• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rabu, 30 Maret 2011 | 03:44 WIB

Jambi, Kompas- Gubernur Jambi Hasan Basri Agus menyatakan akan mencabut izin usaha penimbunan batu bara dalam zona inti situs purbakala Muaro Jambi di Kabupaten Muaro Jambi. Hal itu dilakukan apabila pihaknya memastikan bahwa aktivitas tersebut telah merusak situs.

”Kami akan lihat seberapa jauh limbah perusahaan ini telah merusak situs,” ujar Hasan Basri Agus, di Jambi, Selasa (29/3).

Menurut Hasan, pemberian izin industri dalam kawasan cagar budaya harus ketat, tidak boleh ada aktivitas industri yang bersifat mencemari atau merusak situs. Adapun perusahaan yang telah lama beroperasi di sana wajib mengamankan candi ataupun menapo (tumpukan bata berstruktur candi) di wilayah perusahaan tersebut beroperasi.

Seperti diberitakan sebelumnya, penimbunan batu bara oleh PT Bina Borneo Inti, PT Tegas Guna Mandiri (TGM), serta pabrik pengolahan sawit PT Sinar Alam Permai, berada dalam zona inti Situs Muaro Jambi yang ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya. Terdapat sejumlah candi dan menapo di sana, antara lain Menapo Pelayangan I dan II, Menapo China, serta banyak keramik dan guci dari China.

Saat ini, Menapo China di kawasan operasional PT TGM di Desa Kemingking, Kecamatan Taman Rajo, terancam limbah cair berwarna hitam pekat dari penimbunan batu bara, yang berjarak hanya 30 meter. Limbah batu bara bercampur dengan genangan air hujan di kanal yang mengelilingi menapo akan mempercepat pengeroposan bata-bata kuno di menapo tersebut.

Hasan mengaku belum mengetahui kondisi tersebut. Oleh karena itu, dia akan mengecek kawasan tersebut untuk mengetahui bagaimana pencemaran itu terjadi.

Belum tahu

Ketua Asosiasi Pengusaha Batu Bara Provinsi Jambi Daniel Chandra mengatakan akan menegur pengusaha yang aktivitas industrinya merusak Situs Muaro Jambi. Daniel mengakui selama ini mungkin banyak pengusaha belum mengetahui bahwa dalam kawasan tersebut terdapat temuan purbakala. Oleh karena itu, pihaknya akan segera bertemu dengan instansi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi untuk mengetahui titik-titik candi dan menapo.

”Kalau para pengusaha sudah mengetahui di mana saja posisi candi dan menapo, mereka wajib mengamankannya,” ujar Daniel.

Situs Muaro Jambi seluas 2.612 hektar terletak di Kabupaten Muaro Jambi. Situs ini merupakan pusat pendidikan dan permukiman biarawan Buddha yang telah mendunia sejak abad VII hingga XIV.

Atas kemasyhuran sejarahnya, Pemerintah Indonesia mengajukan Situs Muaro Jambi sebagai warisan budaya dunia kepada UNESCO. Situs ini telah masuk daftar tentatif warisan budaya dunia pada urutan ke 5.465 pada tahun lalu.

Meskipun berada di urutan bawah, bukan tidak mungkin urutan untuk Situs Muaro Jambi dapat cepat naik apabila didukung dan dirawat oleh seluruh pihak di sekitar situs ini berada. (ITA)

