• Tidak ada hasil yang ditemukan

LATAR BELAKANG SOSIOLOGIS PENGARANG

Meiliana Kristianti Tansri -lebih dikenal dengan nama Meiliana K. Tansri- adalah satu dari sedikit perempuan pengarang Jambi yang produktif. Dia dilahirkan di Jambi, tanggal 14 Mei 1974, 37 tahun yang lalu. Ia menyenangi dunia tulis-menulis sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, tetapi baru menekuninya secara serius sejak tahun 1996 (dalam www.jambi-independen.co.id). Novel pertamanya bertajuk Konser, menceritakan kehidupan seorang pianis. Novel ini baru terbit Agustus 2009, sebagai novel keempat yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Novel-novel yang diterbitkan sebelumnya adalah Kupu-Kupu (2002), Belajar Terbang (2002), dan Layang-Layang Biru (2006). Pada tahun 2010, Meiliana K. Tansri (selanjutnya disingkat MKT) menerbitkan Darah Emas, sebuah novel trilogi yang memiliki tema yang berbeda dengan novel-novel terdahulunya yang bertemakan percintaan. Menurut MKT, kisah yang tertuang dalam trilogi ini berasal dari beberapa ide berbeda yang diperolehnya antara tahun 1995—2003 yang direkamnya dalam ingatan dan dituliskan kembali di atas kertas.

MKT adalah perempuan pengarang keturunan Tionghoa yang tergolong peka dalam menanggapi situasi di sekitarnya. Menurutnya, seorang penulis harus mengenal dengan baik masalah yang akan diceritakannya. Hal itu penting untuk menghasilkan penuturan cerita yang menarik. Dia juga peka zaman, yakni paham terhadap tren penulisan yang sedang berkembang. Oleh sebab itu, gaya penulisan pada trilogi novel ini, berbeda dengan novel-novel yang dia tulis sebelumnya, yang bergaya realisme. Dalam wawancara dengan Tribun Jambi tanggal 31 Mei 2010, MKT mengatakan

bahwa triloginya ini bergaya surealisme, yakni mencampurkan fakta, fiksi, sejarah, hingga dongeng. Gaya ini tergolong sebagai tren sastra yang tengah naik daun. Gaya ini pula yang mengantarkan kesuksesan J.K. Rowling, sebagai pengarang, melalui serial Harry Potter-nya.

Dari problematika sosial yang diangkat MKT ke dalam trilogi novelnya, terungkap bahwa proses kreatif sebuah novel tidak akan terlepas dari latar belakang sosiologis pengarang. Hal ini sesuai dengan pandangan Ratna (2003: 200) yang menyatakan bahwa dalam merekonstruksikan tokoh-tokoh dan peristiwa, pengarang sesungguhnya dipengaruhi konteks sosialnya, termasuk pengalaman-pengalamannya sebagai individu.

Latar belakang sosiologis yang mempengaruhi proses kreatif pengarang, menurut Junus (dalam Siswanto, 2008: 3) mencakup enam aspek, yaitu (1) asal sosial; (2) kelas sosial; (3) jenis kelamin; (4) umur; (5) pendidikan; dan (6) pekerjaan. Keenam aspek ini biasanya tergambar melalui karya-karya yang diciptakan pengarang karena pengarang tidak bisa melepaskan diri dari lingkungan sekitarnya. Keenam aspek ini pula yang ditemukan dalam trilogi DE setelah dikaitkan dengan latar belakang sosiologis pengarangnya.

