• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGAPAN ILAHI DAN MANUSIAWI ATAS PENDERITAAN: REFLEKSI DARI PERSPEKTIF TEOLOGI SALIB BERNARD LONERGAN DAN JÜRGEN MOLTMANN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TANGGAPAN ILAHI DAN MANUSIAWI ATAS PENDERITAAN: REFLEKSI DARI PERSPEKTIF TEOLOGI SALIB BERNARD LONERGAN DAN JÜRGEN MOLTMANN"

Copied!
297
0
0

Teks penuh

(1)

TANGGAPAN ILAHI DAN MANUSIAWI ATAS PENDERITAAN:

REFLEKSI DARI PERSPEKTIF TEOLOGI SALIB BERNARD LONERGAN DAN JÜRGEN MOLTMANN

Tesis

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Magister Teologi

Oleh: Benny Beatus Wetty NIM : 166312006

PROGRAM STUDI MAGISTER TEOLOGI FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2019

(2)

TANGGAPAN ILAHI DAN MANUSIAWI ATAS PENDERITAAN:

REFLEKSI DARI PERSPEKTIF TEOLOGI SALIB BERNARD LONERGAN DAN JÜRGEN MOLTMANN

Tesis

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Magister Teologi

Oleh: Benny Beatus Wetty NIM : 166312006

PROGRAM STUDI MAGISTER TEOLOGI FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2019

(3)
(4)
(5)

iv ABSTRAK

Tesis ini merupakan sebuah kajian teologi yang membahas pandangan teologi salib dari Bernard Lonergan dan Jürgen Moltmann melalui studi pustaka. Untuk mengeksplorasi pandangan teologi salib mereka, diajukan pertanyaan: di manakah Allah saat manusia menderita? Pertanyaan ini berfokus pada tanggapan ilahi atas penderitaan manusia.

Bagi Lonergan, secara umum, jawaban Allah atas penderitaan manusia adalah penebusan, yaitu Allah mengusahakan pelepasan manusia dari belenggu dosa dan konsekuensi dosa. Secara khusus, tanggapan atas penderitaan manusia adalah peristiwa salib Kristus sebagai bagian dari kerangka besar penebusan yang merupakan komunikasi cinta dari hati ke hati antara Allah dan manusia. Allah mengomunikasikan cinta-Nya kepada manusia secara konkret dengan mengutus Sang Putra ke dunia (inkarnasi) untuk keselamatan manusia.

Bagi Moltmann, jawaban atas pertanyaan itu adalah Allah juga menderita bersama manusia yang menderita sebab melalui Kritus yang wafat di salib, Ia telah mengidentifikasikan Diri-Nya dengan mereka yang menderita, dengan yang merasa ditinggalkan dan diabaikan, dengan yang merasa terkutuk dan tak diperhatikan Allah.

Itulah tanda konkret solidaritas Allah terhadap mereka yang menderita. Lewat Kristus yang tersalib, Allah tidak hanya menguatkan dan memberi harapan bagi mereka yang berada di pihak korban, tetapi juga menanggung dosa di pihak pelaku.

Demi memberi kajian yang utuh atas teologi salib mereka, penulis kemudian mengajukan pertanyaan kedua: di manakah manusia saat sesamanya menderita?

Pertanyaan kedua ini berfokus pada tanggapan manusiawi terhadap penderitaan sesama manusia.

Bagi Lonergan, tanggapan yang wajar dan semestinya atas pertanyaan itu adalah manusia membantu sesamanya, yaitu mengusahakan segala sesuatu yang dapat meringankan penderitaan sesamanya. Tanggapan yang demikian wajar karena dari dalam dirinya, roh autentisitas selalu mendorong manusia untuk bertransendensi- diri yang tidak hanya dalam level intelektual, tetapi juga level moral. Tanggapan yang demikian juga tanggapan yang semestinya karena manusia telah pertama-tama mengalami cinta Allah dalam penebusan yang menggerakkannya untuk mengasihi sesama.

Bagi Moltmann, tanggapan ideal atas pertanyaan itu adalah manusia mengusahakan persahabatan terbuka. Dalam persahabatan terbuka, orang yang menderita tidak hanya diterima melainkan disambut. Sebab, persahabatan ini merupakan wujud kegembiraan yang meriah atas kerajaan Allah. Karena manusia adalah imago Trinitatis dengan corak sosialitas yang dominan, dari persepektif etis, ia dipanggil untuk menciptakan lingkungan-lingkungan sosial yang mencerminkan kehidupan internal Allah Triniter, yang membuat orang yang menderita mendapat kasih sayang dan perhatian, serta mengalami keringanan dalam beban penderitaan mereka. Akhirnya, tesis ini menunjukkan bagaimana tanggapan ilahi dan tanggapan manusiawi tersebut sifatnya saling terkait.

(6)

v

ABSTRACT

This thesis is a theological research that discusses the views of theology of cross of Bernard Lonergan and Jürgen Moltmann through literature study. To explore the viewes of their theology of cross, the question is raised: where is God when people suffer? This question focuses on the divine response to human suffering.

For Lonergan, in general, God's answer to human suffering is redemption, that is, God seeks human release from the bondage of sin and the consequences of sin.

Specifically, the response to human suffering is the event of the cross of Christ as part of the great framework of redemption which is a heart-to-heart love communication between God and man. God communicates His love to humans in a concrete way by sending the Son into the world (incarnation) for human salvation.

For Moltmann, the answer to that question is that God also suffers with people who suffer because through Christ who died on the cross, He has identified Himself with those who suffer, with those who feel abandoned and ignored, with those who feel cursed and unnoticed by God. That is a concrete sign of God's solidarity with those who suffer. Through Christ who was crucified, God not only strengthened and gave hope to those who were on the side of the victims, but also bore sin on the part of the perpetrators.

In order to give a complete study of their theology of cross, this thesis then asks the second question: where are humans when their fellow humans suffer? This second question focuses on the human response to the suffering of fellow human beings.

For Lonergan, a reasonable and proper response to that question is that humans help each other, that is, doing everything that can alleviate the suffering of others. Such a response is natural because from within, the spirit of authenticity always pushes humans to self-transcendence which is not only on an intellectual level, but also on a moral level. Such a response is also a proper response because humans have first experienced the love of God in redemption which moves him to love others.

For Moltmann, the ideal response to that question is that humans seek open friendship. In open friendship, people who suffer are not only accepted but welcomed. Therefore, this friendship is a form of festive joy over the kingdom of God. Because man is an imago Trinitatis with a dominant form of sociality, from an ethical perspective, he is called to create social environments that reflect the internal life of a Trinitarian God, which makes people who suffer get compassion and attention, and experience relief in the burden of their suffering. Finally, this thesis shows how the divine response and human response are interrelated.

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Penulisan tesis ini merupakan usaha saya untuk menanggapi pertanyaan tentang penderitaan manusia di hadapan Allah. Fakta penderitaan tidak bisa diingkari, dan keberadaan Allah yang Maha Baik dan Maha Kuasa juga saya imani. Dalam hal ini, tesis saya masuk dalam tema teodisi, suatu upaya untuk menyelaraskan keadilan Tuhan yang Maha Baik dan Maha Kuasa dengan keberadaan kejahatan atau penderitaan di dunia. Pada awalnya, saya hendak berfokus pada satu pertanyaan saja,

“Di manakah Allah saat manusia menderita?” Pertanyaan ini bagaikan tuntutan kepada Allah atas semua yang terjadi. Namun, kemudian, saya membaca pertanyaan reflektif dari Paus Fransiskus saat beliau berkunjung ke kamp Auschwitz-Birkenau Nazi dalam rangka Hari Orang Muda Dunia 2016, “Di manakah manusia saat sesamanya menderita?” Pertanyaan ini bagi saya harus ditanggapi untuk melengkapi pertanyaan pertama. Pertanyaan ini mengandung sebuah tuntutan bagi manusia untuk bertanggung jawab atas hidup orang lain.

Dalam rangka menanggapi dua pertanyaan itu, saya mencoba mendalami karya-karya teologis filosofis Bernard Lonergan dan Jürgen Moltmann. Ini adalah sebuah perjalanan intelektual dan spiritual yang panjang dan tidak mudah di tengah beban studi yang tidak sedikit. Karena itu, atas terselesaikannya tesis ini, saya hendak mengucapkan terima kasih kepada Dr. M. Purwatma, Pr yang dengan murah hati dan penuh pengertian membimbing perjalanan tesis saya, serta kepada Dr. Y. B. Heru Prakosa, S.J. yang di tengah jadwal akademis yang padat terus memotivasi saya dan memberikan masukan yang mencerahkan.

