• Tidak ada hasil yang ditemukan

SALIB SEBAGAI SOLIDARITAS ALLAH ATAS PENDERITAAN MANUSIA

3.2. Pengalaman Hidup Manusia dalam Pathos Allah

Moltmann menyatakan bahwa pengalaman manusia tak terpisahkan dari Allah.

Baginya, teologi dan antropologi berhubungan timbal balik. Yang ilahi adalah situasi dimana manusia mengalami, berkembang, dan membentuk dirinya sendiri. Karena itu, teologi “Allah yang tersalib” juga mengarah pada antropologi.100 Usaha Moltmann untuk menempatkan pengalaman manusia dalam pathos Allah dimulai dengan menunjukkan bahwa adopsi konsep filosofis Yunani tentang “Allah yang tidak mampu menderita” oleh Gereja perdana menyebabkan kesulitan dalam kristologi yang ingin diatasi oleh teologi pada zaman ini.101 Untuk membongkar konsep lama “Allah yang tak mampu menderita” itu, Molmann belajar dari teologi Yahudi yang sudah lebih dahulu membahas tema tersebut. Karena itu, Moltmann melihat bahwa teologi

100 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 267.

101 Gagasan ketidakmampuan-Allah-untuk-menderita (divine impassibility) dalam teologi patristik awal, dibingkai dalam teori yang oleh Paul Gavrilyuk disebut “teori Kejatuhan Teologi ke dalam Filsafat Yunani.” Ada lima gagasan pokok dari teori tersebut: 1) Ketidakmampuan-Allah-untuk-menderita adalah atribut Allah dalam Filsafat Yunani. 2) gagasan ketidakmampuan-Allah-untuk-menderita diadopsi secara tidak kritis oleh Bapa-Bapa Gereja awal dari para filsuf. 3) Ketidakmampuan-Allah-untuk-menderita tidak memberi ruang bagi perasaan-perasaan ataupun keterlibatan Allah dalam sejarah sebagaimana ditunjukkan dalam Kitab Suci 4) Ketidakmampuan-Allah-untuk-menderita tidak kompatibel dengan pewahyuan penderitaan Allah dalam Yesus Kristus. 5) Fakta tersebut kemudian disadari oleh beberapa teolog yang hendak mengafirmasi kemampuan-Allah-untuk menderita, sebagaimana dimulai oleh A. J. Hetchel dan kemudian diikuti oleh salah satunya, Jürgen Moltmann.

Lih. Paul Gavrilyuk, The Suffering of The Impassible God: The Dialektics of Patristic Thought (Oxford:

Oxford University Press, 2004), 176.

Kristiani tidak bisa tidak, belajar dari penafsiran Yahudi yang baru tentang sejarah Allah dalam Perjanjian Lama dan dalam penderitaan bangsa Yahudi masa kini.102

3.2.1. Apatheia Allah dan Kebebasan Manusia

Dalam dunia kuno, kekristenan awal menjumpai konsep apatheia sebagai aksioma metafisik dan cita-cita etis yang begitu kuat. Pada konsep ini, terkonsentrasi pemujaan keilahian Allah dan perjuangan untuk kebebasan manusia. Seperti halnya pathos, kata apatheia memiliki banyak konotasi. Moltmann mendefinisikan apatheia

sebagai tidak mampu dipengaruhi oleh pengaruh luar, tidak mampu merasakan, seperti halnya benda mati; apatheia juga berarti roh yang bebas dari kebutuhan batin dan kerusakan eksternal.103 Secara fisik, apatheia berarti tidak dapat diubah; secara psikologis, apatheia berarti ketidakpekaan; dan dalam arti etis, kebebasan. Berbeda dengan apatheia, pathos menunjukkan kebutuhan, paksaan (compulsion), dorongan (drive), ketergantungan, hasrat yang lebih rendah dan penderitaan yang tidak diinginkan.104 Sejak Plato dan Aristoteles kesempurnaan metafisik dan etis Allah telah digambarkan sebagai apatheia.105 Menurut pembacaan Moltmann atas Plato, Allah itu

102 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 267.

