• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTRET PERTANIAN KAMPUNG CIHARASHAS DAN CIBEUREUM BATAS

4.1. Kampung Ciharashas

4.1.1. Proses Konversi Lahan Pertanian di Kampung Ciharashas

Berdasarkan penuturan informan, para leluhur menamai kampung dengan sebutan Ciharashas dikarenakan air yang ada di kampung tersebut tidak pernah berkurang. Hal ini terbukti ketika musim kemarau tiba, air tetap mudah diakses untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Pasokan air yang tidak pernah habis ini berdampak positif pada kondisi pertanian di Kampung Ciharashas. Oleh sebab itu, Kampung Ciharashas mempunyai lahan pertanian yang lebih luas jika dibandingkan dengan beberapa kampung lain di Kelurahan Mulyaharja.

Kampung Ciharashas merupakan salah satu kampung yang terletak di RW. 01 Kelurahan Mulyaharja. Tingkat pendidikan penduduk di RW. 01 adalah mayoritas merupakan lulusan Sekolah Dasar. Mata pencaharian yang paling banyak digeluti oleh penduduk RW. 01 ialah sebagai buruh. Luas keseluruhan wilayah RW. 01 ialah ± 76 hektar yang terbagi ke dalam dua kampung, yaitu Kampung Ciharashas dan Lemah Duhur. Masing-masing luas kampung tersebut ialah enam hektar dan 20 hektar (di luar peruntukan lahan pertanian). Secara administratif, Kampung Ciharashas terdiri dari lima RT. yang berbatasan dengan:

1) Sebelah Utara : RW. 06 2) Sebelah Selatan : RW. 02 3) Sebelah Timur : RW. 08 4) Sebelah Barat : RW. 11

Lahan pertanian di Kampung Ciharashas lebih luas jika dibandingkan dengan Kampung Lemah Duhur. Luas lahan pertanian di Kampung Ciharashas ini

10

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan pihak kelurahan, bagian pengembangan sumberdaya manusia dan pertanahan.

berkisar 40 hektar, sedangkan di Kampung Lemah Duhur hanya 10 hektar. Hal ini menyebabkan mayoritas mata pencaharian penduduk di Kampung Ciharashas ialah petani, khususnya petani penggarap. Hal ini terjadi karena mayoritas lahan pertanian yang ada di kampung tersebut dimilki oleh pihak swasta, yaitu PT. PW.

Awalnya, sebagian besar lahan pertanian yang ada di Kampung Ciharashas dimiliki oleh orang luar Kelurahan Mulyaharja, seperti yang berasal dari Desa Sukaharja, Kota Batu, dan lain-lain. Akan tetapi, setelah kontraktor dari PT. PW masuk pada tahun 1990, harga tanah mengalami perubahan, bahkan melonjak tajam. Harga tanah yang awalnya berkisar Rp. 1.800,00 per meter menjadi Rp. 5.000,00 per meter. Oleh karena itu, banyak orang yang tinggal di luar Kelurahan Mulyaharja tertarik untuk menjual lahan pertanian yang dimilikinya.

PT. PW merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang properti. Tentu saja perusahaan ini membutuhkan lahan agar dapat membangun kompleks perumahan sesuai dengan permintaan konsumen. PT. PW memiliki cara tersendiri untuk dapat membeli lahan11 yang ada di Kelurahan Mulyaharja. Pada awalnya PT. PW membeli lahan yang terletak di pinggir-pinggir kali. Setelah lahan pertanian yang ada dipinggir kali tersebut telah terjual, langkah selanjutnya ialah memberi patokan atau pagar tinggi pada lahan yang berhasil didapat. Sehingga bagi masyarakat tani yang memiliki posisi lahan di tengah-tengah kesusahan untuk mengakses lahan miliknya sendiri.

Keberhasilan PT. PW dalam memperoleh lahan tidak terlepas dari usaha para biong12 yang ada di Mulyaharja. Biong-biong tersebut berusaha mendapatkan rezeki melalui para petani yang ingin menjual lahan pertanian miliknya. Upah akan diperoleh dari lahan yang berhasil dijual. Bagi petani yang tidak mau menjual lahan miliknya, maka biong akan mendatanginya terus-menerus dan membujuk untuk segera menjual lahannya. Apabila bujuk dan rayu tidak berhasil, maka biong akan memberikan informasi palsu untuk menakut-nakuti para petani pemilik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak RT 0X (petani pemilik):

11

Lahan di sini, dalam artian berupa lahan tidur maupun lahan pertanian yang dimiliki atau sedang digarap masyarakat tani.

12

Biong adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat Kelurahan Mulyaharja kepada para makelar yang membujuk masyarakat untuk menjual lahan pertanian milik mereka.

“ lahan yang dibeli oleh pihak PT. PW itu yang dipinggirnya dulu. Nanti kalo dipinggir-pinggirnya udah dibeli, diberi pondasi/patokan atau pagar tinggi. Terus lahan yang ditengah- tengah mau gak mau akhirnya menjual juga. Karena susah aksesnya dan dihasut-hasut terus sama biong. ”

Pernyataan lain yang turut membenarkan taktik yang digunakan pihak PT. PW ialah seperti yang diungkapkan oleh Bapak Y (petani penggarap) berikut:

“ saya terpaksa menjual lahan pertanian saya. Karena kalau tidak segera dijual, biong bilang harganya lebih murah lagi. Selain itu saya risih juga setiap hari didatengin terus ke rumah.”

