• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

Lampiran 4. Dokumentasi 1) Kampung Ciharashas

Kondisi lahan pertanian yang berbentuk hamparan

Kondisi perumahan masyarakat tani Ciharashas

2) Kampung Cibeureum Batas

Kondisi lahan pertanian yang dikelilingi oleh jalan dan rumah penduduk

Usaha home industry pembuatan sandal dan sepatu

Sistem penanaman tumpang sari Penanaman Palawija di Cibeureum Batas

1.1.Latar Belakang

Sumber-sumber agraria seperti tanah, air dan udara dalam sosiologi agraria dikenal sebagai salah satu faktor produksi strategis bagi kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti perumahan, industri, pertambangan, pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan lain sebagainya. Namun seiring bertambahnya jumlah penduduk mengakibatkan terjadinya peningkatan kebutuhan akan lahan, sementara luas lahan pada dasarnya tidak berubah. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya peristiwa alih fungsi lahan.

Alih fungsi lahan atau konversi lahan mengandung pengertian perubahan penggunaan lahan oleh manusia, yang dapat bersifat permanen maupun sementara. Dikatakan bersifat permanen, jika lahan pertanian beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian. Akan tetapi apabila lahan tersebut berubah fungsi dari persawahan menjadi perkebunan, maka alih fungsi lahan tersebut bersifat sementara. Alih fungsi lahan yang bersifat permanen dampaknya lebih besar dari pada alih fungsi lahan yang bersifat sementara (Kivell, 1993).

Berdasarkan faktor-faktor penggerak utama konversi lahan, pihak pelaku, pemanfaat konversi dan proses konversi dilakukan, Sihaloho (2004) membagi konversi ke dalam tujuh tipologi, yaitu: (1) konversi gradual-berpola sporadis. Diakibatkan oleh dua faktor penggerak utama yaitu lahan yang kurang produktif dan “keterdesakan ekonomi” pelaku konversi; (2) konversi sistematik berpola “enclave”. Pola konversi mencakup wilayah dalam bentuk “sehamparan tanah” secara serentak dalam waktu yang relatif sama; (3) konversi adaptasi demografi. Terjadi karena kebutuhan tempat tinggal/permukiman akibat pertumbuhan penduduk; (4) konversi yang disebabkan oleh masalah sosial. Terjadi karena motivasi untuk berubah dari masyarakat dengan meninggalkan kondisi lama dan bahkan keluar dari sektor pertanian; (5) konversi tanpa beban. Konversi yang dilakukan untuk melakukan aktivitas menjual tanah kepada pihak pemanfaat yang selanjutnya dimanfaatkan untuk peruntukan lain; (6) konversi adaptasi agraris.

Terjadi karena ingin meningkatkan hasil pertanian dan minat untuk bertani di tempat lain yang lebih produktif, dan; (7) konversi multi bentuk atau tanpa pola. Disebabkan oleh berbagai faktor khusunya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, untuk perdagangan, termasuk sistem waris.

Telah banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk mensiasati fenomena konversi lahan pertanian tersebut. Salah satunya ialah dengan melakukan ekstensifikasi pertanian atau usaha pencetakan sawah di luar Pulau Jawa. Menurut data Badan Pusat Statistik, pada periode 1981-1999, pemerintah dan masyarakat telah membangun sawah (ekstensifikasi) sekitar 3,2 juta hektar (84 persen) di luar Pulau Jawa. Namun, dalam kurun yang sama sekitar 1,6 juta hektar sawah (62,5 persen) di Pulau Jawa berubah fungsi menjadi kawasan perumahan, industri dan perdagangan, perkantoran, atau jalan. Pada tahun 1999- 2002 lebih dramatis lagi, yaitu sekitar 188.000 hektar (70 persen) sawah per tahun di Pulau Jawa berubah fungsi, sementara pencetakan sawah baru hanya 46.400 hektar per tahun di luar Pulau Jawa.

Kelurahan Mulyaharja, merupakan salah satu wilayah di Pulau Jawa yang mengalami peristiwa konversi lahan pertanian. Luas Kelurahan ini ialah 477,005 hektar. Dari 477,005 hektar tersebut, sebanyak 70 persen telah diambil oleh pihak swasta untuk kepentingan “pengembangan pembangunan”.1 Petani dan buruh tani sulit mendapatkan tanah untuk digarap, sementara mereka menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Pada akhirnya, apabila lahan terkonversi seluruhnya maka akan berdampak pada kemunduran ekonomi atau terjadinya proses pemiskinan karena hilang atau berkurangnya akses atas tanah.

