• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interaksi Sosial dalam Trilogi Darah Emas Karya Meiliana K. Tansri: Pendekatan Sosiologis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Interaksi Sosial dalam Trilogi Darah Emas Karya Meiliana K. Tansri: Pendekatan Sosiologis"

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

INTERAKSI SOSIAL DALAM TRILOGI

DARAH EMAS

KARYA MEILIANA K. TANSRI:

PENDEKATAN SOSIOLOGIS

TESIS

OLEH

ELVA YUSANTI

097009019/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

INTERAKSI SOSIAL DALAM TRILOGI

DARAH EMAS

KARYA MEILIANA K. TANSRI:

PENDEKATAN SOSIOLOGIS

TESIS

Diajukan

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

OLEH

ELVA YUSANTI

097009019

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : INTERAKSI SOSIAL DALAM TRILOGI DARAH EMAS KARYA MEILIANA K. TANSRI:

PENDEKATAN SOSIOLOGIS

Nama Mahasiswa : ELVA YUSANTI

Nomor Induk Mahasiswa : 097009019

Program Studi : Linguistik

Konsentrasi : Analisis Wacana Kesusastraan

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph. D Prof. Dr. Ir. Rahim Matondang, MSIE.

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 22 September 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si

Anggota : 1. Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A.

2. Dr. Asmyta Surbakti, M.Si

(5)

PERNYATAAN

Judul Tesis

INTERAKSI SOSIAL

DALAM TRILOGI

DARAH EMAS

KARYA MEILIANA K. TANSRI: PENDEKATAN SOSIOLOGIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk

memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya

sendiri.

Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil

karya orang lain dalam penulisan Tesis ini, telah saya cantumkan sumbernya secara

jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian Tesis ini

bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya

bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan

sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 24 September 2011

(6)

RIWAYAT HIDUP

I. Data Pribadi

Nama : Elva Yusanti

Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 31 Mei 1974

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : PNS Kantor Bahasa Provinsi Jambi

Alamat Rumah : Jalan Lawet Raya VI No. 11

Perumnas Jelutung, Jambi 36124

Alamat Kantor : Jalan Arief Rahman Hakim No. 101

Telanaipura, Jambi.

Telepon/Ponsel : (0741) 669466/081366134248

II. Riwayat Pendidikan

1. SD Negeri No. 060924 Medan (Tamat 6 Juni 1987)

2. SMP Negeri 13 Medan (Tamat 4 Juni 1990)

3. SMA Negeri 12 Medan (Tamat 29 Mei 1993)

4. Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan (Tamat 4 April 1998)

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur bagi Allah yang telah memberi kemudahan dan

kesehatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.

Tesis ini berjudul ”Interaksi Sosial dalam Trilogi Darah Emas Karya Meiliana

K. Tansri: Pendekatan Sosiologis”. Tesis ini membicarakan tentang interaksi antara

masyarakat Tionghoa dan Jambi dalam menyelamatkan warisan budaya serta

melestarikan lingkungan dan hewan langka di Jambi. Fakta-fakta fiksional dalam trilogi

Darah Emas, yang terdiri atas Mempelai Naga, Gadis Buta dan Tiga Ekor Tikus, dan

Sembrani, merupakan media representasi masyarakat Tionghoa-Jambi secara faktual.

Selain itu, dapat diketahui bahwa latar belakang sosiologis pengarang turut

mempengaruhi proses kreatif trilogi ini.

Penyelesaian tesis ini telah diusahakan keilmiahannya oleh penulis dengan

bantuan dari berbagai pihak. Kelemahan atau kesalahannya tetap menjadi tanggung

jawab penulis. Untuk itu, penulis menerima kritik dan saran untuk penyempurnaan tesis

ini.

Medan, September 2011

Penulis,

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam menempuh perkuliahan dan penyelesaian tesis ini, penulis mendapat

bantuan dari berbagai pihak, baik moril maupun material. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada

pihak-pihak berikut ini.

1. Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara, Medan.

2. Prof. Dr. Ir. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Pascasarjana USU beserta

Staf Akademik dan Administrasinya.

3. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. dan Dr. Nurlela, M. Hum., selaku Ketua dan

Sekretaris Program Studi Magister Linguistik, beserta para Dosen dan Staf

Administrasinya.

4. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Utama dan

Pembimbing Akademik, yang telah membimbing penulis dalam penyelesaian tesis

ini, serta berkenan membagikan ilmu dan meminjamkan buku-bukunya.

5. Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A., selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing

penulis, memberikan dorongan dan motivasi, serta menjadi mitra berdiskusi selama

perkuliahan dan penyelesaian tesis ini.

6. Dr. Asmyta Surbakti, M.Si., selaku Dosen pada Program Studi Magister Linguistik

Konsentrasi Analisis Wacana Kesusastraan, yang telah menambah wawasan penulis

(9)

7. Dra. Yeyen Maryani, M.Hum., selaku Sekretaris Badan Pengembangan dan

Pembinaan Bahasa, yang telah melegalisasi pemberian beasiswa selama penulis

menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana USU Medan.

8. Drs. Yon Adlis, M.Pd., selaku Kepala Kantor Bahasa Provinsi Jambi, yang telah

memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk menempuh pendidikan di

Sekolah Pascasarjana USU Medan.

9. Sdr. Meiliana K. Tansri, selaku pengarang yang menulis novel bahan penelitian ini.

10.Orang tua penulis, Ayahanda M. Yusuf Hasibuan dan Ibunda Ida Yanti, yang

dengan tulus mengalirkan doa dan kasih sayangnya.

11.Keluarga penulis, yaitu suami tercinta, Rizal, yang selalu memberikan dukungan

dan motivasi kepada penulis untuk mencapai kesuksesan dalam karier dan

pendidikan, serta kedua anak penulis, ananda Muhammad Farhan Aulia dan Sausan

Nadhifah Humaira, yang selalu menjadi penyemangat penulis dalam menyelesaikan

pendidikan.

12.Keluarga besar penulis yaitu, kakak, adik, ipar, beserta keponakan-keponakan yang

selalu mendoakan penulis.

13.Sahabat-sahabat penulis: Ilsa Dewita Putri Soraya, S.S., M.A., Lukman, S.Pd.,

M.A., dan Maryani, S.Pd., yang tanpa pamrih telah membantu penulis, serta

Hennilawati, M.Hum., yang menjadi sahabat penulis dalam suka dan duka.

14.Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Magister Linguistik, Sekolah Pascasarjana

USU Angkatan 2009/2010.

15.Teman seprofesi penulis di Kantor Bahasa Provinsi Jambi, Balai Bahasa Medan,

(10)

16.Semua pihak yang telah membantu penulis selama perkuliahan dan penyelesaian

tesis ini.

Semoga Allah SWT memberikan kemurahan rezeki dan kemudahan jalan hidup

bagi kita. Amin.

Medan, September 2011

Penulis,

(11)

DAFTAR ISI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL ... 12

2.1 Kajian Pustaka ... 12

(12)

2.2.1 Interaksi Sosial ... 15

BAB V TRILOGI DARAH EMAS SEBAGAI MEDIA REPRESENTASI MASYARAKAT TIONGHOA-JAMBI ... 94

(13)

Merepresentasikan Masyarakat Tionghoa-Jambi ... 96

5.1.1 Nama-Nama Tokoh ... 96

5.1.2 Sikap Hidup Tokoh ... 97

5.1.3 Peristiwa-Peristiwa yang Diceritakan ...100

5.2 Temuan Penelitian ...105

BAB VI LATAR BELAKANG SOSIOLOGIS PENGARANG ... 107

6.1 Hubungan Antara Trilogi Darah Emas dan Latar Belakang Sosiologis Pengarang ... 109

6.1.1 Asal Sosial Pengarang ... 109

6.1.2 Kelas Sosial Pengarang ... 112

6.1.3 Jenis Kelamin Pengarang ... 114

6.1.4 Umur Pengarang ... 117

6.1.5 Pendidikan Pengarang ... 119

6.1.6 Pekerjaan Pengarang ... 121

6.1 Temuan Penelitian ... 123

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 125

7.1 Simpulan ... 125

7.2 Saran ... 127

(14)

DAFTAR BAGAN

No Judul Halaman

1. Model Aplikasi Pendekatan Sosiologis terhadap Trilogi Darah Emas ... 30

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Biografi dan Foto Meiliana K. Tansri ... 137

2. Sampul Depan Trilogi Darah Emas ... 140

3. Sampul Belakang Trilogi Darah Emas ... 141

4. Sinopsis ... 142

5. Berita tentang Situs Kemingking ... 144

6. Foto-Foto Candi di Situs Kemingking ... 147

(16)

ABSTRAK

Penelitian yang mengungkapkan masalah interaksi sosial dan representasi realitas faktual ini dilakukan melalui dua pendekatan, intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik yang bersumber pada teks sastra, ditinjau berdasarkan pandangan Stanton, yakni meneliti fakta dan makna cerita. Pendekatan ekstrinsik yang meneliti konteks karya sastra, ditinjau berdasarkan teori sosiologi sastra Wellek dan Austin, yakni adanya tiga fakta sastra: pengarang, karya, dan pembaca.