103 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 267-268.

104 Dalam bidang psikologi, psikolog yang meneliti gangguan psikologis seseorang umumnya menggunakan kata “pathos” yang mengacu pada patologi. Lih. Jim Kline, “The Feral Boy: Archetypal Image of Pathos in a Dream Series”, International Journal of Jungian Studies (2017), 10. doi:

10.1080/19409052.2017.1339624.

105 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 267-268.

baik dan karenanya tidak bisa menjadi penyebab sesuatu yang jahat, hukuman, dan kesedihan.106

Konsepsi puitis para dewa yang sifatnya berubah-ubah, iri, dendam, dan berkarakter suka menghukum, yang dimaksudkan untuk membangkitkan emosi atau pathe di antara para penonton tragedi Yunani, yang akan mengarah pada katharsis,

ditolak sebagai “tidak pantas bagi Allah.” Konsepsi itu tidak sesuai dengan pedoman moral dan politik untuk doktrin para dewa. Tidak pantas menghadirkan Allah sebagai actor malorum (asal kejahatan). Sebagai yang sempurna, ke-Allah-an tidak

membutuhkan apa pun. Jika tidak memiliki kebutuhan, Allah juga tidak dapat berubah, karena perubahan apa pun menunjukkan kekurangan. Allah tidak membutuhkan jasa atau perasaan manusia untuk hidupnya sendiri. Karena Dia sempurna, Dia tidak membutuhkan teman, juga tidak akan punya teman. Persahabatan terjadi ketika cinta ditawarkan sebagai imbalan. 107 Tetapi dalam persahabatan dengan Allah, tidak ada ruang untuk cinta yang ditawarkan sebagai imbalan, bahkan tidak ada ruang untuk cinta. Sebab, tidak masuk akal jika ada orang yang menyatakan bahwa dia mencintai Zeus.108

Karena yang sama hanya diketahui dan dicintai oleh yang sama, Ke-Allah-an bersifat swasembada (self-sufficient). Sejak zaman Aristoteles dan seterusnya, prinsip metafisik yang telah diturunkan dari pandangan itu adalah Θεός απαθής (theos

106 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 267-268.

107 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 268.

108 Moltmann mengacu pada Aristoteles, Magna Moralia II, 1208b. Lih. The Crucified God, 268.

Bagian catatan kaki.

apathos).109 Sebagai actus purus dan kausalitas murni,110 tidak ada yang bisa membuat-Nya menderita. Sebagai Ada (Being) yang sempurna, dia tanpa emosi.

Kemarahan, kebencian, dan kecemburuan adalah hal asing baginya. Yang juga asing baginya adalah cinta, kasih sayang, dan belas kasihan. Sebagai Ada (Being) yang tidak fana, Ia tidak menanggung kesengsaraan dan juga tidak membebani orang lain dengan kesengsaraan. Karena itu, Ia tidak mengenal amarah atau amal baik. Hal semacam itu hanya dapat ditemukan pada makhluk lemah.111

Jika gambaran theos apathos itu merupakan cita-cita moral orang bijak yaitu untuk menjadi serupa dengan keilahian dan berpartisipasi dalam ruang lingkupnya, maka orang harus mengatasi kebutuhan dan dorongan serta menjalani kehidupan yang bebas dari gangguan dan ketakutan, kemarahan dan cinta, dalam apatheia. Seseorang akan menemukan ketenangan dalam Allah dalam memikirkan pemikiran-Nya. Ia akan menemukan kehadiran Allah yang kekal dalam kehendak abadi. Sekolah kaum Skeptis menuntut penangguhan penilaian (ἐποχή, epoche).112 Kaum bijak harus berdiri teguh