6.1 Hubungan Antara Latar Belakang Sosiologis Pengarang dan Trilogi Darah Emas

6.1.1 Asal Sosial Pengarang

MKT adalah perempuan pengarang yang dilahirkan dan dibesarkan di Kota Jambi. Keharmonisan hubungan antara penduduk lokal dan pendatang di Kota Jambi telah membuat MKT, sebagai peranakan Tionghoa, terbiasa dengan adat-istiadat yang

diberlakukan oleh penduduk setempat. Dia juga terbiasa berbaur dengan masyarakat lokal karena sedari kecil sudah dibiasakan bergaul dengan beragam etnis yang ada di Jambi. Dia menggambarkan Jambi sebagai tempat yang ”sebagian besar penduduk masih terikat pertalian darah –antaretnis sekalipun” (MN: 59). MKT pun sangat mengapresiasi orang-orang Jambi yang dikatakannya masih tergolong sederhana meskipun beberapa di antaranya sudah menonjol di bidang intelektual. Bentuk apresiasi tersebut diwujudkannya melalui tokoh-tokoh dalam trilogi DE yang mewakili karakter orang Jambi. Misalnya, tokoh Nyai Sati yang sabar dan penuh kasih sehingga layak digolongkan ke dalam klan darah emas; Datuk Itam yang mempercayai hal-hal gaib dalam kehidupannya; serta Kemas Ramli yang mewakili kaum intelektual yang peduli dengan warisan budaya.

MKT sangat mengenal seluk-beluk Kota Jambi karena sejak kecil sampai sekarang dia berdomisili di kota yang mempunyai julukan Tanah Pilih tersebut. MKT menempuh pendidikan formal –dari TK sampai SMA- di Kota Jambi, menikah dengan seorang laki-laki keturunan etnis Batak yang bekerja di sebuah instansi pemerintahan Provinsi Jambi, dan tinggal bersama keluarganya di sebuah perumahan sederhana di daerah Talangbakung, Kota Jambi. Berdasarkan latar belakang tersebut, MKT tidak kesulitan dalam mendeskripsikan situasi Kota Jambi yang sebagian besar dijadikan sebagai latar tempat dalam triloginya, misalnya, nama-nama jalan dan beberapa tempat yang identik dengan Kota Jambi.

Tidak terlalu jauh dari mereka, di sebuah kafe hotel berbintang empat di Jalan Gatot Subroto, Rigel dan Reuben Moore mendentingkan dua botol air mineral. Cheers (GBTET: 180).

Secara realitas harfiah, di Jalan Gatot Subroto terdapat sebuah hotel berbintang empat yang cukup ternama di Kota Jambi. Hotel ini menjadi salah satu tempat menginap favorit bagi wisatawan karena lokasinya yang cukup dekat dengan beberapa objek wisata Kota Jambi, seperti Sungai Batanghari, kawasan Ancol, dan Tanggo Rajo.

MKT juga mendeskripsikan kehidupan para pedagang Tionghoa di Kota Jambi melalui trilogi ini. Para pedagang Tionghoa banyak berdagang di sebuah kawasan yang bernama Simpang Jelutung. Simpang Jelutung merupakan salah satu kawasan simpang empat yang cukup ramai dilalui kendaraan bermotor. Di sepanjang kawasan ini terdapat deretan toko milik etnis Tionghoa yang menjual berbagai keperluan rumah tangga. Mayoritas penduduk yang tinggal di sekitar Simpang Jelutung adalah masyarakat Tionghoa sehingga kawasan ini dikenal dengan nama Kampung Pecinan.

Matahari pukul satu siang begitu terik. Cen Cu mengayuh sepedanya sekuat tenaga melawan sengatan panas yang memeras keringat. Sebenarnya A Lung bisa disuruh membeli obat itu, tetapi Cen Cu tidak ingin mengambil risiko memercayainya. Selain itu, dia tidak ingin harus menjawab pertanyaan- pertanyaan yang tidak perlu. Toko obat di Simpang Jelutung itu terasa begitu jauh, tetapi dengan tabah Cen Cu mengayuh terus (MN: 106).

Di samping itu, MKT mendeskripsikan para pedagang Tionghoa yang biasanya ”membaca koran berhuruf kanji” atau ”duduk-duduk di atas kursi goyang rotan” apabila tidak ada pembeli (MN: 106). Mereka juga masih menggunakan alat tradisional, seperti swipoa, untuk menghitung. Ketika memeriksa uang emas yang dibawa Cen Cu sebagai alat pembayaran, Cun Hok, pedagang obat di Simpang Jelutung, menggunakan penggaris, timbangan, dan swipoa (MN: 107).

