• Tidak ada hasil yang ditemukan

SALIB SEBAGAI SOLIDARITAS ALLAH ATAS PENDERITAAN MANUSIA

3.1. Salib dan Interpretasi Salib

Bagian pertama ini dimulai dengan penjelasan mengenai interpretasi salib yang merupakan simbol sentral Kristianitas. Moltmann menegaskan bahwa kekuatan salib justru terletak pada kontradiksinya. Kemudian, dijelaskan bahwa salib dapat dihayati baik secara pasif lewat devosi-devosi maupun secara aktif sebagaimana telah diteladankan oleh para rasul dan para martir, serta pada zaman ini, lewat latihan penyangkalan diri untuk mengimitasi Kristus (imitatio Christi). Bagian pertama ini ditutup dengan penjelasan tentang teologi salib Moltmann yang ia dilawankan dengan teologi kemuliaan.

21 Jürgen Moltmann, History and The Triune God: Contribution to Trinitarian Theology (New York: The Crossroad Publishing, 1992), 123.

22 Jürgen Moltmann, The Experiment Hope (London: SCM Press Ltd, 1975), 78.

3.1.1. Signifikansi Salib

Salib merupakan simbol sentral bagi kristianitas. Orang-orang Kristiani memasang salib di ruang-ruang pribadi mereka, membuat tanda salib untuk memulai dan menutup doa, mereka juga mengkhususkan waktu pada Jumat Agung untuk menyembah salib, dan menerima berkat dengan tanda salib. Dengan demikian, salib merepresentasikan kristianitas. Namun, bagi orang non Kristiani dan atheis, salib menunjukkan suatu kehororan.23 Moltmann menulis bahwa yang mereka lihat dari salib adalah kengerian profan dan ketiadaan-Allah karena mereka tidak percaya interpretasi religius yang telah diberikan atas kematian yang tidak masuk akal itu.

Yang mereka temukan dalam salib adalah gambaran yang tidak dapat didamaikan.24 Bagi orang Israel, seseorang yang dieksekusi dengan cara disalib adalah orang-orang yang ditolak oleh bangsanya, orang-orang yang terkutuk di antara umat Allah dan dikeluarkan dari persekutuan masyarakat. “Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: ‘Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!’” (Gal. 3: 13). Selain itu, penyaliban bagi orang Romawi merupakan hukuman bagi budak yang melarikan diri atau pemberontak yang melawan Kerajaan Roma. Karena itu, bagi orang-orang Roma, “agama salib”

23 Tidak hanya non kristiani atau atheis, ada orang Kristen sendiri yang memandang dan berhenti pada kehororan salib. Beberapa feminis mengkritik sebuah fiksasi kematian Kristus sebagai locus tindakan penyelamatan Allah dan penyembahan Kristiani dan fokus ikonografi pada salib sebagai sebuah objek penyembahan. Bagi mereka, manusia yang sekarat, berdarah, dan simbolisme kematian terkait dengan sebuah obsesi mengerikan. Lih. Nicola Slee, Faith and Feminism: An Introdution to Christian Feminist Theology (London: Darton, Longman and Todd Ltd, 2003), 61-62.

24 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 32-33.

dipandang tidak estetik, tak terhormat, dan bersifat suka melawan. Cicero menulis,

“tidak hanya dari tubuh warga negara Roma, bahkan jangan sampai salib ada dalam pikiran, penglihatan dan pendengaran mereka.”25 Membicarakan kematian yang mengerikan tersebut merupakan sebuah pelanggaran di hadapan orang-orang yang terhormat. Dalam pencarian manusia akan kebaikan, kebenaran, dan keindahan, Kristus yang tersalib bukanlah simbol estetika yang berharga. “Ia tidak tampan dan semaraknya pun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupa pun tidak, sehingga kita menginginkannya,” (Yes. 53: 2). Demikianlah, pada zaman awal Kristianitas, salib bukanlah tanda kemenangan atau perhiasan Gereja yang indah, melainkan tanda kontradiksi dan skandal yang cukup sering berakibat pengusiran dan kematian.26