Fenomena konversi lahan pertanian sesungguhnya berimplikasi pada perubahan struktur agraria. Penelitian yang dilakukan oleh Sihaloho (2004) di Kelurahan Mulyaharja menunjukkan perubahan dalam pola penguasaan lahan, pola penggunaan lahan, pola hubungan agraria, pola nafkah agraria, dan lain sebagainya. Jika dilihat dalam hal pola penguasaan lahan, terjadi perubahan jumlah penguasaan lahan. Petani yang tadinya sebagai pemilik lahan berubah menjadi petani penggarap. Petani yang tadinya penggarap, berubah menjadi buruh

1

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan Kepala Kelurahan Mulyaharja, Bapak Usman, TZ.

tani. Dalam perubahan pola nafkah agraria, terjadi pergeseran sumber mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian sebagai akibat keterbatasan lahan dan terdesaknya ekonomi rumahtangga.

Kini masyarakat Mulyaharja banyak beralih kepada sumber mata pencaharian non-pertanian, seperti pedagang dan tukang ojeg. Namun masih ada masyarakat yang tetap mempertahankan pekerjaannya sebagai petani. Siasat yang dilakukannya untuk tetap menghasilkan pendapatan di jalan pertanian ialah memanfaatkan satu lahan untuk ditanami oleh berbagai macam komoditas pertanian yang ditanam dalam musim yang sama atau dikenal dengan istilah sistem penanaman tumpang sari. Tanaman yang banyak ditanam ialah talas, singkong, bambu, pisang dan padi. Perilaku yang ditunjukkan oleh masyarakat Kelurahan Mulyaharja merupakan gambaran strategi hidup yang diusahakan agar mampu bertahan di sektor pertanian. Komoditas pertanian yang dipilih didasarkan atas kebutuhan pasar pada saat ini. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud menggali faktor yang melatarbelakangi masih bertahannya masyarakat tani Kelurahan Mulyaharja di sektor pertanian serta usaha yang dilakukan untuk tetap menghasilkan pendapatan di jalan pertanian.

Penelitian yang dilakukan oleh Savitri dan Purwandari (2006) di Desa Sungai Aur dan Sungai Rambut, Propinsi Jambi, menjelaskan bahwa terdapat perbedaan stratifikasi sosial antara masyarakat asli dan pendatang. Stratifikasi sosial masyarakat asli berdasarkan pada kepemimpinan dan kekuasaan atas komunitas. Sedangkan pada masyarakat pendatang berdasarkan pada kondisi ekonomi. Akan tetapi, stratifikasi tertinggi dikuasai oleh masyarakat asli, karena mereka yang bisa memiliki lahan paling banyak. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa struktur agraria terkait dengan struktur sosial yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk melihat apakah perubahan struktur agraria pada lahan sisa konversi pertanian berkenaan dengan pola pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian berhubungan dengan perubahan struktur sosial yang dialami oleh masyarakat tani Kelurahan Mulyaharja.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan penjabaran di atas, maka perumusan masalah yang penting untuk diangkat ialah:

1) Bagaimana hubungan perubahan struktur agraria (pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian) pada lahan sisa konversi terhadap perubahan struktur sosial masyarakat tani?

2) Mengapa sebagian masyarakat tani masih mempertahankan lahan pertaniannya “dibalik” fenomena konversi lahan pertanian menjadi non- pertanian?

3) Bagaimana usaha yang dilakukan masyarakat tani untuk tetap “bertahan” di sektor pertanian?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1) Menganalisis bagaimana hubungan perubahan struktur agraria (pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian) pada lahan sisa konversi terhadap perubahan struktur sosial masyarakat tani.

2) Menganalisis mengapa sebagian masyarakat tani masih mempertahankan lahannya “dibalik” fenomena konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian. 3) Menganalisis bagaimana usaha yang dilakukan masyarakat tani untuk tetap

“bertahan” di sektor pertanian.

1.4. Kegunaan Penelitian

1) Bagi mahasiswa, penelitian ini diharapkan dapat menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial yang terjadi di lapangan.