Trilogi Darah Emas karya Meiliana K. Tansri yang menjadi sumber data penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik dokumenter dan analisis konten. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh temuan berupa interaksi sosial yang dilakukan para tokoh sebagai representasi masyarakat Tionghoa-Jambi. Temuan berikutnya adalah keterlibatan pengarang dalam proses kreatif trilogi tersebut. Keterlibatan itu ditemukan melalui pendeskripsian latar belakang sosiologis pengarang. Temuan-temuan ini tidak bisa dilepaskan dari fakta dan makna cerita karena semuanya saling melengkapi dalam pemaknaan teks sastra.

(17)

ABSTRACT

This study which revealed problems of social interaction and factual representation of reality is done through two approaches, intrinsic and extrinsic. Intrinsic approach which used literary texts reviewed based on the views of Stanton, which is researching the facts and meaning of the story. Extrinsic approach that examines the context of literary works, reviewed literature on the theory of Wellek and Austin's sociology, namely the existence of three literary facts: the author, work, and readers.

The trilogy of Darah Emas written by Meiliana K. Tansri which was used as the source of research data in this study was analyzed using documentary techniques and content analysis. Based on the analysis, findings obtained in the form of social interaction that made the characters as representations of the Chinese community-Jambi. The following finding is the author's involvement in the creative process of the trilogy. The involvement was found through the description of the author sociological background. However, these findings cannot be separated from fact and meaning of the story for those both aspects are complementary in the interpretation of literary texts.

(18)

ABSTRAK

Penelitian yang mengungkapkan masalah interaksi sosial dan representasi realitas faktual ini dilakukan melalui dua pendekatan, intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik yang bersumber pada teks sastra, ditinjau berdasarkan pandangan Stanton, yakni meneliti fakta dan makna cerita. Pendekatan ekstrinsik yang meneliti konteks karya sastra, ditinjau berdasarkan teori sosiologi sastra Wellek dan Austin, yakni adanya tiga fakta sastra: pengarang, karya, dan pembaca.

Trilogi Darah Emas karya Meiliana K. Tansri yang menjadi sumber data penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik dokumenter dan analisis konten. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh temuan berupa interaksi sosial yang dilakukan para tokoh sebagai representasi masyarakat Tionghoa-Jambi. Temuan berikutnya adalah keterlibatan pengarang dalam proses kreatif trilogi tersebut. Keterlibatan itu ditemukan melalui pendeskripsian latar belakang sosiologis pengarang. Temuan-temuan ini tidak bisa dilepaskan dari fakta dan makna cerita karena semuanya saling melengkapi dalam pemaknaan teks sastra.

(19)

ABSTRACT

This study which revealed problems of social interaction and factual representation of reality is done through two approaches, intrinsic and extrinsic. Intrinsic approach which used literary texts reviewed based on the views of Stanton, which is researching the facts and meaning of the story. Extrinsic approach that examines the context of literary works, reviewed literature on the theory of Wellek and Austin's sociology, namely the existence of three literary facts: the author, work, and readers.

The trilogy of Darah Emas written by Meiliana K. Tansri which was used as the source of research data in this study was analyzed using documentary techniques and content analysis. Based on the analysis, findings obtained in the form of social interaction that made the characters as representations of the Chinese community-Jambi. The following finding is the author's involvement in the creative process of the trilogy. The involvement was found through the description of the author sociological background. However, these findings cannot be separated from fact and meaning of the story for those both aspects are complementary in the interpretation of literary texts.

(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trilogi novel Darah Emas (Tansri, 2010), menceritakan tentang usaha

penyelamatan situs Kemingking, sebuah daerah temuan benda purbakala berupa

reruntuhan (puing-puing) kerajaan kuno. Dinamakan situs Kemingking karena

benda-benda purbakala itu ditemukan di sekitar wilayah Kemingking, sebuah desa kecil yang

terletak di sebelah barat Sungai Batanghari, Jambi. Lokasi situs ini diyakini berada

persis di bawah bangunan pabrik kayu lapis milik seorang pengusaha lokal keturunan

Tionghoa. Pembangunan pabrik tersebut menimbulkan pro dan kontra karena selain

menyebabkan terkuburnya sebuah aset budaya, juga melatarbelakangi terjadinya

pencemaran lingkungan, penebangan liar, dan perburuan ilegal. Keadaan ini membuat

Naga, roh langit dan bumi, murka. Ia menumpahkan murkanya kepada orang-orang

yang merusak keseimbangan alam itu melalui keturunannya yang disebut ”berdarah

emas”. Selain klan darah emas, penyelamatan juga dilakukan oleh berbagai elemen

masyarakat yang peduli dengan pelestarian budaya dan lingkungan hidup. Mereka

saling bekerja sama untuk satu tujuan, mengembalikan alam kepada keseimbangannya.

Trilogi Darah Emas (selanjutnya disingkat DE) ditulis oleh Meiliana K. Tansri,

perempuan pengarang kelahiran Jambi dan berdarah Tionghoa. Meiliana adalah satu

dari sedikit perempuan pengarang Jambi yang produktif sampai saat ini. Novel yang

ditulis Meiliana kali ini berbeda dengan novel-novel yang terbit sebelumnya, yang lebih

banyak mengangkat tema-tema percintaan. Novelnya kali ini dapat dikatakan sebagai

(21)

berdasarkan polemik sosial yang pernah terjadi di Jambi pada tahun 1980-an. Saat itu,

Jambi dibelit pro-kontra pendirian sebuah pabrik kayu lapis yang diduga dibangun di

atas situs purbakala di Kemingking. Keberadaan situs itu masih menjadi perdebatan

karena belum pernah dilakukan ekskavasi arkeologis terhadapnya. Sebagian masyarakat

meyakini bahwa situs itu benar-benar ada, tetapi sebagian lagi menganggapnya dongeng

belaka.

Mengingat dunia dalam karya sastra merupakan tiruan atas peristiwa yang

terjadi dalam kehidupan sehari-hari (imitation of reality), karya sastra dapat dikatakan

sebagai dokumen yang mencatat realitas masa lalu (Mahayana; 2005: 361). Namun

demikian, pandangan yang menyatakan karya sastra sebagai dokumen realitas harus

dimaknai sebagai realitas yang telah mengalami proses pengendapan di dalam

pemikiran pengarang. Dalam hal ini, pengalaman pengarang yang telah melalui proses

pengamatan, perenungan, penghayatan, dan penilaian itu, kemudian diolah sedemikian

rupa dengan kekuatan imajinasi. Imajinasi, menurut Laclau (dalam Mc Robbie, 2011:

85), merupakan cakrawala yang merepresentasikan dunia sosial. Dengan menggunakan

imajinasi, pengarang akan menghasilkan refleksi realitas imajinatif (Mahayana, 2005:

362) atau yang disebut Kleden (2004: 413) sebagai kenyataan imajiner (imagined

reality) yang sering disamakan dengan khayalan.

Adanya keterlibatan imajinasi menunjukkan bahwa karya sastra hanya

menyajikan kenyataan artistik, bukan kenyataan objektif sehingga realitas dalam karya

sastra berbeda dengan realitas empiris yang ditampilkan ilmu sosial lain. Jassin (dalam

Kleden, 2004: 413) mengatakan,

(22)

perasaan-perasaan, kenangan pengalaman, dan intuisi manusia. Imajinasi adalah sesuatu yang hidup, suatu proses, suatu kegiatan jiwa. Dengan demikian, imajinasi yang dituangkan ke dalam sesuatu karya seni, tidak identik sama dengan kenyataan sejarah, pengalaman, ataupun ilmu pengetahuan. Suatu karya seni mempunyai kenyataan artistik yang tidak identik sama dengan kenyatan objektif atau kenyataan sejarah atau kenyataan ilmu pengetahuan.”

Pengolahan imajinasi tidak akan terlepas dari pengolahan bahasa sebagai sarana

primer karya sastra. Karya sastra merupakan suatu teks, berisi ungkapan bahasa yang

menurut pragmatik, sintaktik, dan semantik, merupakan suatu kesatuan

(Pradotokusumo, 2002: 23). Bahasa dalam sastra memiliki ciri khas, yakni adanya unsur

ambiguitas yang mengandung kepadatan arti. Bahasa sastra pun memproyeksikan

pandangan dunia atau ideologi pengarang dalam menerjemahkan peristiwa di sekitarnya

(Budiman, 1994: 41). Perpaduan antara bahasa dan imajinasi, menjadikan karya sastra

sebagai media yang tepat bagi pengarang dalam berkomunikasi dengan pembaca.

Berdasarkan hal itu, sebagai pengarang yang kreatif dan imajinatif, Meiliana

mengolah polemik 1980-an yang terjadi di Jambi dengan menggunakan kreasi dan

imajinasinya sendiri. Dengan memanfaatkan latar sosial masyarakat Tionghoa dan

Jambi –dua komunitas yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya- Meiliana

mendongengkan fakta dan peristiwa sejarah yang pernah terjadi di Jambi ke dalam

karyanya. Oleh Meiliana, bahasa dijadikan alat untuk menyampaikan ide, pesan, tema,

dan pandangan dunia yang berfungsi sebagai media catatan kritisnya mengenai

peristiwa yang bersangkutan. Masalah warisan budaya, pencemaran lingkungan,

perburuan ilegal, bahkan kedudukan anak perempuan dalam masyarakat Tionghoa, juga

disinggung Meiliana dalam trilogi ini. Akan tetapi, dia menyamarkan kritikannya itu

dengan mengedepankan interaksi yang terefleksi antara komunitas Tionghoa dan Jambi

(23)

sebagai pendatang, dan masyarakat Jambi, sebagai penduduk lokal, menunjukkan

hubungan timbal balik yang dinamis. Hubungan tersebut diwujudkan melalui kontak

sosial dan komunikasi sosial yang terjalin antara kedua etnis yang menjadi subjek

penceritaan dalam trilogi DE.