Selama studi teologi saya, khususnya selama penulisan tesis ini, saya juga didukung dan dibantu oleh banyak pihak. Saya merasa didukung oleh komunitas Kolsani yang membangun suasana kondusif untuk belajar dan juga yang mengakomodasi suka duka perjalanan studi saya. Tanpa persahabatan dan dukungan dari teman-teman dalam aneka macam bentuknya, tentu tesis saya ini semakin berat untuk diselesaikan. Saya juga berterima kasih kepada para karyawan Kolsani dan khususnya karyawan perpustakaan Kolsani yang dengan gesit dan cekatan membantu mencarikan sumber-sumber rujukan yang saya butuhkan. Saya berterima kasih kepada orang tua dan adik kakak saya, yang lewat doa dan perhatian mereka memberi semangat untuk merampungkan tesis ini. Akhirnya, saya berterima kasih kepada Serikat Yesus yang mengutus saya untuk studi teologi dan mendalami isi iman saya demi pelayanan yang lebih luas kepada semakin banyak orang.

Karena tesis ini adalah hasil karya manusia yang rapuh, tentu saja sifatnya tidak sempurna dan mengandung kekurangan. Aneka kekurangan dan kekeliruan merupakan tanggung jawab penulis. Walaupun demikian, saya berharap bahwa tesis ini membantu kita untuk menerima penderitaan sebagai bagian hidup yang tak terpisahkan sambil tetap beriman mendalam pada Allah.

Benny Beatus Wetty, S.J.

(8)

vii

DAFTAR ISI

ABSTRAK

...

iv

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI

...

vii

BAB I PENDAHULUAN

...

1

1. 1. Latar Belakang ... 1

1. 2. Rumusan Masalah ... 10

1. 3. Fokus, Batasan, dan Sumbangan ... 11

1. 4. Tujuan dan Kegunaan ... 17

1. 5. Metode ... 19

1. 6. Struktur Penulisan ... 22

BAB II BERNARD LONERGAN: SALIB SEBAGAI TRANSFORMASI KEKERASAN MENJADI KEBAIKAN

... 24

2. 1. Memahami Penebusan ... 27

2. 1. 1. Penebusan: Kata, Akhir, dan Mediasi ... 27

2. 1. 1. 1. Penebusan sebagai Kata ... 27

2. 1. 1. 2. Penebusan sebagai Akhir ... 30

2. 1. 1. 3. Penebusan sebagai Mediasi ... 32

2. 1. 2 Penebusan sebagai Komunikasi ... 34

2. 1. 3 Penebusan sebagai Misteri ... 37

2. 1. 4 Keterpahaman Penebusan (Intelligibility of the Redemption) ... 44

2. 1. 4. 1. Bukan Keniscayaan, tetapi Kesesuaian ... 45

2. 1. 4. 2. Keterpahaman yang Dinamis ... 48

2. 1. 4. 3. Keterpahaman yang Mewujud ... 50

2. 1. 4. 4. Keterpahaman yang Kompleks ... 52

2. 1. 4. 5. Keterpahaman yang Majemuk ... 54

2. 2. Hukum Salib (Lex Crucis) ... 57

2. 2. 1. Mengapa disebut Hukum Salib? ... 59

2. 2. 1. 1. Memahami Hukum Salib ... 59

2. 2. 1. 2. Sebuah Hukum Spiritual: Supernatural, Sesuai, Efektif, dan Universal ... 62

2. 2. 2. Cara Kerja Hukum Salib ... 68

2. 2. 2. 1. Mengalahkan Kejahatan dengan Kebaikan ... 68

2. 2. 2. 2. Sebuah tindakan dari Kebijaksanaan dan Kasih Ilahi ... 73

2. 2. 3. Fungsi Hukum Salib bagi Umat Kristiani ... 75

2. 2. 3. 1. Hukum Salib sebagai Ajaran: Hidup Kristus ... 75

2. 2. 3. 2. Hukum Salib sebagai Teladan: Kematian Kristus ... 78

(9)

viii

2. 2. 3. 3. Hukum Salib sebagai Janji: Kebangkitan Kristus ... 79

BAB III JÜRGEN MOLTMANN: SALIB SEBAGAI SOLIDARITAS ALLAH ATAS PENDERITAAN MANUSIA

... 83

3. 1. Salib dan Interpretasi Salib ... 88

3. 1. 1. Signifikansi Salib ... 89

3. 1. 2. Mistisisme Salib: Sisi Pasif Penghayatan Salib Kristus ... 92

3. 1. 3. Mengikuti Kristus: Sisi Aktif Penghayatan Salib Kristus ... 100

3. 1. 4. Teologi Salib ... 106

3. 2. Pengalaman Hidup Manusia dalam Pathos Allah ... 114

3. 2. 1. Apatheia Allah dan Kebebasan Manusia ... 115

3. 2. 2. Pathos Allah dan Sympatheia Manusia... 122

3. 2. 3. Kepenuhan Hidup dalam Sejarah Trinitaris Allah ... 131

3. 2. 4. Salib Kristus sebagai Solidaritas Allah ... 139

BAB IV PENUH KASIH BAGI SESAMANYA: MANUSIA MENURUT BERNARD LONERGAN

... 146

4. 1. Autentisitas sebagai Transendensi-Diri ... 149

4. 1. 1. Sisi Manusiawi: Setia pada Tahap-Tahap Transendensi Diri ... 150

4. 1. 2. Sisi Ilahi: Terbuka pada Anugerah Cinta Allah ... 159

4. 2. Dosa sebagai Penghalang Autentisitas ... 168

4. 2. 1. Dosa dalam Individu ... 170

4. 2. 2. Dosa dalam Masyarakat ... 173

4. 2. 2. 1. Dosa sebagai Kriminalitas ... 173

4. 2. 2. 2. Dosa sebagai Komponen dalam Proses Sosial ... 175

4. 2. 2. 3. Dosa sebagai Penyimpangan ... 177

4. 3. Konversi sebagai Gerak Kembali pada Autentisitas ... 178

4. 3. 1. Konversi: Religius, Moral, dan Intelektual ... 184

4. 3. 2. Konversi Religius: dari tanpa cinta menuju cinta yang tanpa batas ... 185

4. 3. 3. Konversi Moral: dari kepuasan menuju nilai ... 188

4. 3. 4. Konversi Intelektual: dari tampaknya benar menuju yang sungguh benar ... 191

BAB V MENGUSAHAKAN PERSAHABATAN TERBUKA: MANUSIA MENURUT JÜRGEN MOLTMANN

... 195

5. 1. Karakter Utama Manusia ... 199

5. 1. 1. Manusia sebagai Imago Mundi ... 199

5. 1. 2. Manusia sebagai Imago Dei ... 203

5. 1. 3. Manusia sebagai Imago Trinitatis ... 208

5. 2. Karakter Dasar Allah Tritunggal ... 214

5. 2. 1. Kesetaraan Radikal ... 214

5. 2. 2. Gerak Saling-Mendiami (Perichoresis) ... 220

(10)

ix

5. 2. 3. Kasih Tanpa Batas ... 227

5. 3. Persahabatan Terbuka ... 231

BAB VI PENUTUP: DARI SALIB MENUJU KEBANGKITAN, SINTESIS ANTARA LONERGAN DAN MOLTMANN

... 245

6. 1. Teologi Salib dan Tanggapan Manusia atas Penderitaan Sesamanya ... 250

6. 1. 1. Salib sebagai Solidaritas Transformatif Allah ... 250

6. 1. 2. Salib yang Menumbuhkan Kasih yang Terbuka ... 252

6. 2. Pendekatan Berteologi ... 255

6. 2. 1. Pengalaman Religius Lonergan ... 256

6. 2. 2. Pengalaman Eksperiensial Moltmann ... 261

6. 3. Penutup: Dari Kematian Menuju Kebangkitan ... 264

BIBLIOGRAFI

... 275

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengalaman Auschwitz, tempat terbunuhnya satu jutaan orang pada zaman Nazi, adalah pengalaman yang amat mengguncang kemanusiaan sehingga orang mempertanyakan imannya, mempertanyakan keberadaan Allah.1 Allah di mana di saat seperti itu? Di hadapan tragedi kemanusiaan itu, ketika Paus Fransiskus berkunjung ke kamp Auschwitz-Birkenau Nazi dalam rangka Hari Orang Muda Dunia 2016, tak satu kata pun yang terucap dari mulut Paus. Begitu pula, ketika ia mengunjungi monumen genosida Armenia pada 25 Juni 2016, Paus memohon untuk tidak berpidato. Tahun sebelumnya, tahun 2014, saat Paus mengunjungi Redipuglia di Italia Utara untuk memperingati 100 tahun Perang Dunia I, ia berkata, “Saya ingin di dalam keheningan”.

Ia tak berbicara apa-apa. Ia merasa begitu ngeri melihat penderitaan yang dialami kemanusiaan saat itu.2

Buku yang membuat Paus Fransiskus merefleksikan tragedi itu adalah Commandant of Auschwitz karangan Rudolf Höss, seorang koordinator kamp

1 Zachary Braiterman, (God) After Auschwitz Tradition and Change in Post-Holocaust Jewish Thought, (Princeton: Princeton University Press, 1998), 5.