2) Bagi pemerintah, sebagai masukan bagi pemerintah dalam upaya mengembalikan ”semangat pertanian” di tengah-tengah masyarakat agar terciptanya ketahanan pangan dan kelestarian pertanian Indonesia.

3) Bagi swasta, sebagai masukan bagi pihak swasta (private sector) agar lebih menyadari arti pentingnya penjagaan sistem ekologi sawah agar tidak dengan mudah mengeksploitasi sumberdaya lahan pertanian untuk kepentingan pasar.

Komunitas

Swasta

Sumber-sumber agraria

Pemerintah

Keterangan:

hubungan teknis agraria (kerja) hubungan sosial agraria

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Tatanan Teoritik dan Empiris Struktur Agraria

Secara kategoris, subyek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit rumahtangga), pemerintah (sebagai representasi negara) dan swasta (private sector). Ketiga kategori sosial tersebut adalah pemanfaat sumber-sumber agraria, yang memiliki ikatan dengan sumber- sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan (tenure institution). Hubungan pemanfaatan tersebut menunjuk pada dimensi teknis, atau lebih spesifik dimensi kerja. Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan seperti sumber-sumber agraria menunjuk pada dimensi sosial dalam hubungan-hubungan agraria. Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan membawa implikasi terbentuknya ragam hubungan sosial, sekaligus interaksi sosial, antara ketiga kategori subyek agraria (Sitorus, 2002) (Gambar 1).

Gambar 1. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria

(Sumber: Lingkup Agraria dalam Menuju Keadilan

Penguasaan lahan dan kepemilikan lahan merupakan dua hal yang saling berkaitan. Menurut Wiradi (2008) bahwa konsep antara kepemilikan, dan penguasaan lahan perlu dibedakan. Kata “pemilikan” menunjuk pada penguasaan formal. Hak milik atas tanah berkaitan dengan hak-hak yang dimiliki seseorang atas tanah, yaitu hak yang sah untuk menggunakannya, mengolahnya, menjualnya dan memanfaatkan bagian-bagian tertentu dari permukaan tanah. Hal tersebut menyebabkan pemilikan atas tanah tidak hanya mengenai hak milik saja melainkan juga termasuk hak guna atas tanah yaitu suatu hak untuk memperoleh hasil dari tanah bukan miliknya dengan cara menyewa, menggarap dan lain sebagainya. Sedangkan kata penguasaan menunjukkan pada penguasaan efektif. Misalnya jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang itulah yang secara efektif menguasainya. Kata pengusahaan/pemanfaatan nampaknya cukup jelas, yaitu menunjuk kepada bagaimana caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif.

Pemilikan lahan tidak selalu mencerminkan penguasaan lahan, karena memang ada berbagai jalan untuk menguasai lahan, misalnya melalui sewa, sakap, gadai, dan sebagainya. Pemilik lahan luas biasanya tidak selalu menggarapnya sendiri. Sebaliknya pemilik tanah sempit dapat pula menggarap tanah orang lain melalui sewa atau sakap, di samping menggarap lahannya sendiri. Dengan demikian, penduduk pedesaan dapat dikelompokkan menjadi: (1) pemilik pengarap murni, yaitu petani yang hanya menggarap lahannya sendiri; (2) penyewa dan penyakap murni, yaitu mereka yang tidak memiliki lahan tetapi mempunyai lahan garapan melalui sewa dan/atau bagi hasil; (3) pemilik penyewa dan/atau pemilik penyakap, yaitu mereka yang di samping menggarap lahan miliknya sendiri juga menggarap lahan milik orang lain; (4) pemilik bukan penggarap; dan (5) tunakisma mutlak, yaitu mereka yang benar-benar tidak memiliki lahan dan tidak mempunyai lahan garapan (Wiradi, 2008).

Struktur agraria bukan saja bagian dari sistem produksi, namun merupakan faktor mendasar dari organisasi sosial dan politik dari masyarakat pedesaan. Karena itu terdapat keterkaitan yang erat antara struktur agraria dengan struktur

sosial2 dan kelembagaan di suatu masyarakat. Struktur agraria yang akan dilihat pada penelitian ini ialah hubungan antara subyek dengan sumber-sumber agraria berkenaan dengan penguasaan lahan, pemilikan lahan dan pemanfaatan lahan. Sistem tenurial3 yang umum diterapkan petani jika dilihat dari segi penguasaan lahan ialah sistem bagi hasil dan sistem gadai. Setiap sistem yang diterapkan memiliki latar belakang yang berbeda-beda, tergantung kepada “kondisi” yang dialami oleh petani pemilik dan petani penggarap (tunakisma).