Kontak dan komunikasi sosial, menurut Abdulsyani (2007: 154-155),

merupakan faktor-faktor (syarat) yang melatarbelakangi terjadinya interaksi sosial.

Kontak sosial adalah interaksi yang terjadi melalui percakapan, baik secara langsung

maupun tidak langsung, dengan saling mengerti maksud dan tujuan masing-masing.

Kontak sosial langsung terjadi dalam bentuk tatap muka, berjabat tangan, atau berbicara

secara langsung, sedangkan kontak sosial tidak langsung membutuhkan perantara,

misalnya berbicara melalui telepon, surat, dan lain-lain. Komunikasi sosial mengandung

pengertian persamaan pandangan antara orang-orang yang berinteraksi terhadap

sesuatu. Hal ini dibarengi dengan adanya tafsiran, yang diberikan seseorang pada

sesuatu atau pada perilaku orang lain, sebagai aspek terpenting dari komunikasi sosial.

Berdasarkan kenyataan yang ada, masyarakat Jambi yang multietnis juga

melakukan kontak dan komunikasi sosial dalam berinteraksi. Masyarakat pendatang

yang berasal dari etnis yang berbeda tidak terlalu sulit melakukan kontak dan

komunikasi sosial dengan masyarakat setempat, yakni etnis Melayu Jambi. Hal ini

disebabkan oleh sifat masyarakat Melayu Jambi yang terbuka dan mudah berinteraksi

dengan etnis apapun. Keterbukaan ini pula yang menyebabkan etnis pendatang bersedia

berkomunikasi di depan umum dengan menggunakan bahasa Melayu Jambi, baik

(24)

Secara realitas fiksi, kontak sosial dan komunikasi sosial sebagai faktor

terjadinya interaksi sosial juga terlihat dalam trilogi DE. Usaha penyelamatan ataupun

pelenyapan situs Kemingking dalam trilogi DE dilatarbelakangi dengan pembauran,

persepakatan, bahkan pertentangan antaretnis sehingga menunjukkan interaksi yang

memiliki pola-pola pengulangan hubungan perilaku dalam kehidupan masyarakat.

Namun demikian, realitas dalam trilogi DE tidak sepenuhnya persis dengan kenyataan

sehari-hari karena pada hakikatnya, realitas dalam karya fiksi merupakan ilusi

kenyataan dan kesan meyakinkan yang ditampilkan kepada pembaca (Wellek dan

Austin, 1993: 278). Dalam trilogi DE, pembaca akan disuguhkan beberapa dialog

langsung yang terjadi antara manusia dan roh langit dan bumi –sesuatu yang sangat

tidak dimungkinkan terjadi dalam kenyataan yang sebenarnya- sebagai salah satu

bentuk interaksi yang ada di dalam novel itu. Interaksi itu terjadi setelah adanya kontak

dan komunikasi sosial di antara keduanya.

Salah satu yang menarik dari trilogi DE adalah penggambaran interaksi

antaretnis dalam menyelamatkan budaya dan lingkungan Jambi. Dalam trilogi ini

dideskripsikan bahwa bukan hanya orang Jambi asli yang memiliki tanggung jawab

terhadap pelestarian budaya dan lingkungan di daerah Jambi, tetapi juga orang

Tionghoa, sebagai masyarakat pendatang. Gambaran seperti ini mencerminkan

kenyataan sehari-hari yang terjadi di daerah Jambi. Keharmonisan hubungan antara

kedua etnis dapat terlihat dalam berbagai sektor, seperti perdagangan, pendidikan, dan

kebudayaan. Hal ini dapat dimaklumi karena orang Tionghoa dan Jambi telah memiliki

(25)

penggambaran interaksi antaretnis dalam trilogi DE dapat dikatakan merepresentasikan

kenyataan yang ada.

Hal menarik lainnya adalah terdapat indikasi adanya hubungan antara trilogi DE

dan latar belakang sosiologis pengarangnya. Meiliana yang berdarah Tionghoa dan telah

lama menetap di Jambi ini, berpartisipasi kreatif dalam melestarikan warisan budaya

dan lingkungan Jambi melalui tokoh dan peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam

trilogi DE. Partisipasi kreatif ini merupakan bentuk eksistensi pengarang dalam

berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya.

Sehubungan dengan itu, interaksi sosial yang ditemukan dalam trilogi DE bukan

hanya mengindikasikan adanya penyatuan (asosiatif), melainkan juga pertentangan

(disosiatif). Bentuk-bentuk interaksi ini ditemukan melalui hubungan antartokoh, seperti

interaksi antara Hartanto -pengusaha dari etnis Tionghoa- dan penasihat spiritualnya,

Datuk Itam, dukun dari etnis Melayu Jambi (dalam MN dan GBTET) yang bersifat

disosiatif. Di samping itu, terdapat pula interaksi yang terjadi antara tokoh manusia dan

hewan, seperti interaksi antara Leng Cu dan tiga ekor tikus: Mnem, Noah, dan Akyg

(dalam GBTET dan Sbr) yang bersifat asosiatif.

Interaksi sosial dalam trilogi DE, baik yang dilatarbelakangi oleh kontak sosial

maupun komunikasi sosial, tidak hanya terjadi secara verbal, melainkan juga nonverbal,

sebagaimana yang terlihat dalam contoh kutipan berikut.

Mata dukun tua itu merah seperti getah sirih yang baru diludahkan. Napasnya memburu dan berat. Hartanto takut melihatnya. Dia yakin saat itu Datuk Itam mampu membunuh siapa saja (MN: 147).

Kutipan tersebut menyiratkan kontak sosial yang terjadi secara nonverbal antara

(26)

dipahami oleh Hartanto meskipun tidak diucapkan secara langsung. Timbulnya

pemahaman dan penafsiran tersebut secara otomatis juga menyiratkan adanya

komunikasi sosial di antara kedua tokoh dalam trilogi DE itu.

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan yang muncul dalam menganalisis trilogi novel Darah Emas (DE)

karya Meiliana K. Tansri dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah interaksi sosial dalam trilogi DE?

2. Bagaimanakah trilogi DE sebagai media representasi masyarakat

Tionghoa-Jambi?

3. Bagaimanakah hubungan antara trilogi DE dan latar belakang sosiologis

pengarang?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Akademis

Secara akademis, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis interaksi sosial dalam trilogi DE.

2. Mendeskripsikan trilogi DE sebagai media representasi masyarakat

Tionghoa-Jambi.

3. Mendeskripsikan hubungan antara trilogi DE dan latar belakang sosiologis

(27)

1.3.2 Tujuan Praktis

Secara praktis, penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menjelaskan isi

trilogi novel Darah Emas yang menceritakan tentang usaha penyelamatan aset budaya

di Provinsi Jambi. Usaha penyelamatan tersebut diejawantahkan melalui interaksi yang

terjadi antara masyarakat Tionghoa, sebagai pendatang, dan masyarakat Melayu Jambi,

sebagai penduduk lokal. Interaksi sosial, secara harfiah, dipahami sebagai suatu proses

sosial yang dapat mempersatukan orang dari berbagai latar belakang sosial dan kultural

yang berbeda. Berdasarkan pemahaman ini, gambaran tentang masyarakat

Tionghoa-Jambi dalam trilogi DE dianggap merepresentasikan masyarakat Tionghoa-Tionghoa-Jambi secara

faktual. Relevansi antara realitas fiksi dan faktual tersebut diinterpretasikan dengan

menggunakan pendekatan sosiologis yang meliputi sosiologi karya dan sosiologi

pengarang. Hasil analisis terhadap trilogi DE karya Meiliana K. Tansri ini dapat

menjadi produk kepustakaan dan model penelitian sastra yang menampilkan kehidupan

masyarakat Tionghoa-Jambi.

1.4 Batasan Masalah

Karya sastra selalu membicarakan masalah kehidupan yang kompleks. Oleh

karena itu, sangat sulit meneliti sebuah karya sastra tanpa adanya ruang lingkup yang

terbatas. Ruang lingkup tersebut harus berdasarkan kepada tujuan yang ingin diperoleh

dari suatu penelitian.

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis dalam pengkajiannya. Pada

(28)

dan pembaca. Ketiga fakta sastra tersebut dapat dikaji secara bersamaan ataupun

terpisah, tergantung kepada fakta apa yang paling berpengaruh dalam karya tersebut.

