• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII USAHA BERTAHAN MASYARAKAT TAN

DI SEKTOR PERTANIAN 71 7.1 Strategi dalam Bertani

1.1. Latar Belakang

Sumber-sumber agraria seperti tanah, air dan udara dalam sosiologi agraria dikenal sebagai salah satu faktor produksi strategis bagi kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti perumahan, industri, pertambangan, pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan lain sebagainya. Namun seiring bertambahnya jumlah penduduk mengakibatkan terjadinya peningkatan kebutuhan akan lahan, sementara luas lahan pada dasarnya tidak berubah. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya peristiwa alih fungsi lahan.

Alih fungsi lahan atau konversi lahan mengandung pengertian perubahan penggunaan lahan oleh manusia, yang dapat bersifat permanen maupun sementara. Dikatakan bersifat permanen, jika lahan pertanian beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian. Akan tetapi apabila lahan tersebut berubah fungsi dari persawahan menjadi perkebunan, maka alih fungsi lahan tersebut bersifat sementara. Alih fungsi lahan yang bersifat permanen dampaknya lebih besar dari pada alih fungsi lahan yang bersifat sementara (Kivell, 1993).

Berdasarkan faktor-faktor penggerak utama konversi lahan, pihak pelaku, pemanfaat konversi dan proses konversi dilakukan, Sihaloho (2004) membagi konversi ke dalam tujuh tipologi, yaitu: (1) konversi gradual-berpola sporadis. Diakibatkan oleh dua faktor penggerak utama yaitu lahan yang kurang produktif dan “keterdesakan ekonomi” pelaku konversi; (2) konversi sistematik berpola “enclave”. Pola konversi mencakup wilayah dalam bentuk “sehamparan tanah” secara serentak dalam waktu yang relatif sama; (3) konversi adaptasi demografi. Terjadi karena kebutuhan tempat tinggal/permukiman akibat pertumbuhan penduduk; (4) konversi yang disebabkan oleh masalah sosial. Terjadi karena motivasi untuk berubah dari masyarakat dengan meninggalkan kondisi lama dan bahkan keluar dari sektor pertanian; (5) konversi tanpa beban. Konversi yang dilakukan untuk melakukan aktivitas menjual tanah kepada pihak pemanfaat yang selanjutnya dimanfaatkan untuk peruntukan lain; (6) konversi adaptasi agraris.

Terjadi karena ingin meningkatkan hasil pertanian dan minat untuk bertani di tempat lain yang lebih produktif, dan; (7) konversi multi bentuk atau tanpa pola. Disebabkan oleh berbagai faktor khusunya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, untuk perdagangan, termasuk sistem waris.

Telah banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk mensiasati fenomena konversi lahan pertanian tersebut. Salah satunya ialah dengan melakukan ekstensifikasi pertanian atau usaha pencetakan sawah di luar Pulau Jawa. Menurut data Badan Pusat Statistik, pada periode 1981-1999, pemerintah dan masyarakat telah membangun sawah (ekstensifikasi) sekitar 3,2 juta hektar (84 persen) di luar Pulau Jawa. Namun, dalam kurun yang sama sekitar 1,6 juta hektar sawah (62,5 persen) di Pulau Jawa berubah fungsi menjadi kawasan perumahan, industri dan perdagangan, perkantoran, atau jalan. Pada tahun 1999- 2002 lebih dramatis lagi, yaitu sekitar 188.000 hektar (70 persen) sawah per tahun di Pulau Jawa berubah fungsi, sementara pencetakan sawah baru hanya 46.400 hektar per tahun di luar Pulau Jawa.

Kelurahan Mulyaharja, merupakan salah satu wilayah di Pulau Jawa yang mengalami peristiwa konversi lahan pertanian. Luas Kelurahan ini ialah 477,005 hektar. Dari 477,005 hektar tersebut, sebanyak 70 persen telah diambil oleh pihak swasta untuk kepentingan “pengembangan pembangunan”.1 Petani dan buruh tani sulit mendapatkan tanah untuk digarap, sementara mereka menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Pada akhirnya, apabila lahan terkonversi seluruhnya maka akan berdampak pada kemunduran ekonomi atau terjadinya proses pemiskinan karena hilang atau berkurangnya akses atas tanah.

Fenomena konversi lahan pertanian sesungguhnya berimplikasi pada perubahan struktur agraria. Penelitian yang dilakukan oleh Sihaloho (2004) di Kelurahan Mulyaharja menunjukkan perubahan dalam pola penguasaan lahan, pola penggunaan lahan, pola hubungan agraria, pola nafkah agraria, dan lain sebagainya. Jika dilihat dalam hal pola penguasaan lahan, terjadi perubahan jumlah penguasaan lahan. Petani yang tadinya sebagai pemilik lahan berubah menjadi petani penggarap. Petani yang tadinya penggarap, berubah menjadi buruh

1

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan Kepala Kelurahan Mulyaharja, Bapak Usman, TZ.

tani. Dalam perubahan pola nafkah agraria, terjadi pergeseran sumber mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian sebagai akibat keterbatasan lahan dan terdesaknya ekonomi rumahtangga.

Kini masyarakat Mulyaharja banyak beralih kepada sumber mata pencaharian non-pertanian, seperti pedagang dan tukang ojeg. Namun masih ada masyarakat yang tetap mempertahankan pekerjaannya sebagai petani. Siasat yang dilakukannya untuk tetap menghasilkan pendapatan di jalan pertanian ialah memanfaatkan satu lahan untuk ditanami oleh berbagai macam komoditas pertanian yang ditanam dalam musim yang sama atau dikenal dengan istilah sistem penanaman tumpang sari. Tanaman yang banyak ditanam ialah talas, singkong, bambu, pisang dan padi. Perilaku yang ditunjukkan oleh masyarakat Kelurahan Mulyaharja merupakan gambaran strategi hidup yang diusahakan agar mampu bertahan di sektor pertanian. Komoditas pertanian yang dipilih didasarkan atas kebutuhan pasar pada saat ini. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud menggali faktor yang melatarbelakangi masih bertahannya masyarakat tani Kelurahan Mulyaharja di sektor pertanian serta usaha yang dilakukan untuk tetap menghasilkan pendapatan di jalan pertanian.

Penelitian yang dilakukan oleh Savitri dan Purwandari (2006) di Desa Sungai Aur dan Sungai Rambut, Propinsi Jambi, menjelaskan bahwa terdapat perbedaan stratifikasi sosial antara masyarakat asli dan pendatang. Stratifikasi sosial masyarakat asli berdasarkan pada kepemimpinan dan kekuasaan atas komunitas. Sedangkan pada masyarakat pendatang berdasarkan pada kondisi ekonomi. Akan tetapi, stratifikasi tertinggi dikuasai oleh masyarakat asli, karena mereka yang bisa memiliki lahan paling banyak. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa struktur agraria terkait dengan struktur sosial yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk melihat apakah perubahan struktur agraria pada lahan sisa konversi pertanian berkenaan dengan pola pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian berhubungan dengan perubahan struktur sosial yang dialami oleh masyarakat tani Kelurahan Mulyaharja.