• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANUSIA MENURUT BERNARD LONERGAN

4.2. Dosa sebagai Penghalang Autentisitas

Proses tresendensi-diri manusia untuk mencapai autentisitasnya yang penuh tidaklah berjalan otomatis, bahkan menemui halangan. Dosa dan kejahatan merupakan rintangan manusia mencapai autentisitas dirinya. Karena dosa dan kejahatan, gerak maju roh manusia bisa berbalik menjadi gerak mundur. Lonergan sendiri menyadari

54 Michael Paul Gallagher, Faith Maps: Ten Religious Explorers from Newman to Joseph Ratzinger, (New York: Paulist Press, 2010), 70.

bahwa sejarah manusia merupakan suatu percampuran antara produk kodrat baik manusia dan dosa, antara progres dan kemunduran.

Kemunduran (decline) merupakan istilah Lonergan untuk efek kumulatif dosa dalam sejarah manusia. Itulah sebabnya dunia kita tidak berfungsi dalam suksesi peningkatan berkelanjutan yang berkesinambungan.55 Karena adanya kemunduran, kita tetap cerdas dan bebas, rasional dan penuh kasih, tetapi lebih dalam potensi daripada dalam kenyataan.56 Kemunduran mengalir dari kegagalan nyata kita untuk menyetiai dorongan transendental, kegagalan kita untuk menjadi autentik dalam operasi individu dan kerja sama sosial. Karena kemajuan tergantung pada manusia yang penuh perhatian, cerdas, masuk akal dan bertanggung jawab, kemunduran adalah hasil dari kurangnya perhatian, kebodohan, tidak masuk akal, dan tidak bertanggung jawab.57 Maka, bagian ini akan membahas dosa dari dua sudut pandang umum, dosa dalam individu dan dosa dalam masyarakat.

55 Mark T. Miller, “Why The Passion?”, 96.

56 Mengikuti Aristoteles, Lonergan berpendapat bahwa manusia memang animal rationale, tetapi hanya dalam potensi. Dalam kenyataan, manusia lebih merupakan animal simbolicum sebab semua manusia menggunakan simbol. Sebagai animal rationale, manusia harus mengusahakan perkembangannya sebab progres bukan sesuatu yang diterima sejak lahir, seperti kewarganegaraan.

Bagi Lonergan, menjadi rasional merupakan sebuah keputusan yang didasarkan pada kebebasan. Lih.

Bernard Lonergan, Topics in Education, 79-80.

57 Bernard Lonergan, Method in Theology, 54-55.

4.2.1. Dosa dalam Individu

Dalam Insight, Lonergan membedakan antara dosa dasar, kejahatan moral, dan kejahatan fisik. Yang dimaksud Lonergan dengan dosa dasar (basic sin) adalah kegagalan kehendak bebas untuk memilih tindakan yang wajib secara moral atau kegagalannya untuk menolak tindakan yang secara moral dapat dipahami. Lonergan menegaskan bahwa dosa dasar adalah akar dari hal-hal irasional dalam kesadaran diri rasional manusia. Sebagai orang yang sadar secara cerdas dan rasional, manusia memahami dan mengafirmasi apa yang seharusnya ia lakukan dan apa yang tidak boleh ia lakukan; tetapi jelas bahwa bagi Lonergan, mengetahui (knowing) dan melakukan (doing) merupakan dua hal yang terpisah. Lonergan menekankan aspek negatif dosa dasar dengan menyebutnya bukan hanya kegagalan kehendak tetapi juga kegagalan untuk berkehendak. Demikian pula, dosa bukan hanya kegagalan akal dan

rasio; dosa dasar itu tidak dapat dipahami dan tidak rasional dalam dirinya sendiri.58 Bagi Lonergan, jika ada alasan, itu bukan dosa. Mungkin ada pembelaan diri (excuse);

mungkin ada keadaan-keadaan yang meringankan, tetapi tetap tidak ada alasan, karena dosa dasar terjadi bukan dalam mengusahakan pertimbangan-pertimbangan masuk akal, tetapi dalam kegagalan mengusahakannya. Dosa dasar itu terjadi bukan karena kegagalan yang tidak disengaja, tetapi dalam kesengajaan dan dalam pengakuan atas

58 Mark T. Miller, “Why The Passion?”, 97-98.

apa yang seharusnya dilakukan namun, tidak diikuti dengan tanggapan yang masuk akal.59

Selanjutnya, Lonergan mengajukan gagasan kejahatan moral (moral evils) yaitu konsekuensi dari dosa-dosa dasar. Dari dosa dasar atas ketidak-mauan seseorang untuk melakukan apa yang harus dilakukan, muncul kejahatan moral atas kelalaian dan meningkatnya godaan dalam diri sendiri atau orang lain terhadap dosa-dosa dasar lebih lanjut.60 "Kejahatan moral" adalah istilah Lonergan untuk tindakan yang salah.