Namun, bagi Moltmann di situlah letak kekuatan Kristianitas, yaitu pada kontradiksi salib. Moltmann menulis, “para pengkritik agama dapat menyerang seluruh dunia Kristianitas, tetapi tidak dapat menyerang salib tak religius ini.”27 Salib dengan amat jelas merupkan kontradiksi atas proyeksi hasrat manusia sebagaimana diungkapkan oleh Ludwig Feuerbach. Salib menjadi kontradiksi karena salib menunjukkan pertentangan atas segala sesuatu yang manusia cari, harapkan, dan impikan dalam apa yang mereka sebut “Allah”. “Allah” itu, yang dalam pikiran mereka bersifat “Maha Kuasa” dan “Maha Baik” dinyatakan dan ditampilkan oleh Allah dalam Yesus yang mati di salib; sesuatu yang sulit diterima. Bagi Moltmann,

25 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 34.

26 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 34.

27 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 37.

penderitaan Allah dalam Kristus yang ditolak dan dibunuh dalam ketiadaan-Allah merupakan kualifikasi iman Kristiani dan menjadi sesuatu yang berbeda dari proyeksi hasrat manusia.28

Moltmann kemudian mengkritik dunia borjuis Kristianitas Barat yang menurutnya kehilangan identitas dan menjadi bingung terhadap dunia di sekelilingnya karena tidak berdasar pada kriteria iman ini.29 Tanpa salib, Kristianitas menjadi pemenuhan hasrat sosial seseorang atau pemenuhan kepentingan bagi mereka yang mendominasi masyarakat.30 Hal ini dipertentangkan dengan beriman radikal pada Kristus, yang berarti berkomitmen tanpa syarat pada “Allah yang tersalib”.31 Hal ini memiliki konsekuensi ketiadaan jaminan akan kesuksesan.32 Iman pada Allah yang tersalib tidak membawa manusia pada harmoni yang lebih baik dengan diri dan lingkungannya, melainkan sebuah kontradiksi; iman pada Allah yang tersalib tidak menciptakan sebuah “rumah yang nyaman” dan mengintegrasikannya ke dalam masyarakat, tetapi membuatnya “tak bertempat tinggal” dan “tercerabut” dan membebaskan mereka untuk mengikuti Kristus yang tak memiliki tempat tinggal dan juga tercerabut. Iman ini dengan segala konsekuensinya membebaskan manusia dari

28 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 37.

29 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 38.

30 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 38.

31 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 38.

32 Moltmann melihat masyarakat Barat dikutuk oleh sistem dan nilai-nilai yang mereka bangun sendiri dimana aktivitas, sukses, keuntungan, dan kemajuan begitu diagungkan sehingga mengarah pada apa yang disebutnya sebagai theologia gloriae dan pada titik tertentu menjadi idol mereka. Lih. Jürgen Moltmann, The Experiment Hope, 70-72.

ilusi-ilusi kultural33, melepaskan mereka dari keterikatan yang membutakan mereka dan mengkonfrontasi mereka dengan kebenaran eksistensial dan masyarakat mereka.34

Salib dalam Gereja menyimbolkan kontradiksi yang datang dari Allah yang tersalib “di luar”. Sebagaimana setiap simbol menunjuk pada sesuatu yang lain yang melampaui dirinya, simbol salib dalam gereja menunjuk pada Allah yang disalib tidak di antara dua lilin pada altar, melainkan di antara dua pencuri di bukit tengkorak, tampat bagi orang yang terbuang, di luar gerbang kota. Bagi Moltmann, simbol salib tidak mengundang pemikiran, tetapi perubahan pemikiran, yaitu bahwa simbol salib mengarahkan Gereja pada persekutuan orang yang tertindas dan terabaikan. Di sisi lain, salib menjadi simbol panggilan bagi orang yang tertindas dan tanpa Allah masuk ke dalam Gereja dan melalui Gereja ke dalam persekutuan dengan Allah yang tersalib.35