Pasar Angso Duo, sebagai komplek pasar tradisional terbesar di Kota Jambi, juga tidak luput dari perhatian MKT. Penggunaan pasar sebagai latar muncul pada

episode kedua dalam GBTET. Keadaan pasar yang kumuh merupakan cerminan kondisi pasar yang tidak pernah berhenti beraktivitas.

Bau tong sampah dari tubuh Noakh menyentaknya. Mnem membuka mata dan melihat kucing itu sedang berlari menuju tempat mereka terjatuh. Noakh mencakar kaki rekannya. Mnem tersadar dan segera lari mengikutinya, menyusup di antara tong sampah dan los-los kotor di Pasar Angso Duo.... Di Jalan KH Wahid Hasyim, tidak jauh dari situ, Akyg meringkuk di pojok sebuah ruangan yang agak berantakan, sedang mengagumi gadis berambut keriting pendek yang sedang mengoperasikan komputer.... (GBTET: 20).

Desir Sungai Batanghari dari kejauhan terdengar lembut di sela-sela deru motor perahu besar dan kecil (GBTET: 25).

Jalan KH Wahid Hasyim, dalam kutipan di atas, memang berada di dekat Pasar Angso Duo. Demikian pula Sungai Batanghari yang membentang di sepanjang pinggir pasar tersebut. Kesibukan lalu lintas perairan di sekitar Pasar Angso Duo memang tidak pernah sepi karena masyarakat yang tinggal di seberang Kota Jambi akan memanfaatkan perahu motor apabila hendak berkunjung ke Kota Jambi.

Beberapa kutipan tersebut menunjukkan besarnya pengaruh asal sosial pengarang dalam menciptakan karyanya. Menurut Budi Darma (dalam Siswanto, 2008: 6), pengarang tidak bisa lepas dari dari keadaan sekitarnya sehingga cenderung untuk menulis mengenai daerah tempat tinggalnya. Meskipun demikian, pengarang memiliki imajinasi dan aspirasi sehingga mampu menciptakan jarak antara kehidupan sehari-hari dengan kehidupan di dalam karyanya. Realitas harfiah itu akan mengalami metamorfosis melalui kekuatan imajinasi pengarang (Budi Darma dalam Siswanto, 2008: 7). MKT juga demikian. Dia memperoleh inspirasi melalui lingkungan sekitarnya, tetapi realitas harfiah itu tidak sepenuhnya diterapkan ke dalam karyanya. MKT melakukan pembiasan untuk keperluan komersial.

6.1.2 Kelas Sosial Pengarang

Kelas sosial pengarang menyangkut kedudukan pengarang dalam masyarakatnya; apakah berasal dari kelas atas, menengah, atau bawah. Hal ini berkaitan dengan teori yang dinyatakan Marx dan Engels (dalam Damono, 2002) yang menyatakan bahwa posisi kelas pengarang ada hubungannya dengan pembagian kerja. Pembagian kerja ini berhubungan dengan keadaan sosial ideologi yang berpengaruh terhadap keadaan sosial. Hubungan ini bisa berupa kesejajaran, bisa juga hubungan kebalikan.

Apabila ditinjau dari segi pendidikan formal yang pernah ditempuh, MKT dapat dikatakan berasal dari kelas sosial menengah. Dia pernah bersekolah di TK Rumpun Tani, SDN 139/IV, SMP dan SMA di Xaverius 1 Kota Jambi. Pengalamannya bersekolah di sekolah negeri dan swasta menunjukkan ia mampu berbaur dan bergaul dengan berbagai golongan dan etnis yang berbeda. Hal ini dapat dilihat melalui trilogi novelnya yang menggambarkan kehidupan masyarakat yang berasal dari beragam status sosial. Kehidupan wanita karir yang mandiri dan sukses tercermin dalam kebiasaan Rigel yang berolahraga dengan menggunakan treadmill dan sarapan dengan minuman dan makanan bergizi, seperti sari buah, susu tinggi kalsium, dan roti panggang (GBTET: 82). Berbeda dengan rutinitas Cen Cu yang berasal dari keluarga petani. Dia selalu bangun pukul empat pagi dan melakukan olahraga yang sama sekali berbeda dengan Rigel.

