• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEBAGAI MEDIA REPRESENTASI MASYARAKAT TIONGHOA-JAMBI

5.1 Fakta-Fakta Fiksional dalam Trilogi Darah Emas yang Merepresentasikan Masyarakat Tionghoa-Jambi

5.1.2 Sikap Hidup Tokoh

Orang-orang Tionghoa sangat memegang teguh sikap hidup yang mereka warisi dari para leluhurnya. Mereka menerapkan sikap hidup itu untuk menunjukkan jati dirinya di manapun berada. Ketika orang-orang Tionghoa merantau ke luar negaranya, mereka berupaya merekonstruksi lingkungan budaya yang mirip dengan lingkungan yang mereka tinggalkan di negerinya (Salmon, 2010: 121). Tidak mengherankan apabila setiap negara tempat mereka merantau, dibangun kelenteng-kelenteng dengan gaya Tiongkok yang indah dan rumah-rumah khas Tionghoa. Kawasan tempat mereka menetap di negara perantauan dikenal dengan kawasan Pecinan (China Town) yang menunjukkan sikap hidup kebersamaan mereka.

Di Kota Jambi, kawasan komunitas Tionghoa yang disebut dengan kampung Pecinan, dapat ditemukan di Kelurahan Cempaka Putih, Kecamatan Jelutung. Sebagian penduduknya sudah menghuni ruko-ruko berpintu besi layaknya teralis penjara. Akan tetapi, sebagian lagi masih ada yang menempati rumah khas Pecinan, rumah dengan ukuran dan model yang sama, beratap genteng, dan berpagar kayu -hampir tidak ada beda antara pagar satu rumah dan rumah yang lain-. Yang membedakan rumah-rumah tersebut hanya warna cat. Menurut salah seorang warga Tionghoa yang tinggal di sana, rumah itu sudah ada sejak tahun 1918 silam (dalam www.metrojambi.co.id).

Orang Tionghoa pun terkenal memiliki sikap hidup beragama yang taat dengan cara memuja Sang Pencipta dengan melakukan ritual sembahyang yang disertai dengan sesajian. Meskipun taat, mereka tidak menganut sikap hidup fatalistik, yakni sikap hidup yang pasrah menerima garis nasib yang sudah ditentukan Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang tidak mudah berputus asa dan memiliki keinginan kuat untuk

mengubah nasib ke arah yang lebih baik. Sikap ini sesuai dengan falsafah hidup yang menyatakan bahwa manusialah yang dapat menentukan nasib tujuannya sendiri.

Ritual sembahyang ditunjukkan melalui tokoh Cen Cu yang memberi persembahan berupa bunga-bunga harum kepada Ti Kong sambil memanjatkan doa-doa setelah sebelumnya menyalakan hio.

Dia mengumpulkan bunga untuk sembahyang. Ada sebatang pohon melati india tua yang ditanam ayahnya di halaman depan, yang setiap hari dengan murah hati meluruhkan bunga-bunganya yang harum. Cen Cu menyukai bunga-bunga putih bertangkai oranye itu, dan dia yakin Ti Kong juga. Dengan hati-hati dia memunguti kuntum demi kuntum bunga yang berserakan di tanah ke dalam sebuah piring email biru, lalu membawanya masuk untuk diletakkan di depan tempat hio pada altar sembahyang. Dinyalakannya dua batang hio harum, mengangkat hio berasap itu tinggi di depan keningnya dan membuat gerakan pai (sungkem) seraya memanjatkan doa. Dia berdoa untuk arwah orang tuanya, kakek-neneknya, dan semua keluarganya yang sudah meninggal. Dia berdoa memohon agar Ti Kong melapangkan jalan bagi masa depannya yang sekarang tampak buntu. Ketika dia berdoa, asap hio yang harum menyejukkan rongga hidungnya, memberinya perasaan tenang dan damai, dan Cen Cu merasa melihat Ti Kong tersenyum kepadanya (MN: 16-17).

Dari segi perekonomian, kebanyakan orang Tionghoa tergolong sukses dan mapan. Pada umumnya, mereka lebih memilih menjalankan bisnis, seperti menjadi pengusaha atau pedagang, daripada pegawai kantoran. Biasanya, bisnis yang mereka jalankan bukan hanya meliputi satu bidang, melainkan juga merambah ke beberapa bidang usaha. Hartanto digambarkan sebagai pengusaha Tionghoa yang sukses. Ia bukan hanya menjalankan bisnis di bidang industri perkayuan, tetapi juga bisnis properti dan mal. Ia malah disebut-sebut sebagai orang terkaya di Jambi (GBTET: 97).

Orang Tionghoa memang memiliki kiat tersendiri dalam menjalankan bisnisnya. Salah satunya adalah berani menjual produk dengan harga yang sangat murah untuk menyenangkan pembeli. Mereka juga tidak segan-segan memberikan bonus. Gambaran ini terlihat ketika Cen Cu datang ke toko obat milik Cun Hok, hendak membeli obat

Ang Kong Wan untuk ibu tirinya. Selain terkenal sangat manjur, obat ini juga mahal harganya. Tiga keping uang emas yang diberikan Naga kepada Cen Cu tidak cukup untuk menebus obat itu. Akan tetapi, Cun Hok berbaik hati memberikan obat itu, ditambah dua kotak obat lainnya sebagai bonus (MN: 108).

Sikap hidup berbagi seperti itu yang menjadikan bisnis orang Tionghoa mampu bertahan meskipun di negeri orang. Setelah meraih kesuksesan pun mereka tetap berbagi, terutama dengan saudara-saudaranya sesama etnis Tionghoa. Pegawai kepercayaan Hartanto di pabrik kayu lapisnya bernama A Hai, sekretarisnya A Cen, dan pengawas pabriknya bernama Suharno. Ketiganya adalah orang-orang Tionghoa yang dipekerjakan Hartanto di perusahaannya. Gejala ini mengisyaratkan bahwa nepotisme tidak bisa dihindari dari kehidupan etnis apapun.

Sikap hidup lainnya yang dimiliki tokoh dalam trilogi DE adalah harga diri. Menurut Landri (2006: 70), orang Tionghoa harus memiliki zi zun ’harga diri’ sesuai dengan pepatah leluhurnya: ”Miskin atau kurang pendidikan tidak menjadi masalah, yang penting orang harus memiliki harga diri” (Landri, 2006: 70). Leng Cu yang buta, membekali dirinya dengan ilmu bela diri agar bisa mempertahankan diri dari orang-orang jahat. Menurutnya, ”Cacat tidak berarti tidak berdaya, tidak berguna, dan hanya pantas dikasihani” (GBTET: 28).

Selain sikap hidup positif, dalam trilogi DE juga diungkapkan keburukan orang Tionghoa. Salah satunya adalah ketidaksetiaan yang ditunjukkan Hartanto terhadap istrinya, Lena Chan. Hartanto berselingkuh dengan perempuan lain pada saat istrinya dalam keadaan hamil. Dari hasil perselingkuhannya dengan Sulastri, lahirlah Rigel, yang di kemudian hari justru melahirkan Xander, hasil hubungan luar nikah dengan

anak sah Hartanto. Menurut Hermawan (2009: 95), inklusi narasi ketidaksetiaan seperti itu tampak memetakan sejarah generasi Tionghoa yang ”ilegal dan tidak orisinal” karena dilahirkan oleh ibu non-Tionghoa yang dinikahi secara tidak resmi oleh ayah Tionghoa.