• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA PADA LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN

5.2. Penguasaan Lahan

Penguasaan lahan yang akan dibahas pada penelitian ini berkaitan dengan penguasaan lahan efektif. Misalnya jika sebidang lahan digadaikan, disewakan dan digarap oleh orang lain, maka orang itulah yang secara efektif menguasainya. Sebagai contoh, bagi petani yang menggarap lahan miliknya sendiri dan

15

Kebutuhan mendesak di sini ialah, petani pemilik yang menggadaikan lahan pertaniannya kepada pihak lain dikarenakan keperluan yang mendesak, seperti biaya berobat, biaya sekolah anak, dan lain sebagainya.

menggarap lahan milik orang lain, maka ia sedang menguasai kedua lahan tersebut. Perubahan penguasaan lahan yang dikaji pada penelitian ini berkenaan dengan perubahan penguasaan luasan lahan masyarakat tani di kedua kampung yang bersangkutan. Selanjutnya perlu melihat praktik penyakapan yang dilakukan di kedua kampung, para pelaku yang terlibat, hak dan kewajiban masing-masing pelaku, hubungan diantara pelaku serta tanaman yang disakapkan.

5.2.1. Kampung Ciharashas

Penguasaan lahan pertanian semakin meningkat pada petani yang memiliki penguasaan lahan pertanian dengan kategori sempit disebabkan oleh peningkatan kesempatan menggarap bagi masyarakat tani di Kampung Ciharashas. Hal ini disebabkan oleh pemberian kesempatan menggarap oleh pihak PT. PW kepada para petani, sehingga memungkinkan bagi masyarakat tani untuk menambah lahan garapannya. Akan tetapi penguasaan lahan pertanian mereka hanya bersifat sementara, karena penguasaan efektif petani berada pada lahan pertanian milik PT. PW yang merupakan lahan peruntukan pembangunan kompleks perumahan. Bertambahnya penguasaan lahan pertanian bagi masyarakat tani Ciharashas tidak menggambarkan “keterjaminan” hidup mereka di masa mendatang, karena ketika nantinya lahan tersebut akan dialihfungsikan maka akan hilang pengharapan untuk hidup (Tabel 11).

Tabel 11. Perubahan Penguasaan Lahan Pertanian di Kampung Ciharashas, 2009 Penguasaan Luas Lahan

(ha)

Dahulu Sekarang

F % F %

Tidak menguasai lahan pertanian 1 4,3 0 0

Sempit: 0,01-0,49 18 78,3 19 82,6

Sedang: 0,5-0,99 3 13,1 3 13,1

Luas: 1 1 4,3 1 4,3

Total 23 100 23 100

Ada empat pola penguasaan pertanian yang ditemukan di Kampung Ciharashas, yaitu: (1) milik saja; (2) milik dan menggarap; (3) menggarap saja, dan (4) digadaikan. Dari keempat pola tersebut, pola penguasaan dengan “menggarap saja” lebih banyak ditemukan daripada pola yang lainnya, yaitu sebesar 65,2 persen. Hal ini berbeda dengan dahulunya, dimana pola penguasaan

dengan milik saja lebih banyak jika dibandingkan dengan menggarap. Perbedaan ini disebabkan oleh lahan pertanian mayoritas dimiliki oleh pihak swasta sehingga menjadikan masyarakat tani menjadi tidak akses dengan sumberdaya lokal miliknya sendiri (Tabel 12).

