• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA PADA LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN

5.1. Pemilikan Lahan Pertanian 1 Kampung Ciharashas

Pemilikan lahan pertanian berhubungan dengan pemilikan resmi dan pemilikan sementara yang dimiliki oleh petani. Kepemilikan resmi dapat dilihat dari status hukum yang dipegang oleh pemiliknya. Baik berupa surat keterangan kepemilikan dari kelurahan, segel14, maupun keduanya. Ada berbagai macam cara memperoleh lahan pertanian yang kemudian dimiliki oleh petani. Cara yang ditemukan pada Kampung Ciharashas ini ialah sistem waris, gadai dan jual-beli lahan, serta warisan dan jual-beli. Mayoritas petani pemilik Kampung Ciharashas memperoleh lahan pertaniannya dengan cara waris, yaitu sebesar 37,5 persen. Sedangkan sebesar 25 persen dan 12,5 persen lainnya memperoleh lahan pertanian dengan cara beli/ganti rugi, warisan dan jual-beli, serta gadai. Cara perolehan lahan dengan warisan merupakan cara yang paling sering digunakan, karena berasal dari peninggalan orang tua, yang dari dahulunya tidak berniat untuk menjual lahan tersebut (Tabel 1).

14

Segel di sini berupa bukti keterangan sah jual-beli lahan pertanian sebelum proses menuju akta jual-beli.

Tabel 1. Cara Perolehan Lahan Petani Pemilik Kampung Ciharashas, 2009

Cara Perolehan Lahan F %

Beli/ganti rugi 2 25

Warisan 3 37,5

Warisan dan jual beli 2 25

Gadai 1 12,5

Jumlah petani pemilik 8 100

Terdapat tiga jenis struktur sosial petani yang ditemukan di kampung ini, yaitu petani pemilik, petani penggarap dan petani pemilik-penggarap. Dahulunya, hanya ditemukan dua jenis petani saja, yaitu petani pemilik dan petani penggarap. Munculnya petani pemilik-penggarap dan meningkatnya jumlah petani penggarap disebabkan oleh tingkat penyakapan yang tinggi sebagai akibat pemberian kesempatan menggarap oleh pihak PT. PW kepada masyarakat tani. Penurunan jumlah petani pemilik menggambarkan bahwa petani Ciharashas kehilangan akses atas tanah sebagai akibat pembelian lahan pertanian yang dilakukan oleh pihak swasta. Sehingga menyebabkan petani tidak dapat akses kepada sumberdaya lokal miliknya sendiri. (Tabel 2).

Tabel 2. Jenis Petani Kampung Ciharashas, 2009

Keterangan Dahulu Sekarang

F % F % Petani Pemilik 12 52,2 6 26,1 Petani Pemilik-Penggarap 0 0 2 8,7 Petani penggarap 10 43,5 15 65,2 Lainnya 1 4,3 0 0 Total 23 100 23 100

Kondisi awal lahan pertanian yang dimiliki pada umumnya merupakan lahan yang sudah tergarap/sawah. Hal ini disebabkan lahan pertanian tersebut merupakan peninggalan dari nenek moyang masyarakat setempat. Lahan yang dahulunya merupakan kawasan hutan yang cukup luas kemudian dibuka oleh nenek moyang untuk dijadikan lahan pertanian. Masyarakat tani Kampung Ciharashas memperoleh lahan pertaniannya sudah berbentuk lahan tergarap/sawah.

Aspek legalitas lahan pertanian yang dimiliki oleh petani pemilik Kampung Ciharashas masih mudah untuk “digoyahkan”. Mayoritas bukti kepemilikan lahan hanya berupa riwayat kepemilikan lahan dari kantor

kelurahan/desa setempat, yaitu sebesar 50 persen. Hal ini disebabkan oleh pendapatan yang diperoleh lebih diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan keluarga sehari-hari. Bagi petani yang memperoleh lahan pertanian melalui jual- beli pada umumnya telah mempunyai bukti berupa segel yang ditandatangani oleh Kepala Desa/Lurah setempat serta saksi dari kedua belah pihak. Segel ini merupakan surat pernyataan jual-beli lahan sebelum akta. Status hukum tertinggi pemilikan lahan pertanian yang ditemukan di Kampung Ciharashas ialah segel (Tabel 3).

Tabel 3. Status Hukum Lahan Petani Pemilik Kampung Ciharashas, 2009

Status Hukum Lahan Petani Pemilik F %

Tanah milik; surat desa 4 50

Tanah milik; segel 2 25

Tanah milik; segel & surat desa 2 25

Jumlah petani pemilik 8 100

Terjadi perubahan luas lahan yang dimiliki oleh petani pemilik di Kampung Ciharashas. Hal ini disebabkan oleh aktivitas menjual lahan pertanian kepada orang lain maupun pihak swasta. Baik untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak atau terpaksa menjual karena “negosiasi” biong. Sebagai aktivitas menjual lahan pertanian tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah petani tunakisma dan penurunan jumlah petani yang memiliki lahan pertanian dengan kategori sempit (Tabel 4).

