanya sebagai UU sektoral yang sejajar dengan sektor yang lain.

1965 UU No. 18/1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah; kepala pemerintahan ditugasi dengan fungsi ganda, yaitu kepala daerah otonom dan kepanjangan tangan pemerintah pusat.

1967 UU No. 5/1967, UU Kehutanan

1970 PP No. 21/1970 tentang Hak

Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan yang berlawanan dengan PP No. 64/1957. 1974 UU No. 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan

di Daerah, mengatur hubungan pusat dan daerah. 1979 UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa,

Tahun Administrasi Daerah Kehutanan

1985 Direktorat Jenderal Kehutanan berubah

menjadi Departemen Kehutanan. 1995 PP No. 8/1995 – percobaan desentralisasi untuk 26

kabupaten selama dua tahun. PP No. 8/1995 mengalihkan sebagian wewenang atas hutan kepada 26 kabupaten percobaan.

1995 SK Menteri mengenai Hutan

Kemasyarakatan (SK 662)

1998 PP No. 62/1998, pengalihan sebagian

wewenang di sektor kehutanan (rehabilitasi, hutan kemasyarakatan, pemeliharaan lebah madu, peternakan ulat sutera) kepada Tingkat II.

1998 Revisi Keputusan tentang Hutan

Kemasyarakatan

1999 PP No. 6/1999 yang memberikan hak

bagi kabupaten untuk menerbitkan izin pembalakan skala kecil (100 hektar) dan kepada provinsi (10 000 hektar).

1999 UU 41/1999 tentang Kehutanan

1999 UU No. 22/1999, tentang pemerintahan daerah, yang menetapkan kerangka kerja bagi desentralisasi secara umum

2000 Tap MPR III tentang Hirarki Perundangan;

Keputusan Menteri tidak termasuk dalam hirarki. Perizinan skala kecil ditangguhkan dengan SK 084/2000, tetapi daerah mengabaikan keputusan menteri dan terus mengeluarkan izin pembalakan skala kecil.

2001 Revisi kedua Keputusan Menteri tentang

Hutan Kemasyarakatan

Tap MPR IX tentang Reformasi Agraria

2002 PP No. 34/2002 tentang Pemanfaatan

dan Pengelolaan Hutan menggantikan PP 6/1999

2004 Revisi Undang-undang Desentralisasi (UU No. 32/2004)

2007 PP No. 6/2007 revisi PP No. 34/2002

Sumber: Dari seluruh sumber yang dikutip dalam buku ini

UU tahun 1903 diamandemen pada tahun 1922 untuk membentuk provinsi dan dewan provinsi baru. Amandemen ini mengalihkan otonomi dari karesidenan kepada provinsi (Suharyo, 2000). Namun dewan tetap sebagai badan penasehat, dipimpin oleh pejabat pemerintah (Pide, 1999).

Indonesia memproklamasikan kemerdekaan di tahun 1945 dan menjadi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Ada delapan provinsi otonom, masing-masing terdiri dari beberapa karesidenan. Dengan UU No. 1 tahun 1945, otonomi daerah, yang dipahami sebagai berdasarkan kedaulatan rakyat dan kebebasan untuk menentukan pemerintahan sendiri, diberlakukan di tingkat provinsi dan karesidenan, dengan titik berat pada tingkat karesidenan.

Hak menentukan pemerintahan sendiri di bawah otonomi daerah telah diperdebatkan sejak awal (Rinakit, 2002; Mokhsen, 2003). Pemerintah Indonesia beberapa kali mengubah derajat otonomi dalam otonomi daerah, setiap kali juga mengubah tingkat akuntabilitas (Suharyo, 2000). Baik UU No.1/1945 dan UU No.22/1948 yang merupakan undang-undang pokok pemerintahan daerah, dirancang untuk memberi otonomi penuh pada tingkat daerah dan untuk pemerintahan yang lebih demokratis. Sayangnya, undang-undang tersebut yang dimaksudkan untuk melawan rekolonisasi Belanda, hanya dapat diterapkan di Jawa dan Madura, yang saat itu di bawah kekuasaan langsung pemerintah republik (Matsui, 2003).