Tabel 12. Keterangan Penguasaan Pertanian di Kampung Ciharashas, 2009

Uraian Dahulu Sekarang

F % F %

Milik saja 12 52,2 5 21,7

Milik dan menggarap 0 0 2 8,7

Menggarap saja 10 43,5 15 65,2

Digadaikan 0 0 1 4,4

Lainnya 1 4,3 0 0

Total 23 100 23 100

Sistem penggarapan yang umumnya diterapkan di kampung ini ialah bagi hasil. Pihak penggarap merupakan masyarakat tani Kampung Ciharashas, sementara majikannya ialah pihak swasta/PT. PW, serta petani pemilik yang tinggal di dalam maupun di luar Mulyaharja. Terdapat berbagai macam bentuk pola bagi hasil yang diterapkan di kampung ini, antara lain: (a) 70:30/pertilu atau mertelu. Sebesar 70 persen diperuntukkan bagi petani penggarap dan 30 persen lainnya diperuntukkan bagi petani pemilik; (b) 80:20. Sebesar 80 persen diperuntukkan bagi petani penggarap dan 20 persen lainnya diperuntukkan bagi petani pemilik. Apabila menerapkan pembagian 70:30, maka: (1) akan dilakukan perhitungan biaya produksi sebelum pembagian hasil, jika biaya produksi ditanggung oleh penggarap; dan (2) tidak melakukan perhitungan biaya produksi, jika biaya produksi ditanggung oleh pemilik.

Apabila menggunakan pembagian 80:20, tidak melakukan perhitungan terhadap biaya produksi. Hal ini disebabkan oleh besaran yang diperoleh penggarap sudah lebih besar daripada ketentuan umum yang berlaku. Inti dari kesepakatan dari kedua belah pihak ini berkenaan dengan besaran pembagian hasil dan biaya produksi yang dikeluarkan oleh salah satu pihak. Alasan penetapan sistem bagi hasil yang ditetapkan di Kampung Ciharashas ini ialah mengikuti kebiasaan umum yang ada di masyarakat. Akan tetapi mengenai ketentuan perhitungan biaya produksi hanya terjadi antara petani dan penggarapnya, tidak mengikuti kebiasaan umum yang berlaku di masyarakat.

Terdapat perbedaan pola hubungan produksi yang ditetapkan dahulu dan sekarang. Menurut Sihaloho (2004), pola hubungan produksi yang umumnya diterapkan di Mulyaharja ialah sistem sewa dan bagi hasil. Akan tetapi, kini sistem sewa tidak lagi ditemukan. Sistem bagi hasil yang umum disepakati ialah maro (50:50) dan mertelu (70:30). Kini hanya mertelu yang umumnya ditemukan di kampung ini. Perubahan penetapan pola hubungan produksi ini dilatarbelakangi oleh hasil pertanian yang diperoleh tidak mencukupi bahkan tidak jarang merugi, terlebih lagi jika melakukan perhitungan terhadap biaya produksi yang dikeluarkan.

Pelaku penyakapan, yaitu petani pemilik dan penggarap masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Pemilik lahan pertanian biasanya berkewajiban untuk: (1) menyediakan lahan pertanian saja. Biaya produksi yang digunakan, seperti pupuk, pestisida, bibit, dan lain sebagainya akan ditanggung oleh penggarap. Setelah panen tiba, akan dilakukan perhitungan mengenai biaya produksi yang telah dikeluarkan baru setelahnya dibagi berdasarkan besarnya perolehan yang telah disepakati, dan; (2) menyediakan lahan pertanian dan menanggung biaya produksi. Apabila pemilik menanggung semua beban produksi, maka setelah panen tiba akan langsung dilakukan pembagian hasil. Hak yang diperoleh petani pemilik ialah hasil pertanian setiap panen dilakukan. Adapun kewajiban yang harus dipenuhi oleh penggarap ialah menggarap lahan pertanian dan menanggung biaya produksi, apabila tidak ditanggung oleh pemilik lahan. Hak yang didapat penggarap sama halnya dengan pemilik, yaitu mendapatkan bagian hasil pertanian sesuai dengan besaran yang telah disepakati.

Terdapat tiga tipe hubungan sosial antara majikan dan penggarapnya, antara lain: (1) kerabat luas; (2) tetangga, dan; (3) orang lain (PT. PW). Hubungan sosial yang terjalin diantara petani pemilik dan penggarap masing-masing sebesar 4,4 persen merupakan keluarga luas dan tetangga/teman. Sementara itu, sebesar 65,2 persen lainnya merupakan orang lain, yang dalam hal ini ialah PT. PW. Sedangkan sebesar 26 persen merupakan petani pemilik yang menggarap sendiri lahan pertaniannya (Tabel 13).