Lampiran 6

Foto-Foto Candi di Situs Kemingking

Candi-candi yang terdapat di situs Kemingking bernama Candi Teluk I dan Candi Teluk II. Candi Teluk I secara astronomis terletak 102° 22’45”BT dan 01°24’33”LS. Keberadaan Candi Teluk ditemukan secara kebetulan pada tahun 1980, ketika sebuah buldoser yang sedang meratakan tanah untuk persiapan pabrik, menabrak sisa bangunan kuno. Segera setelah itu, tim dari Ditlinbinjarah dan Puslitarkenas Jakarta mengadakan survei sekaligus melakukan ekskavasi untuk memperoleh keyakinan bahwa yang ditabrak itu merupakan bagian dari bangunan kuno (Candi Teluk I) dan daerah tersebut ditetapkan sebagai situs purbakala. Saat ditemukan, candi ini berbentuk menapo (reruntuhan bangunan kuno), berupa gundukan tanah yang memiliki struktur bata kuno di dalamnya, yang sengaja dibentuk pada masa lalu, salah satunya dahulu dipakai sebagai lokasi pemukiman.

Candi Teluk I terletak di pinggiran bagian selatan Sungai Batanghari, tepatnya Sungai Kemingking. Ada empat buah gundukan tanah yang di identifikasi sebagai candi induk, berdenah empat persegi dengan ukuran 20 x 20 m menghadap timur laut, candi perwara berdenah segi empat dengan ukuran 11 x 20 m, terletak di sebelah timur laut candi induk, gapura berdenah segi delapan ukuran 11 x 5 m yang terletak di sebelah timur laut candi induk. Pagar keliling berdenah bujursangkar dan berukuran 50 x 50 m.

Candi Teluk II ditemukan bersamaan dengan Candi Teluk I, ketika secara kebetulan pada tahun 1980, sebuah buldoser yang sedang meratakan tanah untuk persiapan pembangunan pabrik menabrak sisa bangunan kuno. Lokasi candi ini terletak di sebelah selatan Candi Teluk I, sekitar 350 m. Candi ini berdenah bujursangkar dengan ukuran 12 x 12 m. Lokasi candi berada di lahan terbuka yang digunakan sebagai lokasi pembakaran kayu potongan limbah pabrik.

Lampiran 7

Wawancara Elva Yusanti dengan Meiliana K. Tansri

Apa yang mendorong Anda untuk menjadi seorang penulis?

Pada dasarnya karena hobi. Dalam perkembangannya, banyak gejala masyarakat juga mengilhami saya untuk menulis.

Mengapa Anda lebih tertarik menulis novel daripada cerpen?

Menurut saya, menulis naskah panjang lebih mudah, karena ada 'ruang' untuk memutar jalan cerita secara lebih luwes. Untuk cerpen, dituntut plot yang pendek dan tajam, saya merasa kurang leluasa, mungkin karena tidak terbiasa.

Ketika menciptakan sebuah novel, apakah Anda turut mempertimbangkan pembaca? Artinya, Anda juga membayangkan reaksi pembaca saat membaca novel Anda?

Tentu saja. Bukankah hasil dari sebuah karya sastra seharusnya reaksi pembaca yang menandakan adanya rasa tergugah?

Anda termasuk seorang novelis yang produktif karena telah menerbitkan tujuh buah novel dalam kurun waktu antara tahun 2002—2010, padahal Anda seorang ibu rumah tangga. Bagaimana cara Anda membagi waktu antara mengurus rumah tangga dan menulis novel?

Produktif? Sepertinya jumlah itu belum tepat untuk menilainya. Kebanyakan naskah, saya sudah tulis lama sebelumnya, misal, Konser, mulai ditulis tahun 1996, terhenti karena kurang ide, sebelum saya perbaiki dan kembangkan menjadi novel yang terbit tahun 2009. Trilogi Darah Emas sendiri berasal dari beberapa ide berbeda yang saya dapat antara tahun 1995-2003, yang terus ada di ingatan atau ditulis sebagian. Untuk membagi waktu, memang sering sulit. Tapi kalau memang namanya hobi, tentu selalu ada jalan 'kan? Curi-curi waktu kalau anak-anak sudah tidur, misalnya. Saya tidak selalu

duduk di depan komputer. Lebih banyak 'mengarang' dalam kepala dulu sebelum menuliskannya di kertas (manuskrip) untuk diketik kalau ada waktu senggang.

