• Tidak ada hasil yang ditemukan

USAHA BERTAHAN MASYARAKAT TANI DI SEKTOR PERTANIAN

7.1. Strategi dalam Bertan

7.1.1. Kasus Kampung Ciharashas: Pindah Lokasi pertanian dan Budaya Gotong Royong

Bagi petani pemilik yang mempunyai lahan diantara lahan pertanian milik PT. PW, maka kemungkinan besar akan terkena pengalihan fungsi lahan ketika nanti lahan pertanian tersebut akan dibangun untuk kepentingan pengembangan pembangunan oleh PT. GASP. Menanggapi kemungkinan tersebut, sebagian besar petani bersikap pasrah namun sudah berancang-ancang untuk mengambil langkah selanjutnya.

Petani cenderung pasrah, karena menyadari posisi tawar yang rendah jika dibandingkan dengan pihak manapun, apalagi dengan pihak swasta yang memiliki modal dan kekuasaan yang besar. Ketika petani memutuskan untuk tidak menjual, maka para biong akan siap beraksi untuk membujuk petani setiap harinya hingga terpaksa menjual lahannya. Akan tetapi ternyata petani memiliki strategi tersendiri, yaitu dengan memasang harga tinggi ketika ditawar oleh biong. Dengan harapan agar nantinya dapat membeli lahan di tempat lain atau pindah lokasi pertanian. Hal yang dapat dilakukan selanjutnya ialah merancang masa depan dengan menyesuaikan terhadap “kondisi” yang ada. Masyarakat tani percaya,

bahwa segala sesuatunya telah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak ER (petani pemilik):

“ kalo harganya tinggi, baru saya jual. Buat apa saya masih bertani kalo hanya tinggal seorang?. Lebih baik saya beli lagi di tempat orang lain. Sekarang masih belum diperlukan untuk membangun. Tapi nanti kalo udah diperlukan, harganya cocok, saya jual.”

Bagi petani pemilik yang telah pindah lokasi pertanian di tempat lain yang terletak jauh dari rumah, maka mau tidak mau akan memakai petani penggarap. Hal ini tentu saja akan mengurangi pendapatan bagi petani yang dahulunya menggarap sendiri lahan miliknya. Hasil pertanian tentu saja akan dibagi dengan penggarap, berdasarkan kesepakatan yang telah disepakati bersama. Penurunan pendapatan selanjutnya akan menurunkan tingkat kesejahteraan petani.

Selain pindah lokasi pertanian, masyarakat tani mempunyai strategi tersendiri untuk terus dapat bertahan di sektor pertanian. Masing-masing masyarakat tani memiliki trik tersendiri, tergantung pada karakteristik sosialnya. Di Kampung Ciharashas misalnya, masyarakat tani mempunyai budaya gotong royong atau yang biasa disebut liuran, pada saat waktu panen, nandur dan pada saat membersihkan lahan untuk ditanami kembali. Upaya ini dilakukan untuk dapat menghemat biaya pengeluaran untuk buruh20, sehingga pengeluaran dapat ditekan.

Petani yang terlibat dalam liuran ialah petani yang letak lahannya saling berdekatan. Masyarakat tani merasa mempunyai kewajiban untuk membantu tetangganya. Tidak hanya tetangga di sekitar rumah, tetapi juga tetangga ketika berada di sawah. Hal ini menggambarkan bahwa tingkat kekerabatan masyarakat tani Ciharashas tergolong tinggi. Terbukti dengan masih melekatnya budaya saling tolong menolong dan gotong royong di kampung ini. Karena rasa

20

Terdapat perbedaan upah buruh dan “porsi” kerja antara buruh laki-laki dan perempuan. Kaum laki-laki biasanya berperan sebagai tukang bajak, mencangkul dan membantu pada saat panen. Sementara kaum perempuan berperan sebagai tenaga nandur (nanam mundur), ngarambet

(membersihkan sawah dari gulma), dan membantu pada saat panen. Untuk upah yang diberikan juga berbeda. Kaum laki-laki akan mendapatkan Rp. 25.000,00 untuk upah membajak dan mencangkul. Sementara perempuan mendapatkan Rp. 15.000,00 untuk upah nandur dan

persaudaraan yang kuat inilah masyarakat tani Kampung Ciharahas masih mampu berdiri tegak di tengah tekanan yang dialami. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak A (Ketua RW 0X):

“ kita semua tani di sini, pas panen itu gotong-royong (liuran), sebelum kita nanem juga gotong-royong untuk membersihkan lahan. Waktu nandur juga liuran. Supaya gak bayar orang. Yang liuran itu, biasanya ‘tetangga tani’ yang lahannya deket. Kan kalo dikerjain sendiri, itu repot dan mahal untuk ngegaji buruh.”

