• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL

2.2 Konsep .1 Interaksi Sosial

Interaksi sosial adalah proses sosial yang terjadi sebagai pengaruh timbal balik antara dua belah pihak, yakni antara individu dan individu, individu dan kelompok, atau kelompok dan kelompok (Abdulsyani, 2007: 151; Suyanto dan Septi, 2007: 16).

Pengaruh timbal balik itu, menurut Roucek dan Roland (1963: 41), dilakukan melalui kontak sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kontak sosial secara langsung terjadi melalui organisme fisik, sedangkan tidak langsung terjadi melalui tulisan atau komunikasi jarak jauh. Kontak sosial tidak akan terjadi apabila tidak ada komunikasi sosial, yakni persamaan pandangan antara orang-orang yang berinteraksi terhadap sesuatu (Abdulsyani, 2007: 155) karena dalam berkomunikasi, banyak sekali penafsiran terhadap perilaku dan sikap masing-masing orang yang saling berhubungan. Oleh karena itu, kontak dan komunikasi sosial merupakan syarat terjadinya interaksi.

Interaksi sosial yang dilakukan oleh individu atau kelompok bertujuan untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia di sekitarnya. Hal ini disebutkan Goldmann (1981: 40) sebagai human facts ’fakta kemanusiaan’, yakni fakta bahwa manusia dan lingkungan sekitarnya selalu berada dalam proses strukturasi timbal balik yang bukan hanya saling bertentangan, melainkan juga saling mengisi.

Sebagai suatu proses sosial, interaksi sosial merupakan masalah yang pokok karena merupakan dasar dari segala proses sosial. Interaksi sosial dapat bersifat asosiatif dan disosiatif. Interaksi yang bersifat asosiatif mengindikasikan adanya gerak pendekatan atau penyatuan, sebaliknya interaksi sosial disosiatif mengindikasikan adanya pertentangan. Norma (2007: 57) menyebutkan bahwa interaksi sosial bersifat asosiatif dapat terdiri atas empat bentuk, yakni kooperasi, akomodasi, asimilasi, dan amalgamasi.

Kooperasi merupakan kerja sama atau usaha bersama yang dilakukan antara individu atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Roucek dan Roland (1963: 41)

mengatakan ”cooperation is fostered by situations in which individuals stand to benefit more by pooling their efforts than by working individually” ’kooperasi lahir dengan adanya keadaan di mana individu dapat memperoleh manfaat optimal dengan bergotong royong daripada bekerja sendiri’.

Akomodasi merupakan persepakatan sementara yang dapat diterima kedua belah pihak yang tengah bersengketa (Roucek dan Roland, 1963: 41). Akomodasi bersifat temporer yang bertujuan untuk meredakan pertentangan yang terjadi antara kedua belah pihak.

Asimilasi adalah proses peleburan kebudayaan antara dua pihak yang memiliki kebudayaan yang berbeda (Roucek dan Roland, 1963: 44). Proses peleburan ini dapat menimbulkan kebudayaan yang baru. Sementara itu, amalgamasi, menurut Norma (2007: 57), merupakan proses peleburan kebudayaan, dari suatu kebudayaan tertentu yang menerima dan mengolah unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian dari kebudayaan itu sendiri.

Selain asosiatif, interaksi sosial juga dapat berbentuk disosiatif. Bentuk interaksi ini dapat terdiri atas tiga bentuk, yakni kompetisi (persaingan), konflik, dan kontravensi (Norma, 2007: 65).

Kompetisi adalah usaha seseorang untuk memperebutkan tujuan tertentu yang dilakukan dalam keadaan damai (kondusif). Roucek dan Roland (1963: 42) mengatakan bahwa tujuan yang diperebutkan itu dapat berupa materi dan nonmateri.

Berbeda dengan kompetisi, konflik merupakan persaingan yang bersifat ekstrem dan dibarengi dengan kekerasan. Kekerasan yang terjadi, menurut Roucek dan Roland

(1963: 42), ”is the attempt to eliminate a rival from the competitive process” ’merupakan suatu percobaan untuk menyingkirkan lawan dalam proses persaingan’.

Interaksi sosial disosiatif lainnya adalah kontravensi, yakni proses untuk menghalangi, merintangi, dan menggagalkan pihak lain dalam mencapai tujuan (Norma, 2007: 65).