Perubahan struktur agraria yang dimaksudkan mencakup perubahan pola pemilikan lahan, pola penguasaan lahan dan pemanfaatan lahan pertanian masyarakat. Konsep pemilikan pada penelitian ini berkaitan dengan jenis status hak pemilikan, cara perolehan lahan pertanian, perubahan luas lahan yang dimiliki dan pola hubungan produksi yang diterapkan pemilik. Sementara itu pola penguasaan lahan pada penelitian ini mencakup penguasaan tetap (pemilikan perorangan) dan penguasaan sementara. Selain itu, konsep penguasaan menunjuk pada penguasaan efektif.4

Hal-hal yang akan dilihat selanjutnya dalam penguasaan lahan ini berkenaan dengan hubungan penggarapan tanah (land tenancy pattern), seperti praktik penyakapan yang digunakan berikut istilahnya, para pelaku, hubungan antara pelaku, jenis tanaman yang biasa disakapkan, hak dan kewajiban pemilik maupun penggarap. Sementara itu untuk gambaran pemanfaatan lahan pertanian akan dilihat melalui jenis komoditi pertanian yang ditanam, alasan memilih komoditi, perlakuan terhadap hasil komoditi dan pola tanam yang dilakukan masyarakat (monokultur dan tumpang sari).

2.1.2. Ciri Masyarakat Tani

Bahari (2002) menyatakan bahwa secara umum ada tiga ciri utama yang melekat pada petani pedesaan, yaitu kepemilikan lahan secara de facto, sub-

2

Struktur sosial yang dimaksudkan dalam penelitian ini mengacu pada lima pembagian penduduk pedesaan yang dikemukakan oleh Gunawan Wiradi.

3

Suatu sistem yang hadir di dalam masyarakat dan menentukan hubungan sosial antara subyek-subyek agraria.

4

Misalnya, jika sebidang lahan disewakan kepada orang lain, maka orang itulah yang secara efektif menguasainya. Oleh sebab itu, jika seseorang menggarap tanah miliknya sendiri seluas 2 hektar dan juga menggarap lahan orang lain seluas 3 hektar, maka ia sedang menguasai 5 hektar lahan.

ordinasi legal dan kekhususan kultural. Lahan bagi petani bukan hanya memiliki arti material-ekonomi melainkan lebih dari itu, memiliki arti sosial-budaya. Luas lahan yang dimiliki petani merupakan simbol derajat sosial-ekonomi seseorang di komunitas desanya. Petani yang tidak memiliki lahan menjadi lapisan masyarakat yang paling rendah status sosialnya.

Menurut Shanin (1971) dalam Subali (2005), terdapat empat karakteristik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga. Kedua, menggantungkan kehidupan kepada lahan. Bagi petani, lahan pertanian adalah segalanya. Lahan dijadikan sebagai sumber yang diandalkan untuk menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang lebih tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga, petani memiliki budaya yang spesifik yang menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas serta solidaritas sosial. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya keterbukaan petani berlahan luas untuk mempekerjakan petani yang tidak memiliki lahan atau berlahan sempit. Semua itu didorong oleh rasa solidaritas diantara sesama petani.

Keempat, petani cenderung sebagai pihak yang tersubordinasi namun tidak dengan mudah ditaklukan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal yang mendominasi mereka.

Penelitian yang dilakukan oleh Husken (1998) di Desa Gondosari, Pati, Jawa Tengah dapat dijadikan sebagai salah satu bahan acuan mengenai ciri-ciri petani di Indonesia pada saat ini, yaitu:

1) Petani bermata pencaharian ganda. Selain bertani, masyarakat tani pada saat sekarang ini juga memiliki pekerjaan sampingan. Misalnya sebagai pedagang, buruh, supir dan lain sebagainya. Melihat kenyataan yang ada, pekerjaan sampingan tersebut ternyata merupakan pekerjaan pokoknya.