Dia mulai dengan merendam pakaian kotor, lalu ke dapur untuk mencuci piring sambil menanak nasi. Selesai dari situ dia kembali ke sumur untuk mencuci pakaian dan menjemur, baru ke dapur lagi untuk memasak air dan membuat sarapan (MN: 119).

Dia meletakkan bihun goreng yang dibuatnya untuk sarapan di atas meja makan lalu menutupinya dengan tudung saji (MN: 120).

Rutinitas Cen Cu dapat disejajarkan dengan MKT yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Dalam wawancara dengan Jambi Independen (25 November 2009), MKT mengatakan bahwa aktivitas hariannya diawali dengan mencuci pakaian, memasak, membereskan rumah, dan mengurus anak, sambil terus mengembangkan ide di sela-sela pekerjaannya itu. MKT selalu membekali dirinya dengan kertas dan pena sehingga apabila inspirasi datang, dia segera mencatatnya ke dalam buku saku. Model manuskrip seperti itu memang menjadi andalan MKT dalam menghasilkan novel- novelnya. Dia hanya bisa mengetik idenya ke dalam komputer apabila ada waktu senggang.

Di samping itu, kelas sosial MKT yang berasal dari golongan menengah juga tampak pada kesenangannya bermain piano dan mendengarkan musik klasik –dua kegiatan yang biasanya digandrungi oleh orang-orang dari kalangan tertentu. Kesenangan bermain piano dituangkan MKT ke dalam salah satu novelnya, Konser, yang mengangkat cerita mengenai kehidupan seorang pianis dan memamerkan pengetahuan musik klasiknya melalui novel itu. Dalam trilogi DE, MKT juga menyelipkan perihal piano dan musik klasik, seperti yang tampak dalam kutipan berikut ini.

Restoran itu tenang dan temaram. Piano secara live memainkan lagu-lagu klasik lembut (GBTET: 113).

Rigel masih asyik menunggu sambil menikmati Etude #4 gubahan Chopin ketika Maitre d’ datang dengan baki berisi setangkai Rosa galica (GBTET: 114).

6.1.3 Jenis Kelamin Pengarang

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan Mahayana (2007: 61), kebangkitan pengarang yang berjenis kelamin perempuan, secara kuantitatif, terjadi pada akhir

dasawarsa tahun 1990-an, pasca melambungnya Saman karya Ayu Utami. Novel Saman yang fenomenal, menurut Mahayana, berhasil menyebarkan virus yang membangkitkan kualitas-kualitas terpendam para perempuan pengarang di seluruh Tanah Air. Jika sebelumnya tercatat nama-nama seperti N.H. Dini atau Titis Basino yang berhasil menempatkan dirinya sebagai novelis perempuan yang sejajar dengan novelis laki-laki, Ayu Utami dan kawan-kawan justru telah menggeser posisi dan dominasi novelis laki- laki. Mereka –para perempuan pengarang- menciptakan mainstream baru dalam kesastraan Indonesia, terutama dari tema-tema yang menampilkan posisi dan peran sosial perempuan berdasarkan kacamata perempuan.

Sejarah kesastraan Indonesia mencatat, kehadiran perempuan di peta sastra Indonesia sebenarnya sudah diawali pada dekade 1890-an oleh penyair-penyair perempuan peranakan Tionghoa, seperti Tan Tjeng Nio dan Lioe Gwat Kiauw Nio (Salmon, 2010: 420). Generasi awal ini yang nantinya memunculkan perempuan- perempuan pengarang keturunan Tionghoa, seperti Mira W. dan Marga T. pada tahun 1970-an (Salmon, 2010: 440; Sumardjo, 1999: 179), serta Lan Fang, Iriani R. Tandy, dan MKT, pada tahun 2000-an.

