• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTERAKSI SOSIAL DALAM TRILOGI DARAH EMAS

4.1.1 Fakta dan Makna Cerita Trilogi Darah Emas

Unsur-unsur dalam novel, seperti alur, karakter, dan latar, disebut Stanton sebagai fakta cerita; sedangkan tema disebutnya sebagai makna cerita. Fakta dan makna cerita, berdasarkan pandangan Stanton (2007: 22), “Berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita; jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan ‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan faktual’ dalam cerita”.

Fakta cerita yang paling penting adalah alur (Stanton, 2007: 28; Nurgiyantoro, 1995: 110). Hal ini cukup beralasan sebab kejelasan tentang alur sebagai kaitan

antarperistiwa yang dikisahkan secara linear, akan mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita yang ditampilkan. Alur memiliki hubungan kausalitas dengan peristiwa-peristiwa dalam cerita. Hubungan kausalitas itu tidak hanya terbatas pada hal-hal yang fisik, seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap karakter serta segala sesuatu yang menjadi variabel pengubah dalam dirinya (Stanton, 2007: 28). Di samping itu, alur memiliki hukum-hukum tersendiri, yakni memiliki bagian awal, tengah, dan akhir, serta dapat menciptakan bermacam kejutan sekaligus mengakhiri ketegangan-ketegangan. Menurut Stanton, dua elemen dasar yang membangun alur adalah konflik dan klimaks. Konflik dalam alur dapat bersifat internal, eksternal, atau kedua-duanya. Konflik tersebut hadir melalui hasrat seorang atau dua orang karakter dengan lingkungannya yang akan tumbuh dan berkembang seiring dengan alur yang terus-menerus mengalir. Ketika konflik terasa sangat intens -sehingga ending tidak dapat dihindari lagi- terjadilah klimaks. Klimaks adalah puncak dari segala konflik yang akan menentukan bagaimana konflik tersebut terselesaikan.

Fakta cerita berikutnya adalah karakter. Menurut Stanton (2007: 33), terma karakter dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita; sedangkan konteks kedua, merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut. Setiap karakter memiliki alasan untuk bertindak, yang disebut dengan motivasi. Stanton membagi motivasi menjadi dua, motivasi spesifik dan motivasi dasar. Motivasi spesifik seorang karakter adalah alasan atas reaksi spontan, yang terkadang tidak disadari, yang ditunjukkan oleh adegan atau dialog tertentu. Motivasi dasar adalah hasrat dan maksud yang memandu karakter dalam melewati

keseluruhan cerita. Untuk memvisualisasikan sekaligus memahami motivasi dan karakter, pembaca dapat melakukan pembuktian melalui hal-hal berikut, yakni melalui penafsiran terhadap nama-nama karakter, bunyi yang diartikulasikan dari nama karakter, serta deskripsi eksplisit dan komentar pengarang mengenai karakter yang bersangkutan.

Fakta cerita yang ketiga adalah latar, yakni lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung, dan berpengaruh kepada karakter dalam cerita, yang merefleksikan suasana jiwa sang karakter (Stanton, 2007: 35-36). Latar dapat berwujud dekor, baik dekor fisik (seperti gedung, jalan, kota) maupun sosial (komunitas tertentu); berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun); berwujud cuaca; atau satu periode sejenis.

Sebuah cerita juga memiliki makna yang disebut dengan tema, sebagai gagasan utama yang mendasari sebuah cerita. Tema dapat disejajarkan dengan makna dalam pengalaman manusia, yakni mengacu kepada aspek-aspek kehidupan sehingga ada nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita. Menurut Stanton (2007: 41), tema adalah makna yang dapat merangkum semua elemen dalam cerita yang diungkapkan dengan bahasa yang paling sederhana.

Selanjutnya, Stanton mengungkapkan bahwa cara yang paling efektif untuk mengidentifikasi tema sebuah karya adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya. Pengamatan harus dilakukan pada semua hal, seperti peristiwa, karakter, bahkan objek-objek yang dianggap kurang relevan dengan alur penceritaan. Pengarang biasanya tidak memunculkan tema cerita secara eksplisit, ia

akan meleburkannya bersama fakta-fakta cerita yang lain. Oleh karena itu, pengamatan harus dilakukan sampai ke dalam setiap detail cerita.