Tabel 4. Perubahan Kepemilikan Lahan Pertanian Kampung Ciharashas, 2009 Luas Pemilikan (ha) Dahulu Sekarang F % F % Tunakisma: 0 11 47,8 15 65,2 Sempit: 0,01-0,49 12 52,2 8 34,8 Total 23 100 23 100

Mayoritas petani pemilik Kampung Ciharashas memilih untuk menggarap sendiri lahan pertaniannya, yaitu sebesar 75 persen. Ini dimaksudkan agar dapat memaksimalkan pendapatan yang diperoleh dari pertanian. Karena ketika memutuskan untuk memakai penggarap, maka hasil pertanian yang diperoleh lebih sedikit jika dibandingkan ketika menggarap sendiri. Sementara itu, sebesar 25 persen petani pemilik memutuskan untuk menggunakan penggarap, dengan rincian

berasal dari tetangga/teman dan dari kerabat luas. Pemilihan penggarap ini berdasarkan unsur kepercayaan dari petani pemilik kepada penggarapnya (Tabel 5).

Tabel 5. Penggarap Lahan Pertanian Kampung Ciharashas, 2009

Pihak yang Menggarap Lahan Pertanian F %

Sendiri 6 75

Kerabat luas 1 12,5

Tetangga/teman 1 12,5

Jumlah petani pemilik 8 100

Terdapat dua alasan yang dikemukakan oleh petani pemilik Ciharashas tentang kebijakan untuk memakai penggarap. yaitu: (1) keinginan untuk membantu, dan; (2) faktor umur/sudah tua, sehingga tidak dapat mengurus lahan pertanian. Pola hubungan produksi yang biasanya digunakan di kampung ini ialah bagi hasil. Kedua petani pemilik yang menggunakan penggarap menerapkan sistem ini. Untuk besaran bagian yang diperoleh, merupakan hasil kesepakatan diantara kedua pihak yang bersangkutan. Hubungan sosial diantara petani pemilik dan penggarap biasanya masih merupakan kerabat luas dan tetangga/teman, sehingga hubungan diantara keduanya cukup dekat. Kedekatan ini sangat membantu penggarap ketika mengalami kesulitan biaya tunai/modal ketika akan menanam kembali. Mereka bisa meminta bantuan kepada majikannya. Beda halnya dengan penggarap yang mengolah lahan pertanian milik orang lain yang bertempat di luar Ciharashas, hubungannya dengan majikan tidak begitu dekat.

5.1.2. Kampung Cibeureum Batas

Terdapat empat jenis struktur sosial petani yang ditemukan di Kampung Cibeureum Batas, yaitu: petani pemilik, petani penggarap, petani pemilik- penggarap dan buruh tani. Hal ini berbeda dengan dahulunya, dimana hanya ditemukan dua jenis petani di kampung ini, yaitu petani pemilik dan buruh tani. Munculnya petani pemilik-penggarap disebabkan oleh pemberian kesempatan menggarap oleh orang lain yang bertempat tinggal di luar Kampung Cibeureum Batas. Adapun peningkatan buruh tani disebabkan oleh aktivitas menjual lahan pertanian itu sendiri (Tabel 6).

Tabel 6. Jenis Petani Kampung Cibeureum Batas, 2009

Keterangan Dahulu Sekarang

F % F % Petani Pemilik 11 64,7 8 47,1 Petani Pemilik-Penggarap 0 0 1 5,8 Petani penggarap 6 35,3 6 35,3 Buruh tani 0 0 2 11,8 Total 17 100 17 100

Lahan pertanian yang saat ini dimiliki oleh petani pemilik Kampung Cibeureum Batas mayoritas merupakan harta warisan dari kedua orang tua. Hal ini tergambar melalui lima dari sembilan petani pemilik yang ditemukan di Kampung Cibeureum Batas atau sebesar 55,6 persen memperoleh lahan pertaniannya dengan cara warisan. Sementara itu sebesar 22,2 persen lainnya memperoleh lahan pertanian dengan cara jual-beli. Sisanya, yaitu masing-masing sebesar 11,1 persen memperoleh lahan pertanian dengan cara warisan dan jual- beli serta gadai. Kondisi awal lahan pertanian yang dimiliki oleh masyarakat tani Kampung Cibeureum Batas sudah berbentuk lahan tergarap/sawah (Tabel 7).