Dalam trilogi DE, karya dan pengarang merupakan faktor yang paling penting

dalam mengimplikasikan fakta sastra karena peristiwa yang diceritakan dalam trilogi

novel ini diindikasikan memiliki kaitan yang erat dengan pengarangnya. Oleh karena

itu, penelitian ini dibatasi pada sosiologi karya dan sosiologi pengarang. Sosiologi karya

dalam penelitian ini dibatasi pada masalah sosial, yakni interaksi sosial antartokoh serta

deskripsi realitas fiksi masyarakat Tionghoa-Jambi yang merepresentasikan realitas

faktualnya. Sementara itu, sosiologi pengarang dalam penelitian ini dibatasi pada latar

belakang sosiologis pengarang dalam menghasilkan karya-karyanya.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis yang diharapkan dari hasil penelitian terhadap trilogi DE karya

Meiliana K. Tansri meliputi tiga hal berikut.

1. Hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah penerapan pendekatan

sosiologis terhadap karya sastra Indonesia, khususnya novel karya sastrawan

yang berasal dari Provinsi Jambi.

2. Hasil penelitian ini dapat menjadi model penerapan teori sosiologi sastra untuk

mengungkapkan interaksi sosial antara masyarakat Tionghoa dan Melayu Jambi,

terutama berdasarkan novel karya sastrawan yang berasal dari Provinsi Jambi.

3. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian-penelitian, baik

(29)

realitas fiksi dalam memaparkan kehidupan faktual masyarakat, terutama

masyarakat Tionghoa-Jambi.

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian terhadap trilogi DE karya Meiliana K. Tansri

diharapkan dapat bermanfaat dalam kehidupan masyarakat, antara lain, adalah:

1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang interaksi sosial masyarakat

Tionghoa-Jambi, baik secara asosiatif maupun disosiatif.

2. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang perlunya melestarikan

warisan budaya dan lingkungan hidup untuk menjaga keseimbangan alam.

3. Memberikan informasi tentang keberagaman kultur yang ada di Provinsi Jambi

yang dapat dijadikan aset yang potensial dalam mendukung pengembangan ilmu

(30)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL

2.1 Kajian Pustaka

W.R. Sihombing (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Tiba-Tiba Malam

Karya Putu Wijaya: Analisis Sosiologi Sastra” mengkaji tentang interaksi sosial dalam

kehidupan masyarakat Bali. Dalam kajiannya ini, Sihombing lebih menitikberatkan

pada sosiologi karya, yakni meneliti interaksi antartokoh dalam novel tersebut.

Jenis-jenis interaksi yang ditemukan Sihombing dalam novel Tiba-Tiba Malam adalah

kooperasi, akomodasi, dan konflik (pertikaian). Masalah kooperasi terdapat dalam

tradisi nguopin, yakni tradisi gotong royong yang dilakukan para tokoh yang berlatar

belakang sosiokultural Bali, di berbagai tempat dan kesempatan, misalnya, di sawah

(menanam, menyiangi, atau memanen padi), di rumah (memperbaiki atap atau menggali

sumur), atau dalam perhelatan ritual (pernikahan, keagamaan, atau kematian). Masalah

akomodasi ditunjukkan melalui upaya damai yang dilakukan kepala desa untuk

menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara keluarga tokoh Subali dan penduduk

desa. Yang terakhir, masalah konflik ditemukan dalam pertikaian antartokoh, yaitu

antara tokoh Subali dan tokoh Utari.

Kajian yang dilakukan Sihombing sangat membantu penulis dalam menganalisis

interaksi sosial dalam trilogi novel Darah Emas karena persamaan unsur yang diteliti,

yaitu interaksi sosial antartokoh. Perbedaannya, Sihombing menggabungkan

penganalisisan interaksi yang berorientasi positif dan negatif sekaligus, sedangkan

penulis memilah interaksi yang bersifat asosiatif dan disosiatif ke dalam subbab yang

(31)

Dalam melakukan interaksi, setiap individu atau kelompok akan memiliki

motif-motif yang melatarbelakangi terjadinya interaksi itu. Masalah ini tertuang dalam kajian

Dedi Pramono (2007) yang berjudul “Menelaah Pola Interaksi Sosial dalam Sastra

Melayu Tionghoa: Pembauran dan Pembentukan Budaya Indonesia”. Novel yang

menjadi kajian Pramono adalah novel-novel Melayu Tionghoa yang diterbitkan pada

masa kolonial, yakni novel Lo Fen Koei karya Gouw Peng Liang (1903) dan Bunga

Roos dari Cikembang karya Kwee Tek Hoay (1927). Interaksi antaretnis yang

ditemukan Pramono dalam kedua novel itu adalah interaksi antara etnis Tionghoa dan

Tionghoa, Tionghoa dan Belanda, Tionghoa dan pribumi, serta Tionghoa dan Arab.

Dalam kajiannya, Pramono lebih menitikberatkan pada motif-motif yang

melatarbelakangi terjadinya interaksi sosial antaretnis tersebut. Motif-motif yang

ditemukannya adalah motif ekonomis, biologis, dan psikologis. Motif ekonomis dan

biologis terdapat pada novel Lo Fen Koei yang diwujudkan melalui tokoh Lo Fen Koei,

seorang pakter opium yang mengandalkan kekayaannya dalam berinteraksi, termasuk

memuaskan nafsu birahinya; sedangkan motif psikologis tercermin melalui tokoh Oh

Ay Tjeng, seorang administratur perkebunan, dalam novel Bunga Roos dari Cikembang.

Tokoh ini selalu mengandalkan hati nuraninya dalam berinteraksi, tanpa membedakan

etnis dan kelas sosial.

Kajian Pramono ini sangat mendukung penelitian penulis dalam melihat

motif-motif yang melatarbelakangi interaksi antartokoh dalam trilogi DE. Motif-motif-motif dalam

novel berlatar belakang penjajahan kolonial Belanda yang dikaji Pramono tidak

memiliki perbedaan yang signifikan dengan trilogi DE yang berlatar belakang tahun

(32)

Masalah interaksi juga dapat ditemukan dalam penelitian Sainul Hermawan

yang berjudul ”Novel Ca-bau-kan dan Ambivalensi Wacana Pembelaan Tionghoa”.

Penelitian ini dilakukan Hermawan pada tahun 2005 dan ditemukan dalam bukunya

yang berjudul Ragam Aplikasi Kritik Cerpen dan Novel (2009). Dalam penelitiannya,

Hermawan mendapati bahwa pembauran orang Tionghoa dalam novel Ca-bau-kan tidak

bersifat eksklusif dan monolitik. Ketidakeksklusifan itu ditunjukkan melalui kerja sama

(kooperasi) antara tokoh Tionghoa dan non-Tionghoa dalam bidang ekonomi, seni, dan

perjuangan melawan penjajahan. Tokoh Tionghoa juga tidak lagi menggunakan bahasa

Cina dalam berkomunikasi, melainkan bahasa campuran sehingga adanya

kecenderungan yang menunggalkan Tionghoa dalam wacana publik –dalam novel ini-

terbantahkan. Selain kooperasi, Hermawan juga mendapati adanya kompetisi antartokoh

dalam Ca-bau-kan, seperti yang diperlihatkan tokoh Tan Peng Liang Semarang dan

pesaing bisnisnya, Thio Boen Hiap.

Kajian Hermawan turut membantu penulis dalam melihat kerja sama dan

persaingan –sebagai bagian dari bentuk interaksi sosial- yang dilakukan oleh orang

Tionghoa. Bentuk interaksi itu bukan hanya dilakukan dengan sesama etnis Tionghoa,

melainkan juga dengan etnis yang berbeda.

2.2 Konsep

2.2.1 Interaksi Sosial

Interaksi sosial adalah proses sosial yang terjadi sebagai pengaruh timbal balik

antara dua belah pihak, yakni antara individu dan individu, individu dan kelompok, atau

(33)

Pengaruh timbal balik itu, menurut Roucek dan Roland (1963: 41), dilakukan melalui

kontak sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kontak sosial secara

langsung terjadi melalui organisme fisik, sedangkan tidak langsung terjadi melalui

tulisan atau komunikasi jarak jauh. Kontak sosial tidak akan terjadi apabila tidak ada

komunikasi sosial, yakni persamaan pandangan antara orang-orang yang berinteraksi

terhadap sesuatu (Abdulsyani, 2007: 155) karena dalam berkomunikasi, banyak sekali

penafsiran terhadap perilaku dan sikap masing-masing orang yang saling berhubungan.

Oleh karena itu, kontak dan komunikasi sosial merupakan syarat terjadinya interaksi.

Interaksi sosial yang dilakukan oleh individu atau kelompok bertujuan untuk

mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia di

sekitarnya. Hal ini disebutkan Goldmann (1981: 40) sebagai human facts ’fakta

kemanusiaan’, yakni fakta bahwa manusia dan lingkungan sekitarnya selalu berada

dalam proses strukturasi timbal balik yang bukan hanya saling bertentangan, melainkan

juga saling mengisi.

Sebagai suatu proses sosial, interaksi sosial merupakan masalah yang pokok

karena merupakan dasar dari segala proses sosial. Interaksi sosial dapat bersifat asosiatif

dan disosiatif. Interaksi yang bersifat asosiatif mengindikasikan adanya gerak

pendekatan atau penyatuan, sebaliknya interaksi sosial disosiatif mengindikasikan

adanya pertentangan. Norma (2007: 57) menyebutkan bahwa interaksi sosial bersifat

asosiatif dapat terdiri atas empat bentuk, yakni kooperasi, akomodasi, asimilasi, dan

amalgamasi.