Fakta-fakta cerita dalam trilogi DE yang dianalisis adalah alur, perwatakan, dan latar. Analisis dilanjutkan dengan mencari makna cerita, yaitu tema. Analisis satu fakta cerita merupakan bagian yang menyatu dengan analisis fakta cerita yang lain sehingga dapat ditemukan bahwa trilogi DE, sebagai suatu teks, terdiri atas kesatuan struktur yang utuh.

4.1.1.1 Alur

Alur yang membangun peristiwa dalam trilogi DE, secara konvensional, terdiri atas tiga bagian: awal, tengah, dan akhir. Bagian awal terdapat dalam buku pertama, yakni MN, bagian tengah dalam buku kedua, GBTET, dan bagian akhir terdapat dalam buku ketiga, Sbr. Setiap bagian memiliki konflik, namun klimaks hanya ditemukan pada bagian ketiga, Sbr, yang menutup seluruh rangkaian peristiwa dengan sebuah selesaian (ending).

Penggunaan alur maju dalam trilogi ini sangat dominan karena setiap peristiwa diceritakan secara kronologis, berurutan dari awal sampai akhir. Penggunaan sorot balik (flashback) juga ada, tetapi tidak mempengaruhi kekronologisan cerita.

Sebagaimana telah diutarakan, bagian awal trilogi DE terdapat dalam buku pertama, MN. Struktur penceritaan dalam MN cukup unik karena setiap peristiwa dalam beberapa bab pertama berdiri sendiri; tidak saling berhubungan sehingga alurnya terkesan melompat-lompat. Menurut Mahayana (2007: 79), alur seperti ini merupakan ciri khas novel realitas-surealitas yang menghadirkan masalahnya sendiri-sendiri dalam

fragmen-fragmen yang berserakan, berdesakan, dan susul-menyusul. Tetapi pada satu titik tertentu, akan ada benang merah yang menjalin satu fragmen dengan fragmen lainnya. Seperti halnya MN yang terdiri atas 13 bab. Lima bab pertama menceritakan tentang peristiwa yang dialami masing-masing tokoh yang kelak terlibat dalam urusan situs Kemingking. Bab pertama dan ketiga khusus membicarakan tentang Cen Cu, perempuan petani yang terpilih sebagai mempelai Naga; bab kedua menceritakan tentang Hartanto, pengusaha Tionghoa pemilik pabrik kayu lapis, dan penasihat spiritualnya, Datuk Itam; bab keempat dan kelima membicarakan tentang Rigel, wartawan yang menyelidiki kebenaran tentang situs Kemingking. Memasuki bab keenam sampai seterusnya, rangkaian peristiwa akan memunculkan benang merah yang menghubungkan peristiwa dalam lima bab pertama dengan bab-bab selanjutnya.

Bagian awal dimulai dengan pertemuan antara Cen Cu dan Naga, roh langit dan bumi. Pertemuan itu terjadi ketika Cen Cu sibuk mencari induk babi peliharaan mereka, Ti-bu, yang menghilang dari kandang. Cen Cu mencari Ti-bu sampai ke dalam hutan yang terletak di belakang rumah mereka.

Cen Cu mengusap peluh yang membasahi wajahnya. Hari masih gelap dan udara dingin karena matahari belum terbit, tetapi pekerjaan mencari induk babi yang minggat itu sudah membuatnya gerah. Bangun sejak sejam yang lalu pada pukul lima pagi untuk berkeliaran di semak-semak dengan risiko dipatuk ular bukanlah keinginannya. Namun, melawan perintah ibu tirinya yang sewenang-wenang sama saja menjerat leher dengan ekor sendiri, dan Cen Cu tidak ingin hidupnya yang tertindas menjadi makin rumit. Kehilangan induk babi yang sedang bunting besar bisa berarti bencana bagi keluarga petani seperti mereka (MN: 9).

Hanya keheningan fajar di bawah sinar-sinar pertama matahari pagi yang menjawabnya. Air sungai sudah kembali tenang dan sekarang hanya desir arusnya yang terdengar. Cen Cu menarik napas panjang lagi. Kecemasannya menggumpal semakin padat. Di mana induk babi itu?

”Kau mencari binatang ini?”