3.1.2. Mistisisme Salib: Sisi Pasif Penghayatan Salib Kristus

Dalam sejarah Kristianitas, penderitaan Kristus juga telah dipahami dan dikenang dalam arti mistisisme penderitaan. Menurut Moltmann, dalam pandangan

33 Dalam konteks ini, Moltmann masih berbicara tentang bagaimana masyarakat Barat yang begitu “beriman” pada kemajuan, dari masa pra-modern ke modern, dari modern ke post-modern.

Tetapi, masyarakat Barat tidak memperhatikan korban dari kemajuan itu. Misalnya, Moltmann menunjukkan penderitaan yang dialami di negara Dunia Ketiga dan kerusakan lingkungan. Lih. J.

Moltmann, God for A Secular Society: The Public Relevance of Theology, (Minneapolis: Fortress Press, 1999), 11-17.

34 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 39.

35 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 40.

mistisisme penderitaan, Kristus yang tersalib kurang dipandang sebagai pengorbanan yang Allah berikan untuk mendamaikan dunia dengan diri-Nya sendiri, melainkan lebih dipandang sebagai jalan setapak keteladanan yang dilalui oleh orang saleh yang menderita secara tidak adil menuju keselamatan. Persekutuan dengan Allah tidak tercapai lewat pengorbanan dari luar dan kehadiran dalam kultus Gereja,36 melainkan melalui penderitaan pribadi. Demikianlah, dengan meditasi dan adorasi, orang semakin dekat dengan penderitaan Kristus, berpartisipasi di dalamnya dan merasakannya sebagai penderitaan mereka sendiri. Lebih lanjut, dalam penderitaan mereka sendiri, orang telah menemukan persekutuan dengan Kristus yang tersalib.

Penyerapan spiritual ke dalam penderitaan Kristus ini mengarahkan orang, sebagaimana mistisisme abad pertengahan akhir berkata, pada kesesuaian jiwa dengan Kristus yang tersalib (conformitas crucis).37 Dan, conformitas crucis ini secara tidak langsung membawa jaminan keselamatan dan pemuliaan. Seseorang tidak mencapai persekutuan dengan Kristus oleh pengorbanan dan perbuatan baik, tetapi oleh penderitaan mistik dan pengunduran diri. Dalam persekutuan dengan penderitaan Kristus, seseorang menerima dengan cara yang sangat pribadi persekutuan dengan Kristus yang tak terpisah dari Gereja dan peribadatan Kristiani.38

36 Yang dimaksud kultus salib oleh Molmann adalah pengulangan yang tak berdarah atas peristiwa yang terjadi di Golgota di atas altar gereja, yaitu penghadiran Kristus dalam pengorbanan misa. Lih. Jürgen Moltmann, The Crucified God, 41.

37 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 45.

38 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 45.

Pada Abad Pertengahan, orang-orang Kristen Eropa memiliki devosi kepada penderitaan Kristus.39 Di gereja-gereja, potret Bizantium Kristus, penguasa ilahi dari surga, hakim dunia, dan gambar-gambar kekaisaran Kristus, dilengkapi dengan gambar Kristus tersalib, seorang miskin, dimana tidak ada detail realistis tentang rasa sakit dan siksaan yang dihilangkan. “Yesus yang tersalib” itu berbicara kepada mereka yang hancur dalam kesakitan dan kepada orang yang mengalami pengabaian. Dalam gambaran Kristus yang tersalib tersebut, penekanan beralih dari devosi sakramental atas kemenangan-Nya di kayu salib menuju pengabdian kepada pengorbanan-Nya di kayu salib.