Interaksi sosial dalam karya sastra –sebagai pengejawantahan dunia dalam imajinasi- akan sama dengan interaksi sosial pada hubungan kemanusiaan dalam kehidupan nyata, yakni adanya motif yang muncul ketika manusia berinteraksi. Dalam karya sastra, motif-motif tersebut akan tergambar melalui interaksi yang dilakukan para tokohnya. Menurut Pramono (dalam www.forum-sastra-lamongan.blogspot.com), interaksi sosial dalam kehidupan manusia, bersifat natural (alamiah) sehingga motif yang terjadi dapat mencakup motif psikologis, ekonomis, biologis, status sosial, dan agamis.

2.2.2 Novel

Novel adalah genre sastra dari Eropa yang muncul di lingkungan kaum borjuasi di Inggris pada abad 18 (Sumardjo, 1999: 12). Di Indonesia, bentuk novel mulai diperkenalkan pada tahun 1880-an melalui terjemahan novel-novel Tionghoa (Salmon, 2010: 149). Berdasarkan data-data yang diperoleh Salmon (2010: 151), novel pertama yang diterbitkan ketika itu adalah novel Melayu-Tionghoa berjudul Thjit Liap Seng (Bintang Toedjoeh) karangan penulis peranakan, Lie Kim Hok, terbit tahun 1886. Novel ini merupakan campuran dari dua buah novel Eropa yang dijadikan Lie sebagai sumber ilham pembuatan novelnya.

Menurut Nurgiyantoro (1995: 90), novel merupakan karya fiksi yang menceritakan tentang kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya serta mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan lebih kompleks. Novel mengandung nilai-nilai yang otentik, yakni nilai-nilai yang mengimplisitkan totalitas kehidupan (Faruk, 1994: 30). Novel juga lahir dan berkembang dalam dinamika sosiokultural yang khas karena mengejawantahkan keheterogenitasan manusia (Mahayana, 2007: 1). Kekhasan tersebut menjadikan novel sebagai produk yang unikum dan bernas sehingga dapat dijadikan sebagai acuan pola berpikir, sikap hidup, dan wawasan estetik.

Pada umumnya, novel terdiri atas sejumlah bab yang masing-masing berisi cerita yang berbeda tetapi saling berhubungan. Hubungan antarbab tersebut berupa hubungan kausalitas dan kronologis karena bab yang satu merupakan kelanjutan dari bab yang lain (Nurgiyantoro, 1995: 14). Menurut Stanton (2007: 91), setiap bab dalam novel mengandung berbagai episode yang terdiri pula atas berbagai macam topik. Oleh karena itu, jika hanya membaca satu bab novel secara acak, pembaca tidak akan mendapatkan cerita yang utuh.

Sebagai ragam fiksi naratif, novel lebih populer di kalangan masyarakat karena berisi gambaran kehidupan dan perilaku yang nyata dari zaman pada saat novel itu ditulis (Clara Reeve dalam Wellek dan Austin, 1993: 282). Kepopuleran tersebut ditandai dengan beberapa novel yang mengalami cetak ulang karena tingginya permintaan masyarakat. Berdasarkan data yang diperoleh Sumardjo (1999: 11), beberapa novel yang mengalami cetak ulang, antara lain, Salah Asuhan, karya Abdul Muis, selama 50 tahun telah dicetak ulang 11 kali, Siti Nurbaya, karya Marah Rusli,

selama 57 tahun dicetak ulang 12 kali, atau Mawar Jingga karya Ike Soepomo, dalam setahun dicetak ulang 5 kali.

Beberapa tahun terakhir, pengarang lebih menyukai menulis novel-novel yang berseri tetapi masih saling berhubungan, terutama dalam pengembangan tema. Muncullah novel-novel berbentuk dwilogi, trilogi, bahkan tetralogi, yang mengindikasikan tingginya produktivitas pengarang dalam menulis, sekaligus keterlibatan penerbit, sebagai trik untuk menarik minat pembaca terhadap novel tersebut sehingga secara tidak langsung juga meningkatkan pendapatan mereka. Sebenarnya novel-novel jenis ini, terutama trilogi, sudah ada di Indonesia sejak tahun 1920-an, misalnya, novel trilogi yang ditulis oleh Tan Kim Sen, penulis keturunan Tionghoa (Salmon, 2010: 376). Akan tetapi, trilogi yang ditulis pada tahun 20-an jauh dari kesan komersial karena masih tunduk pada aturan yang diberlakukan pemerintah kolonial.