109 Moltmann mengacu pada Aristoteles, Metaphysics, XII, 1073 a 11. Lih. The Crucified God, 268. Bagian catatan kaki.

110 Actus purus (tindakan murni) dan kausalitas murni merupakan atribut yang disematkan pada Allah. Aristoteles memandang Allah sebagai yang berada di luar dunia, sebagai penyebab terakhir dari semua gerakan di Alam, sebagai Penggerak Utama dan Penggerak Tak Bergerak dari alam semesta. Dia adalah tujuan utama dari semua perkembangan dinamis dalam kosmos dari materi ke bentuk dan dari potensi ke aktualitas. Dia berdiri di luar rantai besar ada (being) namun merupakan sumber dari semua gerak dan perkembangan. Karena itu, Aristoteles tidak mengaitkan belas kasihan, cinta, simpati, dan penyelenggaraan dengan Allah, tetapi mengaitkannya dengan kontemplasi diri yang abadi (eternal self-contemplation). Lih. Stanley Sfekas, “Aristotle’s Concept of God”, diakses dari http://www.heptapolis.com/aristotles-concept-of-god/ (14 Maret 2019).

111 Moltmann mengacu pada Aristoteles, Metaphysics, XII, 1073 a 11. Lih. The Crucified God, 268. Bagian catatan kaki.

112 Karena aliran skeptisisme menyangkal bahwa pengetahuan itu mungkin, mereka mendesak penangguhan penilaian (epoche).

dalam ataraxia (ἀταραξία),113 sehingga mereka akan memiliki apatheia. Pengetahuan mereka tidak terganggu oleh emosi jiwa atau kepentingan tubuh. Mereka hidup di lingkungan Logos yang lebih tinggi. Mereka bahkan tidak merasakan apa yang orang lain anggap baik atau jahat. Ketenangan, ketidakberpihakan, kelembutan mengikuti epoche para Skeptis seperti sebuah bayangan. Situasi tengah dalam kehidupan

perasaan dan indera yang awalnya dipuji, bahkan oleh Aristoteles, kemudian digantikan oleh etika Stoic dimana apatheia diperjuangkan oleh orang bijak. Dalam perjuangan demi keutamaan itu, orang bijak mendapatkan apa yang dimiliki oleh ke-Allah-an dari kodratnya.114

Moltmann menganalisis bahwa Yudaisme kuno, terutama dalam pribadi Philo dari Alexandria dan kekristenan kuno, mengambil idealisme apatheia ini ke dalam teologi dan etika serta berusaha untuk menggenapinya dan melampauinya. Philo menghadirkan Abraham sebagai model apatheia, tetapi juga memuji kemampuannya berhadapan dengan dorongan-dorongan emosi hidup hariannya.115 Dia juga

113 Kaum Stoik dan Epikurean memandang emosi dengan kecurigaan yang lebih besar dan khususnya emosi negatif seperti kemarahan, ketakutan, dan kesedihan yang dipandang sebagai sesuatu yang tidak diinginkan. Setiap emosi yang menyebabkan gangguan pada seseorang (termasuk, gairah seperti nafsu) idealnya harus dihilangkan. Orang bijak dan bahagia, dalam pandangan ini, adalah orang yang tidak menderita gangguan psikologis, dan dengan demikian terbebas dari stres dan tirani emosi yang tidak menyenangkan atau membatasi. Keadaan psikologis yang ideal bagi mereka adalah ketenangan atau ketentraman, dalam bahasa Yunani, ataraxia yang secara harfiah berarti kurangnya gangguan. Lih. Raphael Woolf, Cicero: The philosophy of a Roman Sceptic (New York: Routledge, 2015), 201.

114 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 268-269.

115 Philo dari Alexandria memiliki pandangan bahwa Allah itu tidak bergerak (aklinos hestos), sementara ciptaan tunduk pada gerakan. Oleh karena itu orang yang hendak mendekati Allah harus mengusahakan stabilitas (staseos). Di sisi lain, orang yang bodoh berubah terus-menerus dan dia tidak mampu menetapkan dirinya sendiri secara tegas (hestanai) pada prinsip. Dia adalah orang yang terombang-ambing oleh dorongan-dorongan yang tidak stabil, ia adalah mangsa dari hasratnya. Menurut Philo, Abraham merupakan contoh dan model yang jelas dari seseorang yang tahu bagaimana harus tak

