• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keuntungan jangka pendek versus kepentingan jangka panjang Masa-masa pemberian izin IPPK merupakan masa perubahan cepat dan penuh ketidakpastian. Kabupaten Malinau baru saja dibentuk, otonomi daerah harus dilaksanakan, wewenang kebijakan kehutanan diperdebatkan dan pandangan pemerintah atas masalah-masalah seperti hak milik, adat, dan keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan hutan tidak jelas. Situasi tidak menentu ini tidak memberi dorongan bagi desa-desa, terutama kepala desa, untuk memikirkan kepentingan jangka panjang. Misalnya, tidak jelas apakah pemerintah kabupaten akan mengakui hak milik desa berdasarkan klaim adat. Sebaliknya, dalam hal mengendalikan dan mengalokasikan sumberdaya alam pemerintah kabupaten mungkin mengikuti sistem sentralisasi yang serupa dengan era Orde Baru. Faktor lainnya adalah bahwa perusahaan menekan warga desa agar segera mencapai persetujuan. Dalam banyak kasus, terbukti keuntungan jangka pendek lebih penting daripada kepentingan jangka panjang (lihat Bab 9 untuk kasus khusus).

Cara perjanjian dilihat

Warga desa sadar bahwa perjanjian tertulis dengan perusahaan sangat diperlukan. Tetapi karena kurang pengalaman dan mungkin terlalu percaya kepada perusahaan (karena hubungan dengan para makelar sebelumnya dan kuatnya pengaruh jaringan), perjanjian yang dibuat tidak jelas atau ambigu. Misalnya, tidak ditentukan ukuran bangunan atau lokasi yang akan diratakan, jadwal atau ketentuan pembayaran. Berbagai perusahaan

menyarankan agar perjanjian disahkan dengan akta notaris, seolah-olah memberi landasan hukum yang kuat. Tetapi, warga desa tidak pernah ditanyai tahu/tidaknya menggunakan akta notaris untuk mengambil tindakan hukum jika perlu. Akhirnya, akta notaris tidak pernah digunakan untuk mengambil langkah hukum terhadap perusahaan meskipun ternyata ada janji-janji yang tidak dipenuhi.

Ketidakjelasan dalam perjanjian tertulis memberi banyak peluang bagi perusahaan untuk mengartikan perjanjian yang menguntungkan mereka. Misalnya, masyarakat menerima pembayaran sebelum perusahaan memulai pembalakan. Pada saat uang itu diserahkan, uang itu dinyatakan sebagai tambahan. Tetapi jumlah uang tersebut kemudian dipotong dari pembayaran pertama. Tidak secara jelas ditentukan jadwal pembayaran, sehingga sering terjadi penundaan pembayaran fee.

Kurangnya transparansi

Selama IPPK beroperasi, warga desa kesulitan memperoleh informasi tentang apa yang sedang terjadi. Para makelar dan perusahaan bergegas memanfaatkan peluang yang tercipta oleh desentralisasi sedangkan di tingkat masyarakat, warga dan lembaga tidak siap menghadapi cepatnya perubahan. Peran kepala desa menjadi sangat penting karena perusahaan lebih suka berhubungan dengan satu wakil saja. Mereka tidak tertarik pada mekanisme pertanggung jawaban di tingkat desa. Dapat dibayangkan betapa besarnya godaan korupsi/kolusi bagi para kepala desa. Selama negosiasi tahap awal, muncul banyak peluang untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan kemungkinan terbongkar sangat kecil akibat kurangnya mekanisme pengawasan.

Transparansi juga sangat diperlukan selama pembalakan. Pada beberapa kasus, perusahaan menyetujui pengawasan masyarakat terhadap produksi kayu. Namun pada praktiknya perusahaan berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah setiap perjalanan ke kawasan pembalakan. Hal ini menyebabkan ketidak jelasan data produksi. Rendahnya keandalan data angka produksi meningkatkan kecurigaan terhadap kepala desa yang menerima pembayaran fee. Warga desa tidak bisa memeriksa apakah kepala desa mengurangi pembayaran atau tidak. Inspeksi independen ke kawasan pembalakan yang dilakukan warga desa membuat mereka tahu kondisi yang sebenarnya. Namun karena merupakan prakarsa pribadi, hanya sedikit tindakan kolektif yang diambil meskipun dilaporkan ada pelanggaran.