Kejahatan moral adalah akibat atau “konsekuensi” dosa dasar. Konsekuensi seperti itu termasuk kerusakan moral yang terjadi pada orang berdosa dan situasi sosial.61 Dosa dasar dan kejahatan moral yang mereka sebabkan meningkatkan kemungkinan bahwa dosa dan kejahatan akan terjadi di masa depan. Mereka melakukan ini dengan mempertinggi ketegangan dan godaan dalam diri sendiri atau dalam lingkungan sosial seseorang.62

Akhirnya, yang dimaksud kejahatan fisik (physical evils) oleh Lonergan adalah semua kekurangan dari tatanan dunia yang terdiri, sejauh yang kita pahami, dalam

59 Bernard Lonergan, Insight, 690.

60 Bernard Lonergan, Insight, 689.

61 Bernard Lonergan, The Redemption, Collected Works of Bernard Lonergan, Volume 9, ed.

Robert Doran, Jeremy Wilkins, dan H. Daniel Monsour; penerj. Michael Shields (Toronto: University of Toronto, 2018), 21. Bagian catatan kaki.

62 Mark T. Miller, “Why The Passion?”, 98.

probabilitas kemunculan (emergent probability)63 yang umum.64 Alam semesta berkembang dari bentuk material dan biologis dan spiritual yang lebih rendah ke yang lebih tinggi. Perkembangan ini bukan masalah determinisme tetap, tetapi risiko. Dari perspektif yang terbatas, banjir, gunung meletus, penyakit, dan sejenisnya adalah jahat.

Tetapi dari sudut pandang seluruh tatanan dunia, hal ini dapat dilihat sebagai mengarah pada kebaikan. Faktanya, bahkan kejahatan moral (konsekuensi dari dosa), yang secara tidak langsung dikehendaki oleh Allah dalam penciptaan tatanan dunia yang adil, dapat dilihat dengan cara ini.65 Lonergan juga mengakui bahwa ketidaksempurnaan yang lebih rendah merupakan potensi untuk yang lebih tinggi;

yang terbelakang merupakan potensi untuk yang maju dan bahkan kejahatan moral melalui ketegangan dialektis yang dihasilkan baik untuk penghapusannya sendiri atau demi penguatan kebaikan moral.66

63 Istilah “emergent probability” dipakai Lonergan untuk menggambarkan perspektif dinamis tatanan dunia. Lih. Jeremy D. Wilkins, “Finality, History, and Grace: General and Special Categories in Lonergan’s Theology of History” dalam Michael Dauphinais and Matthew Levering (ed.), Wisdom and Holiness, Science and Scholarship: Essays in Honor of Fr Matthew L. Lamb (Florida: Sapientia Press, 2007), 375-402. Dalam konteks ini, berarti fungsi aktual dari skema peristiwa alam atau fisik sebelumnya dalam rangkaian peristiwa alam tertentu memenuhi kondisi untuk kemungkinan berfungsinya skema selanjutnya. Penjelasan lebih lengkap lih. Insight, 144-148.

64 Bernard Lonergan, Insight, 689.

65 Mark T. Miller, “Why The Passion?”, 98-99.

66 Bernard Lonergan, Insight, 691.

4.2.2. Dosa dalam Masyarakat

Bagi Lonergan, dosa adalah kategori yang tidak hanya berasal dari pemikiran teologis dan religius. Dosa adalah fakta nyata dalam kehidupan manusia yang tampak dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik. Lonergan mempertimbangkan dosa dan efeknya dalam tiga bentuk: dosa sebagai kriminalitas, dosa sebagai komponen dalam proses sosial, dan dosa sebagai penyimpangan.