menganggap apatheia sebagai tujuan kesempurnaan. Tetapi manusia tidak berusaha untuk bebas bagi dirinya sendiri dan puas dengan dirinya sendiri. Sebaliknya, ia berusaha untuk menjadi bebas dan tanpa kebutuhan demi pelayanan kepada Allah yang memberikan kekuatan untuk mencapai apatheia. Karena Philo ada di wilayah yang dipengaruhi oleh pemahaman Perjanjian Lama tentang Allah, doktrin apatheia-nya berbeda dari yang dimiliki kaum Stoa, meskipun ia telah mengambil alih bentuknya.116 Baginya apatheia diupayakan memang dengan tujuan untuk mengarah pada kesamaan dengan Allah, tetapi pada dasarnya apa yang diusahakan Philo berbeda dengan apa yang Moltmann sebut sebagai “situasi Allah”.117

Dalam dunia Yunani, Yudaisme, dan Kristiani kuno, konsep apatheia tidak berarti bahwa manusia membatu. Apatheia juga tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit yang saat ini digambarkan sebagai apatis, ketidakpedulian, dan keterasingan.

Sebaliknya, apatheia menandakan kebebasan manusia dan superioritasnya terhadap dunia sesuai dengan kebebasan sempurna dan serba mencukupi dari ke-Allah-an.118 Di sisi lain, hanya dorongan dan kompulsi yang lebih rendah yang dipahami sebagai pathos. Apa yang sekarang digambarkan sebagai pathos kehidupan, makna yang mengisi dan meningkatkan kehidupan, tidak termasuk di antara pathe. Apa yang

tergoyahkan di hadapan Allah sebagaimana ditegaskan dalam Kejadian 18:22. Lih. Paola Graffigna,

“The Stability of Perfection: The Image of The Scales in Philo of Alexandria” dalam Francesca Calabi, (ed.), Italian Studies on Philo of Alexandria (Boston: Brill Academic Publishers, 2003), 131-132.

116 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 269.

117 Gagasan tentang “situasi Allah” yang menggambarkan pathos Allah akan dibahas selanjutnya.

118 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 269.

kekristenan nyatakan sebagai agape119 Allah dan agape orang beriman jarang diterjemahkan sebagai pathos. Karena agape sejati berasal dari pembebasan terhadap belenggu kedagingan (sarx) baik batin maupun lahir, dan cinta tanpa pencarian diri dan kegelisahan, serta tanpa ira et studio (kemarahan dan paksaan), apatheia dapat diterapkan sebagai landasan yang memungkinkan untuk cinta ini dan dipenuhi dengannya. Cinta muncul dari roh dan dari kebebasan, bukan dari keinginan atau kecemasan. Karena itu, Allah yang apatis dapat dipahami sebagai Allah yang merdeka yang membebaskan manusia demi dirinya sendiri. Negasi terhadap kebutuhan, keinginan, dan kompulsi yang terungkap dalam konsep apatheia, diambil dan diisi dengan gagasan baru yang positif.120

Dengan demikian, Moltmann menunjukkan bagaimana kekristenan awal mengadopsi konsep apatheia sebagai keutamaan. Penggunaan konsep apatheia dalam sejarah panjang Yudaisme dan Kekristenan awal mengubah dan memberikan konteks makna yang berbeda. Konsep apatheia dikaitkan dengan penderitaan (passion) dan cinta bagi orang lain karena kebebasan, dan mengajarkan pemahaman tentang makna penderitaan akibat cinta (suffering of love) dari sejarah penderitaan Israel dan Kristus.

119 Agape merupakan kata Yunani untuk cinta yang derajatnya paling tinggi. Cinta agape tidak seperti cinta persaudaraan atau cinta antara suami-istri. Agepe dipahami sebagai cinta yang rela berkorban. Jenis cinta ini adalah cinta yang dimiliki Allah bagi manusia. Jenis cinta ini adalah apa yang ditampilkan oleh Yesus Kristus di kayu salib. Dalam Yohanes 3:16, tertulis bahwa "Allah sangat mencintai (agapao) dunia sehingga Ia memberikan Anak-Nya yang tunggal sehingga siapa pun yang percaya kepada-Nya tidak akan binasa tetapi memiliki hidup yang kekal." Lih. Jack Wellman, “What Is Agape Love? A Bible Study”, diakses dari

https://www.patheos.com/blogs/christiancrier/2014/05/02/what-is-agape-love-a-bible-study/ (15 Maret 2019).