Kooperasi merupakan kerja sama atau usaha bersama yang dilakukan antara

(34)

mengatakan ”cooperation is fostered by situations in which individuals stand to benefit

more by pooling their efforts than by working individually” ’kooperasi lahir dengan

adanya keadaan di mana individu dapat memperoleh manfaat optimal dengan bergotong

royong daripada bekerja sendiri’.

Akomodasi merupakan persepakatan sementara yang dapat diterima kedua belah

pihak yang tengah bersengketa (Roucek dan Roland, 1963: 41). Akomodasi bersifat

temporer yang bertujuan untuk meredakan pertentangan yang terjadi antara kedua belah

pihak.

Asimilasi adalah proses peleburan kebudayaan antara dua pihak yang memiliki

kebudayaan yang berbeda (Roucek dan Roland, 1963: 44). Proses peleburan ini dapat

menimbulkan kebudayaan yang baru. Sementara itu, amalgamasi, menurut Norma

(2007: 57), merupakan proses peleburan kebudayaan, dari suatu kebudayaan tertentu

yang menerima dan mengolah unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing tanpa

menyebabkan hilangnya kepribadian dari kebudayaan itu sendiri.

Selain asosiatif, interaksi sosial juga dapat berbentuk disosiatif. Bentuk interaksi

ini dapat terdiri atas tiga bentuk, yakni kompetisi (persaingan), konflik, dan kontravensi

(Norma, 2007: 65).

Kompetisi adalah usaha seseorang untuk memperebutkan tujuan tertentu yang

dilakukan dalam keadaan damai (kondusif). Roucek dan Roland (1963: 42) mengatakan

bahwa tujuan yang diperebutkan itu dapat berupa materi dan nonmateri.

Berbeda dengan kompetisi, konflik merupakan persaingan yang bersifat ekstrem

(35)

(1963: 42), ”is the attempt to eliminate a rival from the competitive process”

’merupakan suatu percobaan untuk menyingkirkan lawan dalam proses persaingan’.

Interaksi sosial disosiatif lainnya adalah kontravensi, yakni proses untuk

menghalangi, merintangi, dan menggagalkan pihak lain dalam mencapai tujuan (Norma,

2007: 65).

Interaksi sosial dalam karya sastra –sebagai pengejawantahan dunia dalam

imajinasi- akan sama dengan interaksi sosial pada hubungan kemanusiaan dalam

kehidupan nyata, yakni adanya motif yang muncul ketika manusia berinteraksi. Dalam

karya sastra, motif-motif tersebut akan tergambar melalui interaksi yang dilakukan para

tokohnya. Menurut Pramono (dalam www.forum-sastra-lamongan.blogspot.com),

interaksi sosial dalam kehidupan manusia, bersifat natural (alamiah) sehingga motif

yang terjadi dapat mencakup motif psikologis, ekonomis, biologis, status sosial, dan

agamis.

2.2.2 Novel

Novel adalah genre sastra dari Eropa yang muncul di lingkungan kaum borjuasi

di Inggris pada abad 18 (Sumardjo, 1999: 12). Di Indonesia, bentuk novel mulai

diperkenalkan pada tahun 1880-an melalui terjemahan novel-novel Tionghoa (Salmon,

2010: 149). Berdasarkan data-data yang diperoleh Salmon (2010: 151), novel pertama

yang diterbitkan ketika itu adalah novel Melayu-Tionghoa berjudul Thjit Liap Seng

(Bintang Toedjoeh) karangan penulis peranakan, Lie Kim Hok, terbit tahun 1886. Novel

ini merupakan campuran dari dua buah novel Eropa yang dijadikan Lie sebagai sumber

(36)

Menurut Nurgiyantoro (1995: 90), novel merupakan karya fiksi yang

menceritakan tentang kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya serta

mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan lebih kompleks.

Novel mengandung nilai-nilai yang otentik, yakni nilai-nilai yang mengimplisitkan

totalitas kehidupan (Faruk, 1994: 30). Novel juga lahir dan berkembang dalam dinamika

sosiokultural yang khas karena mengejawantahkan keheterogenitasan manusia

(Mahayana, 2007: 1). Kekhasan tersebut menjadikan novel sebagai produk yang

unikum dan bernas sehingga dapat dijadikan sebagai acuan pola berpikir, sikap hidup,

dan wawasan estetik.

Pada umumnya, novel terdiri atas sejumlah bab yang masing-masing berisi

cerita yang berbeda tetapi saling berhubungan. Hubungan antarbab tersebut berupa

hubungan kausalitas dan kronologis karena bab yang satu merupakan kelanjutan dari

bab yang lain (Nurgiyantoro, 1995: 14). Menurut Stanton (2007: 91), setiap bab dalam

novel mengandung berbagai episode yang terdiri pula atas berbagai macam topik. Oleh

karena itu, jika hanya membaca satu bab novel secara acak, pembaca tidak akan

mendapatkan cerita yang utuh.

Sebagai ragam fiksi naratif, novel lebih populer di kalangan masyarakat karena

berisi gambaran kehidupan dan perilaku yang nyata dari zaman pada saat novel itu

ditulis (Clara Reeve dalam Wellek dan Austin, 1993: 282). Kepopuleran tersebut

ditandai dengan beberapa novel yang mengalami cetak ulang karena tingginya

permintaan masyarakat. Berdasarkan data yang diperoleh Sumardjo (1999: 11),

beberapa novel yang mengalami cetak ulang, antara lain, Salah Asuhan, karya Abdul

(37)

selama 57 tahun dicetak ulang 12 kali, atau Mawar Jingga karya Ike Soepomo, dalam

setahun dicetak ulang 5 kali.

Beberapa tahun terakhir, pengarang lebih menyukai menulis novel-novel yang

berseri tetapi masih saling berhubungan, terutama dalam pengembangan tema.

Muncullah novel-novel berbentuk dwilogi, trilogi, bahkan tetralogi, yang

mengindikasikan tingginya produktivitas pengarang dalam menulis, sekaligus

keterlibatan penerbit, sebagai trik untuk menarik minat pembaca terhadap novel tersebut

sehingga secara tidak langsung juga meningkatkan pendapatan mereka. Sebenarnya

novel-novel jenis ini, terutama trilogi, sudah ada di Indonesia sejak tahun 1920-an,

misalnya, novel trilogi yang ditulis oleh Tan Kim Sen, penulis keturunan Tionghoa

(Salmon, 2010: 376). Akan tetapi, trilogi yang ditulis pada tahun 20-an jauh dari kesan

komersial karena masih tunduk pada aturan yang diberlakukan pemerintah kolonial.

2.2.3 Representasi

Kata representasi berasal dari bahasa Yunani, repraesentatio, yang berarti

mendahului atau sesuatu yang mendahului objek lain. Stuart Hall (dalam

www.lontar.ui.ac.id) mengatakan bahwa representasi adalah bagian dari proses

produksi dan pertukaran makna yang melibatkan penggunaan bahasa, tanda-tanda, dan

imaji terhadap hal-hal yang diwakilkan. Dengan demikian, representasi dapat diartikan

sebagai perwakilan, yakni sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain sebagai pengganti

objek faktual (Ratna, 2008: 123). Makna representasi seperti ini, menurut Ratna,

melekat dalam beberapa bentuk ciptaan manusia yang menampilkan konteks sosial

(38)

Karya sastra dapat dikatakan merepresentasikan kehidupan karena kejadian

dalam karya sastra, menurut Ratna (2003: 35), merupakan prototipe kejadian yang

pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam karya sastra,

representasi dimediasi oleh bahasa melalui elemen-elemen yang membangun karya

sastra, seperti narasi, alur, atau citra. Sebagai alat utama, bahasa tidak secara langsung

menunjuk kepada sesuatu yang benar. Bahasa hanya menjelaskan, mewacanakan, dan

menafsirkan kenyataan alamiah. Hasil penafsiran tentu tidak persis sama dengan

kenyataan tersebut. Kenyataan dalam karya sastra sudah mengalami proses konstruksi,

dekonstruksi, dan rekonstruksi sebagai wujud representasi realitas harfiah. Dengan

demikian, representasi berbeda dengan imitasi karena representasi bukan semata-mata

tiruan (imitasi) atas kenyataan, melainkan rekonstruksi dari situasi sesungguhnya.

Mengenai hal ini, Collingwood (dalam Ratna, 2008: 128) mengatakan, ”Representasi

berkaitan dengan alam semesta, imitasi berkaitan dengan karya seni yang lain”.

Sebuah karya sastra dikatakan representatif apabila mampu menafsirkan dan

merefleksikan realitas tertentu secara menyeluruh. Dalam hal ini, pengarang memegang

peranan penting karena merupakan subjek kreator yang menafsirkan realitas tersebut.

Hasil penafsiran biasanya dibarengi dengan pesan atau nilai tertentu melalui tanda,

lambang, atau simbol, sebagai bentuk representasi.