Seperti kebanyakan perempuan pengarang, MKT pun selalu mengangkat problematika di seputar kehidupan perempuan dalam novel-novelnya. Dia bukan hanya menggambarkan perempuan, tetapi juga memprotes kedudukan dan peran perempuan. Hal ini memproyeksikan pandangan dunia atau ideologi MKT dalam menerjemahkan situasi di sekelilingnya. Dalam triloginya ini, MKT menyisipkan ideologi gender kategori umum, yakni ideologi yang menekankan nilai pingitan perempuan dan pengucilan perempuan dari bidang-bidang tertentu (Darma, 2009: 220). Kedudukan

perempuan sebagai warga negara kelas dua, bagi sebagian masyarakat Tionghoa, digambarkan MKT dalam trilogi DE.

Perempuan yang dinikahi ayahnya ketika ia berumur tiga tahun itu adik kandung ibunya. Orang tua mereka, kakek dan nenek Cen Cu, meninggal tidak lama setelah Cen Ling, kakak sulung Cen Cu, lahir. Sejak itu, Guat Kim yang baru berumur sepuluh tahun tinggal bersama mereka. Orang tua Cen Cu membiayai sekolahnya, dan Guat Kim membantu mengurus keempat keponakan perempuannya yang lahir susul-menyusul dalam waktu delapan tahun. Setelah ibu Cen Cu meninggal dunia dalam perjuangannya melahirkan Cen Cu yang sungsang, ayah Cen Cu memperistri adik iparnya itu. Guat Kim melahirkan tiga orang anak laki-laki, sesuatu yang tidak pernah diberikan ibu kandung Cen Cu, dan itu membuatnya besar kepala. Guat Kim memainkan peran ibu pengganti dengan baik selama beberapa waktu. Namun, begitu ayah Cen Cu meninggal dunia ketika Cen Cu berumur delapan belas tahun, Guat Kim menjelma menjadi ibu tiri yang mengerikan (MN: 14-15).

Kutipan yang bercetak miring di atas menyiratkan bahwa kehadiran anak laki- laki di tengah keluarga Tionghoa sangat diharapkan dan dibanggakan. Sementara itu, kehadiran anak perempuan hanya diperlukan untuk urusan domestik rumah tangga, sebagaimana tergambar dalam kutipan berikut.

”Sana, cepat masukkan induk babi itu, lalu bersihkan dirimu dan segera mengurus rumah! A Lung dan A Ming hari ini ujian, harus sarapan yang bergizi, agar bisa dapat nilai yang bagus!” (MN: 14).

”Dasar pemalas! Apa kau tidak tahu betapa pentingnya induk babi itu bagi kita? Kau pasti sengaja membiarkannya lepas supaya tidak perlu mengurusnya lagi. Apa maksudmu? Mau diizinkan bekerja seperti A Yen di bank itu? Kau pikir aku bodoh, apa? Kau bakal lebih banyak menghasilkan uang kalau kujual kepada germo di Pucuk! Mereka pasti mau membayar mahal untuk perawan desa seperti kau!” (MN: 35).

Kedudukan kaum perempuan yang terdiskriminasi dalam masyarakat Tionghoa itu dikritisi MKT melalui trilogi DE. MKT menempatkan posisi perempuan menjadi sangat istimewa dalam klan darah emas. Perempuan menjadi penentu terputus atau

tidaknya garis darah tersebut. Kedudukan laki-laki tidak berpengaruh dalam klan darah emas karena hanya Naga yang berhak menduduki peran tersebut.

”Aku mendampingi mereka melalui seorang perempuan yang lahir dari benihku, yang dilahirkan seorang perempuan terpilih. Dia akan membawa darahku dalam tubuhnya, yang akan diwariskannya pada semua perempuan keturunannya. Jika mereka mati tanpa memiliki anak perempuan, garis darah itu akan terputus. Dan aku akan mencari seorang pengganti. Seorang perempuan yang akan melahirkan anak perempuan untuk mewarisi darahku” (MN: 41).