Suara itu bergemuruh seperti air terjun yang dahsyat, seakan-akan hendak menggetarkan tanah dan membangunkan hutan yang masih tertidur. Cen Cu

melihat seorang laki-laki berdiri beberapa langkah di sebelah kirinya. Wajahnya sangat tampan. Rambutnya panjang dan berwarna seperti tembaga bergelombang tergerai ke bahu dan dadanya. Tonjolan-tonjolan otot berangkaian membentuk tubuhnya yang tegap dan padat. Cen Cu tidak mampu mencegah matanya memuaskan diri memandangi setiap lekuk tubuh laki-laki itu. Bahu, dada, perut, pinggang, sampai ke daerah gelap di bawah pusar yang tertutup perdu. Cen Cu menahan napas. Laki-laki itu telanjang (MN: 10).

Induk babi itu terdengar menguik. Lalu langkahnya tersaruk-saruk berlari menuju majikan mudanya. Cen Cu terperangah.

”Siapa... kau...,” tanyanya antara takut dan ragu-ragu. ”Aku Naga. Roh langit dan bumi” (MN: 11).

Hubungan kausalitas terdapat pada bagian awal ini: Naga menemui Cen Cu untuk satu alasan: menjadikan perempuan itu sebagai mempelainya sehingga dapat melahirkan keturunan yang kelak menyelamatkan Kerajaan Kemingking. Hubungan kausalitas ini terdapat pada kutipan yang berupa pernyataan Naga mengenai alasan pemilihan Cen Cu menjadi mempelainya.

Panas menghangati kedua pipinya. Cen Cu tersentak. Dia mengejapkan mata dan melihat laki-laki asing itu membungkukkan badan.

”Kau perempuan yang bermartabat” (MN: 39).

”Aku mendampingi mereka melalui seorang perempuan yang lahir dari benihku, yang dilahirkan seorang perempuan terpilih. Dia akan membawa darahku dalam tubuhnya, yang akan diwariskannya pada semua perempuan keturunannya. Jika mereka mati tanpa memiliki anak perempuan, garis darah itu akan terputus. Dan aku akan mencari seorang pengganti. Seorang perempuan yang akan melahirkan anak perempuan untuk mewarisi darahku” (MN: 41).

”Sebuah kerajaan tertimbun di bawah bangunan berisi mesin-mesin. Permaisuri kerajaan itu adalah keturunanku, yang melakukan tugasnya dengan baik, ketika tiba-tiba kerajaannya diserbu dan mereka semua dibinasakan. Di bawah tempat singgasana dalam ruang takhta di kerajaan itu tertanam sebuah mahkota. Mahkota itu harus diserahkan pada raja. Anak perempuan yang akan lahir darimu adalah orang yang akan mengambil mahkota itu. Dia akan menobatkan raja, dan raja akan menghancurkan kaum keluarga jahat yang telah menyerbu dan menimbun kerajaan itu di bawah mesin-mesin, dan akan menyapu bersih semua jejak perbuatan mereka” (MN: 41-42).

Setelah pertemuan itu, Cen Cu mulai terbiasa dengan kehadiran Naga yang kadang-kadang muncul di luar perkiraannya. Cen Cu bahkan merasa aneh apabila Naga tidak datang menemuinya.

Naga menjumpainya lagi lewat tengah hari. Cen Cu berada di halaman belakang, sedang mencincang batang pisang untuk dimasak menjadi makanan babi ketika desau angin yang lembut berbisik memanggilnya.

”Cen Cu...”

Cen Cu sudah terlalu hafal suara itu untuk bertanya siapa yang memanggilnya. Dia meletakkan goloknya lalu berdiri untuk melakukan kowtow penuh hormat (MN: 77).

Saat itu tengah hari sudah lama lewat. Matahari yang terik sudah kembali bersembunyi di balik gumpalan awan mendung, dan Cen Cu tiba-tiba merasa khawatir. Naga tidak menjumpainya hari ini. Apakah Naga sudah melupakannya? Apakah Naga sudah memilih mempelai yang lain? Atau... bisakah sesuatu terjadi dan mencelakakannya? (MN: 123).

Puncak pertemuan Cen Cu dan Naga adalah ketika Naga menyetubuhi Cen Cu untuk menanamkan benihnya ke rahim Cen Cu. Beberapa waktu kemudian, Cen Cu hamil dan melahirkan bayi Naga yang berjenis kelamin perempuan.

Cen Cu terpesona. Dia tidak pernah melihat Naga tampak begitu memukau. Seluruh keberadaan laki-laki yang menakjubkan itu seperti sebuah undangan. Cen Cu melihat laki-laki itu mengulurkan tangan, dan dia menyambutnya.