4.2.2.1. Dosa sebagai Kriminalitas

Dengan mempertimbangkan dosa sebagai kriminalitas, dosa dapat ditunjukkan dengan statistik dan berkaitan dengan hukum, polisi, pengadilan, penghakiman, dan penjara. Pada saat yang sama, Lonergan menunjukkan bahwa pandangan ini menghasilkan gagasan tentang kebaikan sebagai “menjauhkan diri dari penjara” - Anda adalah orang baik jika Anda tidak berada di penjara. Secara sederhana, untuk melawan dosa sebagai kriminalitas juga berarti perlunya memiliki lebih banyak hukum, lebih banyak polisi, dan lebih banyak pengadilan. Bagi Lonergan, dalam memandang dosa sebagai kriminalitas, hukum merupakan unsur mendasar. Hukum membantu orang untuk memahami mana yang baik dan buruk. Hal ini didasarkan pada apa yang dinyatakan Santo Paulus dalam Roma 3:2067, melalui hukum ada

67 “Sebab tidak seorang pun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah oleh karena melakukan hukum Taurat, karena justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa.”

pengetahuan akan dosa. Dan kemudian, dalam Roma 5:13, Paulus menulis, “Sebab sebelum hukum Taurat ada, telah ada dosa di dunia. Tetapi dosa itu tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum Taurat.”68

Lonergan memandang bahwa dosa sebagai kriminalitas merupakan masalah kegagalan moral, niat buruk, dan ketidakpahaman. Bagi Lonergan, mereka yang melakukan entah kriminalitas yang kecil atau besar merupakan orang yang tidak memahami pengaturan sosial. Penjahat membentuk masyarakat lain dengan standar moral sendiri. Lonergan kemudian memberi ilustrusi. Ada sebuah kisah tentang seorang gangster yang menembak seorang polisi, dan ketika ditanya mengapa dia melakukannya, dia mengatakan bahwa dia melakukannya untuk membela diri: dia memiliki standar moral sendiri; hal ini memberi bukti bahwa ada “masyarakat” yang sama sekali berbeda, dengan kriteria dan hukumnya sendiri. Dalam masyarakat mana pun dapat muncul invasi vertikal orang-orang barbar, yaitu orang-orang yang tidak memahami masyarakat sebagaimana adanya dan sedang memberontak melawannya.

Orang-orang seperti itu berasal dari dalam masyarakat. Masyarakat telah gagal membawa mereka ke tarafnya sendiri, atau mereka telah menolak untuk naik ke taraf masyarakat. Untuk mengatasi hal itu, Lonergan berpendapat bahwa pendidikan merupakan garis pertahanan pertama untuk mencegah orang menjadi barbar.69

68 Bernard Lonergan, Topics in Education, 59.

69 Bernard Lonergan, Topics in Education, 59.

4.2.2.2. Dosa sebagai Komponen dalam Proses Sosial

Pada bagian ini, dosa dipandang sebagai komponen dalam proses sosial, sebagai kebalikan dari perkembangan tatanan yang beradab. Lonergan mengingatkan bahwa kenyataannya, tatanan kebaikan tidak berkembang dengan cara mulia sebagaimana yang seharusnya terjadi dalam gerak maju manusia.70 Tatanan kebaikan ini berkembang di bawah bias yang mendukung kelas yang kuat, kaya, atau paling banyak.71 Hal ini mengarah ke pembagian kelas tidak hanya berdasarkan fungsi mereka, tetapi juga berdasarkan kesejahteraan mereka. Pembagian kelas-kelas ini memunculkan, dalam orang-orang yang tertindas, kecurigaan, kecemburuan, permusuhan, kebencian, dan pada mereka yang berada dalam keadaan sosial yang lebih baik, keangkuhan, kesombongan, penghinaan, kritik terhadap kemalasan, kurangnya inisiatif, dan kepicikan.72

Dengan demikian, dalam proses perkembangan dunia, dosa menjelma dalam bias pada kelompok-kelompok tertentu dan terhadap kelompok-kelompok lain;

muncul oposisi kelas, muatan emosional oposisi itu, dan sikap saling tuding dan saling kritik antarkelas. Sejauh bias ini berlaku dalam masyarakat, tidaklah cukup untuk memiliki ide-ide bagus dan bekerja keras. Seseorang harus memiliki sejumlah

70 Walaupun demikian, Lonergan mengutip apa yang dikatakan Yesus bahwa penyesatan itu memang harus ada, “Celakalah dunia dengan segala penyesatannya: memang penyesatan harus ada, tetapi celakalah orang yang mengadakannya” (Mat. 18:7).