Belanda mencoba mengambil kembali penguasaan atas Indonesia, dan antara 1946 dan 1949 beberapa kali menyerang. Perang itu berakhir pada tahun 1949 dengan pengakuan internasional terhadap Republik Indonesia Serikat. Namun pada tahun 1950, negara muda ini memutuskan kembali kepada republik kesatuan berdasarkan undang-undang dasar (sementara) tahun 1950.

Karena belum ada undang-undang baru tentang pemerintahan daerah, untuk sementara diberlakukan UU Pokok Pemerintahan Daerah-daerah Otonom No.22 tahun 1948. Namun karena dirancang untuk Jawa dan Madura, daerah lain menentang pemaksaan gaya hidup Jawa. Maka UU tahun 1948 ini diganti dengan UU No. 1/1957, yang memberikan ‘otonomi seluas-luasnya’ dalam wewenang yang tidak dimiliki pemerintah pusat. UU ini juga, untuk pertama kalinya, menetapkan bahwa kepala pemerintahan daerah bertanggung jawab kepada dewan perwakilan lokal (Matsui, 2003, hal.7). Hal penting dalam UU ini adalah bahwa otonomi ditetapkan di tingkat provinsi (MacAndrews, 1986), bukan di tingkat kabupaten. Namun berbagai kerusuhan antara tahun 1948 hingga 1962 di Sumatra, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat, telah menggagalkan tujuan menghidupkan kembali otonomi daerah (Brillantes dan Cuachon, 2002).

Sentralisasi

Meskipun sudah menuju desentralisasi sejak dari tahun-tahun awal, penerapannya masih sulit, terutama dalam aspek administrasi dan fiskal. Republik baru ini menghadapi masalah fiskal dan kekurangan sumberdaya manusia, dana, dan pengalaman dalam pemerintahan daerah. Periode tahun 1950 hingga 1957 dicirikan oleh ketidakpuasan, tidak adanya kesepakatan dalam pertumbuhan sosial dan ekonomi, serta pemberontakan di daerah (MacAndrews 1986; Lloyd, 2000). Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa UU No. 1/1957 tentang Pemerintahan Daerah tidak mengurangi ketidakpuasan di daerah. Untuk itu, pada tahun 1959 Presiden Soekarno menetapkan Indonesia kembali kepada UUD 1945 (Matsui, 2003), dan menghapuskan otonomi daerah.

Meskipun UUD 1945 menetapkan adanya otonomi dalam Pasal 18, ketidak-jelasan definisi otonomi dan desakan untuk mempertahankan negara kesatuan menyebabkan Soekarno mengadopsi kekuasaan sentralistik yang mirip dengan periode kolonial. Mulailah era ‘demokrasi terpimpin’ dengan kekuasaan Presiden yang luas. Pada periode ini, yang berlangsung hingga 1965, terbentuklah pemerintah pusat yang kuat dan efektif menguasai daerah dan mematahkan berbagai pemberontakan. Dalam periode ini juga tentara tumbuh menjadi kekuatan di belakang pemerintah (MacAndrews, 1986) dan terbentuklah dua peran pejabat daerah, yaitu sebagai pimpinan daerah otonom dan wakil pemerintah pusat di daerah (de-konsentrasi).

Dasar hukum sistem sentralistik tersebut adalah UU No. 18/1965, tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang menempatkan administrasi daerah sejalan dengan

sentralisasi kekuasaan administratif (Matsui, 2003). Dasar ini diwarisi oleh pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto yang mengambil alih kekuasaan pada tahun 1965. Pemerintahan baru ini menghadapi tiga tantangan, yaitu: penegakan kekuasaan, pemulihan stabilitas ekonomi, dan pembangunan legitimasi pemerintahan itu sendiri (MacAndrews, 1986). Untuk menetapkan stabilitas politik agar bisa memperlancar masuknya modal asing terutama untuk eksploitasi sumberdaya alam, Orde Baru melanjutkan sistem sentralistik dari periode sebelumnya. Meskipun demikian pada awalnya Soeharto mencoba mengembalikan ‘otonomi seluas-luasnya’ kepada pemerintah daerah. Namun dalam prosesnya terjadi pergeseran makna, dan istilah yang dipakai kemudian menjadi ‘otonomi yang nyata dan bertanggung jawab’.