Panas dari sentuhan itu menyengat Cen Cu, lalu menyambar dan dengan cepat mengurungnya dalam gulungan hawa panas yang melumpuhkan. Sebuah puntung berapi seperti dihunjamkam ke dalam tubuhnya, menimbulkan rasa sakit yang amat sangat seolah-olah hendak merobek kedua gendang telinganya...(MN: 142).

Namun, pada saat yang bersamaan dia juga menyadari bahwa gulungan hawa panas itu sedang memeluknya dengan lembut, membelainya dengan penuh kasih, dan membangkitkan semua kenangan dan perasaan indah dalam dirinya... Cen Cu tertawa. Dia sedang berenang dalam sungai yang bening dan sejuk, hanya ada perasaan tanpa bobot yang menyenangkan, dan air sungai yang terus mengalir (MN: 143).

”Dorong yang kuat, Tuan Putri,” katanya memerintah dengan lembut. ”Tuanku Naga hendak menyambut anak ini” (MN: 242).

Selain Cen Cu, alur dalam MN juga melatarbelakangi peristiwa yang dialami oleh tokoh Hartanto dan Datuk Itam. Hartanto adalah pemilik perusahaan kayu lapis yang terletak di atas sebuah lahan yang diduga sebagai bekas sebuah kerajaan kuno yang pernah berdiri berabad-abad silam. Bekas kerajaan itu terletak di desa Kemingking, desa tempat Cen Cu dan keluarganya tinggal. Dalam menjalankan usahanya, Hartanto selalu berkonsultasi dengan Datuk Itam, seorang dukun yang mampu melihat gambaran masa depan melalui simbol-simbol yang terbentuk dari ampas kopi. Perihal Naga akan menghancurkan Hartanto dan keturunannya –karena dianggap sebagai biang keladi lenyapnya Kerajaan Kemingking- juga diketahui Datuk Itam melalui pola-pola yang tergambar di ampas kopinya.

”Aku melihatnya di ampas kopiku semalam, Hartanto. Naga sudah datang” (MN: 23).

”Kalau Naga sudah datang, dia pasti sudah memilih mempelainya. Dan kau tahu apa artinya itu? Akan lahir seorang perempuan yang bakal memutuskan tali riwayatmu. Pabrik kayu lapis bermodalkan miliaran itu akan tinggal sejarah. Dan bersama keruntuhannya, mesin uang haram itu akan menyeretmu dan seluruh keluarga besarmu. Karena kau keturunan musuh Naga. Para perusak alam. Penebang liar. Penimbun rawa. Pembuat polusi...” (MN: 24).

Bergumul dengan pikirannya, dukun tua yang termasyhur itu kembali menuang secangkir kopi dan menenggaknya sampai tandas untuk mengamati pola ampasnya. Sejak malam sebelumnya, dia sudah melakukan prosedur itu tiga kali dengan hasil yang sama, dan untuk kali keempat ini pun masih mendapati hasil yang sama. Kekuatan besar. Langit dan bumi mengamuk. Kehancuran. Tali-tali takdir menyambungkan diri. Sebuah rahasia besar akan terungkap. Seringai Maut di setiap babak pergolakan alam semesta (MN: 28).

Hubungan kausalitas juga tampak pada peristiwa yang dialami Hartanto dan Datuk Itam. Peristiwa kausal tersebut berupa hubungan antara penampakan yang diperoleh Datuk Itam melalui ampas kopi dengan perubahan sikap yang dialami Hartanto. Pada awalnya, Hartanto tidak terlalu peduli dengan penampakan Datuk Itam

yang dianggapnya kurang jitu. Akan tetapi, ketika penampakan itu semakin jelas dan intens, Hartanto menjadi gusar dan cemas akan keselamatan dirinya.

”Cuma itu?” tanya Hartanto saat mendengarnya menyampaikan kabar itu.

Datuk Itam mendengar nada sinis dalam suara Hartanto, tetapi dia memutuskan untuk mengabaikannya dan menjawab dengan mengangkat bahu.

”Baru itu”.

”Katamu kau bisa melihat masa depan, Tam. Kenapa belakangan ini kau hanya melihat yang sudah terjadi? Itu pun setengah-setengah. Kenapa? Sudah kurang sakti?” (MN: 43).

”Paranormal hebat, mungkin. Tetapi kau pembohong yang payah, Tam,” katanya...(MN: 44)

Dukun tua itu dengan bersemangat mengirim berita pada Hartanto yang seperti biasa menanggapinya dengan asal-asalan.