2.2.4 Sosiologis Pengarang

Sosiologis pengarang, pada hakikatnya, berkaitan dengan kedudukan pengarang

dalam masyarakat. Sebagai anggota masyarakat, pengarang juga melakukan interaksi

(39)

Ratna (2003: 196), partisipasi pengarang dalam masyarakat tidak hanya terbatas pada

partisipasi kreatif dan aktivitas intelektual, melainkan juga meliputi totalitas kehidupan

praktis, yang pada dasarnya didominasi oleh definisi-definisi kehidupan sosial yang

melatarbelakanginya. Sebagai makhluk sosial, pengarang juga memiliki latar belakang

sosial, latar belakang keluarga, dan posisi ekonomi yang menunjukkan status sosialnya

(Wellek dan Austin, 1993: 112).

Untuk menempatkan pengarang dalam masyarakat, menurut Escarpit (2008: 46),

hal yang harus dilakukan adalah mencari keterangan tentang asal-usul sosial pengarang.

Asal-usul sosial berperan dalam menjawab masalah status sosial, keterlibatan sosial,

sikap, bahkan ideologi pengarang. Elemen-elemen ini dapat diketahui bukan hanya

melalui karya-karya mereka, tetapi juga dari biografinya. Sebagai warga masyarakat,

pengarang tentunya memiliki pandangan mengenai masalah sosial dan politik serta

isu-isu yang berkembang di sekitarnya. Pandangan tersebut, menurut Wellek dan Austin

(1993: 114), akan tertuang melalui karya dan biografinya.

Latar belakang sosiologis yang mempengaruhi proses kreatif pengarang dapat

berupa struktur sosial, proses sosial, dan perubahan-perubahan sosial (Siswanto, 2008:

3). Struktur sosial mencakup berbagai hubungan sosial antarindividu, termasuk di

dalamnya kaidah-kaidah sosial dan status sosial (Abdulsyani, 2007: 68). Proses sosial

merupakan hubungan timbal balik antara individu, sedangkan perubahan sosial

merupakan perubahan yang terjadi dalam proses sosial (Roucek dan Roland, 1963: 54).

Berdasarkan hal tersebut, Junus (dalam Siswanto, 2008: 3) menjabarkan latar belakang

sosiologis pengarang atas enam faktor, yakni asal sosial, kelas sosial, jenis kelamin,

(40)

2.3 Landasan Teori

Pembicaraan mengenai pendekatan sosiologis atau sosiologi sastra terhadap

karya sastra di Indonesia, muncul pada dekade tahun 1980-an (Mahayana, 2005: 335;

Sikana, 2009: 255). Pada saat itu, muncul anggapan bahwa karya sastra, khususnya

novel-novel di Indonesia, dalam beberapa hal mengandung nilai-nilai cermin

masyarakat, terutama novel yang berlatar belakang sosial budaya. Menurut Pradopo

(1995: 66), latar sosial budaya daerah yang ditonjolkan dalam novel-novel Indonesia

terjadi pada periode 1970-1990. Beberapa novel yang menjadikan sosial budaya dan

masyarakat sebagai latar belakangnya, antara lain, Warisan karya Chairul Harun (1979)

dan Bako karya Darma Moenir (1983), yang menggambarkan masyarakat

Minangkabau; Upacara karya Korrie Layun Rampan (1978), sebagai potret masyarakat

Dayak; Sri Sumarah (1985) dan Para Priyayi (1990) karya Umar Kayam, berlatar

belakang masyarakat Jawa; serta Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya

(1971) yang menggambarkan masyarakat Bali. Gambaran masyarakat multietnis dalam

novel-novel Indonesia itu menjadikan sastra Indonesia sangat kaya dan khas

dibandingkan dengan kesusastraan negara lain. Oleh karena itu, peranan sosiologi sastra

sangat dibutuhkan di Indonesia, terutama untuk mengangkat keberagaman tradisi

kultural masyarakat Indonesia.

Sosiologi sastra, pada dasarnya, lebih menitikberatkan pada unsur dalam karya

sastra yang menandai adanya hubungan antara pengarang dan latar belakang sosialnya.

Suatu kelompok masyarakat (lingkungan) tertentu, tempat seorang pengarang berada,

dengan sendirinya akan menghasilkan karya sastra tertentu pula. Kecenderungan ini

(41)

bersifat normatif, mengandung unsur-unsur pengatur yang mau tidak mau harus

dipatuhi. Sastra juga ditentukan atau dibentuk oleh situasi dan kondisi kehidupan sesuai

dengan struktur sosial masyarakat yang memiliki perbedaan kelas (Marx dalam Sikana,

2009: 256; Osborn, 2005:106). Sastra tidak dapat dipisahkan dari masyarakat karena

sastra muncul dari realitas sosial sehingga dapat dikatakan sebagai refleksi realitas.

Lukacs (dalam Selden, 1993: 27) menyatakan bahwa novel bukan hanya mencerminkan

realitas pada permukaannya, tetapi juga merefleksikan realitas yang lebih lengkap,

hidup, dan dinamis.

Pernyataan di atas menyiratkan bahwa karya sastra, sebagai dunia rekaan, tidak

berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra jelas dikonstruksikan secara imajinatif,

tetapi kerangka imajinasi tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya (Ratna, 2003:

27). Karya sastra lahir berdasarkan fakta kultural dan melibatkan struktur sosial

sehingga dapat menjelaskan eksistensi individu dalam masyarakat. Hal ini relevan

dengan tujuan sosiologi sastra yang disampaikan Kayam (dalam Ratna, 2003: 26) yakni

”Memahami manusia melalui visi antardisiplin sekaligus menopang koeksistensi

disiplin humaniora dalam menghadapi transformasi budaya secara global”.

Secara harfiah, sosiologi sastra berarti analisis yang menggabungkan teori-teori

sosiologi dan sastra. Namun demikian, dalam menganalisis karya sastra secara

sosiologis, teori-teori sastra lebih dominan digunakan daripada teori sosiologi yang

hanya bersifat komplementer. Menurut Ratna (2003: 18), teori-teori sosiologi yang

dipakai dalam analisis sosiologis adalah teori yang dapat menjelaskan hakikat

fakta-fakta sosial dalam karya sastra, seperti kelas sosial, stratifikasi sosial, interaksi sosial,

(42)

Karya sastra yang menekankan perihal masyarakat dalam penceritaannya, dapat

didekati melalui pendekatan sosiologis. Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah

adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan yang

dimaksud, menurut Ratna (2004: 332-333), adalah sebagai berikut.

1. Karya sastra ditulis oleh pengarang; pengarang adalah anggota masyarakat. 2. Karya sastra hidup dalam masyarakat.

3. Medium karya sastra, yakni bahasa, dipinjam melalui kompetensi masyarakat.

4. Dalam karya sastra terkandung aspek yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat, yaitu estetika, etika, dan logika.

5. Karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat dapat menemukan citra dirinya dalam karya tersebut.

Di samping itu, sosiologi sastra juga dianggap sebagai bagian dari tradisi

empirik dalam sosiologi umum. Artinya, keterlibatan produksi, distribusi, dan resepsi

sastra sebagai kegiatan sosial yang spesifik tidak dapat dinafikan. Dengan demikian,

objek sosiologi sastra, menurut Silbermann (dalam Segers, 2000: 68) dapat dipaparkan

sebagai berikut.

1. studi terhadap pengaruh sastra pada kehidupan sosial;

2. studi pengaruh sastra pada pembentukan kelompok, interferensi kelompok, konflik kelompok, dan sebagainya;

3. studi perkembangan dan keragaman sikap sosial;

4. studi pembentukan, pertumbuhan, dan lenyapnya lembaga-lembaga sosioartistik; dan

5. studi faktor-faktor tipikal dan bentuk-bentuk organisasi sosial yang mempengaruhi sastra.

Pada dasarnya, sosiologi sastra dapat diaplikasikan ke dalam karya sastra

melalui tiga perspektif (Endraswara, 2008: 80). Pertama, perspektif teks sastra, yakni

karya sastra dianalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat. Kedua, perspektif

biografis, yakni menganalisis karya sastra melalui latar belakang sosial pengarang.

(43)

sastra. Hal ini sesuai dengan pandangan Escarpit (2008: 3) yang menyatakan bahwa

fakta sastra menyiratkan adanya penulis (pencipta), buku (karya sastra), dan pembaca

(publik).

Teori sosiologi sastra yang berkaitan dengan ketiga fakta sastra tersebut

dikemukakan oleh Wellek dan Austin yang dikenal dengan teori trilogi

pengarang-karya-pembaca (Ratna, 2003: 22). Klasifikasi teori trilogi Wellek dan Austin (1993:

111) adalah sebagai berikut.

(1) Sosiologi pengarang.

Masalah yang berkaitan dengan sosiologi pengarang adalah dasar ekonomi

produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang, dan ideologi pengarang yang

terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Informasi mengenai

pengarang dapat diketahui melalui biografinya, terutama yang berkaitan dengan proses

kreatif. Menurut Wellek dan Austin (1993: 112), biografi pengarang merupakan sumber

utama, akan tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan asal

pengarang. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga atau posisi

ekonomi pengarang, turut berperan dalam pengungkapan masalah sosiologi

pengarang. Menurut Abrams (dalam Pradopo, 2002: 22), sosiologi pengarang, terutama

proses kreatifnya, dipengaruhi oleh status kelasnya, ideologi masyarakat,

keadaan-keadaan ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaannya, dan jenis pembaca yang

dituju. Segers (2000: 70) juga mengaitkan sosiologi pengarang dengan profesionalisme

pengarang, kelas sosial, dan generasi sastra pengarang tersebut.