Gambar-gambar penyaliban, seperti yang ada pada altar Isenheim40, bukan hanya ekspresi artistik dari bentuk baru devosi, tetapi pada waktu itu dianggap sebagai gambar yang menghasilkan-mukjizat. Orang sakit, orang lumpuh, dan yang tidak bisa disembuhkan dibawa ke hadapan gambar-gambar ini, dan dalam penyembahan

39 Pada abad Pertengahan, devosi pada penderitaan dan salib Kristus begitu hidup. Orang yang berdevosi tidak hanya mengimajinasikan salib, berduka cita dan bersedih, tetapi juga dengan praktik-praktik tertentu ikut secara fisik mengalami rasa sakit. Hal ini kemudian berkembang dalam teologi, seni visual, dan praktik devosi pribadi yang secara khusus menandai kesalehan monastik misalnya dalam figur anggota ordo Sistersian Bernardus dari Clairvux (1090-1133) dan selanjutnya diikuti ordo mendikan: Dominikan dan Fransiskan. Fransiskus Asisi (1181-1126), misalnya, mengalami apa yang disebut stigma yaitu luka-luka di tangan, kaki, dan tubuh yang mirip dengan luka yang diderita oleh Yesus. Lih. Robin M. Jensen, The Cross: History, Art, and Controversy (Cambridge: Harvard University Press, 2017), 164-165.

40 Altar Isenheim adalah altar yang diukir dan dilukis oleh, masing-masing, Niclaus dari Haguenau dan Matthias Grünewald pada 1512–1516. Altar tersebut dipajang di Museum Unterlinden di Colmar, Alsace, Perancis. Altar ini dibuat untuk kapel Rumah Sakit Biara St. Antonius di Isenheim dekat Colmar. Para rahib di sana mengkhususkan diri untuk merawat para penderita wabah dengan berbagai jenis penyakit kulit. Citra Kristus yang tersalib ditatapkan dengan aneka luka karena wabah;

menunjukkan kepada para pasien bahwa Yesus memahami dan ikut mengalami kesengsaraan mereka.

(bdk. ______, “The Isenheim Altarpiece” disediakan dari

ttps://www.wga.hu/html_m/g/grunewal/2isenhei/index.html, lihat juga “The Isenheim Altarpiece” dari https://www.youtube.com/watch?v=IhcEul27CA8 (13 April 2018).

mereka, di sana mereka mengalami kelegaan dari penderitaan mereka dan kesembuhan. Moltmann menggarisbawahi bahwa di sini, kita tidak akan membahas pertanyaan medis apakah penyembuhan ajaib semacam itu bisa terjadi atau tidak.

Baginya, apa yang secara teologis lebih penting adalah iman yang mereka ekspresikan.

Orang-orang sakit tersebut memperoleh vitalitas bukan dari Kristus yang menyembuhkan sebagai seorang pekerja mukjizat yang luar biasa, tetapi sebaliknya dari fakta bahwa Dia memberikan bantuan melalui luka-luka-Nya dan melalui apa yang dari sudut pandang manusia merupakan penderitaan-Nya yang tanpa daya.41

Mistisisme penderitaan ini telah membuka kebenaran tentang Kristus yang seharusnya tidak ditekan dengan pemahaman yang dangkal. Moltmann menyimpulkan bahwa melalui pengabaian-Nya oleh Allah, Kristus yang disalibkan membawa Allah kepada mereka yang merasa ditinggalkan-oleh-Allah. Melalui penderitaan-Nya, Dia membawa keselamatan bagi mereka yang menderita. Melalui kematian-Nya, Dia membawa hidup yang kekal kepada mereka yang sedang sekarat. Dan, oleh karena itu, pencobaan, penolakan, penderitaan, dan kematian Kristus menjadi pusat agama bagi mereka yang tertindas dan kesalehan bagi orang yang terbuang.42

Pada zaman ini, pemahaman ini merupakan vitalitas yang baru dalam teologi Protestan. Moltmann kemudian mengutip tulisan teolog protestan Dietrich Bonhoeffer yang melawan nazisme Jerman beberapa saat sebelum eksekusinya:

Allah membiarkan dirinya didorong keluar dari dunia ke atas kayu salib. Dia lemah dan tidak berdaya di dunia, dan itulah tepatnya jalan, satu-satunya cara,

41 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 46.

