• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dua Puluh Bulan di bawah Pemerintahan Benazir Bhutto…

Dalam dokumen POLITIK BENAZIR BHUTTO (Halaman 56-69)

BAB III. BENAZIR BHUTTO DALAM KANCAH POLITIK

B. Ikut Pencalonan menjadi Perdana Menteri

B. 2. Dua Puluh Bulan di bawah Pemerintahan Benazir Bhutto…

Sampai awal Agustus 1988, tak seorang pun menduga bahwa Benazir Bhutto bakal secepat itu menjadi Perdana Menteri. Bukan karena popularitasnya ataupun bakatnya, tetapi saat itu Zia ul-Haq telah nemutuskan untuk “menyingkirkan” Benazir Bhutto dari partai PPP selama hidupnya serta melakukan segala cara untuk melaksanakan hal tersebut mulai dari menggantung ayahnya, yaitu Zulfikar Ali Bhutto, mengadakan

74

Shahid Javed Burki, “Current History”, h. 118.

75

pemilu tanpa partai pada tahun 1979 serta memperkuat kelompok-kelompok politik untuk melawan PPP.76

Namun demikian manipulasi politik, penendasan dan pengawasan yang dilancarkan Zia ul Haq ternyata tidak dapat menghancurkan kharisma Ali Bhutto serta dukungan rakyat terhadap partainya , PPP dan Benazir Bhutto. Sekalipun ia masih muda, pernah mengalami pahitnya penjara dan pembuangan, Benazir Bhutto tetap aktif di dalam kegiatan-kegiatan politik sebagai pemimpin oposisi yang terkemuka dan terkenal blak-blakan selama 11 tahun, yang akhirnya telah membentuk kualitas pribadi kepemimpinannya.

Ia berhasil menduduki jabatan Perdana Menteri dalam usia 35 tahun, tanggal 2 Desember 1988 dan merupakan wanita pertama yang menjadi Perdana Menteri di negara Pakistan.77 Ia mengobarkan semangat demokrasi ke seluruh pelosok Pakistan. Dengan mengobarkan semangat demokrasinya itu, pamornya menanjak dan mendapat dukungan di mana-mana. Rakyat Pakistan mendukung pemerintahannya karena rakyat memang menghendaki suatu pemerintahan sipil, di mana rakyat sudah bosan diperintah rezim militer yang otoriter selama 11 tahun.

Sejak awal pemerintahannnya pada bulan Desember 1988, sebenarnya sudah dilemahkan dengan kenyataan bahwa PPP hanya mempunyai sejumlah kecil kursi di Majelis Nasional dan diawasi oleh dua dari empat pemerintahan propinsi, yaitu Sindh dan NWFP. Hal ini sempat memberi kekhawatiran terhadap pendukungnya dan mengusulkan sebaiknya Benazir mempertahankan posisinya sebagai oposisi saja daripada mencoba untuk menjalankan pemerintahan dengan kondisi yang kurang baik.

76

Raul B. Rais, “PAKISTAN IN 1988: From Command to Conciliaton Politics”, ASIAN SURVEY, Vol XXIX, No. 2, February 1989, h. 204.

77

Setelah wafatnya Jenderal Zia ul Haq, kekuasaan selama satu dekade yang terdiri dari dua pusat kekuasaan, pola Diarchy, yaitu Presiden dan Perdana Menteri (Presiden Zia ul Haq waktu itu sekaligus menjabat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata), selanjutnya digantikan oleh sebuah “Troika” di Pakistan. Jabatan Kepala Staf Angkatan Darat dan Presiden yang semula dipegang oleh Zia ul Haq, kemudian diisi oleh dua orang yang berbeda, Yaitu Jenderal Mirza Aslam Beg selaku pemimpin Angkatan Bersenjata dan Ghulam Ishaq Khan yang sejak tanggal 17 Agustus 1988 menjabat sebagai presiden sementara pun segera mengadakan pemilihan umum. Pemilihan umum yang dilakukan berdasarkan pada sistem partai akan dilaksanakan pada tanggal 16 November 1988 dan telah menciptakan sebuah pusat kekuasaan yang lain, yaitu Perdana Menteri.78

Pergeseran dari pola Diarchy ke Troika ini semula diharapkan dapat membuka peluang bagi keluwesan sistem politik Pakistan. Secara teoritis adalah dimungkinkan bagi Perdana Menteri untuk berurusan dengan militer dan Presiden secara terpisah, dan jika dibutuhkan dapat mempermiankan satu terhadap lainnya. Namun kenyataannya, politik segitiga ini nantinya malah menimbulkan banyak masalah untuk Perdana Menteri.