Bagaimana Anda memperoleh inspirasi dalam menulis sebuah novel?

Masyarakat lingkungan sekitar adalah sumber ilham saya. Cerita-cerita tentang kehidupan orang-orang yang saya jumpai, isu hangat di masyarakat, semua bisa jadi inspirasi untuk ide cerita.

Apakah ada tokoh atau buku yang menginspirasi Anda dalam menciptakan novel? Walaupun barangkali terdengar agak arogan, dalam menulis saya tidak terinspirasi oleh orang lain atau buku. Tapi saya mengagumi almarhum Mochtar Lubis, dan sangat menyukai karya-karya penulis Oscar Wilde.

Trilogi Darah Emas, menurut saya, berbeda dengan novel-novel bertemakan percintaan yang pernah Anda tulis sebelumnya karena trilogi ini diangkat berdasarkan polemik yang pernah terjadi di Jambi pada tahun 1987. Sebenarnya, apa yang melatarbelakangi penciptaan trilogi novel ini?

Hanya rasa cinta pada kampung halaman, dan keprihatinan karena orang tidak menghargai warisan budaya, semua mabuk gara-gara uang dan kapitalisme.

Bagaimana proses kreatif Anda menulis trilogi ini, apakah perlu membaca sejarah? Perlu. Tapi saya tidak menerapkan semua fakta historis. Ada banyak pembiasan untuk keperluan komersial.

Trilogi ini berlatar belakang sosial budaya masyarakat Tionghoa dan Jambi. Seberapa jauh keterlibatan latar belakang sosiologis Anda dalam proses kreatif trilogi ini? Sangat jauh, karena menulis tentang Cina Jambi dalam cerita ini berarti menggali masa lalu pribadi, mengingat Jambi tempo doeloe melalui cerita orangtua, mempelajari dan mengenal kehidupan sosial-ekonomi Cina Jambi secara mendalam.

Apakah kedua orang tua Anda orang Tionghoa asli?

Ya. Kakek buyut dari pihak ayah merupakan imigran dari Cina daratan.

Apakah Anda menguasai bahasa Tionghoa? Bahasa apa yang Anda gunakan dalam berkomunikasi dengan orang tua dan keluarga Anda?

Menguasai sedikit, tapi bukan bahasa ibu. Kami dibesarkan dengan Bahasa Indonesia, tapi saya bisa berkomunikasi dalam dialek Hokkian dan sedikit Mandarin.

Pernahkah Anda berkunjung ke kampung halaman leluhur Anda? Belum pernah. Tapi ingin, kalau ada kesempatan.

Kota-kota apa saja di Indonesia yang pernah Anda kunjungi?

Palembang, Lampung, Jakarta, Bogor, Sukabumi, Medan, Bengkulu, (masih bisa dihitung dengan jari tangan, ha-ha-ha….).

Apa yang Anda lakukan pada waktu senggang? Membaca buku atau menonton televisi.

Dalam wawancara dengan Tribun Jambi tanggal 31 Mei 2010, Anda mengatakan pernah bekerja di sebuah bank. Bisakah Anda menceritakan tentang pengalaman bekerja tersebut?

Sebenarnya, tiga bank swasta nasional dalam waktu yang berbeda selama 9 tahun, Bank Lippo Cabang Muara Bungo tahun 1993, Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Cabang Jambi tahun 1994-1998, Bank Mega Cabang Gatot Subroto, Jambi tahun 2001-2002. Pengalaman kerja saya tidak ada istimewanya, tapi saya cukup menikmati kesempatan mengepalai Departemen Ekspor-Impor di BDNI.

Apa yang menjadi alasan Anda lebih memilih dunia tulis-menulis daripada bekerja di kantoran?

Saya menulis full-time sebenarnya ‘kecelakaan’ yang berbuah amat manis. Tapi alasan berhenti bekerja selain karena bank-nya ditutup (Lippo dan BDNI), juga karena berkeluarga.