Tabel 13. Hubungan Sosial Antara Penggarap dan Majikan Kampung Ciharashas, 2009 Hubungan Sosial F % Kerabat luas 1 4,4 Tetangga/teman 1 4,4 Orang lain 15 65,2 Lainnya 6 26 Total 23 100

Tanaman yang biasanya disakapkan ialah padi. Sementara pada saat penggarap menanam palawija, tidak melakukan pembagian hasil yang diterapkan pada saat menanam padi. Hal ini disebabkan oleh kesulitan untuk melakukan perhitungan pada berbagai jenis tanaman palawija yang ditanam. Pada saat menanam palawija, penggarap cukup memberikan hasil pertanian seikhlasnya saja kepada majikan.

5.2.2. Kampung Cibeureum Batas

Sama halnya dengan Kampung Ciharashas, pada Kampung Cibeureum Batas juga terjadi perubahan dalam hal penguasaan lahan. Di lain sisi, terjadi peningkatan bagi petani yang sama sekali tidak menguasai ataupun memiliki lahan pertanian. Terjadinya perubahan penguasaan lahan pertanian tersebut disebabkan oleh aktivitas menjual lahan pertanian, baik yang dilakukan oleh petani yang bersangkutan ataupun pihak majikan (Tabel 14).

Tabel 14. Perubahan Penguasaan Lahan Pertanian Kampung Cibeurem Batas, 2009 Penguasaan Luas Lahan

(ha)

Dahulu Sekarang

F % F %

Tidak menguasai lahan pertanian 0 0 2 11,8

Sempit: 0,01-0,49 16 94,1 15 88,2

Sedang: 0,5-0,99 1 5,9 0 0

Total 17 100 17 100

Berbeda dengan Kampung Ciharashas, pada Kampung Cibeureum Batas hanya ditemukan tiga pola penguasaan lahan pertanian, yaitu: (1) milik saja; (2) milik dan menggarap, dan; (3) menggarap saja. Berbeda dengan dahulunya, dimana pola penguasaan lahan pertanian hanya milik dan menggarap saja. Pola penguasaan dengan “memiliki saja” lebih banyak ditemukan daripada pola yang lainnya. Terjadinya perubahan pola penguasaan lahan pertanian yang lebih

beraneka ragam disebabkan oleh perubahan penguasaan lahan pertanian sebagai akibat pemberian kesempatan menggarap oleh penduduk yang bertempat tinggal di luar Mulyaharja dan konsekuensi dari aktivitas menjual lahan pertanian (Tabel 15).

Perbedaan yang dapat diambil dari kedua kampung ini ialah, bahwa pada Kampung Ciharashas penguasaan dengan pola “menggarap saja” lebih banyak ditemukan. Ini berbeda dengan Kampung Cibeureum Batas, dimana penguasaan dengan pola “milik saja” lebih mendominasi. Kedua fenomena ini jelas menggambarkan bahwa pada Kampung Ciharashas, hanya sedikit sekali ditemukan petani pemilik karena lahan pertanian telah dikuasai oleh pihak swasta. Sebaliknya, pada Kampung Cibeureum Batas masih banyak ditemukan petani pemilik. Hal ini disebabkan oleh lahan pertanian mereka yang terletak diantara permukiman penduduk, sehingga tidak terkena plotan pengembangan.