2 Cindi Wooden, “Kala Keheningan Mesti Meraja,” UTUSAN, No. 10 Tahun ke-66, Oktober 2016, 20.

(12)

pembasmian yang menuliskan kisah hidupnya.3 Dalam mengenang tragedi kemanusiaan itu, rahmat yang dimohon Paus adalah rahmat untuk menitikkan air mata dan rahmat rasa malu terhadap pemberhalaan itu4 serta rahmat kesedihan yang mendalam atas kekejaman manusia terhadap manusia lainnya. Setelah mengunjungi Auschwitz, dalam pidato singkatnya, Paus mengajak para pendengar untuk merefleksikan pertanyaan, di manakah manusia saat terjadi holocaust itu. Apa yang diperbuat manusia terhadap sesamanya?5

Penderitaan dipahami sebagai “kondisi batas” yang membuat keadaan manusiawi kita menjadi begitu rapuh.6 Dalam hal ini, penderitaan diakibatkan dari persoalan-persoalan sosial yang menghancurkan kemanusiaan seperti kelaparan, kemiskinan, kekerasan massal, dan terorisme.7 Selain itu, sebagai fenomena pribadi, penderitaan dipahami sebagai “keadaan tertekan yang parah terkait dengan peristiwa yang mengancam keutuhan seseorang sebagai pribadi”.8 Penderitaan bisa terjadi secara fisik, psikologis, spiritual, atau dalam kombinasi keduanya.9 Aneka bencana secara jelas membuat orang menderita.

3 Jorge Maria Bergoglio dan Abraham Skorka, On Heaven and Earth: Pope Francis on Faith, Family and the Church in the 21st Century (London: Bloomsbury, 2013), 178.

4 Cindi Wooden, “Kala Keheningan Mesti Meraja,” UTUSAN, 20.

5 Cindi Wooden, “Kala Keheningan Mesti Meraja,” UTUSAN, 20.

6 Iain Wilkinson dan Arthur Kleinman, A Passion for Society: How We Think about Human Suffering (California: University of California Press, 2016), 13.

7 Iain Wilkinson dan Arthur Kleinman, A Passion for Society, vii-viii.

8 Jeff Malpas dan Norelle Lickiss (ed.), Perspectives on Human Suffering (London: Springer, 2012), v.

9 Jeff Malpas dan Norelle Lickiss (ed.), Perspectives on Human Suffering, v.

(13)

Dalam konteks Indonesia, bencana asap tahun 201910 di Kalimantan dan Sumatra membuat ribuan orang menderita ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) bahkan merenggut nyawa. Salah satunya adalah seorang bayi berusia empat bulan meninggal dunia karena menderita ISPA di Palembang, Sumatra Selatan, Minggu (15/9). Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) diduga menjadi penyebabnya. Balita bernama Elsa Pitaloka tersebut mengalami sesak napas sebelum akhirnya meninggal di RS Ar-Rasyid Palembang. Desa Talang Buluh tempat tinggal Elsa dilanda kabut asap karhutla sejak musim kemarau tiba.11

Di samping itu, penderitaan yang begitu hebat dialami masyarakat Indonesia sepanjang tahun 2018 akibat lima bencana alam besar yang menimpa Indonesia:

gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, dan fenomena likuifaksi.12 Pada 22 Februari 2018, terjadi Longsor di Brebes, Jawa Tengah yang menewaskan sebelas orang, sementara tujuh lainnya hilang, dan 14 orang luka-luka.13 Memasuki paruh kedua tahun 2018, sejumlah gempa bumi menggoncang Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pada tanggal 29 Juli 2018, gempa berkekuatan 6,4 Magnitudo melanda pulau seribu masjid

10 Ambaranie Nadia K. M., "Selain Riau, Ini Provinsi dengan Kebakaran Hutan Parah Tahun

2019", Kompas.com (16 September 2019). Diakses dari

https://nasional.kompas.com/read/2019/09/16/14103181/selain-riau-ini-provinsi-dengan-kebakaran- hutan-parah-tahun-2019?page=all. (18 September 2019).

11 ______, “Bayi Meninggal di Palembang Diduga Akibat Asap Karhutla,” CNN Indonesia, (16 September 2019). Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190916073825-20- 430742/bayi-meninggal-di-palembang-diduga-akibat-asap-karhutla (16 September 2019).

12 ______, “Deretan bencana alam mematikan yang menerjang Indonesia sepanjang 2018” BBC Indonesia, (30 Desember 2018). Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/majalah-46691586 (17 September 2019).

13 ______, “Deretan bencana alam mematikan yang menerjang Indonesia sepanjang 2018” BBC Indonesia, (30 Desember 2018). Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/majalah-46691586 (17 September 2019).

(14)

tersebut. Akibatnya, belasan orang tewas. Selain itu, 400-an orang terluka, dan ribuan bangunan hancur berantakan. Pada 5 Agustus 2018, gempa yang lebih besar terjadi.

Berpusat di Kabupaten Lombok Utara, gempa berkekuatan 7 Magnitudo terasa hingga ke Pulau Jawa dan Madura. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 564 orang meninggal dunia akibat gempa tersebut. Sejumlah 1.600 lainnya terluka, dan lebih dari 445 ribu orang harus mengungsi karena kehilangan tempat tinggal.14

Pada 28 September 2018, gempa berkekuatan 7,4 Magnitudo mengguncang Donggala dan Palu. Bencana tak berhenti sampai di situ. Di sisi lain Kota Palu, di Kelurahan Petobo, tanah berubah seperti lumpur hisap, menelan segala sesuatu yang ada di atasnya: bangunan, kendaraan, pepohonan, dan manusia. Fenomena alam yang disebut likuifaksi itu muncul pasca-gempa dan menenggelamkan kurang lebih 1.700 rumah di kawasan perumahan padat penduduk. Ratusan bahkan ribuan orang diperkirakan ikut ditelan bumi di lokasi tersebut. BNPB mencatat 2.101 orang tewas, 1.373 orang hilang, dan 206.219 orang harus mengungsi akibat bencana alam itu.15

Kita juga dapat menambahkan pengalaman penderitaan destruktif16 kita sendiri pada saat ini, baik secara pribadi maupun kolektif. Bagaimana orang tua berbicara

14 ______, “Deretan bencana alam mematikan yang menerjang Indonesia sepanjang 2018” BBC Indonesia, (30 Desember 2018). Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/majalah-46691586 (17 September 2019).

15 ______, “Deretan bencana alam mematikan yang menerjang Indonesia sepanjang 2018” BBC Indonesia, (30 Desember 2018). Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/majalah-46691586 (17 September 2019).

16 Penulis membedakan penderitaan destruktif dan penderitaan transformatif. Penderitaan destruktif merupakan penderitaan yang sama sekali tidak memiliki efek positif. Sedangkan penderitaan transformatif memiliki efek positif bagi mereka yang berjuang dengannya. Lih. Michael Stoeber,

(15)

tentang Allah setelah kehilangan anak? Dengan cara apa kita dapat mengatakan bahwa Allah hadir ketika bencana alam melanda, membunuh ribuan orang? Atau ketika manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, melakukan tindakan kekerasan yang mengerikan terhadap manusia lain? Bagaimana kita berbicara tentang Allah ketika genosida masih merupakan kenyataan yang sangat hadir di beberapa bagian dunia?

Apakah ini yang ada dalam pikiran Allah ketika dia menciptakan dunia? 17

Di hadapan penderitaan itu, bagi orang Kristiani, iman pada Kristus yang menderita di salib menjadi kekuatan dan sumber pengharapan karena di sana ia melihat Allah yang bersolider dengan penderitaan manusia dan sekaligus dari sana mengalir energi ilahi yang mendayai manusia untuk berbuat sesuatu bagi sesama mereka yang menderita.18 Walaupun demikian, tidak semua orang mampu menangkap kekayaan dan kemendalaman makna salib, apalagi orang yang tidak mengimani Kristus. Salib bahkan dipandang sebagai sesuatu yang mengganggu dan simbol satanik sehingga perlu disingkirkan.

Pada 18 Desember 2018, nisan salib almarhum Albertus Slamet Sugiardi ditemukan terpotong di Makam Jambon, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Yogyakarta.19 Pemotongan salib ini kemudian menjadi pembicaraan hangat di media

Reclaiming Theodicy: Reflection on Suffering, Compassion and Spiritual Transformation (New York:

Palgrave Macmillan, 2005), 18-32 dan 60-78.

17 Lih. “Theology After Auschwitz.” Diakses dari http://moltmanniac.com/theology-after- auschwitz/ (1 Maret 2019).

18 Michael Stoeber, Reclaiming Theodicy: Reflection on Suffering, Compassion and Spiritual Transformation (New York: Palgrave Macmillan, 2005), 45-46.

19 Shinta Maharani dan Priadi Wicaksono, “Intoleransi sebelum Salib Digergaji,” Tempo, 31 Desember – 6 Januari 2019, 36-37.

(16)

sosial dan menjadi berita nasional. Majalah Tempo memberitakan bahwa penduduk sekitar menggergaji salib itu sehingga berbentuk “T” sebelum jenazah dikuburkan.