”Kau sudah tahu siapa namanya? Siapa orang tuanya? Tinggal di mana dia? Kalau sudah, itu baru namanya berita, Tam!” (MN: 81).

Tiga kutipan di atas menunjukkan ketidakacuhan Hartanto terhadap pandangan Datuk Itam mengenai peristiwa yang akan dihadapinya. Bandingkan dengan kutipan berikut yang menunjukkan perubahan sikap Hartanto setelah menyadari penglihatan Datuk Itam yang hampir nyata.

Datuk Itam mengosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Wajahnya yang hitam dan keriput tampak bergairah. Teka-teki tentang mempelai Naga itu sebentar lagi akan terjawab. Dia bisa merasakan suasananya walaupun belum tahu bagaimana persisnya. Ampas kopi memberi petunjuk yang sangat jelas, sampai-sampai dia hampir melihat wajah perempuan pilihan itu. Seorang perempuan muda yang cerdas dengan aura yang gilang gemilang (MN: 81). Seorang perempuan. Seorang bayi. Tangan laki-laki menggendong bayi, membawanya pergi diiringi jerit memilukan ibunya yang ditinggalkan.

Datuk Itam tersentak. Ampas kopi biasanya tidak memberi penglihatan. Ampas kopi hanya memperlihatkan pola-pola simbolisasi masa depan yang harus diterjemahkan dengan teliti. Datuk Itam menggeleng kuat-kuat beberapa kali. ”Ada apa, Tam? Kau melihat sesuatu?” tanya Hartanto.

”Aku...pusing...,” jawab Datuk Itam tergagap-gagap.

”Aku tahu kau melihat sesuatu,” bantah Hartanto (MN: 99-100). Hartanto terdiam sesaat.

”Bisa jadi,” jawabnya kemudian. ”Akan kuselidiki dulu. Aku ke sini mau menanyakan apakah kau melihat perkembangan baru.”

”Belum ada,” jawab Datuk Itam. ”Maksudku, aku belum melihatnya. Tetapi Naga pasti sudah merasakan bahwa kita mengincarnya” (MN: 110).

Berdasarkan penglihatan Datuk Itam, Hartanto mulai gencar mencari informasi mengenai gadis yang dipilih menjadi mempelai Naga.

”Akan kucari gadis ini,” katanya. ”Aku yakin itu bukan perkara besar. Berapa lama waktu yang kita punya?” (MN: 110).

Hartanto masih terengah-engah ketika Datuk Itam membukakan pintu. ”Tam, aku sudah tahu di mana gadis itu tinggal” (MN: 116).

Hartanto menghentikan mobil.

”Itu rumahnya,” katanya sambil menunjuk sebuah rumah papan kira-kira seratus meter dari tempat mobilnya berhenti.

”Keluarganya bertani sayur dan memelihara babi” (MN: 118).

Setelah mengetahui tempat tinggal Cen Cu, Hartanto dan Datuk Itam menyusun rencana untuk membunuh Cen Cu sebelum ia sempat melahirkan bayi Naga. Berdasarkan penglihatannya, Datuk Itam dapat mengetahui kapan dan di mana Cen Cu melahirkan. Pada saat mempelainya melahirkan, Naga menjadi lengah dan tidak waspada karena berkonsentrasi menyambut kelahiran putrinya. Kesempatan itu dimanfaatkan Datuk Itam untuk membunuh Cen Cu.

Naga melihat sebagian tubuh anak itu sudah berada di luar. Sesaat dia memalingkan muka dari Hartanto untuk menghadapi bayi itu sambil mengangakan mulutnya lebar-lebar (MN: 242).

Tidak ada yang memperhatikan Datuk Itam, yang sementara itu dengan licik sudah mencabut keris, dan menyelinap ke dekat dipan. Dengan kedua tangannya dia mengangkat keris itu tinggi-tinggi, lalu menghunjamkannya sekuat tenaga tepat ke jantung Cen Cu, persis ketika Nyai Sati berhasil mendorong si jabang bayi keluar dari tubuhnya.

Cen Cu hanya mengeluh lemah. Kelopak matanya menutup. Napas terakhir meninggalkan tubuhnya dalam embusan pendek. Dari sudut mulutnya mengalir darah. Bayi di antara kakinya tidak menangis. Ketika lahir, wajahnya sudah kebiruan. Lehernya terjerat tali pusar (MN: 243).