120 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 269-270.

Moltmann menggarisbawahi bahwa perubahan-perubahan ini perlu dicatat agar kita bisa mempertimbangkan teologi apatis kuno dan penerimaannya dalam Yudaisme dan Kristianitas secara adil.121

Moltmann kemudian mencoba menjelaskan mengapa teologi patristik sangat berpegang teguh pada konsep apatheia (kecuali Origenes), walaupun pada saat yang sama Kristianitas menyembah Kristus tersalib.122 Ada dua jawaban untuk itu.

Pertama, ketidakmampuan-Allah-untuk-menderita membedakan ke-Allah-an dengan

kemanusiaan yang mengalami penderitaan, kefanaan, dan kematian. Kedua, keselamatan berarti pengilahian manusia dengan memberikan mereka bagian kehidupan abadi. Jika manusia menjadi imortal, manusia juga akan mengalami ketidak-mampuan-untuk-menderita; karena itu apati merupakan kodrat ilahi dan pemenuhan keselamatan dalam kehidupan kekal.123

Terhadap dua jawaban itu, Moltmann menilai bahwa logika tersebut gagal karena hanya memberi satu alternatif: apakah secara esensial tak-mampu-mengalami-penderitaan atau tunduk pada tak-mampu-mengalami-penderitaan. Mengatasi persoalan tersebut, kemudian Moltmann mengajukan bentuk penderitaan yang ketiga, yaitu penderitaan yang aktif (active suffering), yang mengandung kehendak seseorang untuk membuka diri agar dapat tersentuh, tergerak, dan terdampak oleh orang lain. Inilah yang Moltmann sebut

121 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 270.

122 Jürgen Moltmann dan Elisabeth Moltmann-Wendel, Passion for God, 74. Lih. juga Jürgen Moltmann, The Trinity and the Kingdom of God: The Doctrine of God (London: SCM Press, 1981), 23.

123 Jürgen Moltmann dan Elisabeth Moltmann-Wendel, Passion for God, 74. Lih. juga Jürgen Moltmann, The Trinity and the Kingdom of God: The Doctrine of God (London: SCM Press, 1981), 23.

sebagai cinta yang menderita (passionate love). Molmann menegaskan, jika Allah tak mampu menderita, Allah juga tak mampu untuk mencintai. Jika Allah adalah kasih, maka Allah akan membuka diri-Nya terhadap penderitaan. Penderitaan Allah tetap berbeda dengan penderitaan manusia. Allah menderita tidak karena cacat atau kekurangan-Nya, tetapi Allah menderita karena cinta bagi ciptaan yang merupakan luapan kelimpahan ada ilahi Allah (God’s divine being). Dalam hal ini, Allah dapat menderita, akan menderita, dan sedang menderita dalam dunia.124 Bagi Moltmann hanya cintalah yang dapat berduka. Semakin besar cinta, semakin dalam juga potensi berduka.125

3.2.2. Pathos Allah dan Sympatheia Manusia

Untuk mendalami konsep pathos Allah, Moltmann mengacu pada Abraham Heschel126 yang pertama-tama menggambarkan warta para nabi tentang Allah dalam teologi pathos.127 Para nabi tidak memiliki “gagasan” tentang Allah, tetapi memahami

124 Jürgen Moltmann dan Elisabeth Moltmann-Wendel, Passion for God, 74-75.

125 Jürgen Moltmann, In the End – The Beginning: the life of hope (Minneapolis: Fortress Press, 2004), 122.

126 Abraham Joshua Heschel (1907-1972), lahir di Warsawa, di Polandia, teolog dan filsuf Yahudi, terkenal karena karyanya tentang aspek kenabian dan mistis Yudaisme dan usahanya untuk membangun filsafat agama modern berdasarkan tradisi Yahudi kuno dan abad pertengahan. Karyanya yang terkenal luas adalah The Earth Is the Lord’s (1950); Man Is Not Alone: A Philosophy of Religion (1951); The Sabbath: Its Meaning to Modern Man (1951); Man’s Quest for God: Studies in Prayer and Symbolism (1954); God in Search of Man: A Philosophy of Judaism (1956); dan The Prophets (1962). Lih. “Abraham Joshua Heschel,” diakses dari

https://www.britannica.com/biography/Abraham-Joshua-Heschel (14 Agustus 2019).