Alasannya, “Di makam itu tidak ada yang kristiani”, kata Bedjo Mulyono, tokoh masyarakat dan mantan Ketua RW 13, yang meminta nisan salib itu dipotong.20 Pemotongan salib itu dipandang sebagai bentuk tindakan intoleransi dalam hidup antar-umat beragama sehingga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X meminta maaf atas peristiwa tersebut.

Selain itu, pada awal Agustus 2019, beredar sebuah video21 seorang ustad populer, Abdul Somad, yang menjelaskan salib secara kurang tepat saat pengajian di Masjid An-Nur Pekanbaru sekitar tiga tahun lalu kepada umatnya.22 Dia menjelaskan bahwa “di salib itu ada jin kafir”.23 Penjelasan itu sempat membuat orang Kristiani tersinggung sehingga ia perlu membuat klarifikasi atas penjelasannya tersebut.24

Jika peristiwa di Makam Jambon menunjukkan tanda salib direndahkan dan penjelasan Abdul Somad memperlihatkan kekeliruan dalam memahami salib, pada Asian Youth Day (AYD) yang diselenggarakan pada 30 Juli sampai 9 Agustus 2017,

20 Shinta Maharani dan Priadi Wicaksono, “Intoleransi sebelum Salib Digergaji,” Tempo, 31 Desember – 6 Januari 2019, 36-37.

21 “Inilah Video Yang Diduga UAS Telah Menistakan Salib dan Patung,” diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=HLB64m8dZ9s (18 Agustus 2019).

22 “Abdul Somad Klarifikasi Ceramah Tanya Jawab soal Salib”, CNN, 18 Agustus 2019. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190818175715-20-422489/abdul-somad-klarifikasi- ceramah-tanya-jawab-soal-salib (18 Agustus 2019).

23 Lih. “Inilah Video Yang Diduga UAS Telah Menistakan Salib dan Patung” khususnya menit 00.55. Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=HLB64m8dZ9s (18 Agustus 2019).

24 “Abdul Somad Klarifikasi Ceramah Tanya Jawab soal Salib”, CNN, 18 Agustus 2019. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190818175715-20-422489/abdul-somad-klarifikasi- ceramah-tanya-jawab-soal-salib (18 Agustus 2019).

(17)

salib dimuliakan dan diagungkan. Dari situs web berbagi video, Youtube,25 dapat disaksikan bagaimana salib dikirab dan disambut dengan gembira, penuh hormat, dan devosi dari satu paroki ke paroki lainnya di Keuskupan Agung Semarang. Misalnya, di Paroki St. Theresia Lisieux Boro, Salib AYD disambut oleh umat dengan membawa salib bambu kecil. Ada sekitar 1000 salib bambu yang disiapkan oleh Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Boro. Dari Paroki Boro, salib AYD 2017 itu kemudian dikirab menuju Paroki St. Maria Lourdes Promasan. OMK Paroki Boro berjalan kaki ke Gua Maria Sendangsono. Sendangsono menjadi titik pertemuan serah terima salib dari Paroki Boro ke Paroki Prosaman.26 Di beberapa paroki, kedatangan salib dirayakan, bahkan disambut dengan iringan musik dan tari-tarian selamat datang. Saliblah yang menjadi simbol terdalam Kristianitas di tengah negara dengan mayoritas masyarakat muslim terbesar di dunia ini.27 Itulah sebabnya kehadiran salib perlu dirayakan.

Bagi orang Kristiani, salib menjadi tanda sentral dan visual iman Kristiani yang tak terpisah dari kisah penyaliban Kristus.28 Makna salib tertanam dalam kisah penyaliban Kristus dan pewartaan tentangnya.29 Kisah salib dimulai dari peristiwa penyaliban Kristus sebagaimana dilaporkan dan diinterpretasikan oleh teks-teks dan

25 Misalnya, “Kirab Salib AYD Paroki Sedayu Paroki Wates HD”, https://www.youtube.com/watch?v=UOhFxPquEdY; “Kirab Salib Asian Youth 2017,Day,Paroki Boro”, https://www.youtube.com/watch?v=EZbyHKkL03A; “Kirab Salib Asian Youth Day 2017 - Gereja Ganjuran” https://www.youtube.com/watch?v=K5s0-7JcKcc.

26 HIDUP, 26 Februari 2017.

27 Jeff Diamant, “The countries with the 10 largest Christian populations and the 10 largest Muslim populations,” diakses dari https://www.pewresearch.org/fact-tank/2019/04/01/the-countries- with-the-10-largest-christian-populations-and-the-10-largest-muslim-populations/ (18 Agustus 2019).

28 Robin M. Jensen, The Cross: History, Art, and Controversy (London: Harvard University Press, 2017), 1.

29 Robin M. Jensen, The Cross: History, Art, and Controversy, 1.

(18)

sumber-sumber paling awal munculnya Kristianitas.30 Karena itu, salib bukan sekedar penanda bahwa di situ telah dimakamkan seorang Katolik dan salib tidak cukup hanya dikirab. Salib jelas memiliki makna yang lebih dalam dari itu. Lalu, apa sebenarnya makna salib bagi umat Kristiani?

Dalam menjelaskan tema salib, Moltmann menggunakan kata-kata yang tegas dan kuat bahwa, “Salib tidak untuk dicintai dan tidak dapat dicintai”31. Siapakah yang mau menderita? Siapakah yang mencintai penderitaan? Kemanusiaan kita tidak dapat menyangkal hal itu. Kita memang tidak mencari-cari salib apalagi mencintainya.

Bahkan, kita cenderung menghindari salib dan lari menjauhinya. Oleh karena itu, sangat wajar bahwa orang melihat, mengejar kebahagiaan adalah tujuan hidup manusia. Di zaman Yunani kuno, kebahagiaan (eudaimonia) merupakan keutamaan terbaik dalam hidup seseorang.32 Aristoteles berpandangan bahwa orang menjadi bahagia ketika ia mengembangkan seluruh potensi dirinya.33 Inilah yang disebut Etika Eudemonisme. Di sisi lain, Etika Hedonis yang dipelopori oleh Epikuros melihat bahwa kebahagiaan kita capai jika kita memperoleh kenikmatan sepuas-puasnya dan menghindari segala hal yang menyakitkan dan tidak mengenakkan.34 Dengan kesadaran bahwa pada zaman Yesus, salib adalah sebuah skandal dan kebodohan35,

30 Robin M. Jensen, The Cross: History, Art, and Controversy, 1.

31 Jürgen Moltmann, The Crucified God, (London: SCM Press, 1974), 1.

32 Michael Pakaluk, Aristotle’s Nicomachean Ethics: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 316.

33 Michael Pakaluk, Aristotle’s Nicomachean Ethics, 324.

34 Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19 (Yogyakarta:

Kanisius, 1997), 49-50.

35 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 1.

(19)

pada zaman ini pun Moltman masih merasa bahwa tema salib adalah topik yang usang sebagai pusat Kristianitas dan teologi. Namun demikian, Moltmann menunjukkan bahwa saliblah yang akan membebaskan manusia dari segala macam fakta, khususnya penderitaan di dunia ini. Menurutnya, Gereja perlu beralih ke Salib Kristus agar merasakan kebebasan yang Ia tawarkan.36

Bagi Lonergan, salib merupakan tanggapan Allah atas penderitaan manusia yang disebabkan oleh dosa dan kejahatan dalam dunia ini, khususnya kejahatan dalam komunitas-komunitas manusia.37 Peristiwa penyaliban Yesus merupakan tindakan silih bagi kita dan Ia menerima hukuman karena dosa-dosa kita. Lewat salib, Yesus menanggung konsekuensi-konsekuensi negatif dosa manusia. Sekaligus lewat salib, Ia mengekspresikan banyak hal: cinta-Nya pada Bapa, kemarahan-Nya atas kesalahan dan dosa, kesedihan-Nya atas pelanggaran-pelanggaran manusia, dan cinta-Nya pada seluruh manusia.38

Di sisi lain, Moltmann merefleksikan bahwa melalui salib, Allah bersolider dengan mereka yang menjadi korban.39 Lewat salib, janji Ilahi yang dibangun dalam diri Yesus yang bangkit, dirasakan oleh khususnya mereka yang menderita, sengsara, dan yang merasa ditinggalkan Allah. Janji Allah itu dirasakan melalui identifikasi Yesus dengan mereka, dalam kondisi mereka, di salib. Kebangkitan-Nya

36 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 1.

37 Mark T. Miller, “Why The Passion?: Bernard Lonergan On the Cross as Communication”, (Disertasi Doktoral yang Tidak Dipublikasikan, Boston College, 2008), 5.