Selama menjalankan pemerintahannya, ia dihadapkan pada persoalan ketidakcocokannya dengan Presiden Ghulam Ishaq Khan dan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Mirza Aslam Beg. Padahal untuk melanggengkan suatu pemerintahan di negara Pakistan, seorang perdana menteri harus dapat menjalankan hubungan dan kerja sama yang baik dengan Presiden dan militer. Apabila gagal, hal tersebut dapat menyebabkan jatuhnya pemerintahan yang dipimpinnya.

78

Samina Yusman, “the Politics of Dismissal in Pakistan”, Asian Studies Review, Vol 17. No. 1, July 1993 h. 86.

Sebenarnya sejak Benazir Bhutto tampil sebagai pemimpin Pakistan, rongrongan militer sudah terasa. Bahkan ia harus memberikan konsensi tertentu kepada Angkatan Bersenjata, termasuk ikut campurnya militer dalam menentukan anggaran pertahanan keamanan, tahun 1989/1990 misalnya anggaran Angkatan Bersenjata mencapai Rs. 51,77 milyar atau 36,9% dari anggaran tahun 1989/1990. Pemerintahan Benazir Bhutto yang semula ingin meningkatkan anggaran di bidang kesehatan dan pendidikan, namun karena meningkatnya ketegangan dengan India adalah mustahil untuk berdebat demi pengurangan anggaran pertahanan keamanan ketika anggaran pertahanan keamanan tahun 1990/1991 dipresentasikan.

Benazir Bhutto dalam hal apapun merasa enggan untuk memotong terlalu besar pengeluaran untuk militer karena ketakutannya akan meningkatnya campur tangan dan atau terjadinya konflik dengan militer. Bersamaan dengan hal tersebut Angkatan Bersenjata juga ragu-ragu untuk menjatuhkan pemerintahan demokratis karena hal ini pasti akan membuat Amerika memotong anggaran bantuan militernya untuk Pakistan. Oleh karena itu pihak Angkatan Bersenjata masih mempertahankan sumber pendapatan dan pengaruhnya yang paling dibutuhkan, sementara itu menghindarkan campur tangannya di dalam kontroversi politik yang dirasanya paling cocok ditangani oleh kaum politisi sipil.

Meskipun Angkatan Bersenjata waktu itu secara resmi mengakui kedaulatan sipil, tetapi pengaruhnya di dalam memformulasikan kebijakan luar negeri tetap besar. Dalam hal ini, Benazir Bhutto juga harus memberikan konsensi terhadap militer mengenai masalah Afghanistan, di mana ia harus melanjutkan kebijakan Zia ul-Haq dalam soal Afghanistan. Namun akhirnya ia melakukan juga kesalahan dengan memecat Letjen.

Hamid Gul, seorang Kepala Dinas Intellegen yang merupakan salah satu arsitek kebijakan tentang Afghanistan. Hal ini menimbulkan ketidaksukaan militer dan Presiden terhadap Benazir Bhutto.79

Militer semakin tidak senang pada Benazir Bhutto karena telah ikut campur dalam masalah intern militer, dengan tindakannya memperpanjang masa dinas sejumlah pejabat militer yang sudah pensiun. Pimpinan militer menilai hal itu sebagai usaha yang jelas-jelas ingin memecah belah Angkatan Bersenjata, dan menganggap langkah yang ditempuhnya sebagai upaya untuk menarik dukungan perwira yang dipromosokannya itu.80

Hubungan Benazir Bhutto dengan militer semakin memburuk ketika pemerintahannya tidak dapat mengatasi masalah etnis yang muncul kembali sejak tanggal 9 Maret 1989, yaitu konflik antara etnis Muhajir yang merupakan warga imigran India yang berbahasa Urdu melawan Pathan Punjabi yang berasal dari Karachi Utara, akibat MQM memboikot sebuah harian lokal berbahasa Urdu yang sebelumnya menolak meliputi kegiatan Muhajir.81