7.1.2. Kasus Kampung Cibeureum Batas: Pemasangan Harga Lahan yang tinggi dan Budaya “Berhemat”

Makin keras usaha biong agar petani menjual lahan pertanian miliknya, maka semakin keras pula usaha petani untuk dapat mempertahankannya. Cara biasa yang digunakan masyarakat tani ialah dengan mengatakan “tidak” setiap kali biong menyuruh petani untuk menjual lahan miliknya. Cara ini cukup efektif, meskipun memakan waktu yang lama karena para biong akan kembali menanyakannya di lain waktu. Cara lain yang digunakan petani ialah dengan memasang harga lahan setinggi mungkin sehingga para biong tidak dapat menjangkaunya. Hal ini seperti pernyataan Bapak A (petani pemilik):

“ sering mah biong kesini. Buat nanyain tanah saya dijual apa enggak. Saya udah bilang gak, dia teteup balik-balik deui. Bosen saya juga. Akhirnya, saya pasang aja dengan harga tinggi. Kalo gak dengan harga segitu, gak saya jual. Biar dia nyahok. Dia gak sanggup, terus gak datang-datang lagi. ”

Biong juga tidak bisa begitu saja menyetujui harga yang ditawarkan oleh petani, karena pihak PT. PW telah memiliki kisaran harga lahan yang berada di suatu lokasi. Kedua cara tersebut yang biasa dilakukan oleh masyarakat tani dalam mempertahankan lahan pertanian yang dimiliki. Apabila nantinya lahan tersebut terjual, maka dengan seketika putus harapan untuk menyambung hidup.

Terdapat perbedaan terhadap pemasangan harga lahan yang tinggi pada Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas. Pada Kampung Ciharashas, pemasangan harga lahan yang tinggi dimaksudkan agar dapat membeli lahan

pertanian di tempat lain, karena lahan pertanian petani pemilik di Kampung Ciharashas kemungkinan besar akan terkena proyek “pengembangan pembangunan”. Bagi petani yang ada di Cibeureum Batas, pemasangan harga lahan yang tinggi dimaksudkan agar lahan pertanian yang dimiliki tidak dengan mudah jatuh ke tangan biong sebagai perantara dari PT. PW.

Strategi atau cara yang ditampilkan oleh masyarakat tani agar terus dapat menghasilkan pendapatan di jalan pertanian tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dibuktikan dengan berbedanya strategi atau cara yang ditunjukkan oleh masyarakat tani Ciharashas dengan masyarakat tani Cibeureum Batas. Jika masyarakat tani Ciharashas menggambarkan kekerabatan yang erat dengan budaya gotong-royongnya, maka masyarakat tani Cibeureum Batas lebih kepada trik untuk menghemat biaya pertanian. Seperti biaya binih atau bibit, biaya pupuk dan biaya pestisida.

Usaha yang biasanya dilakukan petani Cibeureum Batas agar terus dapat menanam ialah menyisihkan binih untuk masa tanam berikutnya. Penyisihan bisa dilakukan, karena memang lahan pertanian petani Kampung Cibeureum Batas tidak seluas lahan pertanian yang dimiliki oleh petani di Kampung Ciharashas. Dalam usaha pertanian, biaya yang paling mahal ialah pengeluaran untuk pupuk. Harga pupuk satu karungnya (50 kg) mencapai Rp. 80.000,00. Sementara itu, keberhasilan hasil pertanian salah satunya bergantung kepada intensitas pemberian pupuk.

Satu kali penanaman, biasanya dilakukan tiga kali pemupukan. Dikarenakan harga pupuk yang mahal dan intensitas pemberiannya juga cukup sering, maka masyarakat tani Cibeureum Batas mempunyai siasat tersendiri. Salah satunya ialah menggantinya dengan berak21. Dengan ini maka petani dapat terus menuai panennya dan dapat menghasilkan pendapatan untuk menghidupi anak dan istri. Penghematan juga tidak hanya dilakukan pada bibit dan pupuk saja. Pestisida atu obat-obatan yang digunakan oleh petani juga dapat ditekan pengeluarannya. Biasanya petani menggunakan obat-obatan alami untuk

21

Berak ialah kotoran hewan yang dapat dijadikan pupuk. Biasanya kotoran yang digunakan ialah kotoran kambing. Selain karena murah dan mudah didapat, kotoran kambing juga tidak kalah bersaing dengan pupuk lainnya. Meskipun mereka mengakui bahwa hasil dari pupuk kimia lebih menjanjikan daripada yang alami.

menyemprot hama tanaman. Hama bodas22 misalnya, disemprot dengan air tajin atau air nasi, atau tumbukan daun kipayet yang kemudian ekstraknya dicampur dengan air. Daun ini rasanya sangat pahit, lebih pahit dari daun pepaya. Sehingga diharapkan nantinya hama dapat teratasi. Terkadang usaha ini berhasil, tapi terkadang juga tidak. Tergantung kepada intensitas hama dan tingkat keparahan kondisi tanaman yang terserang hama. Berbagai cara atau strategi yang ditampilkan oleh masyarakat tani Cibeureum Batas menggambarkan bahwa betapa pentingnya untuk terus dapat menghasilkan pendapatan di jalan pertanian guna menyambung hidup keluarga.