Tabel 15. Keterangan Penguasaan Pertanian di Kampung Cibeureum Batas, 2009

Uraian Dahulu Sekarang

F % F %

Milik saja 11 64,7 8 47,1

Milik dan menggarap 0 0 1 5,9

Menggarap saja 6 35,3 6 35,3

Lainnya (tidak menguasai) 0 0 2 11,7

Total 17 100 17 100

Pola hubungan produksi penggarapan yang ditetapkan di Kampung Cibeureum Batas ialah sistem bagi hasil. Terdapat berbagai macam bentuk pola bagi hasil yang diterapkan di kampung ini, antara lain: (a) pertilu/mertelu atau 70:30. Sebesar 70 persen diperuntukkan bagi petani penggarap dan 30 persen lainnya diperuntukkan bagi petani pemilik; (b) parapat/merapat atau 75:25. Sebesar 75 persen diperuntukkan bagi petani penggarap dan 25 persen lainnya diperuntukkan bagi petani pemilik. (c) maro atau 50:50. Sebesar 50 persen diperuntukkan bagi petani pemilik dan 50 persen lainnya diperuntukkan bagi petani penggarap. (d) 80:20, petani pemilik mendapatkan 20 persen hasil pertanian sementara petani penggarap mendapatkan 80 persen hasil pertanian. Penetapan hubungan produksi ini merupakan hasil musyawarah diantara kedua belah pihak. Sistem pembagian hasil yang umumnya diterapkan ialah pertilu/mertelu atau 70:30.

Apabila menerapkan pembagian mertelu atau 70:30 dan merapat atau 75:25, maka: (1) akan dilakukan perhitungan biaya produksi sebelum pembagian hasil, jika biaya produksi ditanggung oleh penggarap; dan (2) tidak melakukan perhitungan biaya produksi, jika biaya produksi ditanggung oleh pemilik. Jika menerapkan pembagian maro atau 50:50, semua biaya poduksi akan ditanggung oleh penggarap dan tidak melakukan perhitungan biaya produksi pada saat pembagian hasil. Sedangkan jika menerapkan pembagian 80:20, semua biaya binih, pupuk, dan sewa alat pertanian ditanggung oleh pemilik. Sama halnya dengan Kampung Ciharashas, inti dari kesepakatan dari kedua belah pihak ini berkenaan dengan besaran pembagian hasil dan biaya produksi yang dikeluarkan oleh salah satu pihak. Pemilik berkewajiban untuk menyediakan lahan pertanian. Sedangkan penggarap berkewajiban untuk menggarap lahan.

Ditemukan perbedaan dan persamaan pola bagi hasil antara Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas. Pola bagi hasil yang umumnya ditetapkan di kedua kampung ini ialah mertelu atau 70:30. Perbedaannya terletak pada masih ditemukannya pola bagi hasil 50:50 atau maro. Petani penggarap yang menggunakan pola ini tidak berniat untuk mengubahnya menjadi 70:30 meskipun pendapatan yang diperoleh sedikit. Ini didasarkan pada sikap pasrah yang dimiliki petani, bersyukur akan apa saja yang diperoleh.

Terdapat tiga tipe hubungan sosial antara majikan dan penggarapnya, antara lain: (1) kerabat luas; (2) keluarga inti, dan; (3) orang lain. Hubungan sosial yang terjalin diantara petani pemilik dan penggarap masing-masing sebesar 5,88 persen merupakan keluarga luas dan keluarga inti. Sedangkan 52,94 persen lainnya merupakan orang lain, yang dalam hal ini ialah majikan yang bertempat tinggal diluar Mulyaharja. Keterangan “lainnya”, merupakan gabungan dari petani yang menggarap lahan pertaniannya sendiri dan buruh tani (Tabel 16).

Tabel 16. Hubungan Sosial Penggarap dan Majikan Kampung Cibeureum Batas, 2009 Hubungan Sosial F % Keluarga inti 1 5,88 Kerabat luas 1 5,88 Orang lain 6 35,29 Lainnya 9 52,94 Total 17 100

Sama halnya dengan Kampung Ciharashas, penetapan sistem bagi hasil/ penyakapan ini hanya digunakan ketika petani menanam padi. Sementara ketika petani menanam palawija, tidak mempergunakan sistem bagi hasil. Petani biasanya memberikan seikhlasnya kepada petani pemilik. Hal ini disebabkan oleh kesulitan melakukan perhitungan pada saat panen.