Otonomi yang nyata dan bertanggung jawab menjadi dasar UU No. 5/1974, yang membentuk sistem menyeluruh hubungan pemerintah pusat dan provinsi dan sistem pemerintah daerah (MacAndrews, 1986), serta menekankan mobilisasi daerah dalam upaya pembangunan nasional (Lloyd, 2000). Terlepas dari rumusannya, undang-undang ini melambangkan sentralistiknya pemerintahan Soeharto. Tujuan utamanya adalah mendorong stabilitas nasional dan pada intinya, mewajibkan otonomi daerah tunduk pada pemerintah pusat (Lloyd, 2000).

Undang-undang No. 5/1974 juga memperkuat struktur hirarki pemerintah yang diperkenalkan dalam UU No. 18/1965 sebelumnya, dengan menggunakan istilah Daerah Tingkat I (provinsi) dan Daerah Tingkat II (kabupaten atau kota). UU tahun 1974 hanya memecah tugas administratif hingga ke tingkat kabupaten, namun tanpa memberikan kewenangan.

UU No. 5/1974 diikuti oleh UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa yang demi pertimbangan efisiensi, menyeragamkan struktur politik lokal di seluruh Indonesia, dan menerapkan struktur administrasi desa menggantikan struktur tradisional atau adat, walau sebenarnya keduanya seringkali berfungsi bersama-sama. Secara harfiah, UU ini membolehkan otonomi desa dan mendorong partisipasi publik, namun sebenarnya menciptakan sistem yang memastikan kekuasaan pemerintah pusat hingga ke tingkat desa (Matsui, 2003) dengan proses pengambilan keputusan atasan-bawahan yang kaku. Pada saat yang sama, militer membentuk sistem paralel untuk memastikan kehadirannya dari pusat hingga desa (Rinakit, 2002; Matsui, 2003).

Struktur hirarkis yang sentralistis ini terutama merupakan reaksi terhadap pemberontakan di daerah dan ketakutan akan adanya disintegrasi nasional. Soeharto menggunakan ancaman komunisme untuk memperkuat kekuasaannya. Makna ‘persatuan’ di dalam Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan sebagai ‘keseragaman’. Peraturan dan perundangan dikembangkan di tingkat nasional tanpa konsultasi daerah dan secara seragam diterapkan di seluruh negara yang memiliki lebih dari 600 kelompok etnis. Di akhir 1985, rejim Soeharto berhasil menekan seluruh perbedaan politik dan sosial, dan seluruh warga negara diwajibkan mengakui Pancasila sebagai satu-satunya prinsip hidup warga negara Indonesia. Dan sempurnalah sentralisasi (Matsui, 2003).

Di masa ini, undang-undang nasional memperkuat posisi pemerintah sebagai penguasa tertinggi atas sumberdaya alam, termasuk lahan dan hutan. Sejak tahun 1960-an, hutan dan lahan hutan tidak hanya memberikan penghasilan bagi negara, tetapi juga merupakan sumberdaya dukungan politik dan cadangan lahan dan sumberdaya bagi pulau Jawa yang sangat padat penduduknya, serta menjadi sarana pengintegrasian daerah-daerah terpencil dalam negeri ini (Barber, 1990, 1997). Sebelumnya, di awal tahun 1957, sebagian urusan kehutanan diserahkan pada provinsi. Provinsi berhak mengeluarkan surat izin untuk

wilayah 10.000ha, sementara kabupaten atau kota berhak memberikan izin seluas 5.000ha (Simon, 2000).

Menyadari pentingnya sumberdaya hutan sebagai ‘sarana penting bagi program pembangunan ekonomi, politik, serta transformasi sosial dan ideologis Orde Baru’ (Barber, 1990, 1997), pemerintah menerbitkan UU Pokok-pokok Kehutanan pada tahun 1967. UU ini memperkuat pasal 33 UUD 45, yang menyatakan bahwa negara menguasai seluruh sumberdaya – dalam hal ini hutan dan lahan hutan. Pada tahun 1970, salah satu peraturan pelaksanaan pertama diterbitkan untuk mengatur hak eksploitasi hutan, dengan demikian

menghapus hak provinsi untuk menerbitkan izin.2 Peraturan tahun 1970 tersebut secara

eksplisit juga menghapus hak masyarakat adat dan lokal (Pasal 6) (Simon, 2000). Hak pengusahaan hutan kemudian diberikan kepada anggota militer dan sekelompok pengusaha terpilih sebagai imbalan atas dukungan politik mereka. Maka terbangunlah jejaring kroni setia yang mengkonsolidasikan kekuasaan rejim Soeharto. Seperti umumnya kerajaan di Jawa dahulu, kekuasaan pusat bertumpu pada jejaring patron-klien (McCarthy, 2000a; Obidzinski, 2004).