42 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 46-47.

dimana dia bersama kita dan membantu kita. Matius 8: 17 membuatnya cukup jelas bahwa Kristus membantu kita, bukan berdasarkan kemahakuasaan-Nya, tetapi berdasarkan kelemahan dan penderitaan-Nya. . . Hanya penderitaan Allah dapat membantu. . . Pembalikan itulah yang diharapkan orang religius dari Allah. Manusia dipanggil untuk berbagi dalam penderitaan Allah di tangan dunia yang tak bertuhan.43

Moltmann kemudian bertanya, mengapa dan dengan cara apa penderitaan itu, yaitu Allah yang tersalib itu menjadi Allah orang miskin dan terabaikan? Apa arti pentingnya mistisisme salib dalam devosi populer? Bagi Moltmann, orang-orang yang berada dalam kemalangan mereka jelas lebih memahaminya karena situasi konkret mereka sendiri daripada orang kaya dan tuan mereka. Mereka memahami Dia lebih baik, karena mereka secara tepat memiliki kesan bahwa Dia memahami mereka lebih baik daripada tuan mereka. Moltmann kemudian menunjukkan bahwa di Eropa, Natal dan Paskah adalah titik tertinggi dari tahun Gereja, dalam adat dan cerita rakyat, dan kesalehan populer. Namun, tidak demikian di Amerika Latin. “Perayaan hidup dan harapan” orang Kristen tidak ada artinya bagi orang-orang Indian dan Mestizo. Pesta mereka adalah Pekan Suci.44 Penderitaan dan kematian Yesus, rasa sakit dan berkabung-Nya merupakan “sesuatu” yang bisa mereka bagikan. Daya tahan penduduk asli Amerika Latin untuk menanggung penderitaan telah lama ditopang oleh bentuk renungan tertentu, salah satunya perhentian dalam jalan salib.45

43 D. Bonhoeffet, Letters and Papers from Prison. The Enlarged Edition, SCM Press, 1971, 36of sebagaimana dikutip oleh Jürgen Moltmann, The Crucified God, 47.

44 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 47.

45 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 47.

Dengan penderitaan dan kematian-Nya, Yesus mengidentifikasi diri-Nya dengan mereka yang diperbudak, dan mengambil rasa sakit mereka bagi diri-Nya sendiri. Yesus bersama mereka. Dan, di sana juga terletak harapan akan kebebasan yang didasarkan pada kebangkitan-Nya. Yesus menjadi identitas mereka di dunia yang telah mengambil semua harapan dari mereka dan menghancurkan identitas kemanusiaan mereka sampai tidak dapat dikenali lagi. Moltmann menyadari bahwa mistisisme seperti ini mungkin akan dikritik dengan menggunakan pemikiran Karl Marx bahwa agama adalah candu yang membuat orang tertindas tetap bungkam.46 Tetapi, kritik seperti itu bagi Moltmann meleset. Tentu saja, mistisisme penderitaan dapat dengan mudah dibalik menjadi pembenaran atas penderitaan itu sendiri.

Mistisisme salib tentu saja bisa memuji ketundukan pada nasib sebagai kebajikan dan diselewengkan menjadi sikap yang apatis dan melankolis. Menderita dengan Kristus yang tersalib juga dapat menimbulkan rasa kasihan pada diri sendiri. Selain itu, pada zaman abad pertengahan, terlalu sering, petani dan budak kulit hitam didorong untuk menerima penderitaan mereka sebagai “salib mereka” dan tidak untuk memberontak melawan tuan mereka. Padahal, mereka tidak perlu didorong untuk menerima penderitaan mereka sebagai salib sebab mereka sudah menanggung beban dari tuan mereka. Oleh karena itu, sebagai “candu bagi rakyat” yang diproduksi oleh mereka yang menyebabkan penderitaan, mistisisme penderitaan ini adalah penghujatan, sebentuk produk mengerikan dari ketidakmanusiawian.47

46 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 49.