38 Mark T. Miller, “Why The Passion?: Bernard Lonergan On the Cross as Communication”, 227.

39 Richard Bauckham, The Theology of Jürgen Moltmann (Edinburgh: T&T Clark, 1995), 11.

(20)

menunjukkan keselamatan bagi mereka hanya karena Ia mati bagi mereka, teridentifikasi dengan mereka dalam penderitaan mereka.40

1.2. Rumusan Masalah

Dengan latar belakang penderitaan yang dialami manusia, penulis hendak mendalami teologi salib Bernard Lonergan dan Jürgen Moltmann sebagai perspektif untuk merefleksikan tanggapan ilahi dan manusiawi atas penderitaan manusia. Dua tanggapan tersebut sifatnya saling terkait dan saling mendukung. Pada sisi tanggapan Ilahi, melalui salib Kristus, Allah bersolider dengan manusia dan mentransformasi sumber kejahatan menjadi sumber kebaikan. Selanjutnya pada sisi tanggapan manusiawi, salib Kristus menjadi daya ilahi untuk mengusahakan tindakan kasih dan persahabatan terbuka bagi sesama yang menderita.

Untuk itu, ada dua pertanyaan pokok yang hendak dijawab dalam tesis ini.

Pertama, di manakah Allah saat manusia menderita? Pertanyaan ini menunjukkan suatu gugatan kepada Allah yang seolah-olah diam saja di saat manusia menderita.

Lewat kajian atas teologi salib Jürgen Moltmann dan Bernard Lonergan, pertanyaan ini hendak dijawab dengan menunjukkan bahwa sebenarnya, Allah sudah lebih dahulu menderita, yang berpuncak pada kematian Sang Putra di salib. Justru, manusia diajak

40 Richard Bauckham, The Theology of Jürgen Moltmann (Edinburgh: T&T Clark, 1995), 11.

(21)

untuk menimba kekuatan dari Allah yang menderita dan wafat di salib bagi manusia untuk menebus dosa-dosa manusia.

Kedua, di mana manusia saat sesamanya menderita? Pertanyaan ini merupakan undangan Paus Fransiskus bagi kita untuk direfleksikan.41 Pertanyaan ini kini seolah menggugat balik manusia agar ia melakukan sesuatu bagi sesamanya yang menderita.

Jika Allah sudah mengutus Sang Putra ke dunia hingga akhirnya wafat di salib bagi manusia, manusia sendiri berbuat apa terhadap sesamanya, khususnya bagi mereka yang menderita? Pada momen ini, salib Kristus pula yang akan memberi kekuatan kepada manusia untuk berbuat sesuatu bagi sesama, khususnya bagi mereka yang

“tersalib”. Lewat penelusuran gagasan teologis filosofis Moltmann dan Lonergan, akan dirumuskan sebuah konsep tindakan manusia terhadap sesamanya yang menderita sebagai tanggapan atas pertanyaan tersebut.

1.3. Fokus, Batasan, dan Sumbangan

Dalam bagian ini, hendak dijelaskan tentang fokus kajian, batasan, dan sumbangan dari penulisan tesis ini.

41 Cindi Wooden, “Kala Keheningan Mesti Meraja,” UTUSAN, 20.

(22)

1.3.1. Fokus Kajian

Dari sekian banyak teolog yang merefleksikan tema salib, penulis mengkaji pemikiran Bernard Lonergan (1904-1984) dan Jürgen Moltmann (lahir 8 April 1926) karena keluasan dan kedalaman refleksi teologi mereka yang ditunjukkan oleh karya- karya mereka. Klaim bahwa gagasan dan sumbangan pemikiran Lonergan itu menarik, orisinal, dan bermutu tinggi dapat dikonfirmasi dengan fakta-fakta berikut ini:

pertama, karya-karya Lonergan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Kedua, ada dua puluh satu jilid bukunya yang telah diterbitkan oleh University of Toronto Press. Ketiga, ada lebih dari seribu disertasi doktoral yang membahas pemikiran Lonergan. Dan keempat, ada beberapa institusi riset di dunia yang didirikan untuk mempelajari pemikiran Lonergan.42

Selain itu, menurut Robert M. Doran, S.J.43 ada banyak komunitas internasional, pusat studi, dan Institut Lonergan (Lonergan Institute) yang mendalami sumbangan pemikiran Bernard Lonergan, misalnya di Boston, Los Angeles, Toronto, Sydney, Melbourne, Dublin, Roma, Mexico City, Tokyo, Bogota, Montreal, Manila, dan Washington, D.C. Paling tidak, ada sembilan websites mengenai Lonergan yang berbeda tetapi saling terhubung. Dan juga, ada kursus-kursus akademis berkaitan

42 Matek Balinski “Self-Affirmation and The Ultimate Ground of Knowledge in Lonergan's Insight: An Interpretation,” (Disertasi Doktoral yang Tidak Dipublikasikan, University of Toronto, 2000), 6.

43 Robert M. Doran, S.J. “Why Lonergan?” diakses dari http://www.shu.edu/catholic- mission/lonergan/upload/Why_Lonergan_Father_Doran_speech.pdf (diunduh 3 Desember 2012).

(23)

dengan karya Lonergan yang diselenggarakan pada aneka level di lembaga seperti di Boston College, Catholic University of America, Loyola Marymount University, Marquette University, Seton Hall University, dan Regis College at the University of Toronto.44

Tentang Jürgen Moltmann, Miroslav Volf, profesor teologi sistematik di Yale Divinity School, menyatakan bahwa Moltmann adalah teolog yang memiliki pengaruh yang mendalam terhadap pembentukan teologi dewasa ini. Moltmann memiliki keaslian visi dan gagasan yang menginspirasi banyak teolog khususnya teolog pembebasan. Ada lebih dari 130 disertasi yang mempelajari dan mendalami pemikirannya. Hal ini menunjukkan signifikansi sumbangan pemikiran Moltmann.45

1.3.2. Batasan

Untuk menjawab pertanyaan pokok yang pertama, tesis ini akan berfokus pada buku Lonergan, De Verbo Incarnato, edisi ketiga, (Rome: Gregorian University, 1964). Dalam bukunya ini, khususnya tesis 17, Lonergan membahas tentang teologi salib secara sistematis. Selain itu, akan dibahas pula “The Redemption” yang oleh para editor tulisan Lonergan dimasukkan ke dalam kumpulan karya Lonergan dengan judul

44 Lihat juga Benny B. Wetty, “Tuhan Sungguh Ada: Afirmasi Keberadaan Tuhan Menurut Bernard Lonergan dalam Bab 19 Insight: A Study of Human Understanding”, (Skripsi Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, 2013), bagian Pengantar.

45 Miroslav Volf, (ed.), The Future of Theology: Essays in Honor of Jürgen Moltmann (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1996), ix.

(24)

Philosophical and Theological Papers 1958-1964, Collected Works of Bernard Lonergan, Robert C. Croken, dkk. ed. (Toronto: University of Toronto Press, 1996).

Dalam karyanya itu, Lonergan membahas penebusan secara komprehensif yang akan penulis angkat sebagai tanggapan ilahi yang sifatnya umum atas penderitaan. Untuk Moltmann, penulis akan berfokus pada bukunya The Crucified God: The Cross as the Foundation and Criticism of Christian Theology (London: SCM Press, 1974). Lewat karyanya ini, akan didalami gagasan pokok teologi salib Moltmann.

Lalu, untuk menjawab pertanyaan pokok yang kedua, penulis lebih berfokus pada buku Lonergan, Method in Theology (Toronto: University of Toronto Press, 1971). Lewat karyanya itu, penulis hendak mengangkat konsep autentisitas manusia yang berpuncak pada tindakan kasih bagi sesama yang menderita. Selain itu, akan didalami juga konsep dosa yang menjadi penghalang autentisitas manusia dari Insight:

A Study of Human Understanding, Collected Works of Bernard Lonergan Volume 3, Frederick E. Crowe dan Robert M. Doran, ed. (Toronto: Toronto University Press, 1992). Sedangkan untuk Moltmann, penulis akan berfokus pada bukunya, The Spirit of Life: A Universal Affirmation (London: SCM Press, 1992). Lewat karyanya ini, penulis hendak mengangkat konsep persahabatan terbuka yang menjadi tanggapan manusiawi atas penderitaan sesama manusia. Selain itu, akan didalami pula The Trinity and the Kingdom of God: The Doctrine of God (London: SCM Press, 1981) dan God in Creation: An Ecological Doctrine of Creation (London: SCM Press, 1985). Lewat dua karya Moltmann ini, penulis ingin mendalami gagasan antropologi teologis

(25)

Moltmann yang menjadi dasar seseorang dimampukan untuk mengusahakan persahabatan terbuka.

Tentu saja, buku-buku tersebut akan dilengkapi dan ditambahkan dengan karya-karya mereka lainnya agar semakin kaya dan komprehensif, selain juga kajian dari penulis lain yang telah lebih dahulu mempelajari pemikiran mereka.