Sebagai makhluk sosial, pengarang tentunya dipengaruhi oleh latar belakang

(44)

sosial, proses sosial, dan perubahan-perubahan sosial. Menurut Junus (dalam Siswanto,

2008: 3), latar belakang sosiologis pengarang dapat dijabarkan atas enam faktor, yaitu

(1) asal sosial, yang merujuk pada lingkungan tempat pengarang dibesarkan atau tempat

tinggalnya; (2) kelas sosial, berkaitan dengan kedudukan pengarang dalam masyarakat,

apakah berasal dari kelas atas, menengah, atau bawah; (3) jenis kelamin; (4) umur; (5)

pendidikan; dan (6) pekerjaan pengarang.

(2) Sosiologi karya sastra.

Sosiologi karya sastra berkaitan dengan isi karya sastra, tujuan, serta hal lain

yang tersirat dalam karya sastra yang ada hubungannya dengan masalah sosial.

Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini adalah mempelajari sastra sebagai

dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial (Wellek dan Austin, 1993: 122). Karya

sastra dianggap sebagai cermin masyarakat karena merefleksikan sikap kelompok sosial

tertentu (Ian Watt dalam Damono, 2002: 4).

(3) Sosiologi sastra/ pembaca

Sosiologi sastra berkaitan dengan permasalahan pembaca dan dampak sosial

karya sastra. Karya sastra dianggap dapat mempengaruhi dan mengubah pola pikir

publik pembaca, sehingga dari segi etika resepsi, menurut Albert Memmi (dalam

Segers, 2000: 70), cara-cara sebuah karya diterima oleh pembaca dapat dipandang

sebagai indikasi yang krusial dari pentingnya karya tersebut.

Klasifikasi trilogi pengarang-karya-pembaca yang dikemukakan Wellek dan

Austin tersebut tidak jauh berbeda dengan hubungan timbal balik antara sastrawan,

sastra, dan masyarakat yang dibicarakan Ian Watt dalam esainya yang berjudul

(45)

diklasifikasikannya menjadi konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin

masyarakat, dan fungsi sosial sastra.

Sebagai suatu pendekatan yang reflektif, sosiologi sastra harus menemukan

sasaran yang tepat dalam pengaplikasiannya. Sasaran yang dimaksud adalah (1) fungsi

sosial sastra, (2) produksi dan pemasaran sastra, (3) sastra sebagai cermin masyarakat,

dan (4) konteks sosiobudaya (Endraswara, 2008: 81). Hal ini sesuai dengan pandangan

Alan Swingewood (dalam Junus, 1986: 1) yang mengatakan,

”Sosiologi dan sastra meliputi tiga pendekatan, yaitu (1) pendekatan yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosio-budaya, (2) pendekatan yang memandang kedudukan sosial pengarang, dan (3) pendekatan yang menekankan pada resepsi masyarakat terhadap suatu karya.”

Berdasarkan beberapa teori sosiologi sastra tersebut, teori trilogi

pengarang-karya-pembaca yang disampaikan Wellek dan Austin, dianggap lebih tepat dalam

mengungkapkan interaksi sosial yang ada dalam trilogi novel Darah Emas karya

Meiliana K. Tansri. Hal ini didasarkan pada keterlibatan pengarang yang cukup intens

(46)

2.4 Model Penelitian

TRILOGI DARAH EMAS

Intrinsik Ekstrinsik

Alur Karakter

Latar Tema

Sosiologi Sastra

Sosiologi Karya

Sosiologi Pengarang

Interaksi Sosial

Media Representasi

Latar Belakang Sosiologis

Karya Sastra sebagai Cermin Masyarakat

Pedoman Hidup Bermasyarakat

(47)

Keterangan:

= hubungan langsung = hubungan timbal balik

Trilogi Darah Emas (DE), yang berkedudukan sebagai objek penelitian,

dianalisis peneliti melalui dua pendekatan, intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik

bersumber pada teks sastra, yakni meneliti unsur-unsur yang membangun struktur

sebuah cerita. Menurut Stanton (2007: 7), struktur sebuah cerita dibangun oleh beberapa

unsur, diantaranya adalah fakta dan makna cerita. Fakta cerita terdiri atas (1) alur, (2)

karakter, dan (3) latar; sedangkan makna cerita merupakan tema yang terkandung dalam

cerita.

Setelah menganalisis fakta dan makna cerita, peneliti menganalisis trilogi DE

melalui pendekatan ekstrinsik. Pendekatan ekstrinsik adalah penelitian unsur-unsur di

luar karya sastra, yakni mengkaji konteks karya sastra. Unsur-unsur ekstrinsik yang

ditemukan dalam trilogi DE adalah (1) interaksi sosial yang dilakukan para tokoh; (2)

trilogi DE sebagai media representasi masyarakat, khususnya masyarakat

Tionghoa-Jambi; dan (3) terdapat hubungan antara trilogi DE dan latar belakang sosiologis

pengarang. Ketiga unsur ini tidak bisa dilepaskan dari fakta dan makna cerita karena

semuanya saling melengkapi dalam pemaknaan teks sastra. Oleh karena itu, sesuai

dengan bagan di atas, terlihat bahwa hubungan antarunsur bersifat timbal balik ( ).

Dengan kata lain, pemahaman terhadap karya sastra, yang memiliki otonomi tersendiri,

hanya mungkin dilakukan secara lebih lengkap apabila karya itu tidak dipisahkan dari

(48)

Sebagai karya yang sarat dengan muatan sosial, unsur-unsur ekstrinsik yang

ditemukan dalam trilogi DE dianalisis melalui teori sosiologi sastra Wellek dan Austin

(teori trilogi pengarang-karya-pembaca). Namun demikian, analisis terhadap trilogi DE

dibatasi pada sosiologi karya dan sosiologi pengarang. Sosiologi karya berfungsi untuk

menganalisis interaksi sosial antartokoh dan mendeskripsikan trilogi DE sebagai media

representasi masyarakat Tionghoa-Jambi. Sosiologi pengarang berfungsi untuk

mendeskripsikan latar belakang sosiologis pengarang yang terdiri atas enam faktor,

yaitu (1) asal sosial pengarang, (2) kelas sosial pengarang, (3) umur pengarang, (4) jenis

kelamin pengarang, (5) pendidikan pengarang, dan (6) pekerjaan pengarang. Hubungan

antara sosiologi karya dan pengarang merupakan hubungan timbal balik. Hal ini

menyiratkan bahwa sosiologi sastra tidak akan terlepas dari fakta-fakta sastra, antara

lain, karya dan pengarang.

Melalui hasil analisis yang dilakukan terhadap sosiologi karya dan pengarang,

ditemukan bahwa trilogi DE merepresentasikan kehidupan masyarakat Tionghoa-Jambi

sehingga terminologi karya sastra sebagai cermin masyarakat dapat diberlakukan –

meskipun cermin masyarakat yang dimaksud di sini adalah potret kehidupan yang sudah

direka pengarang melalui medium bahasa. Oleh karena itu, sebagai suatu cermin, trilogi

DE juga memiliki nilai-nilai positif yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup

bermasyarakat, antara lain, keharmonisan interaksi antaretnis serta pelestarian warisan

(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian terhadap trilogi Darah Emas dilakukan dengan menggunakan metode

kualitatif. Pemilihan metode ini didasarkan kepada perspektif filosofi penelitian

kualitatif, yakni fenomenologi yang menekankan kepada pengalaman-pengalaman

subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi dunia (Moleong, 2006: 15).

Fenomenologi di dalam karya sastra terbentuk dari kesadaran pengarang menciptakan

dunia yang dialami orang-orang di sekitarnya. Pemilihan metode kualitatif dalam

penelitian ini juga disesuaikan dengan pandangan Moleong (2006: 5) yang mengatakan

bahwa metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan

responden. Hal ini bersesuaian dengan pandangan Muhadjir (2002:19) yang

mengatakan bahwa metode kualitatif yang berlandaskan fenomenologi, secara

epistemologis, menuntut bersatunya subjek peneliti dengan subjek pendukung objek

penelitian.

Di samping itu, dasar pemilihan metode ini disesuaikan dengan ciri-ciri

penelitian kualitatif dalam kajian sastra, sebagaimana yang dikemukakan Endraswara

(2008:5), yaitu:

(1) peneliti merupakan instrumen kunci yang akan membaca secara cermat sebuah karya sastra;

(2) penelitian dilakukan secara deskriptif, artinya terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar jika diperlukan, bukan berbentuk angka;

(3) lebih mengutamakan proses daripada hasil karena karya sastra merupakan fenomena yang banyak mengandung penafsiran;

(50)

Dalam penelitian ilmu sosial, metode kualitatif memanfaatkan cara-cara

penafsiran yang disajikan dalam bentuk deskripsi dan dibatasi oleh hakikat fakta-fakta

sosial serta sejumlah gejala sosial yang relevan. Sebagai sebuah prosedur penelitian,

metode ini menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau catatan-catatan yang

berhubungan dengan makna, nilai, dan pengertian (Bogdan dan Steven, 1992: 21).