47 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 48-49.

Jika memang demikian, Moltmann menanggapi, apa yang mereka lihat dari Kristus yang tersalib? Mereka menemukan di dalam Dia saudara yang menanggalkan wujud ilahi dan mengambil alih rupa seorang hamba (Fil. 2: 7), untuk bersama dengan mereka dan mencintai mereka. Mereka memukan di dalam Dia, Allah yang tidak menyiksa mereka seperti yang dilakukan tuan mereka, tetapi menjadi saudara dan sahabat mereka. Dimana kehidupan mereka sendiri telah dirampas dari kebebasan, martabat, dan kemanusiaan, dalam persaudaraan dengan Dia, mereka menerima rasa hormat, pengakuan, martabat manusia, dan harapan. Mereka menemukan identitas asli mereka yang terlindungi dan terjamin di dalam Kristus yang menderita bersama mereka, sehingga tidak seorang pun dapat mencabutnya (Kol. 3: 3). Oleh karena itu, mistisisme salib ini pada pihak yang tertindas sebenarnya merupakan sebuah ekspresi kesengsaraan, dan sudah secara implisit merupakan protes melawan kesengsaraan.48 Bagaimanapun, pada dasarnya, mistisisme salib merupakan sesuatu yang lebih dan sangat berbeda, yang tidak diakui oleh Marx yaitu, ekspresi martabat manusia dan harga diri dalam pengalaman bahwa Allah menganggap mereka layak dan keyakinan bahwa Kristus mengasihi mereka. Iman yang diperoleh dengan menatap Allah yang menderita dan tersalib dalam mistisisme ini mencegah mereka dari tenggelam kembali ke dalam kesengsaraan, dari rasa menyerah karena kehilangan, dan cukup sering dari percobaan bunuh diri karena putus asa.49

48 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 50.

49 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 49-50.

Dengan pengertian tentang makna internal mistisisme salib ini, pemikiran kita diarahkan melampaui conformitas crucis. Ketika orang miskin dan tertindas melihat Kristus yang miskin dan terhina, mereka tidak hanya melihat kemiskinan mereka sendiri dan penghinaan yang diulang pada manusia lain. Jika mereka yang menghayati mistisisme penderitaan memperhatikan Kristus yang tersalib hanya sebagai arketipe rasa sakit dan penghinaan mereka sendiri, mereka akan jatuh pada sekedar mempertahankan ingatan akan kemanusiaan dan perendahan-Nya. Tetapi, mereka kemudian akan menghancurkan apa yang khas tentang pribadi Yesus dan apa yang istimewa tentang penderitaan dan kematinya-Nya. Mereka kemudian akan memahami salib-Nya hanya dalam pengertian umum “salib dan kesengsaraan” sebagai penderitaan pasif dari takdir yang tidak terpahami, seperti keguguran, penyakit, wabah, kematian prematur, atau penderitaan dari kejahatan yang berakar dalam dari orang lain. Penderitaan seperti itu bukanlah penderitaan Kristus. Yesus tidak menderita secara pasif, tetapi secara aktif mengarahkan diri-Nya sendiri dengan pesan-Nya dan kehidupan yang dijalani-Nya. Kematian-Nya adalah kematian seorang yang menebus manusia dari kematian.50

50 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 50-51.

3.1.3. Mengikuti Kristus: Sisi Aktif Penghayatan Salib Kristus

Pada bagian sebelumnya, dibahas mengenai mistisisme salib dalam penghayatan penderitaan Yesus lewat devosi. Pada bagian ini, pembahasan diarahkan pada sisi aktif penghayatan salib, yaitu mengikuti jejak Kristus yang tersalib.