2.2.3 Representasi

Kata representasi berasal dari bahasa Yunani, repraesentatio, yang berarti mendahului atau sesuatu yang mendahului objek lain. Stuart Hall (dalam

www.lontar.ui.ac.id) mengatakan bahwa representasi adalah bagian dari proses produksi dan pertukaran makna yang melibatkan penggunaan bahasa, tanda-tanda, dan imaji terhadap hal-hal yang diwakilkan. Dengan demikian, representasi dapat diartikan sebagai perwakilan, yakni sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain sebagai pengganti objek faktual (Ratna, 2008: 123). Makna representasi seperti ini, menurut Ratna, melekat dalam beberapa bentuk ciptaan manusia yang menampilkan konteks sosial tertentu, salah satunya adalah karya sastra.

Karya sastra dapat dikatakan merepresentasikan kehidupan karena kejadian dalam karya sastra, menurut Ratna (2003: 35), merupakan prototipe kejadian yang pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam karya sastra, representasi dimediasi oleh bahasa melalui elemen-elemen yang membangun karya sastra, seperti narasi, alur, atau citra. Sebagai alat utama, bahasa tidak secara langsung menunjuk kepada sesuatu yang benar. Bahasa hanya menjelaskan, mewacanakan, dan menafsirkan kenyataan alamiah. Hasil penafsiran tentu tidak persis sama dengan kenyataan tersebut. Kenyataan dalam karya sastra sudah mengalami proses konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi sebagai wujud representasi realitas harfiah. Dengan demikian, representasi berbeda dengan imitasi karena representasi bukan semata-mata tiruan (imitasi) atas kenyataan, melainkan rekonstruksi dari situasi sesungguhnya. Mengenai hal ini, Collingwood (dalam Ratna, 2008: 128) mengatakan, ”Representasi berkaitan dengan alam semesta, imitasi berkaitan dengan karya seni yang lain”.

Sebuah karya sastra dikatakan representatif apabila mampu menafsirkan dan merefleksikan realitas tertentu secara menyeluruh. Dalam hal ini, pengarang memegang peranan penting karena merupakan subjek kreator yang menafsirkan realitas tersebut. Hasil penafsiran biasanya dibarengi dengan pesan atau nilai tertentu melalui tanda, lambang, atau simbol, sebagai bentuk representasi.

2.2.4 Sosiologis Pengarang

Sosiologis pengarang, pada hakikatnya, berkaitan dengan kedudukan pengarang dalam masyarakat. Sebagai anggota masyarakat, pengarang juga melakukan interaksi dengan masyarakat lain sebagai bentuk eksistensinya dalam struktur sosial. Menurut

Ratna (2003: 196), partisipasi pengarang dalam masyarakat tidak hanya terbatas pada partisipasi kreatif dan aktivitas intelektual, melainkan juga meliputi totalitas kehidupan praktis, yang pada dasarnya didominasi oleh definisi-definisi kehidupan sosial yang melatarbelakanginya. Sebagai makhluk sosial, pengarang juga memiliki latar belakang sosial, latar belakang keluarga, dan posisi ekonomi yang menunjukkan status sosialnya (Wellek dan Austin, 1993: 112).

Untuk menempatkan pengarang dalam masyarakat, menurut Escarpit (2008: 46), hal yang harus dilakukan adalah mencari keterangan tentang asal-usul sosial pengarang. Asal-usul sosial berperan dalam menjawab masalah status sosial, keterlibatan sosial, sikap, bahkan ideologi pengarang. Elemen-elemen ini dapat diketahui bukan hanya melalui karya-karya mereka, tetapi juga dari biografinya. Sebagai warga masyarakat, pengarang tentunya memiliki pandangan mengenai masalah sosial dan politik serta isu-isu yang berkembang di sekitarnya. Pandangan tersebut, menurut Wellek dan Austin (1993: 114), akan tertuang melalui karya dan biografinya.

Latar belakang sosiologis yang mempengaruhi proses kreatif pengarang dapat berupa struktur sosial, proses sosial, dan perubahan-perubahan sosial (Siswanto, 2008: 3). Struktur sosial mencakup berbagai hubungan sosial antarindividu, termasuk di dalamnya kaidah-kaidah sosial dan status sosial (Abdulsyani, 2007: 68). Proses sosial merupakan hubungan timbal balik antara individu, sedangkan perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi dalam proses sosial (Roucek dan Roland, 1963: 54). Berdasarkan hal tersebut, Junus (dalam Siswanto, 2008: 3) menjabarkan latar belakang sosiologis pengarang atas enam faktor, yakni asal sosial, kelas sosial, jenis kelamin, umur, pendidikan, dan pekerjaan.