127 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 270. Moltmann mengacu pada Abraham Heschel, The Prophets (New York: Harper & Row, 1962).

diri mereka sendiri dan umat dalam situasi Allah (in the situation of God).128 Heschel menyebut situasi Allah ini sebagai pathos Allah.129 Hal ini tidak ada hubungannya dengan emosi manusia yang tidak rasional seperti keinginan, kemarahan, kegelisahan, kecemburuan atau simpati, tetapi menggambarkan cara dimana Allah dipengaruhi oleh peristiwa, tindakan, dan penderitaan manusia dalam sejarah.130 Dia dipengaruhi oleh mereka karena Dia tertarik pada ciptaan-Nya, umat-Nya dan hak-Nya.

Pathos Allah sifatnya intensional dan transitif, tidak berhubungan dengan

Diri-Nya sendiri tetapi dengan sejarah umat perjanjian (the covenant people). Moltmann kemudian menunjukkan bahwa Allah sudah muncul dari Dirinya sendiri pada saat penciptaan dunia. Kemudian, dalam perjanjian, Dia memasuki dunia dan orang-orang pilihannya. Karena itu, “sejarah” Allah tidak bisa dipisahkan dari sejarah umat-Nya.

Sejarah pathos ilahi tertanam dalam sejarah manusia. Karena ciptaan, perjanjian, dan sejarah Allah muncul dari kebebasan-Nya, pathos-nya yang efektif sangat berbeda dari mitos dewa ilahi, yang tak terduga-duga, iri hati dan heroik, yang memang tunduk pada

128 Seturut pembacaan penulis atas karya Abraham Joshua Heschel, yang dimaksud dengan

“situasi Allah” oleh Moltmann adalah bahwa pemahaman para nabi tentang Allah bukanlah hasil dari penyelidikan teoritis tentang being dan atribut-atribut Allah. Heschel menegaskan bahwa kepada para nabi, Allah menyatakan diri-Nya tidak dalam keabsolutan abstrak, tetapi dalam relasi personal dan intim dengan dunia. Lih. Abraham Joshua Heschel, The Prophets (New York: Perennial, 2001), 285-288.

129 Menurut Abraham Heschel, pathos bukanlah sebuah atribut melainkan sebuah situasi. Di sisi lain, pathos ilahi bukanlah kekuatan absolut yang ada terlepas dari manusia. Pathos lebih merupakan reaksi terhadap sejarah manusia, suatu sikap yang ditimbulkan oleh perilaku manusia; sebuah tanggapan, bukan sebab. Manusia dalam arti tertentu adalah agen, bukan hanya penerima. Manusia ada dalam kekuatannya untuk membangkitkan pathos cinta atau pathos kemarahan. Lih. Abraham Joshua Heschel, The Prophets (New York: Perennial, 2001), 290.

130 Usaha untuk merevisi konsep Allah sudah Moltmann mulai sejak buku pertamanya, Theology of Hope. Moltmann menekankan Allah yang menyingkapkan dirinya sendiri dalam sejarah sebagaimana diungkapkan dalam Kitab Suci. Hal ini bertentangan dengan Allah Helenistik yang dipandang transenden terhadap sejarah. Lih. Joy Ann McDougall, Pilgrimage of Love: Moltmann on the Trinity and Christian Life (Oxford: University Press, 2005), 36.

nasib (ananke131). Pathos Allah berasal dari hubungan bebas-Nya dengan ciptaan, dengan orang-orang, dan sejarah. Para nabi tidak pernah mengidentifikasi pathos Allah dengan being yang abstrak karena bagi mereka Allah membangun relasi dengan orang lain.132

Pathos ilahi tersebut diekspresikan dalam hubungan Allah dengan umat-Nya.