Moltmann mengaitkan panggilan untuk mengikuti-Nya (Mrk. 8: 31-38) dengan pernyataan Yesus tentang penderitaan. Bagi Moltmann, panggilan itu bersifat mutlak.

Saat Yesus memanggil para murid, tidak ada alasan yang diberikan pada saat itu atau kemudian. Sebaliknya, hanya ada seruan langsung, “Ikutlah Aku!” (Mrk. 1: 17; 2: 14).

Mereka yang mengikuti panggilan ini meninggalkan semuanya, “siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya” (Mrk.

8: 35).51

Bagi Moltmann, motivasi untuk mengikuti panggilan Yesus bersifat eskatologis, yaitu mengarahkan orang untuk melawan tendensi stagnansi dan mengarahkan mereka pada Kerajaan Allah.52 Panggilan itu adalah panggilan ke dalam masa depan Allah yang sekarang dimulai dalam Yesus, dan demi masa depan ini, orang ditantang untuk memutuskan hubungan dengan dunia dan tidak terlalu memperhatikan hidup mereka sendiri (Mrk. 8: 35). Karena itu, panggilan untuk mengikuti Yesus merupakan perintah momen eskatologis. Dan, panggilan untuk

51 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 54.

52 Richard Bauckham, The Theology of Jurgen Moltmann (Edinburgh: T&T Chark, 1995), 8-9.

mengikuti-Nya juga berarti panggilan untuk berbagi dalam penderitaan-Nya dan berdiri di bawah salib-Nya.53

Dalam petikan surat-suratnya, Paulus merefleksikan pemahamannya mengenai salib (1Kor. 1: 18) ke dalam etika salib,54 dan menyatakan kepada para anggota jemaat untuk menyalibkan daging mereka dan membuat kematian Yesus nampak pada tubuh mereka. Penyaliban dengan Yesus, secara kreatif dilambangkan dalam baptisan dan dipraktikkan dalam ketaatan baru yang tidak lagi sesuai dengan dunia ini (Rm. 12: 2).

Dia yang telah mati bersama Kristus (Rm. 6: 4) disalibkan terhadap dunia dan dunia baginya (Gal. 6: 14). “Dunia” di sini bukan berarti esensi kenyataan yang dialami, tetapi dunia hukum, dosa, penguasa, dan kematian. Dia “mati” terhadap dunia ini sehingga dunia tidak lagi memiliki hak dan klaim apa pun atasnya. Tetapi, dia hidup dalam semangat memberi-hidup bagi ciptaan baru, diatur olehnya, dan berjalan dalam kehidupan yang diperbarui.55

Paulus sendiri menanggung kematian Yesus dalam tubuhnya sehingga kehidupan Yesus dinyatakan. “Demikianlah maut giat di dalam diri kami dan hidup giat di dalam kamu.” (2Kor 4: 12). Moltmann merefleksikan bahwa penderitaan tersebut bukanlah penderitaan yang dia pilih sendiri. Juga tidak ada usaha sendiri untuk mencapai persekutuan yang lebih dalam dengan penderitaan Kristus. Dan, tidak ada peniruan terhadap penderitaan Kristus. Sebab, mereka adalah para rasul yang

Paulus sendiri menanggung kematian Yesus dalam tubuhnya sehingga kehidupan Yesus dinyatakan. “Demikianlah maut giat di dalam diri kami dan hidup giat di dalam kamu.” (2Kor 4: 12). Moltmann merefleksikan bahwa penderitaan tersebut bukanlah penderitaan yang dia pilih sendiri. Juga tidak ada usaha sendiri untuk mencapai persekutuan yang lebih dalam dengan penderitaan Kristus. Dan, tidak ada peniruan terhadap penderitaan Kristus. Sebab, mereka adalah para rasul yang