Penetapan lahan hutan secara umum mengikuti batas yang ditetapkan oleh Belanda. Selama tahun 1980-an, pemerintah memulai proses revisi batas hutan dengan menetapkan wilayah yang sangat luas di pulau-pulau luar Jawa sebagai lahan hutan Negara, mengabaikan dan menghapus hak sekitar 65 juta orang yang hidup di sana (Fay dan Sirait, 2002).

Pengelolaan hutan dan lahan hutan tersebut dipercayakan kepada Direktorat Jenderal Kehutanan dalam Departemen Pertanian, yang kemudian menjadi Departemen Kehutanan pada tahun 1985. Hak pengelolaan hutan kemudian juga diberikan kepada perusahaan milik negara (Perhutani untuk hutan di Jawa dan Inhutani untuk hutan di luar Jawa) yang didirikan tahun 1973.

Struktur dinas kehutanan terbentuk bersamaan dengan pemerintahan yang kian sentralistik. Sejalan dengan konsep dekonsentrasi menurut UU No. 5/1974, Departemen Kehutanan beroperasi di tingkat provinsi melalui Kantor Wilayah, yang bertanggung-jawab kepada Departemen Kehutanan. Kantor Wilayah juga melakukan pengawasan terhadap Dinas Kehutanan Provinsi, yang bertanggungjawab kepada Departemen Dalam Negeri melalui gubernur. Struktur hirarkis yang kaku (lihat Gambar 1.1) mencapai tingkat kabupaten melalui cabang-cabang dinas provinsi dan unit pelaksana Kantor Wilayah dan memungkinkan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan eksploitasi hutan dibuat di pusat.

Untuk mendorong investasi modal untuk program pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, pemerintah pusat memfasilitasi pemanfaatan lahan bagi kegiatan industri, yang sering menggunakan kekuatan dan intimidasi terhadap pemilik lahan setempat yang beroposisi (Konsorsium Pembaruan Agraria, 1997).

Bangkitnya oposisi

Pada tahun-tahun terakhir Orde Baru, masyarakat makin merasa tidak puas, tidak hanya terhadap kuatnya kendali hegemoni pusat, tetapi juga terhadap kroniisme, besarnya keuntungan yang dihasilkannya bagi lingkaran dalam Soeharto, kurangnya manfaat bagi masyarakat miskin, dan meluasnya masalah lingkungan yang ditimbulkannya. Provinsi mulai merasakan hilangnya penghasilan yang harus dibayarkan ke pusat. Timbullah gerakan reformasi lingkungan dan agraria, didukung oleh organisasi non pemerintah (ornop), buruh, masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan, dan para intelektual (Konsorsium Pembaruan Agraria, 1997). Selama tahun 1990-an, gerakan tersebut semakin terorganisasi

dan menentang pemerintah melalui kampanye dan protes yang mulai mempengaruhi iklim kebijakan dan pelaksanaannya (Wrangham, 2002). Pada tahun 1994, sejumlah ornop di bidang lingkungan yang diwakili oleh Lembaga Bantuan Hukum dan terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN), Pelangi, dan Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) bahkan menuntut Soeharto secara hukum atas penyalahgunaan Dana Reboisasi. Kelompok ini kalah karena salah prosedur dan langsung masuk ke dalam daftar hitam pemerintah, sehingga kelompok tersebut tidak dapat menerima dana dari luar negeri; namun mereka tetap beroperasi seperti sebelumnya. Tantangan yang berkembang karena pergerakan sosial ini, disertai menurunnya pendapatan dari industri kayu, menengarai awal berubahnya sikap pemerintah pusat dalam hal pembagian tanggung jawab atas pengelolaan hutan.