Karena itu, Moltamann yakin bahwa konsep dewa apatis asing bagi para nabi. Bagi para nabi, nubuat pada hakikatnya bukan menantikan masa depan untuk melihat apa yang ditentukan dalam takdir yang tidak dapat diubah atau rencana keselamatan ilahi yang telah ditentukan sebelumnya, tetapi wawasan ke dalam pathos Allah masa kini, yaitu penderitaan-Nya yang disebabkan oleh ketidaktaatan Israel dan gairah-Nya (his passion) terhadap hak dan kehormatan-Nya di dunia.133 Jika pathos ilahi didasarkan pada kebebasan-Nya, hal itu bukanlah kehendak murni (pure will), seperti dalam konsep Islam tentang Allah. Sebaliknya, pathos ilahi itu merupakan interes-Nya pada ciptaan-Nya dan umat-Nya, yang dengannya Allah memindahkan keberadaan-Nya ke dalam sejarah hubungan-Nya dan perjanjian-Nya dengan manusia. Allah memperlakukan manusia dengan sangat serius sehingga ia menderita karena tindakan manusia dan dapat terluka olehnya. Pada inti warta kenabian, ada kepastian bahwa Allah tertarik pada dunia sampai pada titik penderitaan.134

131 Ananke merupakan personifikasi dari kebutuhan yang tak bisa tidak harus dipenuhi atau nasib akhir yang bahkan para dewa tunduk padanya. Lih. https://www.merriam-webster.com/dictionary/Ananke (diakses pada 27 Februari 2019).

132 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 270-271.

133 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 271.

134 Jürgen Moltmann, The Crucified God, 271.

Moltmann menganalisis bahwa seperti yang dilakukan teologi Kristen, skolastisisme Yahudi pada Abad Pertengahan juga berupaya menyesuaikan diri dengan gagasan theos apathes. Bagi teolog skolastik Yahudi, "Setiap hasrat adalah jahat." Moltmann kemudian menunjukkan beberapa pandangan teolog Yahudi, seperti, Jehuda Halevi135 yang berpikir bahwa belas kasih dan simpati hanya menjadi tanda kelemahan jiwa dan tidak pantas bagi Allah. Allah dipandang sebagai hakim yang adil;

Allah menentukan kemiskinan seseorang dan kekayaan orang lainnya tanpa perubahan sifat, tanpa perasaan simpati terhadap satu orang atau kemarahan terhadap orang lain.

Menurut Moses Maimonides136, tidak ada predikat yang terkait dengan korporealitas dan kapasitas untuk menderita yang dapat diterapkan pada Allah. bagi Maimonides, Allah itu bebas dari nafsu; dia tidak digerakkan oleh perasaan gembira atau perasaan duka. Demikian juga Spinoza137 dengan tegas menyatakan bahwa Allah tidak

135 Judah Halevi lengkapnya Judah ben Samuel Halevi lahir, menurut kesepakatan para ahli, tahun 1075 atau sebelumnya. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di negara yang sekarang dikenal sebagai Spanyol, yang pada saat itu adalah wilayah berbahasa Arab, mayoritas Muslim, yang dikenal sebagai al-Andalus dan terhubung lebih erat ke Afrika Utara dan seluruh dunia Islam daripada ke Eropa.

Sebagai anggota aristokrasi sosial dan intelektual Yahudi yang tumbuh subur di seluruh dunia Muslim selama zaman kekuasaan Islam (750–1300), Halevi adalah seorang dokter, teolog, pedagang, (meskipun tidak, sejauh yang diketahui, seorang rabi), dan tokoh terkemuka dalam urusan publik. Ia dipandang

Sebagai anggota aristokrasi sosial dan intelektual Yahudi yang tumbuh subur di seluruh dunia Muslim selama zaman kekuasaan Islam (750–1300), Halevi adalah seorang dokter, teolog, pedagang, (meskipun tidak, sejauh yang diketahui, seorang rabi), dan tokoh terkemuka dalam urusan publik. Ia dipandang