”Darah emas? Perempuan-perempuan ini adalah orang-orang istimewa yang mengerjakan tugas-tugas Naga di tengah manusia. Mereka adalah penemu, pencipta, penggagas, atau perempuan-perempuan yang melahirkan, membantu, atau mendampingi orang-orang besar di seluruh dunia”....

”Semua perempuan ini? Bukankah para laki-laki...” Moore menggeleng.

”Hanya perempuan yang membawa darah emas, untuk mereka wariskan pada semua perempuan keturunan mereka. Kalau mereka mati tanpa memiliki anak perempuan, garis darah itu akan terputus, dan Naga akan memilih seorang perempuan untuk meneruskannya” (Sbr: 66).

Melalui kutipan tersebut, MKT seolah-olah ingin menyuarakan suara perempuan. Perempuan adalah makhluk super dan serba bisa. Perempuan dapat berperan di sektor publik dan domestik sekaligus. Perempuan dapat meningkatkan sekaligus menurunkan derajat seorang laki-laki. Karena berpengaruhnya peran perempuan, sampai-sampai ada pepatah yang mengatakan bahwa wanita adalah tiang negara.

6.1.4 Umur Pengarang

Umur pengarang diduga berpengaruh terhadap karyanya. Hal ini dicontohkan Siswanto (2008: 9) melalui penyair-penyair seperti Taufiq Ismail dan Rendra. Ketika masih muda, puisi-puisi kedua penyair ini berisi protes sosial, setelah dewasa, mereka lebih suka melakukan perenungan dalam bait-bait puisinya.

MKT, lahir 37 tahun yang lalu. Sebuah usia yang cukup matang dalam mengecap pengalaman kehidupan. Dia telah menikah dan memiliki tiga orang anak dari hasil pernikahannya tersebut. Sebagai perempuan dewasa, MKT tentu paham betul naluri dasar manusia yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan seksual. Oleh karena itu, dalam triloginya, dia memasukkan naluri alamiah itu tanpa terjebak ke dalam kalimat-kalimat yang mengarah kepada tindakan pornografi. Contohnya, pada saat Cen Cu berhubungan dengan Naga. MKT menggambarkan proses persetubuhan itu dengan bahasa yang indah dan menggugah. Cen Cu, yang baru pertama sekali melakukan hubungan badan, merasakan sakit dan senang secara bersamaan. Dia merasakan ”perihnya sayatan rasa lapar dan haus bagi mereka yang tidak selalu bisa mendapatkan penawarnya” sekaligus ”membangkitkan semua kenangan dan perasaan indah dalam dirinya” (MN: 143). Sampai pada akhirnya, MKT menggambarkan perasaan Cen Cu sebagai berikut.

Cen Cu tertawa. Dia sedang berenang dalam sungai yang bening dan sejuk, hanya ada perasaan tanpa bobot yang menyenangkan, dan air sungai yang terus mengalir (MN: 143).

MKT juga menggambarkan kondisi batin perempuan yang sudah menikah tetapi sudah lama tidak melakukan hubungan biologis melalui tokoh Guat Kim, ibu tiri Cen Cu. Guat Kim sudah lama menjanda dan hidup kesepian. Akibatnya, ia selalu berteriak saat berbicara dan mudah sekali naik darah. Sikap seperti ini, menurut MKT, merupakan perwujudan rasa tertekan seksual seorang janda sehingga ia seperti ”kelebihan adrenalin” atau memiliki ”bendungan testosteron yang hampir jebol” (MN: 17).