Dukungan bagi masyarakat

Selama masa perubahan cepat ini, warga desa hanya punya peluang kecil untuk mencari informasi atau dukungan untuk mempertimbangkan opsi-opsi ekonomi atau membuat kontrak dengan perusahaan kayu. Nyaris tidak ada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) aktif di Kabupaten Malinau. Bahkan ada LSM yang dituduh menjadi makelar untuk sebuah perusahaan kayu. Selama tahap awal ini, kapasitas pemerintah kabupaten terbatas dan seringkali hanya melakukan sekali kunjungan singkat ke masyarakat untuk mendampingi makelar atau staf perusahaan, sehingga warga desa tidak punya banyak pilihan mencari bantuan saat diperlukan. Dalam satu kasus, ketika sebuah desa tidak menerima keuntungan apa pun dari IPPK, sebuah desa tetangga mendukung mereka dan akhirnya fee IPPK dibayarkan. Perusahaan biasanya memberi batas waktu pada beberapa desa untuk mencapai kesepakatan, sehingga mengurangi kesempatan bagi desa untuk

berkonsultasi dengan pihak lain tentang hal-hal penting, seperti pembagian pembayaran, luasan dan lokasi kawasan.

Pemberdayaan masyarakat

Pada awalnya, warga desa merasa peran mereka dalam IPPK sangat penting. Baru kali ini pengusaha harus menghubungi mereka dan bahwa mereka dapat melakukan penawaran secara langsung. Surat perjanjian antara masyarakat dengan perusahaan tampak sangat penting dalam prosedur perizinan. Adanya peluang bahwa anggota masyarakat bisa mengawasi operasi pembalakan semakin membuat mereka merasa diberdayakan. Namun setelah euforia awal ini, warga desa segera menyadari kecilnya peran mereka sebenarnya, dan sulitnya melaksanakan sendiri peran mereka.

Beberapa penduduk setempat bekerja untuk mengawasi operasi IPPK, seperti mengawasi ukuran pohon yang ditebang dan mengukur total volume yang ditebang. Tetapi pada beberapa kasus, perusahaan membayar anggota masyarakat yang ditugasi memeriksa operasi pembalakan dan mencegah agar mereka tidak mengunjungi kawasan tebangan. Bahkan di Tanjung Nanga, meskipun masyarakat menggaji sendiri pengawas operasi pembalakan, perusahaan berusaha mencegah atau menghalangi agar mereka tidak melaksanakan tugas. Di sisi lain, warga desa yang memasuki kawasan tebangan untuk berburu atau mengumpulkan hasil hutan, juga mengawasi operasi pembalakan yang sebenarnya. Tetapi tidak ada kasus di mana laporan dari pengawasan informal ini mengakibatkan tindakan terhadap perusahaan kayu jika diketahui adanya pelanggaran.

Ketika menyadari kecilnya kendali yang dimiliki, warga desa berupaya untuk memperoleh sebanyak mungkin keuntungan nyata. Sasaran utama mereka adalah menuntut pembayaran tunai. Meski hanya mempunyai sedikit sarana untuk mengendalikan operasi pembalakan, namun desa mempunyai satu alat yang kuat untuk memaksa perusahaan: menghentikan operasi pembalakan dengan memblokade jalan atau menyita alat-alat berat. Beberapa desa telah berusaha menegakkan perjanjian dengan negosiasi atau surat menyurat, tetapi kurang berhasil. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, mereka kemudian mengandalkan demonstrasi.

Proses pembelajaran

Pengalaman di Daerah Aliran Sungai Malinau menunjukkan bahwa desa-desa cepat belajar dari pengalaman desa tetangga. Seperti telah disebutkan, tuntutan fee per meter kubik berangsur-angsur naik. Proses negosiasi juga menjadi lebih canggih, termasuk diadakannya pertemuan desa untuk membahas penawaran dari perusahaan dalam prosedur negosiasi dan selalu ada daftar warga desa yang menghadiri pertemuan untuk menunjukkan luasnya dukungan atas kesepakatan dan lebih terincinya pengaturan yang disepakati. Dengan cepat desa-desa menyesuaikan teknik-teknik negosiasi dengan perusahaan. Awalnya, mereka berusaha menegakkan perjanjian melalui dialog antara para kepala desa dengan wakil perusahaan atau mengirim surat dengan salinan yang dikirim ke pemerintah kabupaten. Karena cara-cara ini kurang membuahkan hasil, desa-desa melakukan atau mengancam akan memblokade jalan untuk memastikan perusahaan segera memberi respon, yang biasa terlaksana.