1.3.3. Sumbangan

Aneka kekerasan yang mengakibatkan penderitaan sesama yang terjadi di sekitar kita dan di masyarakat global menunjukkan tanggapan teologis terhadap kekerasan semakin mendesak dibutuhkan daripada sebelumnya.46 Gereja tidak bisa diam saja melihat situasi itu. Menurut Moltmann, Gereja dan teologi Kristiani hanya dapat menjadi relevan bagi persoalan dunia modern jika mereka mau mendalami identitas mereka yang paling dalam yaitu Kristus yang tersalib.47 Karena itu, kajian ini diharapkan memberi sumbangan refleksi teologis atas penderitaan manusia.

Selain itu, langgengnya kekerasan menunjukkan bahwa tanggapan seorang humanis tidak mencukupi lagi. Hal baru yang penulis angkat adalah selain bertanya, di mana Allah saat manusia menderita, pertanyaan di manakah manusia di saat sesamanya menderita perlu direfleksikan juga untuk melengkapi pertanyaan pertama.

46 Mary Gerhart, Bernard Lonergan’s “Law of the Cross”: Transforming the Sources and Effect of Violence” Theological Studies, vol. 77, (1), 2016, 78.

47 Jürgen Moltmann, Collected Reading, Margaret Kohl (ed.), (Minneapolis: Fortress Press, 2014), 37.

(26)

Dengan demikian, lewat kajian ini, disumbangkan suatu pemikiran yang komprehensif dalam bidang teologi mengenai salib untuk merefleksikan fakta penderitaan yang dialami manusia.

Di samping itu, setelah menelusuri aneka macam referensi akademis yang membahas mengenai pemikiran Lonergan dan Moltmann, penulis belum menemukan ada akademisi yang menyandingkan secara langsung sumbangan pemikiran Lonergan dan Moltmann tentang salib. Memang, penulis menemukan satu disertasi yaitu Robert E. Majzler, “The Cross, Narrative, and Interiority: A Dialectical Comparisan Bertween Theologians of the Cross and Bernard Lonergan” (Disertasi yang Tak Dipublikasikan, Marquette Univeristy, 1980). Namun, disertasi itu menyandingkan secara tidak langsung gagasan salib Lonergan dan Moltmann. Penulis katakan “menyandingkan secara tidak langsung” karena dalam disertasi itu pemikiran Lonergan ditatapkan dengan Moltmann yang dimasukkan dalam kategori kelompok teolog teologi salib bersama dengan Eberhard Jüngel dan Johann Baptist Metz. Karena itu, kajian ini menjadi sesuatu hal yang baru.

Terakhir, secara tidak langsung, kajian ini menjadi sumbangan literatur yang bersifat ekumenis karena Lonergan adalah seorang imam Katolik yang bergabung dengan ordo Serikat Yesus dan Moltmann adalah teolog dari Gereja Reformasi Protestan yang pernah melayani sebagai pendeta di Gereja Evangelis, Bremen, Jerman.

Dengan melihat latar belakang kedua tokoh ini, diharapkan kajian ini dapat menjadi

(27)

salah satu sarana yang memperkokoh jembatan ekumenisme antara Gereja Katolik dan Protestan.

1.4. Tujuan dan Kegunaan

Dalam bagian ini, penulis akan menyebutkan beberapa tujuan dari penulisan tesis ini dan manfaat apa yang dapat diambil dengan membaca kajian ini.

1.4.1. Tujuan

Kajian ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, penulis hendak menyajikan pokok-pokok gagasan Bernard Lonergan dan Jürgen Moltmann mengenai salib.

Tujuan pertama ini diharapkan menjawab pokok persoalan pertama yang diajukan dalam tesis ini, di manakah Allah saat manusia menderita. Kedua, setelah itu, dengan terang gagasan salib itu, penulis hendak merefleksikan sikap apa yang secara ideal dilakukan seorang Kristiani ketika melihat ada sesamanya yang menderita. Tujuan kedua ini diharapkan menjawab pokok persoalan kedua, di manakah manusia saat sesamanya menderita. Ketiga, penulis berharap kajian ini menjadi sarana untuk semakin memperkenalkan sumbangan refleksi teologis Lonergan dan Moltmann di Indonesia. Terakhir, tentu saja, kajian ini disusun untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Magister Teologi dari Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma.

(28)

1.4.2. Kegunaan

Relevansi kajian ini adalah untuk memperdalam lagi pemahaman kita akan misteri salib Yesus Kristus. Signifikansi kajian ini adalah dalam terang refleksi atas salib Kristus, umat beriman dimampukan untuk berdaya tahan dalam situasi penderitan. Menurut Carlo Martini, gagasan tentang daya tahan (perseverance) terdapat di beberapa teks Kitab Suci dan diekspresikan dengan berbagai cara, misalnya

“menyimpan sabda”, menunjukkan kekuatan untuk tetap bertahan sampai akhir.

“Yang jatuh di tanah yang baik itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menyimpannya dalam hati yang baik dan mengeluarkan buah dalam ketekunan" (Luk.

8: 15).48 Ketika situasi penderitaan mencobai kita, kita menghadapinya dengan daya tahan, ketekunan, dan kegigihan.

Dengan sumbangan refleksi teologis Bernard Lonergan dan Jürgen Moltmann, orang beriman diajak untuk merefleksikan penderitaannya sebagai pengalaman iman akan Kristus yang sudah lebih dahulu menderita dan wafat baginya. Penderitaan dan wafat Yesus di salib itu tidak hanya menjadi bukti nyata solidaritas Kristus pada manusia yang paling rapuh dan lemah, tetapi penderitaan Yesus itu sendiri berdaya transformatif dan menyelamatkan manusia.

48 Cardinal Carlo Maria Martini, Matthew J. O’Connell, terj. Perseverance in Trials: Reflection on Job (Collegeville: The Liturgical Press, 1992), 17-18. (Gagasan Carlo Martini tentang sikap berdaya tahan ini pernah penulis sampaikan pada presentasi Kuliah Seminar Carlo Martini, 10 Mei 2017).

(29)

1.5. Metode

Tesis ini adalah kajian teologis yang secara deskriptif memaparkan pandangan teologis Jürgen Moltmann dan Bernard Lonergan lewat studi pustaka. Lewat studi pustaka murni, penulis hendak mendalami argumentasi pokok Bernard Lonergan dan Jürgen Moltmann mengenai salib dan tindakan ideal seorang manusia terhadap sesamanya yang menderita. Buku utama yang menjadi sumber refleksi Lonergan tentang salib adalah De Verbo Incarnato khususnya tesis 17-nya. Buku De Verbo Incarnato sendiri terdiri dari 17 tesis. Tesis 15 berbicara tentang “Penebusan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru”. Kemudian tesis 16 berbicara tentang “Silih yang Diberikan oleh Kristus” dan terakhir, tesis 17 berbicara tentang “Memahami Misteri:

Hukum Salib” yang menampilkan sintesis pemahaman Lonergan akan karya Kristus.49 Buku Lonergan berikutnya yang menjadi sumber utama kajian ini Method in Theology. Dalam bukunya ini, Lonergan membimbing pembaca untuk menemukan apa yang terjadi ketika mereka mencapai pengetahuan, mengevaluasi opsi, dan membuat keputusan. Dia mengharapkan bahwa mereka yang membuat penemuan- penemuan ini tentang diri mereka sendiri mencapai pengetahuan eksplisit tentang bagaimana seseorang mencapai pengetahuan dan nilai-nilai, bagaimana penyelidikan dipandu oleh kriteria internal, dan bagaimana karenanya penyelidikan dapat disebut

49 Lih. “Bernard Lonergan” dalam

https://www.revolvy.com/main/index.php?s=Bernard%20Lonergan&item_type=topic (diakses 11 Mei 2017).

(30)

"objektif." Objektivitas seperti itu menyiratkan kesamaan struktural antara proses penyelidikan dan struktur yang dapat diketahui dan dinilai oleh setiap penanya, di tempat atau waktu mana pun. Lonergan mengusulkan bahwa struktur ini, pada gilirannya, memberikan klarifikasi yang diverifikasi secara pribadi mengenai metode khusus untuk ilmu alam dan manusia, historiografi dan hermeneutika, ekonomi, estetika, teologi, etika, serta filsafat.50 Untuk kepentingan tesis ini, dari sumber ini, penulis mengangkat konsep etika tertentu dalam mana struktur mengetahui dalam diri seseorang mengarahkannya pada suatu tindakan etis di hadapan penderitaan sesama manusia.

Dari Moltmann, penulis akan mendalami bukunya, The Crucified God.