Mengapa Anda memilih judul Darah Emas untuk trilogi novel ini. Apakah judul itu mempunyai keterkaitan dengan masyarakat Tionghoa-Jambi?

Semata-mata ide kreatif. Dalam cerita, mereka yang disebut darah emas tidak hanya etnis Tionghoa. Salah satunya Nyai Sati (Buku 1).

Trilogi ini juga menempatkan Naga sebagai penjaga langit dan bumi. Sejauh mana mitos Naga ini berpengaruh dalam kehidupan etnis Tionghoa?

Naga sangat berpengaruh dalam kehidupan orang Tionghoa. Dalam kepercayaan asli leluhur, liong, naga (huruf kecil) adalah roh yang berkuasa atas air. Naga (huruf besar, nama) dalam cerita ini adalah kiasan.

Sepengetahuan saya, dalam keyakinan etnis Tionghoa, naga digambarkan sebagai makhluk serba bisa dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Akan tetapi, dalam Darah Emas, naga melakukan pembalasan terhadap musuh-musuhnya bukan melalui tangannya sendiri, melainkan melalui keturunan-keturunannya yang berjenis kelamin perempuan. Mengapa demikian?

Secara logis saja, kalau makhluk seperti itu tiba-tiba muncul dan memporak-porandakan Jambi, tentu ceritanya jadi aneh dan sama sekali tidak masuk akal, walaupun mungkin saja berhasil kalau dicoba. Di sini ada semacam pendelegasian, karena kehadiran Naga untuk membereskan segala sesuatu pasti akan merusak keseimbangan alam semesta. Lagipula, kalau langsung-langsung saja, nggak jadi cerita dong!

Bagaimanakah posisi perempuan dalam sosial budaya etnis Tionghoa? Khas masyarakat Timur. Pada dasarnya dianggap warganegara kelas dua, walaupun sekarang sudah banyak yang berubah pendapat. Dulu punya anak perempuan dianggap tidak berguna, tapi sekarang banyak orang sudah mengerti, bahwa justru anak perempuan yang lebih berbakti pada orangtua.

Dalam Mempelai Naga, Anda begitu detail menggambarkan kehidupan etnis Tionghoa yang berprofesi sebagai petani di daerah Kumpeh. Apakah Anda memiliki keterikatan emosional dengan daerah tersebut?

Tidak. Tapi saya selalu senang mendengar cerita-cerita orang tua tentang kehidupan bertani.

Penggunaan nama-nama tokoh beretnis Tionghoa yang memakai abjad ”A” di depannya, misalnya A Lung, A Ming, atau A Hai, apakah berkaitan dengan status sosial?

"A" pada A Lung, A Ming, dan seterusnya, berarti "si" anu. Nama orang Cina terdiri dari 2 atau 3 karakter huruf kanji, huruf pertama marga, huruf kedua pangkat (tidak selalu ada) huruf terakhir nama kecil yang bersangkutan. Misal: Tan Tiauw Lam: marga Tan; pangkat (diambil dari urutan kata dalam sajak kuno leluhur untuk marga bersangkutan, bisa menunjukkan hitungan silsilah) Tiauw; nama kecil Lam, biasa dipanggil A Lam.

Bagaimana pula dengan kata sapaan seperti ”A Hia” dan ”Tua Hia”, apakah berbeda berdasarkan status sosialnya?

"A"-hia: "A" sama dengan pada nama, hia= abang. Tua= besar, sebutan untuk yang dituakan, Tua-hia= biasa untuk menyebut bos/majikan yang dianggap paling tinggi pangkatnya.

Nama-nama tokoh seperti Mnem, Noakh, Akyg, Ruura, dan Yaath-Urig cukup unik dan asing di telinga. Apakah nama-nama tersebut memiliki makna tersendiri?

Tidak. Sekadar nama.