Bersama dengan melemahnya pemerintah pusat dan menguatnya gerakan sosial, krisis ekonomi di Asia tahun 1997 memicu periode reformasi yang kacau. Pemilihan umum di tahun 1998 yang memilih kembali Soeharto diikuti dengan pergolakan sosial berskala besar dan terangkatnya masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merupakan penyakit pemerintah Indonesia sejak awal. Ketidakstabilan umum dan protes yang disertai kekerasan dan demonstrasi menyulut tumbangnya Orde Baru pada bulan Mei 1998.

PRESIDEN

Departemen Kehutanan Departemen Dalam Negeri

Gubernur Kalimantan Timur

Kantor Wilayah Kehutanan Dinas Kehutanan Provinsi

Bupati Bulungan

Cabang Dinas Kehutanan (di Tarakan) Dinas Kehutanan Kabupaten

Nasional Provinsi Kabupaten Catatan = garis komando = garis koordinasi Sumber: Wollenberg dkk. (2006)

Selama tiga tahun berikutnya, kelembagaan pemerintah pusat terus melemah dan terpecah-pecah. Pada tahun 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan ketetapan (TAP MPR XV, 1998), yang menetapkan perlunya ada otonomi daerah (Zakaria dan Fauzi, 2000). Pemerintah kemudian menerbitkan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan otonomi ditetapkan di tingkat kabupaten dan kota. Dalam tiga tahun tersebut, Indonesia memiliki tiga presiden, dua masa jabatan yang singkat Presiden Habibie dan Abdurachman Wahid (Gus Dur) diikuti oleh pemerintahan Megawati Sukarnoputri yang tidak efektif. Undang-undang desentralisasi yang diterbitkan Habibie dilaksanakan oleh pemerintah yang tidak memiliki keinginan untuk otonomi penuh seperti yang diwajibkan oleh undang-undang.

Maka mulailah tarik menarik antara daerah dan pusat, ketika masyarakat lokal dan kabupaten memasuki ruang politik yang dimungkinkan oleh melemahnya pusat (Rhee, 2000).

Di tingkat lokal, reformasi melepaskan amarah masyarakat yang mengalami tekanan selama hampir 30 tahun. Masyarakat merusak simbol penjajahan oleh pusat dan eksploitasi kapitalis, seperti hutan negara, perkebunan pribadi, konsesi hutan, dan bangunan pemerintah (Simarmata dan Masiun, 2002). Dalam periode reformasi 1999 ini pula masyarakat adat memobilisasi diri dan terbentuklah aliansi kelompok adat – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) (Down to Earth, 1999).

Meningkatnya ruang bagi masyarakat

Meskipun era pasca-Soeharto yang memicu proses reformasi, hal itu sudah bermula dari tahun-tahun sebelumnya. Berakhirnya Perang Dingin di akhir 1980-an telah menyisihkan komunisme sebagai musuh bersama, dan fragmentasi politik kembali mengancam. Selama tahun 1990-an, tuntutan keterbukaan politik dan deregulasi ekonomi dari dalam dan luar negeri semakin kuat, didukung oleh semakin banyaknya peluang penyebaran informasi.

Maka pada tahun 1995, diluncurkanlah percobaan otonomi daerah. Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 8/1995 menetapkan satu kabupaten atau kota di 26 provinsi sebagai daerah proyek rintisan dua tahun (Suharyo, 2000; Matsui, 2003) untuk mendesentralisasi 19 fungsi pemerintahan (Suharyo, 2000), termasuk kehutanan. Proyek ini sebagian besar mengalihkan kekuasaan dari tingkat provinsi ke tingkat kabupaten. Tidak banyak wewenang yang dialihkan oleh pemerintah pusat. Akibatnya, percobaan ini melemahkan kekuasaan provinsi dan memperkuat hubungan pemerintah pusat dengan kabupaten. Sejumlah pihak meyakini bahwa percobaan ini justru berfungsi untuk memperkuat kekuasaan pusat (Matsui, 2003).