Apabila diterapkan dalam penelitian sastra, metode ini melibatkan pengarang serta

lingkungan sosial tempat pengarang berada, termasuk unsur-unsur kebudayaan pada

umumnya. Ratna (2004: 47) mengatakan bahwa metode kualitatif dalam penelitian

sastra memfokuskan perhatian kepada data alamiah yang dihubungkan dengan konteks

keberadaannya. Data alamiah dalam karya sastra diperoleh melalui berbagai fenomena

yang dinarasikan dan dideskripsikan oleh pengarang yang dapat dihubungkan dengan

konteks sosialnya. Oleh karena itu, metode kualitatif cenderung menekankan pada

faktor kontekstual sehingga peneliti perlu mendekatkan diri secara holistik (Widati,

2001: 36; Muhadjir, 2002: 18).

Penelitian ini juga menggunakan metode deskriptif-analitik, yaitu metode yang

dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta sekaligus menganalisisnya. Menurut

Widati (2001: 35), metode ini bertujuan untuk menggambarkan secara cermat sifat-sifat

suatu individu dan gejala yang terjadi melalui analisis yang dilakukan. Dalam trilogi

DE, pendeskripsian dan penganalisisan fakta dilakukan melalui dua pendekatan,

intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik bersumber pada teks sastra, sedangkan

ekstrinsik bersumber dari konteks karya sastra (Endraswara, 2008: 9). Kedua

pendekatan ini perlu diaplikasikan untuk memperoleh pemaknaan yang utuh dari karya

(51)

3.2 Sumber Data

Sumber data penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Dari kedua

sumber itu, sumber data primer menjadi acuan utama dalam menemukan aspek

sosiologis dalam masyarakat Tionghoa-Jambi. Sumber data primer penelitian ini

terangkum dalam trilogi DE karya Meiliana K. Tansri. Peluncuran (launching) trilogi

novel ini, khususnya buku pertama dan kedua, dilakukan di Toko Buku Gramedia

Jambi, pada tanggal 31 Mei 2010. Buku ketiga dari trilogi ini muncul di toko buku pada

bulan Juli 2010.

Adapun judul novel-novel yang terangkum dalam trilogi DE adalah sebagai

berikut.

1. Novel Mempelai Naga (MN) merupakan buku pertama dari trilogi DE. Novel

MN yang menjadi sumber data penelitian ini adalah novel cetakan pertama yang

diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, tahun 2010. Sampul (kulit) depan

novel yang bergambar wajah perempuan Tionghoa yang sedang tersenyum

dengan latar belakang warna kuning keemasan ini, didesain oleh Marcel A.W.

Novel ini berukuran 20 x 13,5 cm dan terdiri atas 248 halaman.

2. Novel Gadis Buta dan Tiga Ekor Tikus (GBTET) merupakan buku kedua dari

trilogi DE. Novel GBTET yang menjadi sumber data penelitian ini adalah novel

cetakan pertama, diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, tahun 2010.

Sama seperti novel pertama, novel ini juga berukuran 20 x 13,5 cm, tebal 248

halaman, dan desain sampul dikerjakan oleh Marcel A.W. Sampul depan novel

ini bergambar wajah perempuan yang sedang menunduk dengan latar belakang

(52)

3. Novel Sembrani (Sbr) merupakan buku ketiga dari trilogi DE. Novel Sbr yang

menjadi sumber data penelitian ini adalah novel cetakan pertama yang

diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, tahun 2010. Sampul (kulit) depan

novel ini bergambar wajah perempuan Tionghoa yang sedang menghadap ke

samping kanan dengan latar belakang warna biru dan gambar kuda sembrani.

Desain sampul juga dikerjakan oleh Marcel A.W. Novel ini berukuran 20 x 13,5

cm dan terdiri atas 240 halaman.

Sumber data sekunder penelitian ini berupa tulisan-tulisan yang membicarakan

tentang Meiliana K. Tansri, baik tentang karya-karyanya maupun proses kreatif

kepengarangannya. Data sekunder berikutnya berupa tulisan-tulisan yang

membicarakan tentang sosiokultur masyarakat Tionghoa-Jambi. Data sekunder ini

diperoleh melalui buku, makalah, media cetak, dan internet.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang berkaitan dengan interaksi sosial dalam trilogi DE

dilakukan dengan teknik (metode) dokumenter, yakni pengumpulan data melalui

dokumen-dokumen yang berhubungan dengan objek yang akan dianalisis (Bungin,

2008: 121). Dokumen yang menjadi pusat perhatian dalam pengumpulan data ini adalah

dokumen publik dan dokumen pribadi. Dokumen publik diperoleh melalui media massa

dan kepustakaan, sedangkan dokumen pribadi diperoleh melalui wawancara yang

dilakukan peneliti dengan pengarang (Bogdan dan Steven, 1992: 25).

Pengumpulan data dilakukan melalui pembacaan secara cermat dan

(53)

162), data penelitian yang diperoleh dari hasil bacaan, dicatat sekaligus diseleksi.

Penyeleksian dilakukan untuk melihat relevansi antara data dan konstruk penelitian.

Data yang tidak relevan, ditinggalkan, sedangkan data yang relevan diberi penekanan

(digarisbawahi) untuk memudahkan peneliti dalam menganalisis.

Pengumpulan data penelitian ini juga menggunakan teknik wawancara kepada

pengarang trilogi DE, Meiliana K. Tansri. Teknik ini dilakukan untuk mengetahui

secara langsung latar belakang sosiologis pengarang yang berkaitan dengan proses

kreatif DE. Teknik wawancara dilakukan secara terbuka, artinya, pihak yang

diwawancarai mengetahui maksud dan tujuan wawancara (Moleong, 2006: 189). Dalam

melakukan wawancara, peneliti menggunakan petunjuk umum wawancara, yaitu

membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang ditanyakan dalam proses

wawancara. Wawancara juga dilakukan secara terstruktur karena peneliti menetapkan

sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Dengan demikian,

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak secara spontanitas, melainkan telah

dipersiapkan terlebih dahulu.

Jenis wawancara yang dilakukan adalah wawancara jarak jauh. Bahan

wawancara, berupa pertanyaan-pertanyaan terstruktur, dikirimkan ke alamat pos-el

(e-mail) pengarang dan pengarang mengirimkan jawabannya melalui pos-el pula. Hasil

wawancara jarak jauh tersebut merupakan dokumen pribadi yang menjadi salah satu

(54)

3.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data trilogi novel DE ini menggunakan teknik analisis konten

(content analysis). Teknik analisis konten memberi perhatian pada isi pesan atau makna

yang terkandung dalam karya sastra (Ratna, 2004:49; Endraswara, 2008: 161). Teknik

ini berangkat dari aksioma bahwa studi tentang proses dan isi komunikasi adalah dasar

bagi ilmu-ilmu sosial (Muhadjir, 2002: 68; Bungin, 2008: 84). Dalam penelitian

kualitatif, penekanan analisis konten tertuju pada cara peneliti melihat keajekan isi

komunikasi, memaknakan isi komunikasi, membaca simbol-simbol, serta memaknakan

isi interaksi simbolis yang terjadi dalam komunikasi (Bungin, 2008: 156).

Isi dalam analisis konten terdiri atas dua bagian, yakni isi laten dan isi

komunikasi (Ratna, 2004: 48). Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen atau

naskah, sedangkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat

komunikasi yang terjadi. Analisis isi laten akan menghasilkan arti, sedangkan analisis

isi komunikasi akan menghasilkan makna. Berdasarkan hal tersebut, isi laten dalam

trilogi DE dapat diketahui melalui analisis yang menggunakan pendekatan intrinsik dan

ekstrinsik, sedangkan isi komunikasi adalah makna yang diperoleh berdasarkan

interpretasi terhadap hasil analisis.

Analisis konten dalam meneliti trilogi DE dilakukan dalam tiga tahap, yaitu (1)

menganalisis dan mendeskripsikan struktur trilogi DE; (2) mendeskripsikan relevansi

struktur novel dan konteks sosial masyarakat Tionghoa-Jambi; dan (3) mendeskripsikan

latar belakang sosiologis pengarang. Ketiga tahapan tersebut tergambar dalam bagan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil implementasi masalah sosial dalam novel TSP yaitu (1) masalah sosial dalam novel TSP relevan dengan KD 7.2 menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik

Objek penelitian ini adalah unsur struktur novel Midah Simanis Bergigi Emas menurut Robert Stanton yang meliputi fakta cerita dibatasi pada alur, karakter,

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai budaya Jawa yang terdapat dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Adapun tujuan yang lebih

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 11 (sebelas) diksi yang menyangkut seksualitas dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, yaitu (a)

(1) reduksi data, peneliti melakukan proses pemilihan, pemusatan, dan penyederhanaan data berupa teks-teks yang menggambarkan hegemoni dalam novel Trilogi karya

ABSTRAK Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bentuk 1.) Interaksi sosial asosiatif dan 2.) Interaksi sosial disosiatif dalam novel Harmoni dalam “?” karya Melvy Yendra

Dengan demikian Judul penelitian” Interaksi sosial” adalah mengkaji hubungan sosial atau cara individu berinteraksi dengan individu yang lainnya dalam karya sastra, yaitu

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa ada tiga bentuk interaksi sosial yang ditemukan dalam novel Senandung Sabai: Cinta dan