Kepiawaian Anda dalam merangkai bahasa terlihat dalam beberapa gaya bahasa,

seperti simile dan metafora yang Anda ciptakan dalam trilogi ini. Anda tidak

menggunakan gaya bahasa yang umum digunakan orang, tetapi menciptakan sesuatu yang khas dan unik. Contohnya, ”rambutnya yang panjang dan berwarna seperti tembaga bergelombang”;”bulan seperti sepotong kuku keemasan di langit”; ”seperti

stek batang singkong yang ditancapkan ke tanah”; ”seperti nenek baik hati yang membukakan pintu rumahnya”. Bagaimana Anda menciptakan gaya bahasa perbandingan tersebut?

Bisa aja... latihan-latihan-latihan...ha-ha-ha...

Anda juga mahir berbahasa Inggris seperti yang tercermin dalam beberapa dialog antara Rigel dan Reuben Moore. Dari manakah Anda memperoleh pengetahuan berbahasa Inggris?

Dari sekolah dan...latihan-latihan-latihan... (kebetulan dibiasakan keluarga, banyak buku warisan kakek bahasa Inggris).

Saya melihat, ada beberapa kritikan yang Anda sampaikan dalam trilogi ini, misalnya, ”Pejabat berwenang hanya berpikir untuk memihak siapa yang bakal lebih menguntungkan pemerintah daerah –dan dirinya sendiri”; ”PNS Kota yang biasanya berpengetahuan pas-pasan”; ”dikandangkan atas nama pelestarian hanya karena manusia tidak mampu menahan dirinya”. Bagaimana tanggapan Anda?

Memang kritik. Kiranya diterima untuk membangun.

Dalam novel ini Anda berusaha mengangkat kearifan lokal, seperti pelestarian temuan purbakala, pelestarian satwa langka, dan hubungan antaretnis di Jambi. Bagaimana pandangan Anda terhadap kearifan lokal yang ada di Jambi?

Secara alamiah orang Jambi masih sangat sederhana, walaupun cukup banyak yang secara perorangan menonjol di bidang intelektual. Saya sangat menghargai mereka, Anda perhatikan tokoh Kemas Ramli dan Datuk Itam. Untuk kearifan lokal, orang Jambi masih perlu banyak belajar. Dari orangtua, dari orang luar, dari berbagai sumber. Generasi muda Jambi perlu diberi bekal pengetahuan sosial setempat, khususnya belajar mengenal diri sendiri dan keluarga, misalnya dengan menelusuri silsilah keluarga. Dengan demikian, mereka belajar tahu siapa dirinya, mengenal siapa saja keluarganya, baru bisa menghargai budaya tempat dia lahir dan dibesarkan, dan punya kesadaran untuk melestarikannya.

Anda dilahirkan dan dibesarkan di Kota Jambi, kota yang berpenduduk multietnis. Bagaimana Anda mendeskripsikan keharmonisan hubungan antaretnis di Jambi?

Hubungan multietnis di Jambi sangat erat dan unik. Dari keluarga saya sendiri banyak paman dan bibi yang menikah dengan orang Melayu asli Jambi, sehingga sama seperti kebanyakan penduduk peranakan Jambi, agama dan budaya dalam keluarga besar sangat beraneka ragam. Tapi tali silaturahmi terjalin dengan baik, misalnya kunjungan dalam hari-hari raya antaragama selalu rutin dilakukan. Keadaan ini merupakan gambaran lazim dari terpeliharanya kerukunan antaretnis di Jambi.

Bagaimana pandangan dan harapan Anda mengenai warisan budaya di Provinsi Jambi?

Saya sungguh berharap bahwa orang Jambi akan belajar untuk lebih menghargai budaya sendiri, sebagai penghubung diri manusia dengan alamnya dan penciptanya. Manusia adalah perpanjangan tangan Sang Pencipta, dan hanya dengan selalu memelihara hubungan dengan-Nya, maka manusia bisa mencipta dan hasil ciptaannya memiliki nilai.