Akhirnya, lahan pertanian di Kampung Ciharashas berhasil dibeli oleh PT. PW pada tahun 1994. Lahan pertanian tersebut direncanakan untuk pembangunan kompleks perumahan, sesuai dengan bentuknya yang berupa hamparan. Akan tetapi karena PT. PW mengalami kemandegan, maka lahan tersebut diterlantarkan begitu saja, sehingga lama kelamaan tumbuh semak belukar dan tumbuhan perdu lainnya.

Menanggapi hal di atas, masyarakat tani bermusyawarah dengan para biong agar PT. PW mengizinkan masyarakat tani untuk menggarap lahan yang terlantar tersebut. Pada akhirnya, masyarakat diperbolehkan untuk menggarap. Mengenai luas lahan yang akan digarap, didasarkan pada modal/biaya yang dimiliki. Mulai dari proses pembersihan lahan, perataan lahan, pengadaan bibit, pupuk, dan lain sebagainya.

Saat ini, lahan garapan yang diusahakan oleh masyarakat telah dibeli oleh perusahaan yang lebih besar daripada PT. PW. Perusahaan ini telah berhasil membangun sebuah kompleks perumahan elite di Kelurahan Mulyaharja, yaitu PT. GASP. Isu yang berkembang di masyarakat Kampung Ciharashas, bahwa lebih kurang dua tahun lagi lahan garapan tempat mereka mencari nafkah akan dibangun kompleks perumahan. Menanggapi isu tersebut, masyarakat tani Kampung Ciharashas tidak bisa berbuat apa-apa. Karena pada tahun 2003 masyarakat tani dan pihak PT. PW telah membuat kesepakatan, bahwa ketika lahan garapan tersebut dijual oleh PT. PW, maka masyarakat harus bersedia

“meninggalkan” lahan garapan tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak M (petani penggarap):

“ kalau ternyata bener dua tahun lagi mau dibangun perumahan mah, ya sudah dilepas saja. Karena tanahnya kan punya orang bukan punya saya. Jadi kalau mau dibuldoser, sok saja. Kan dulunya pas tahun 2003 kita juga udah musyawarah sama PT. PW. ”

Meskipun mayoritas petani di Kampung Ciharashas merupakan petani penggarap, tetapi masih ditemukan sebagian kecil petani pemilik, pemilik- penggarap dan buruh tani. Petani pemilik maupun pemilik-penggarap yang ada di Kampung Ciharashas memperoleh lahan pertaniannya melalui warisan dari kedua orang tua. Memang dahulunya orang tua mereka tidak berniat untuk menjualnya kepada orang lain, untuk diwariskan kepada anak-anaknya. Walaupun nilai-nilai keagamaan sangat kental di kampung ini, namun khusus untuk sistem waris tidak berdasarkan pada syari’at Islam13. Masing-masing anak mendapatkan warisan lahan dengan luas yang sama.

4.1.2. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Tani Ciharashas

Jumlah penduduk di Kampung Ciharashas sebanyak ± 80 KK dan 40 KK bermatapencaharian sebagai petani. Tingkat pendidikan masyarakat Kampung Ciharashas merupakan lulusan SD. Mayoritas petani yang ada di Kampung Ciharashas juga merupakan lulusan SD/tidak lulus SD. Ini menggambarkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat tani tergolong rendah, yaitu hanya lulusan SD, sehingga sulit untuk mengakses mata pencaharian yang lebih “menjanjikan” daripada bertani.

Pendapatan masyarakat Kampung Ciharashas dari sektor pertanian tergolong rendah. Penghasilan dari sektor pertanian ini tidak didapat sebulan sekali, melainkan per musim tanam, yaitu tiga hingga empat bulan lamanya. Kisaran pendapatan masyarakat tani sebesar Rp. 500.000,00-1.000.000,00 atau tergolong sedang. Sama halnya dengan besar pengeluaran yang dikeluarkan setiap

13

Aturan dalam hukum islam menyatakan bahwa hak waris diantara laki-laki dan perempuan ialah 2:1.

bulannya, yaitu Rp. 500.000-1.000.000,00. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengeluaran mereka lebih besar dari pendapatannya.

Umumnya, kondisi bangunan rumahtangga masyarakat tani Kampung Ciharashas tergolong sederhana. Sebagian bangunan rumahtangga penduduk setempat telah terbuat dari batu bata dan sebagian lagi masih terbuat dari anyaman bambu. Sebagian besar masyarakat tani belum memiliki WC di kamar mandinya, sehingga masyarakat setempat masih mempunyai kebiasaan buang air besar di sungai. Hal ini disebabkan alokasi atau dana untuk membangun bagian rumah yang belum lengkap seperti WC, tidak ada. Uang yang diperoleh terlebih dahulu dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga dan sebagai modal untuk masa tanam berikutnya. Penerangan/listrik sebagian besar merupakan milik sendiri dan sebagian kecil lagi menumpang kepada tetangga.

Ada juga sebagian masyarakat tani yang memiliki konstruksi bangunan rumahtangga dengan kategori sangat sederhana. Dikatakan sangat sederhana, karena keseluruhannya terbuat dari anyaman bambu dan tidak memiliki kamar mandi, sehingga aktivitas mandi, mencuci pakaian dan piring dilakukan di kali atau sungai. Sedikit ditemukan petani yang memiliki konstruksi rumah yang tergolong bagus. Keseluruhan bangunan rumah terbuat dari batu bata dan telah diberi ubin/marmer, sudah memiliki WC, sumur dan kamar mandi.

Hal yang menarik untuk dilihat selanjutnya ialah jalinan kemitraan yang dilakukan oleh masyarakat tani agar dapat menunjang kebutuhan sehari-harinya. Karena mayoritas petani di Kampung Ciharashas merupakan penggarap, maka mereka paling banyak menjalin kemitraan diantara komunitas tani dan dengan pihak swasta agar dapat terus menghasilkan pendapatan.