71 Inspirasi gagasan ini didapat Lonergan dari pemikiran Karl Marx. Lih. Bernard Lonergan, Topics in Education, 58.

72 Bernard Lonergan, Topics in Education, 60.

kekayaan, kekuatan, dan pendapat populer jika gagasannya ingin diwujudkan.

Manajemen mengusahakan lebih banyak kekuatan karena menginginkan kontrol sebab manajemen tidak dapat mengendalikan semua faktor luar yang mungkin mengganggu rencananya. Karena itu, hierarki birokrasi muncul dan semakin berkembang.

Akhirnya, satu-satunya ide yang memiliki peluang untuk berhasil adalah yang datang dari orang-orang di kelas atas.73

Padahal, Lonergan menunjukkan bahwa dalam perkembangan yang spontan, ide-ide baru datang dalam orang yang cerdas, melihat kemungkinan, dan terus maju dengan segala risikonya. Tetapi dalam birokrasi, orang yang cerdas tidak lagi menjadi pemrakarsa. Dia tidak memiliki kekuatan, koneksi, dan pengaruh untuk mempraktikkan ide-idenya. Ia menjadi konsultan, seorang ahli yang dipanggil oleh birokrasi. Aktivitasnya diperlambat dengan mengurusi dokumen-dokumen yang rutin.74 Gaya dan bentuk kerjanya menjadi terstandardisasi dan seragam. Pekerjaannya menjadi membosankan dan rutin, tanpa pemahaman tentang apa yang sedang terjadi.

Mereka terus melakukannya karena mereka harus hidup. Kreativitas memiliki semakin sedikit peluang untuk pencapaian yang signifikan.75

73 Mark T. Miller, “Why The Passion?”, 100.

74 Untuk konteks sekarang, mungkin ini yang dimaksud dengan disibukkan oleh tugas-tugas administratif.

75 Bernard Lonergan, Topics in Education, 60.

4.2.2.3. Dosa sebagai Penyimpangan

Ketiga, Lonergan memandang dosa sebagai penyimpangan, yaitu sebagai kejahatan yang berseberangan dengan perkembangan budaya. Tentang dosa sebagai penyimpangan, Lonergan menunjukkan bahwa Perjanjian Baru menyebutnya secara berlimpah. Kita bisa membaca misalnya dalam Roma 1:18-32, 2:12-24. Roma 5:21 memberi tahu kita bahwa dosa berkuasa di dunia. Yohanes 1:10 dikatakan, “Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya.”

Dalam Yohanes 3:19-21, kita membaca, “Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat. Sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak.” Selain itu, dalam Yohanes 8:42-47 dan 12:37-41, ada warta tentang kebutaan Israel.76

Bagi Lonergan, penyimpangan berorientasi pada hasil negatif. Hal ini berlaku untuk kesadaran individu dan sejarah kultural masyarakat.77 Penyimpangan dalam individu tampak dalam kondisi pribadi seseorang yang mengarah pada neurosis dan psikosis. Dalam sejarah sosial, menyimpang mengarah pada bencana. Idealnya, baik individu maupun masyarakat berorientasi pada totalitas yang benar dan yang baik.

Tetapi dosa sebagai penyimpangan memudarkan perhatian manusia, menghambat gagasan-gagasan, pertanyaan, dan aspek-aspek pengalaman yang penting. Dosa ini

76 Bernard Lonergan, Topics in Education, 62.

77 Mark T. Miller, “Why The Passion?”, 101.

menghalangi seseorang untuk menjadi subjek yang sadar secara empiris, cerdas, rasional, bebas, dan bertanggung jawab sehingga menutup aspirasi yang lebih tinggi dari jiwa manusia dan hati manusia.78 Dan, dalam peradaban yang maju, aspek budaya yang lebih tinggi (seni, sastra, filsafat, agama) berfungsi sebagai arena untuk mengolah hasrat manusiawi yang tak terbatas akan keindahan, kebenaran, dan kebaikan. Namun, reaksi berantai dosa mengubah budaya tinggi menjadi rasionalisasi tingkat tinggi atas dosa-dosa masyarakat.79