• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAN TEORITIS

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.4. Konversi Lahan Pertanian

2.1.4.1. Pengertian Konversi Lahan Pertanian

Lahan sebagai salah satu faktor produksi merupakan sumber hasil-hasil pertanian yang menjadi tempat proses produksi dan hasil produksi diperoleh. Faktor produksi lahan mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini terbukti dari besarnya balas jasa yang diterima dari lahan dibandingkan dengan faktor-faktor produksi lainnya. Bagi petani, lahan mempunyai arti yang sangat penting. Karena dari situlah mereka dapat mempertahankan hidup bersama keluarganya, melalui kegiatan bercocok tanam dan beternak. Karena lahan merupakan faktor produksi dalam berusaha tani, maka keadaan status penggunaan terhadap lahan menjadi sangat penting.

Utomo et.al. (1992) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazim disebut dengan konversi lahan sebagai perubahan penggunaan atau fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan sendiri. Sedangkan menurut Kustiawan (1997) pengertian konversi atau alih fungsi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya.

Sumaryanto et.al. (1994) menjelaskan alih guna tanah dari segi pengembangan sumberdaya merupakan suatu bentuk dari perubahan alokasi

6

Fokus dalam disertasi Zusmelia (2007) adalah keberadaan pasar nagari sebagai urat nadi perekonomian masyarakat nagari, sedangkan bias dari kekuatan ekonomi dunia telah membawa perubahan dalam pasar nagari itu sendiri, baik dari segi aktor yang terlibat, regulasi yang tercipta ataupun jaringan kerja sosial yang hidup dan terbina di dalamnya. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis bagaimana pasar nagari dapat bertahan dalam proses perubahan yang terjadi, bagaimana proses perubahan tersebut, kenapa demikian dan bagaimana dampaknya terhadap kelangsungan pasar dan ekonomi Masyarakat Nagari di Minangkabau.

sumberdaya antar sektor penggunaan. Akibat struktur transformasi perekonomian yang mengarah pada semakin meningkatnya peranan sektor non-pertanian, menyebabkan terjadinya komposisi, besaran dan laju penggunaan sumberdaya (tenaga kerja, modal dan tanah) antar sektor. Berdasarkan hal tersebut maka konversi lahan pertanian dapat dikatakan sebagai suatu fenomena pembangunan yang pasti terjadi selama proses pembangunan masih berlangsung. Begitu pula selama jumlah penduduk terus mengalami peningkatan dan tekanan penduduk terhadap lahan terus meningkat maka konversi lahan pertanian sangat sulit dihindari.

2.1.4.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian

Winoto (1996) dalam Priatno (1999) mengemukakan bahwa alih guna lahan merupakan suatu fenomena dinamik yang menyangkut aspek fisik dan aspek kehidupan masyarakat. Alih guna lahan pertanian ke non-pertanian, di samping berubahnya fenomena fisik luasan tanah pertanian juga berkaitan erat dengan berubahnya orientasi ekonomi, sosial budaya dan politik masyarakat. Menurut Nasoetion dan Winoto (1996), faktor-faktor yang menentukan konversi lahan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu faktor: (1) ekonomi; (2) sosial, dan; (3) peraturan pertanahan yang ada.

Konversi lahan pertanian ini tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan. Di berbagai negara berkembang, konversi lahan tersebut umumnya dirangsang oleh transformasi struktur ekonomi yang semula bertumpu kepada sektor pertanian ke sektor ekonomi yang lebih bersifat industrial. Penelitian Syafa’at et.al. (2001) pada sentra produksi padi utama di Jawa dan Luar Jawa, menunjukkan bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan, faktor ekonomi yang menentukan alih fungsi lahan sawah ke pertanian dan non pertanian adalah: (1) nilai kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun; (2) respon petani terhadap dinamika pasar, lingkungan dan daya saing usaha tani meningkat. Faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu: perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat (Witjaksono, 1996).

Menurut Kustiawan (1997) faktor yang mempengaruhi kecenderungan dan pola spasial konversi lahan pertanian, yaitu privatisasi pembangunan kawasan industri, pembangunan permukiman skala besar serta deregulasi investasi dan perizinan. Permainan politik ini terdapat dalam kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri tertuang dalam Keputusan Presiden No. 53/1989 telah memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasi sesuai dengan mekanisme pasar. Hal inilah yang memacu peningkatan harga lahan, yang kemudian menjadi “penarik” bagi pemilik lahan pertanian untuk menjual atau melepaskan pemilikan lahannya untuk penggunaan non-pertanian. Kebijakan tersebut kembali diperkuat oleh kebijakan pembangunan permukiman skala besar serta deregulasi dalam penanaman modal dan perizinan, yang tertuang dalam Pakto-23/1993.7

Pandangan Kustiawan tersebut didukung oleh Pierce (1981), yang menyatakan bahwa konsumsi terhadap lahan merupakan manifestasi dari kekuatan-kekuatan demografis dan ekonomi. Selain dua hal tersebut, terdapat tujuh variabel yang secara konseptual berpengaruh, yaitu perubahan penduduk, fungsi ekonomi yang dominan, ukuran kota, rata-rata nilai lahan residensial, kepadatan penduduk, wilayah geografis dan kemampuan lahan untuk pertanian. Dalam perspektif lain, menurut Lyon dalam Setiawan (1994), terdapat tiga faktor eksternal yang mempengaruhi proses konversi lahan, yaitu (1) tingkat urbanisasi, (2) situasi perekonomian makro, dan (3) kebijakan dan program pembangunan pemerintah.

Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, secara garis besar disebabkan oleh keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin banyak jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Menurut Sihaloho (2004), konversi lahan pertanian disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) pertumbuhan penduduk; mengakibatkan meningkatnya kebutuhan lahan untuk permukiman. (2) Desakan

7

Di bidang pertanahan, dalam rangka pelaksanaan Pakto-23 telah dikeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 2/1993 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah bagi Perusahaan dalam rangka Penanaman Modal, yang pada intinya memberikan berbagai kemudahan dalam perizinan lokasi.

ekonomi; yang mendorong motivasi untuk berubah. (3) Investasi pihak swasta; yang menawarkan membeli tanah dan tidak jarang disertai dengan paksaan dan “iming-iming” pekerjaan. (4) Intervensi pemerintah; yang berusaha mengikuti RTRW yang telah ada, dan (5) proses pengadaan tanah; yang lebih mendahulukan pihak yang lebih “dominan”.