2) Tanaman yang diproduksi ialah tanaman yang tidak beresiko tinggi, artinya teknologinya dapat dengan mudah dikuasai. Misalnya tanaman talas, pisang, dan umbi-umbian. Pertimbangan lainnya ialah petani paham akan peluang pasar bagi tanaman yang diusahakan serta menguntungkan secara ekonomi. 3) Motif berusaha ialah mencari keuntungan, yang dilakukan dengan

mengintensifkan penggunaan lahan yang hasilnya akan dijual untuk mendapatkan uang tunai.

4) Petani ialah bagian dari sistem politik yang lebih besar, yang ditunjukkan dengan adanya partai-partai politik yang berpengaruh juga terhadap kepemimpinan di desa.

5) Petani subsisten secara mutlak tidak ada tetapi petani mempunyai hubungan yang kuat terhadap pasar tempat menjual hasil pertaniannya atau bahkan membeli barang di pasar untuk dijual di desanya dengan harapan memperoleh keuntungan.

Berbeda halnya dengan yang telah diungkapkan oleh Scott (1994) dalam

Purwandari (2006), bahwa petani merupakan golongan komunitas kecil yang memiliki prinsip “safety first” yang merupakan konsekuensi dari ketergantungan ekologis yang dikembangkan petani. Prinsip ini kemudian mempengaruhi pengaruh teknis, sosial dan moral dalam tatanan agraris pra-kapitalis. Kecenderungan menyukai kestabilan jangka panjang mempengaruhi sikap petani dalam merespon perkembangan kesempatan kerja di luar pertanian, dimana petani tidak “betah” bekerja di sektor tersebut. Kondisi demikian berangkat dari posisi petani yang masih terikat dalam tatanan nilai-nilai feodalistik. Nilai-nilai ini lebih mendahulukan sikap nrimo terhadap berbagai kondisi, bahkan ketika lahan mereka untuk tempat mencari makan telah terkonversi menjadi perumahan sekalipun.

2.1.3. Integrasi Masyarakat Tani

2.1.3.1 Mereka yang ”Menerima” Konversi Lahan Pertanian

Menurut Redfield (1982), petani dapat juga didefinisikan sebagai seseorang yang mengendalikan secara efektif sebidang tanah yang dia sendiri sudah lama terikat oleh ikatan-ikatan tradisi dan perasaan. Tanah dan dirinya adalah bagian dari suatu hal, suatu kerangka hubungan yang telah berdiri lama. Seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya era globalisasi, terdapat beragam pandangan yang berbeda mengenai tanah/lahan pertanian. Pandangan masyarakat terhadap lahan sangat bermakna ekonomis. Lahan dianggap sebagai bentuk harta yang dengan mudah dilepas jika harga jualnya tinggi dan dijadikan sebagai alat untuk meningkatkan taraf hidup petani melalui pengembangan usaha

taninya. Sehingga makin tinggi nilai jual lahan yang ditawarkan, maka semakin besar pula kemungkinan untuk menjual lahan tersebut.

Peristiwa di atas sesungguhnya menunjukkan bahwa petani telah terintegrasi ke dalam sistem ekonomi makro. Fenomena tersebut didukung oleh tulisan Friedmann (1992) dalam Purwandari (2006) tentang peasant dalam konteks sistem ekonomi. Ketika petani terintegrasi ke dalam sistem ekonomi, pada saat itu ciri-ciri kehidupan petani dalam berbagai segi akan mengadaptasikan diri sedemikian rupa sehingga perubahan-perubahan yang muncul akan terkait dengan sistem ekonomi dan juga budaya daerah setempat. Perubahan utama yang terlihat perubahan dalam orientasi produksi, penyesuaian strategi hidup yang dilakukan serta berubahnya nilai-nilai hidup yang dianut.

2.1.3.2. Ketahanan (persistence) Masyarakat Tani: Mereka yang “Menolak” Konversi Lahan Pertanian

Bagi masyarakat tani yang bertahan, berbagai daya upaya tetap dilakukan agar dapat terus “hidup” di sektor pertanian. Daryanto (2007) menjelaskan dua aspek penting ketahanan (persistence) masyarakat, yaitu (1) suatu keadaan untuk kembali pada situasi yang normal; (2) arah serta besaran dari perubahan di mana suatu lingkungan mampu menyesuaikan diri sehingga tidak terjadi pengaruh yang negatif. Dalam perkembangannya, konsep dan teori ketahanan masyarakat ini tidak semata-semata digunakan untuk menganalisis daya adaptasi ekologi apabila terjadi perubahan, tetapi juga banyak digunakan pada cabang ilmu pengetahuan sosial, temasuk di dalamnya sosiologi5.