Menurut Richard Bauckham, dalam karya awal Moltmann, gagasan teologis yang paling penting adalah interpretasi dialektis antara salib (The Crucified God) dan kebangkitan Yesus (Theology of Hope). Salib dan kebangkitan dipilih Moltmann untuk menampilkan dua realitas yang berlawanan: kematian dan kehidupan, ketidakhadiran Allah dan kehadiran Allah. Namun, Yesus yang tersalib dan bangkit adalah Yesus yang sama dalam kontradiksi total itu. Dengan membangkitkan Yesus yang tersalib kepada kehidupan baru, Allah menciptakan kontinuitas dalam diskontinuitas radikal.51 Lebih lanjut, kontradiksi salib dan kebangkitan sesuai dengan kontradiksi antara apa yang real sekarang dan apa yang Allah janjikan untuk masa depan. Pada salib, Yesus

50 Tad Dunne, “Bernard Lonergan (1904—1984),” diakses dari https://www.iep.utm.edu/lonergan/ (19 Agustus 2019).

51 Richard Bauckham, The Theology of Jurgen Moltmann (Edinburgh: T&T Clark, 1995), 3.

(31)

diidentifikasi dengan realitas dunia saat ini dalam segala negativitasnya: dominasi dosa, penderitaan dan kematian, atau apa yang disebut Moltmann sebagai situasi tanpa Allah (godlessness), pengabaian-Allah (godforsakenness), dan kesementaraan (transitoriness). Tetapi, karena Yesus yang sama dibangkitkan, kebangkitan-Nya menetapkan janji Allah tentang ciptaan baru untuk seluruh realitas yang diwakili oleh Yesus yang tersalib.52

Buku Moltmann selanjutnya adalah The Spirit of Life yang dipublikasikan tahun 1991. Sub judul bukunya itu, A Universal Affirmation, menunjukkan perhatian utamanya, yaitu karya Roh Kudus seharusnya tidak dipandang melulu sebagai spiritual, melainkan Roh sungguh merupakan “Tuhan dan Yang menghidupkan”

sebagaimana dikatakan dalam Syahadat Nicea. Roh adalah pemberi hidup dalam arti yang sepenuhnya, baik itu secara spiritual maupun fisikal.53 Moltmann mengatakan bahwa lewat bukunya ini, ia berharap membawa suatu pembebasan, pembenaran, kelahiran kembali, penyucian, dan pengalaman mistik dalam hidup.54 Untuk kepentingan tesis ini, buku ini menjadi sumber utama untuk mengangkat sebuah gagasan tentang etika Kristiani.

52 Richard Bauckham, The Theology of Jurgen Moltmann (Edinburgh: T&T Clark, 1995), 3.

53 Jürgen Moltmann, Collected Readings, Margaret Kohl, (ed.) (Minneapolis: Fortress Press, 2014), 157.

54 Jürgen Moltmann, A Broad Place: An Autobiography (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 347.

(32)

1.6. Struktur Penulisan

Setelah penjelasan Bab Pendahuluan ini, struktur tesis ini disusun sebagai berikut. Bab Dua akan memaparkan secara deskriptif teologi salib menurut Bernard Lonergan. Pertanyaan pokok yang menjadi kerangka bab ini adalah “di manakah Allah saat manusia menderita?” Pertanyaan ini akan mengantar pada tanggapan ilahi atas penderitaan manusia. Untuk itu, bab ini akan membahas mengenai pemahaman umum tentang penebusan sebagai konteks lebih luas karya Yesus di salib yang menjadi tanggapan ilahi atas kekerasan manusia yang menyebabkan penderitaan dan secara detail akan membahas tentang hukum salib yang menurut Lonergan merupakan esensi penebusan.

Bab Tiga akan membahas pandangan teologi salib Jürgen Moltmann.

Pertanyaan yang sama, “di manakah Allah saat manusia menderita?” dipakai untuk mengeksplorasi tanggapan ilahi atas penderitaan manusia. Untuk itu, dalam bab ini diuraikan mengenai interpretasi salib secara umum oleh Moltmann. Kemudian, disajikan peralihan pandangan dari Allah yang tak bisa menderita (Deus impassibilis), menjadi Allah yang dapat menderita (Deus passibilis). Moltmann berkeyakinan bahwa hanya Allah yang menderita yang dapat menolong. Moltmann juga berargumen bahwa pathos Allah dalam Perjanjian Lama merupakan asumsi dasar bagi Allah yang menderita dalam Perjanjian Baru sebagaimana ditampailkan dalam Kristus yang tersalib.

(33)

Bab Empat dan Bab Lima akan berfokus pada pertanyaan pokok yang kedua,

“di mana manusia saat sesamanya menderita?” Dalam Bab Empat, akan dijelaskan gagasan manusia yang penuh kasih menurut Bernard Lonergan sebagai tanggapan manusiawi atas penderitaan manusia. Untuk itu, pertama-tama akan dijelaskan apa artinya autentisitas atau realisasi sejati potensialitas manusia yang dicapai dengan transendensi-diri. Selanjutnya, akan dijelaskan gagasan mengenai dosa yang menjadi penghalang autentisitas diri manusia. Dan, akhirnya, akan dijelaskan konsep konversi yang mengarahkan orang untuk kembali menekuni dorongan dalam dirinya untuk terus-menerus bertransendensi-diri.

Bab Lima akan menjelaskan konsep persahabatan terbuka dari Jürgen Moltmann sebagai tanggapan manusiawi atas penderitaan sesamanya. Untuk itu, pertama-tama akan dijelaskan gagasan Moltmann tentang manusia sebagai imago Trinitatis. Lalu, akan dipaparkan sifat dasariah Allah Trinitas yang menjadi tatapan ideal manusia sebagai imago trinitatis dalam berelasi dengan sesamanya. Dan, akhirnya, akan dijelaskan bagaimana “persahabatan terbuka” yang diusahakan manusia dapat menjadi pancaran sifat dasariah Allah Tritunggal dalam tindakan manusia bagi sesamanya yang menderita.

Dalam Bab Enam, bab yang terakhir, penulis mencoba mensintesiskan gagasan Lonergan dan Moltmann. Untuk tanggapan ilahi, dihasilkan sebuah konsep “Salib sebagai Solidaritas Transformatif Allah” dan untuk tanggapan manusiawi, dihasilkan konsep “Salib yang Menumbuhkan Kasih yang Terbuka.”

(34)

BAB II

BERNARD LONERGAN:

SALIB SEBAGAI TRANSFORMASI KEKERASAN MENJADI KEBAIKAN

Setelah memaparkan latar belakang tesis ini, penulis kini masuk untuk mendalami persoalan utama tesis ini yaitu tanggapan teologis atas penderitaan manusia yang disebabkan oleh kekerasan manusia sendiri. Tanggapan teologis tersebut didalami lewat dua pertanyaan pokok yang mengarah pada dua tanggapan yang berbeda namun tak terpisah. Pertama, di manakah Allah saat manusia menderita? yang mengarahkan pada tanggapan ilahi atas penderitaan manusia. Kedua, di manakah manusia saat sesamanya menderita yang mengarahkan pada tanggapan manusiawi terhadap penderitaan sesama manusia. Masing-masing pertanyaan akan didalami berdasarkan dua pandangan teolog, yaitu Bernard Lonergan dan Jurgen Moltmann

Dalam bab ini, penulis hendak menanggapi pertanyaan pertama, di manakah Allah saat manusia menderita atau apa tanggapan ilahi atas penderitaan manusia, dalam kacamata teologi salib Bernard Lonergan (1904-1984), seorang teolog Jesuit yang dikenal secara luas lewat karya utamanya Insight: A Study of Human Understanding dan Method in Theology. Tanggapan ilahi atas pertanyaan itu berfokus pada penderitaan Kristus dan kematian-Nya di salib yang mengubah sumber kekerasan

(35)

menjadi sumber kebaikan. Karya Kristus di salib oleh Lonergan ditempatkan dalam konteks luas tentang penebusan yang dimulai dengan inkarnasi.

Untuk menjelaskan tanggapan ilahi tersebut, bab ini akan dibagi dalam dua bagian. Pertama, terlebih dahulu akan dibahas mengenai pemahaman umum tentang penebusan sebagai konteks lebih luas karya Yesus di salib yang menjadi tanggapan ilahi atas kekerasan manusia yang menyebabkan penderitaan. Kedua, secara detail akan dibahas tentang hukum salib yang menurut Lonergan merupakan esensi penebusan.1 Setelah itu, akan disampaikan rangkuman di bagian akhir bab ini untuk memperjelas dan mempertegas tanggapan atas pertanyaan yang diajukan di atas.

Sebagai sumber acuan, ada dua teks utama Lonergan yang akan dibahas. Teks pertama adalah “The Redemption”. Teks ini merupakan salinan kuliah – tidak secara verbatim – tentang Penebusan yang disampaikan Lonergan pada 25 September 1958 di Thomas More Institute, Monreal, dalam kursus ‘The God of Christian Teaching’.

Dengan beberapa salinan kuliah lainnya, tidak hanya kuliah teologi tetapi juga filsafat, teks ini kemudian disatukan dan diterbitkan dengan judul Collected Works of Bernard Lonergan: Philosophical and Theological Papers 1958-1964.2

1 “Lex crucis est essentia redemptionis.” Lih. Bernard Lonergan, SJ, De Verbo Incarnato: thesis decima quinta ad decimam septimam (Roma: Pontificia Universitas Gregoriana, 1964), 577.

Selanjunya, penulis akan menyingkat sumber rujukan ini dengan “DVI”, kepanjangan dari De Verbo Incarnato.