Perubahan kebijakan yang terkait dengan partisipasi publik dalam wacana resmi meningkat. Pada pertengahan tahun 1980-an, badan perencana daerah melaksanakan perencanaan ‘dari-bawah-ke-atas‘. Pemerintah kemudian memperkenalkan proses perencanaan nasional yang baru, yang dikenal sebagai P5D (Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah). Perencanaan pembangunan dimulai dari tingkat desa melalui pertemuan desa (Musyawarah Pembangunan Desa). Rencana desa dibahas di tingkat kecamatan dan kabupaten. Persetujuan anggaran dan dana tergantung dari kesesuaian rencana kabupaten dan provinsi. Meski sesungguhnya kurang ada partisipasi, kebijakan ini menetapkan kerangka kerja yang memungkinkan proses perencanaan yang lebih inklusif dan dengan informasi yang lebih baik.

Antara akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an, sektor kehutanan menjadi lebih terbuka terhadap tuntutan lokal, ditandai dengan diwajibkannya pemegang konsesi

untuk melaksanakan program pembangunan desa (Wrangham, 2002) dan meningkatnya perhatian pada pengelolaan hutan masyarakat. Departemen Kehutanan mengembangkan program hutan masyarakat pada tahun 1995 (SK Menteri No. 662); tetapi kemudian diamandemen dan diganti pada tahun 1998 dan 2001 yang berturut-turut mengurangi hak masyarakat. Partisipasi dibatasi pada kegiatan rehabilitasi hutan, penanaman kembali, dan pengumpulan hasil hutan non-kayu, sementara wewenang pengambilan keputusan tetap pada Departemen Kehutanan. Pada saat bersamaan, dari pengalaman agroforestri damar (Shorea javanica) di Krui, Sumatra dan pembahasan di tahun 1995, Departemen Kehutanan menerbitkan SK No. 47 tentang Wilayah Peruntukan Khusus, yang untuk pertama kalinya mengakui hak pengelolaan oleh masyarakat secara hukum.

Pada pertengahan 1990-an, partisipasi publik menjadi bagian dari beberapa undang-undang lain (a.l. UU Tata Ruang No. 24 tahun 1992 dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23 tahun 1997), yang secara eksplisit menyatakan perlunya partisipasi publik.

Pada tahun 1998, Departemen Kehutanan mulai melaksanakan desentralisasi dengan mengalihkan sejumlah wewenang kepada kabupaten (Peraturan Pemerintah No. 62/1998). Meskipun dinilai lebih meningkatkan pengeluaran daripada pendapatan (Syaukani, 2001), pengalihan wewenang itu meliputi rehabilitasi dan reforestasi, konservasi tanah dan air, pengelolaan hutan lindung, penyuluhan, serta kegiatan kehutanan skala kecil masyarakat: budi-daya lebah madu dan ulat sutra. Namun pada tahun 1999 pemerintah juga mendesentralisasikan perizinan pengambilan kayu kepada provinsi untuk luasan kurang dari 10.000ha dan kepada kabupaten untuk wilayah maksimum 100ha dengan masa berlaku satu tahun (PP No. 6/1999). Sayangnya, izin-izin baru ini hanya dinikmati oleh para pebisnis dan elit lokal, dan berakibat pada pembalakan besar-besaran (lihat Bagian II buku ini). SK Menteri itu ditangguhkan pada tahun 2000, namun saat itu kabupaten telah merasakan manfaat dari eksploitasi hutan dan sudah siap meraih otonomi, sehingga mengabaikan SK Menteri tersebut. Hal ini dimungkinkan karena SK Menteri telah kehilangan pengaruh di era pasca-Soeharto, oleh Tap MPR III, 2000 yang menyatakan bahwa Surat Keputusan Menteri bukan bagian dari hirarki hukum. PP No. 6/1999 itu sendiri dibatalkan dengan dikeluarkannya PP 34/2002 beberapa tahun kemudian.

Pada tahun 1999, Undang-undang Kehutanan No. 41 yang sudah lama dirancang dan dibahas, akhirnya diterbitkan. Undang-undang ini memungkinkan pelibatan pelaku baru di luar aparat kehutanan pemerintah, termasuk masyarakat adat (Lindayati, 2002; Wollenberg dan Kartodihardjo, 2002), serta partisipasi publik dan hak masyarakat secara