Aktivitas sehari-hari masyarakat pedesaan sangat bergantung pada sumberdaya alam yang ditemui di sekitar mereka sehingga kesinambungan keberadaan sumberdaya alam tersebut merupakan hal mutlak yang harus dipenuhi untuk mendukung keberlanjutan dari kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, Daryanto (2007) memaknai konsep ketahanan masyarakat sebagai suatu kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang berkelanjutan dengan dicirikan oleh

5

Sosiologi sendiri adalah salah satu cara pandang dalam khasanah ilmu pengetahuan yang tergolong ke dalam gugus ilmu-ilmu sosial. Semua ilmu sosial mengkaji objek yang sama yaitu realitas sosial berkenaan dengan kehidupan sosial manusia. Realitas sosial itu bersifat multi- dimensional sehingga tidak mungkin dipahami dengan hanya satu disiplin ilmu sosial.

(1) kemampuan untuk mengatasi tekanan, guncangan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungannya; (2) kemampuan untuk mengelola dan meningkatkan kapabilitas serta aset yang dimiliki baik pada saat ini dan pada masa yang akan datang. Menurut Zusmelia (2007)6 sejumlah aspek yang mempengaruhi persistensi mayarakat dalam proses perubahan yang terjadiantara lain: aspek kekerabatan, kesukuan (culture), religi, kode etik yang disepakati di tingkat aktor dan derajat ketertanaman aktor dalam komunitas tersebut.

2.1.4. Konversi Lahan Pertanian

2.1.4.1. Pengertian Konversi Lahan Pertanian

Lahan sebagai salah satu faktor produksi merupakan sumber hasil-hasil pertanian yang menjadi tempat proses produksi dan hasil produksi diperoleh. Faktor produksi lahan mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini terbukti dari besarnya balas jasa yang diterima dari lahan dibandingkan dengan faktor-faktor produksi lainnya. Bagi petani, lahan mempunyai arti yang sangat penting. Karena dari situlah mereka dapat mempertahankan hidup bersama keluarganya, melalui kegiatan bercocok tanam dan beternak. Karena lahan merupakan faktor produksi dalam berusaha tani, maka keadaan status penggunaan terhadap lahan menjadi sangat penting.

Utomo et.al. (1992) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazim disebut dengan konversi lahan sebagai perubahan penggunaan atau fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan sendiri. Sedangkan menurut Kustiawan (1997) pengertian konversi atau alih fungsi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya.

Sumaryanto et.al. (1994) menjelaskan alih guna tanah dari segi pengembangan sumberdaya merupakan suatu bentuk dari perubahan alokasi

6

Fokus dalam disertasi Zusmelia (2007) adalah keberadaan pasar nagari sebagai urat nadi perekonomian masyarakat nagari, sedangkan bias dari kekuatan ekonomi dunia telah membawa perubahan dalam pasar nagari itu sendiri, baik dari segi aktor yang terlibat, regulasi yang tercipta ataupun jaringan kerja sosial yang hidup dan terbina di dalamnya. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis bagaimana pasar nagari dapat bertahan dalam proses perubahan yang terjadi, bagaimana proses perubahan tersebut, kenapa demikian dan bagaimana dampaknya terhadap kelangsungan pasar dan ekonomi Masyarakat Nagari di Minangkabau.

sumberdaya antar sektor penggunaan. Akibat struktur transformasi perekonomian yang mengarah pada semakin meningkatnya peranan sektor non-pertanian, menyebabkan terjadinya komposisi, besaran dan laju penggunaan sumberdaya (tenaga kerja, modal dan tanah) antar sektor. Berdasarkan hal tersebut maka konversi lahan pertanian dapat dikatakan sebagai suatu fenomena pembangunan yang pasti terjadi selama proses pembangunan masih berlangsung. Begitu pula selama jumlah penduduk terus mengalami peningkatan dan tekanan penduduk terhadap lahan terus meningkat maka konversi lahan pertanian sangat sulit