2 Bernard Lonergan, Collected Works of Bernard Lonergan: Philosophical and Theological Papers 1958-1964, Robert C. Croken, dkk. (ed.), (Toronto: University of Toronto Press, 1996), 3, bagian catatan kaki.

(36)

Teks kedua adalah buku teks dalam bahasa Latin,3 De Verbo Incarnato, yang ditulis Lonergan untuk kursus kristologi yang ia sampaikan di Universitas Gregoriana.4 Buku karya Lonergan ini pada mulanya merupakan sebuah manual yang disusun tahun 1960 dengan 741 halaman yang kemudian menjadi 546 halaman setelah dicetak tahun 1961. Dan, pada tahun 1964 edisi ketiga diterbitkan sehingga menjadi 568 halaman yang kini penulis gunakan.5 Teks De Verbo Incarnato terdiri dari 17 tesis, namun yang hendak lebih didalami adalah tesis 15-17 karena di sana Lonergan membahas tema penebusan. Selain itu, eksplorasi atas tesis 17 akan mendapat porsi yang cukup besar karena di sanalah Lonergan menjelaskan teologi salibnya yang merupakan inti6 tanggapan teologis atas kekerasan.7

3 Quentin Quesnell dalam tulisannya, “A Note on Scholasticism”3, memberi catatan, betapa tidak mudahnya mengakses tulisan-tulisan Lonergan apalagi yang ditulis dalam bahasa Latin. Bukan hanya karena Bahasa Latin, bahasa yang tidak dipakai lagi untuk berbicara, mengajar atau menulis di mana pun, tetapi karena Lonergan menulisnya dalam gaya skolastisisme. Quesnell membandingkannya dengan tulisan teolog non bahasa Inggris misalnya Bultmann dan Bart yang menulis dalam Bahasa Jerman tetapi dapat diterjemahkan dengan sukses. Begitu juga dengan misalnya, filsuf Heidegger yang memiliki banyak istilah dalam bahasa Jerman tetapi depat diterjemahkan dengan sukses ke dalam bahasa Inggris. Tetapi tidak demikian halnya dengan tulisan Lonergan. Hal ini kadang membuat orang bertanya, bagaimana orang menawarkan sesuatu yang baru tetapi disampaikan dalam bahasa Latin dan dalam bentuk skolastisisme? Itulah mengapa karya Lonergan dalam bahasa Latin sulit diterjemahkan.

Lih. Quentin Quesnell, “A Note on Scholasticism” dalam Vernon Gregson, (ed.), The Desires of The Human Hearth: An Introduction of The Theology of Bernard Lonergan (New York: Paulist Press, 1988), 144-149.

4 Lonergan memberi kursus Kristologi di Universitas Gregoriana sebanyak tujuh kali: 1953-54, 1955-56, 1957-58, 1959-60, 1961-62, 1963-64, dan 1964-65. Pada tiga periode pertama, Lonergan menggunakan manual yang disusun oleh Charles Boyer. Setelah itu, Lonergan menggunakan manual yang ia susun sendiri. Lih. Frederick E. Crowe, S.J. Christ and History: The Christology of Bernard Lonergan from 1935 to 1982 (Toronto: University of Toronto Press, 2015), 65.

5 Frederick E. Crowe, S.J. Christ and History, 74.

6 Mary Gerhart, “Bernard Lonergan’s “Law of the Cross”: Transforming the Sources and Effects of Violence” Theological Studies, Vol. 77 (1), (2016), 79. doi.org/10.1177/0040563915619984.

7 Untuk memperoleh pemahaman yang lebih menyeluruh, kedua teks itu akan dilengkapi dengan tulisan Lonergan lainnya dan pembahasan dari penulis lain atas tulisannya.

(37)

2.1. Memahami Penebusan

Dalam bagian ini, akan dibahas gagasan mengenai penebusan secara umum.

Untuk itu, bagian ini meliputi pemaparan tentang Penebusan sebagai Kata, Akhir, dan Mediasi; Penebusan sebagai Komunikasi; Penebusan sebagai Misteri, dan Keterpahaman Penebusan.

2.1.1. Penebusan: Kata, Akhir, dan Mediasi

Pada bagian ini, hendak dijelaskan makna penebusan seturut arti katanya.

Kemudian, akan dijelaskan bahwa penebusan bisa dipandang sebagai akhir, yaitu keselamatan dan juga sebagai mediasi, yaitu Kristus yang bertindak sebagai rekonsiliator antara Allah dengan manusia.

2.1.1.1. Penebusan sebagai Kata

Dalam “The Redemption”, Lonergan menulis bahwa Perjanjian Baru memasukkan dua tradisi atau konteks untuk mempertimbangkan apa yang dimaksud dengan kata “penebusan”.8 Tradisi pertama berasal dari tradisi Yahudi yang

8 “The Redemption,” 18. Lonergan mengacu pada ahli alkitabiah kontemporer, Stanislaus Lyonnet dan karyanya “De notione emptionis seu acquisitionis,” Verbum Domini 36 (1958): 257-69;

De peccato et redemptione, vol. 2, De vocabulario redemptionis (Rome: Pontifical Biblical Institute, 1960): 49-66.

(38)

ditampilkan dalam Perjanjian Lama atau Kitab Suci Yahudi. Kitab itu memakai penebusan dalam istilah Yahudi, “pâdâh, gâ’al, dan kipper.”9 Istilah pâdâh diterjemahkan Lonergan dengan kata “redimere” (digunakan dalam konteks pembebasan dari orang Mesir),10 gâ’al, diterjemahkan Lonergan dengan kata

“liberare” (digunakan dalam konteks pembebasan dari tawanan Babilonia dan juga Mesir)11, dan kipper, diterjemahkan Lonergan dengan kata “extinguere” (dipakai terutama dalam konteks pembebasan dari penyakit atau dosa)12.

Tradisi kedua berasal dari konteks Perjanjian Baru di mana istilah penebusan diambil dari tempat jual beli orang kafir dan praktik kuno kegiatan membeli dan menjual budak dan tawanan.13 Jika dalam konteks Yahudi dan Perjanjian Lama, penebusan berarti pelepasan seseorang dari musuh dan kedosaan demi ketenangan sosial dan kesucian personal, sebaliknya, dalam konteks pasar paganis, penebusan berfokus pada transaksi finansial, pembayaran uang tebusan (ransom) atau harga yang harus dibayar dalam pertukaran untuk mendapatkan barang-barang. 14

9 “The Redemption,” 17. Juga, DVI, 457.

10 Ulangan 7: 8; 9: 26; 15: 15; 21: 8; 24: 18; Kisah Para Rasul 7: 35.

11 Yeremia 31: 7-11; Yesaya 43; Mazmur 74: 2; 77: 16; 78: 35. Mengenai sumber dari Mazmur yang diacu Lonergan, ada beberapa koreksian bab acuan. Misalnya, dalam DVI Lonergan menulis Mzm.

73: 2 padahal yang dimaksud adalah Mzm. 74: 2. Lih. Hugo A. Meynell, The Theology of Bernard Lonergan (Georgia: Scholars Press, 1986) 121, bagian catatan kaki nomor 25.

12 DVI, 457.

13 “The Redemption,” 18.

14 “The Redemption,” 18.

Referensi

Dokumen terkait

(Hariastuti, 2008:29). Buku panduan adalah salah satu media bahan cetak, yang berisi sejumlah informasi mengenai pemahaman tentang perilaku seksual menyimpang. Jadi layanan

Gambar 4.1 Peta DAS Cikapundung hasil pemetaan ArcGIS Pro 33 Gambar 4.2 Kurva Penurunan Luas Kawasan Tak Terbangun 36 Gambar 4.3 Kurva Debit Sungai dari Hulu ke Hilir Selama 5

5 Meskipun status Malaria di Kabupaten Kotabaru telah berada pada zona hijau akan tetapi masih terdapat kantong‐ kantong Malaria dengan angka kasus yang masih cukup

6. Pendidikan Ibu Balita dapat berhubungan dengan perilaku kunjungan pemeriksaan kesehatan Ibu Balita di Posyandu Mluweh Ungaran Timur Kabupaten Semarang. Pekerjaan Ibu

Jadi jelas bahwa penderitaan Yesus di kayu salib itu adalah kehendak Bapa. Dan karena ketaatanNya kepada Bapa untuk menyerahkan diriNya sebagai korban penebus maka Dia akan

Ruang lingkup penelitian pada penelitian ini adalah terbatas pada representasi nilai-nilai keislaman yang terdapat pada adegan-adegan dalam film “99 Cahaya di Langit Eropa”

Terdapat dua hasil optimal dalam penyelesaian problem transportasi di atas dengan Assignment method, VAM and MODI, Northwest Corner rule and Stepping-Stone method,

Maka marilah dalam memasuki minggu-minggu prapaskah, yang menghantar kita untuk menghayati perjalanan Kristus melalui penderitaan jalan salib dalam gumul dan juang menuju