Tabel 7. Cara Perolehan Lahan Petani Pemilik Cibeureum Batas, 2009

Cara Perolehan Lahan F %

Jual-beli 2 22,2

Warisan 5 55,6

Warisan dan jual beli 1 11,1

Gadai 1 11,1

Jumlah Petani pemilik 9 100

Status hukum lahan pertanian yang ada di Kampung Cibeureum Batas beraneka ragam bentuknya. antara lain: (1) tanah milik; tanpa surat, (2) tanah milik/surat desa, (3) tanah milik; segel, (4) tanah milik; segel dan surat desa. Aspek legalitas segel setingkat lebih tinggi daripada surat bukti kepemilikan dari kelurahan/desa setempat. Mayoritas status hukum yang dimiliki oleh petani pemilik Kampung Cibeureum Batas ialah surat desa, yaitu berupa catatan riwayat pemilikan lahan pertanian di Kantor Desa/Kelurahan setempat atau yang lazim disebut dengan Letter-C (Tabel 8).

Tabel 8. Status Hukum Lahan Petani Pemilik Kampung Cibeureum Batas, 2009

Status Hukum Lahan Petani Pemilik F %

Tanah milik; tanpa surat 1 11,1

Tanah milik; surat desa 5 55,6

Tanah milik; segel 2 22,2

Tanah milik; segel & surat desa 1 11,1

Jumlah petani pemilik 9 100

Perubahan pemilikan luasan pertanian ini disebabkan oleh aktivitas menjual lahan yang dimiliki. Penjualan tersebut disebabkan beberapa faktor pendukung, yaitu: (1) lokasi lahan yang terletak relatif jauh dari rumah, mengakibatkan pantauan terhadap perkembangan tanaman terhambat; (2) kondisi lahan yang kurang produktif, sehingga hasil pertanian tidak begitu memuaskan; (3) pemenuhan kebutuhan yang mendesak, dan (4) lokasi lahan pertanian yang dimiliki terkena proyek pengembangan pembangunan, sehingga pada akhirnya terpaksa menjual lahan. Sebagai dampaknya, terjadi peningkatan petani tunakisma, dari 35,3 persen menjadi 47,1 persen. Akan tetapi, pada dasarnya tidak terjadi perubahan luasan lahan yang begitu signifikan oleh petani pemilik Cibeureum Batas. (Tabel 9).

Tabel 9. Perubahan Pemilikan Lahan Pertanian Cibeureum Batas, 2009 Luas Pemilikan (ha) Dahulu Sekarang F % F % Tunakisma: 0 6 35,3 8 47,1 Sempit: 0,01-0,49 11 64,7 9 52,9 Total 17 100 17 100

Mayoritas petani pemilik Kampung Cibeureum Batas menggarap sendiri lahan pertaniannya, yaitu sebesar 77,8 persen dan 22,2 persen lainnya menggunakan penggarap yang berasal dari keluarga sendiri/keluarga inti sebesar dan kerabat luas. Pemilihan penggarap yang berasal dari keluarga sendiri dilatarbelakangi oleh rasa percaya pada keluarga sendiri jika dibandingkan dengan orang lain (Tabel 10).

Tabel 10. Penggarap Lahan Pertanian Kampung Cibeureum Batas, 2009

Pihak yang Menggarap Lahan Pertanian F %

Sendiri 7 77,8

Keluarga inti 1 11,1

Kerabat luas 1 11,1

Jumlah petani pemilik 9 100

Hubungan sosial yang terjalin diantara petani pemilik dan penggarap Kampung Cibeureum Batas masih merupakan keluarga inti dan kerabat luas. Ini berarti diantara pemilik dan penggarap memiliki hubungan yang dekat. Sehingga ketika penggarap mengalami kesulitan untuk menanggulangi biaya produksi, maka para petani sering meminta bantuan kepada pemiliknya, yang masih keluarganya sendiri. Terdapat dua alasan yang dikemukakan petani pemilik Cibeureum Batas ketika mengambil keputusan untuk melimpahkan pengusahaan lahan kepada orang lain, antara lain: (1) tidak sempat mengurus, dan; (2) kebutuhan mendesak15.

Pola hubungan produksi yang biasanya diterapkan dalam penggarapan ialah bagi hasil. Sistem gadai juga masih ditemukan di kampung ini. Pola ini diterapkan apabila pemilik lahan yang bersangkutan membutuhkan uang dalam waktu yang cepat, tetapi dengan tidak menjual lahannya. Lahan tersebut dilimpahkan kepada orang lain. Hasil pertaniannya akan dinikmati oleh pemilik sementara lahan tersebut. Apabila pemilik sebenarnya tidak mampu mengambalikan uang dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, maka lahan tersebut biasanya akan menjadi milik sah pemilik sementara. Kedua petani pemilik yang menggunakan penggarap menerapkan pola hubungan produksi sistem bagi hasil dan gadai.