Perbuatan Datuk Itam membuat Naga murka sehingga dia melakukan sesuatu yang membuat Datuk Itam ”berteriak seperti tercekik dan roboh setelah terdorong membentur dinding papan” (MN: 243). Akan tetapi, Datuk Itam masih hidup dan segera melarikan diri bersama Hartanto. Sementara itu, Naga membawa jasad Cen Cu yang sudah tidak bernyawa ke angkasa, meninggalkan bayinya yang dianggapnya sudah mati.

Seorang tokoh lagi yang mengalami peristiwa pada bagian awal ini adalah Rigel, seorang wartawan yang berusaha menguak kebenaran keberadaan situs Kemingking yang terletak di bawah pabrik kayu lapis milik Hartanto. Peristiwa yang dialami Rigel pada bagian ini difokuskan pada usaha-usaha Rigel dalam mengumpulkan bukti-bukti keberadaan situs tersebut. Usaha pertama yang dilakukannya adalah melakukan pendekatan dengan pemilik dan pegawai pabrik, tetapi tidak berhasil. Usaha kedua adalah memperoleh informasi langsung dari anak pengusaha pabrik, dengan cara yang sangat ekstrem, yakni berkencan dan bercinta dengannya. Usaha ketiga adalah mewawancarai narasumber yang tidak memiliki kaitan langsung dengan pemilik pabrik dan usaha terakhir adalah datang langsung ke lokasi pabrik dan mengambil bebatuan di sekitar lokasi untuk dijadikan sampel penelitian. Setiap usaha Rigel itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.

”Terima kasih sudah meluangkan waktu, Pak A Hai,” kata Rigel memulai. ”Kalau bisa, saya ingin bertemu Pak Hartanto dalam waktu dekat ini. Mungkin dalam satu dua hari?”

”Pak Hartanto masih berkabung. Kalau ada perlu, saya yang menangani kantor,” jawab A Hai datar.

”Saya turut berduka cita. Tetapi kalau diminta untuk wawancara yang berhubungan dengan laporan kami tentang situs Kemingking, kapan Pak Hartanto punya waktu?”

A Hai diam sejenak. Matanya yang tajam di balik kacamata tebal mengamati Rigel dari kepala sampai kaki. Wajahnya keruh ketika dia menjawab.

”Lupakan berita itu. Jangan pernah mengungkitnya lagi. Kau akan menyesal.” Rigel kelihatan bingung. Alisnya yang rapi beradu dalam kerutan di keningnya.

”Maaf...?”

”Pulang sajalah. Angkat kaki dari Jambi” (MN: 50).

Sambil membiarkan jari-jemari pemuda itu menggerayangi sekujur tubuhnya dengan penuh keahlian, dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan ngalor-ngidul seputar kehidupan Betel. Keluarga, ayah-ibu, saudara, pekerjaan, masalah-masalah bisnis keluarga. Betel yang berada persis di perbatasan antara mabuk dan sadar menjawab semuanya dengan jujur secara sukarela, termasuk fakta-fakta penting tentang situs terpendam itu. Rigel merasa sudah mendapatkan semua yang diperlukannya ketika dia akhirnya membiarkan Betel menanggalkan gaunnya (MN: 57).

Harapannya tidak bertepuk sebelah tangan. Kemas Ramli dengan bersemangat mengatakan bahwa situs itu ada. Dia memang memperoleh cerita dari tradisi lisan turun-temurun dalam keluarganya, tetapi dia lebih jauh mengatakan bahwa bukti fisik juga pernah ditemukan, walaupun laporan resminya tidak pernah diterbitkan (MN: 66).

Suharno mengajaknya melihat berkeliling sampai semua sudut lokasi pabrik itu mereka kitari...”Saya kira sampai di sini dulu, Mbak Rigel,” kata Suharno.

”Oh, iya, iya. Terima kasih banyak bantuannya, Pak Suharno,” sahut Rigel sambil menjabat tangan Suharno erat-erat. ”Kalau lain kali saya perlu bantuan lagi, apakah Bapak bersedia?”

”Oh, tentu!” jawab Suharno. ”Tetapi jangan lupa, lain kali minta izin dulu.” Rigel menampilkan senyum malu.

”Baik, Pak...aduh!” Dia tiba-tiba tersandung dan hampir jatuh kalau tidak sempat mengatur keseimbangan.

”Mbak Rigel tidak apa-apa?” tanya Suharno bernada cemas.

”Oh, tidak, tidak!” jawab Rigel segera. Dengan gemas dia memungut batu yang