Kedewasaan MKT juga tampak pada kemampuannya memberikan kritik terhadap oknum-oknum yang mengatasnamakan sesuatu untuk kepentingan pribadi. Kritik tersebut, antara lain, ”Pejabat berwenang hanya berpikir untuk memihak siapa yang bakal lebih menguntungkan pemerintah daerah –dan dirinya sendiri” (MN: 42); ”seorang teman yang diketahuinya membayar suap untuk menjadi pegawai negeri sipil, yang sampai saat ini masih harus merelakan sebagian gajinya sebagai ”uang jasa” untuk si perantara” (MN: 80); ”PNS Kota yang biasanya berpengetahuan pas-pasan” (Sbr: 25); ”dikandangkan atas nama pelestarian hanya karena manusia tidak mampu menahan dirinya” (Sbr: 35).

MKT juga mengangkat kearifan lokal yang ada di Jambi dengan memberikan gambaran tentang pelestarian warisan budaya Jambi, perlindungan satwa langka, mitos manusia harimau (cindaku), dan perilaku Orang Rimba (suku terasing di Provinsi Jambi).

6.1.5 Pendidikan Pengarang

Pendidikan formal yang ditempuh MKT ternyata mempengaruhi novel-novel yang dikarangnya. Dia menyelesaikan pendidikan menengahnya di sebuah institusi pendidikan yang cukup ternama di Kota Jambi. Hasil dari pendidikan tersebut ditunjukkan MKT melalui kemampuannya merangkai kata. Salah satunya adalah kemampuan menciptakan gaya bahasa simile dan metafora yang tidak lazim. Dia tidak menggunakan gaya bahasa yang umum digunakan orang, tetapi menciptakan sesuatu yang khas dan unik. Menurut MKT, dia melakukan itu dengan cara berlatih terus- menerus. Semakin sering berlatih, semakin tajam pula kemampuan menulisnya.

Adapun contoh pemakaian simile dalam trilogi DE, antara lain, ”rambutnya yang panjang dan berwarna seperti tembaga bergelombang” (MN: 10); ”bulan seperti sepotong kuku keemasan di langit” (MN: 176); ”seperti stek batang singkong yang ditancapkan ke tanah” (GBTET: 211); ”seperti nenek baik hati yang membukakan pintu rumahnya” (Sbr: 30). Contoh metafora dalam trilogi ini, antara lain, ”lingkaran bulan” (MN: 21) yang berarti masa menstruasi seorang perempuan; ”seringai maut” (MN: 28) yang berarti bahaya yang mengancam jiwa; dan ”wajah kotor” (GBTET: 94) yang berarti perilaku yang sangat jahat atau keji.

Di samping simile dan metafora, MKT juga menyelipkan beberapa gaya bahasa personifikasi dan peribahasa dalam triloginya. Contoh personifikasi, antara lain, ”membangunkan hutan yang masih tertidur” (MN: 10); ”matanya memuaskan diri” (MN: 10); ”angin yang lembut berbisik memanggilnya” (MN: 77); ”langit dan bumi mengamuk” (MN: 28); ”matahari yang terik sudah kembali bersembunyi” (MN: 123); dan ”langit dan bumi sedang menghitung gumpal murkanya” (GBTET: 94). Contoh peribahasa, antara lain, ”menjerat leher dengan ekor sendiri” (MN: 9) yang berarti melakukan pekerjaan yang sia-sia dan merugikan diri sendiri.

MKT juga mampu berbahasa Inggris, sebagaimana tergambar dalam beberapa dialog antara Rigel dan Reuben Moore. Kemampuan berbahasa Inggris tersebut diperolehnya melalui sekolah dan latihan. Keluarga, menurut MKT, juga membiasakannya berkomunikasi dalam bahasa Inggris, termasuk kesukaannya membaca buku-buku warisan kakeknya yang banyak yang ditulis dalam bahasa Inggris.

MKT juga banyak membaca buku dari berbagai bidang ilmu, sebagai wujud dari pendidikan informal. Tidak mengherankan apabila dalam trilogi ini dia mengetahui

istilah-istilah yang dipakai dalam disiplin ilmu yang berbeda. Misalnya, istilah dalam bidang jurnalistik, arkeologi, astronomi, musik, dan teknologi. Dia juga mengetahui