Kemelut etnis ini memang telah memaksa pemerintah untuk menerapkan larangan ke luar rumah. Para pemimpin etnis yang bentrok pun sebenarnya mengadakan pertemuan untuk membuat strategi bersama guna menghentikan pertumpahan darah. Namun kerusuhan justru kian buruk, bahkan merembet melibatkan etnis Sindh dan melebar ke kota Hyderabad dan kota kecil Sindh. Pertentangan antara etnis Sindh dengan

79

Dhurorudin Mashad, "Pemilu di Pakistan 1990; Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih Kekuasaan", h. 80.

80

Muladi Mughni, “Doktrin Militerisme dan Jihadisme di Pakistan”, artikel diakses pada 12 Agustus 2008 dari, http://klikinter.blogspot.com/2008_02_01_archive.html

81

Sebenarnya hubungan kedua etnis tersebut telah tegang sejak 1986, terutama akibat persaingan lapangan kerja, penjualan obat terlarang dan senjata. Bahkan, pada bentrokan tahun 1986 sekitar 150 orang telah menjadi korban. Dan sampai tahun 1989 korban akibat bentrokan kedua etnis tersebut telah mencapai lebih dari 500 orang. Muladi Mughni, “Doktrin Militerisme dan Jihadisme di Pakistan.”

etnis Muhajir yang telah mendominasi lapangan pekerjaan di propinsi Sindh. Konflik etnis pada masa pemerintahan Benazir Bhutto memuncak karena Benazir tidak memenuhi janjinya terhadap kaum Muhajir untuk antara lain: memberikan pekerjaan pada etnis Muhajir yang menganggur sebagai akibat dari sistem quota yang telah diberlakukan sejak Ali Bhutto; membebaskan para tahanan MQM yang di tahan sejak pemerintahan Zia ul Haq, dan janji Benazir Bhutto untuk membagi kekuasaan secara adil sebagaimana yang telah dijanjkan sewaktu pembentukan koalisi.82

Kendati Angkatan Darat telah melihat kerusuhan ini sebagai persoalan serius, namun anehnya justru Benazir Bhutto terlihat tenang dan melukiskan kerusuhan tersebut hanya sebagai “pemberontakan kecil”. Benazir Bhutto hanya memerintahkan militer untuk mengirimkan kendaraan lapis baja dan memberlakukan jam malam sebagai upaya untuk meredakan konflik etnis tersebut, namun tindakan ini hanya bersifat sementara dan setelah militer pergi ternyata konflik antar etnis berlanjut lagi.83

Sehingga Jenderal Aslam Beg atas inisiatifnya sendiri mengadakan pertemuan dengan beberapa pejabat, termasuk ketua Menteri propinsi Sindh, yang disusul pula dengan pembicaraan Aslam Beg bersama sejumlah perwira di Markas Besar Angkatan Darat di Karachi. Dalam kesempatan itu, Aslam Beg menyebut betapa kerusuhan itu sudah sedemikian parahnya sehingga tidak saja perlu menghukum beberapa pelaku kejahatan, melainkan perlu pula segera diambil suatu prakarsa politik untuk menyelesaikan berupa pengambilan secara langsung kekuasaan di Sindh oleh pemerintah federal dan memberlakukan Undang-Undang Darurat terbatas.

82

Charles H. Kennedy, “Policies of Ethnic Preference in Pakistan”, ASIAN SURVEY, vol. XII, NO. 6, September 1989, hal. 695.

83

Muhammad Farouk, “Pengaruh Militer di Pakistan”, artikel diakses pada 28 meret 2008 dari, http://www.media-indonesia.com/subscribe/login.asp?mcid=

Ternyata Benazir Bhutto mengabaikan usulan Aslam Beg dan malah menuduh militer dengan cara bermaksud untuk kembali berperan dalam politik. Benazir Bhutto takut tindakan ini akan mengandung semacam Undang-Undang Militer yang dapat menimbulkan tindakan intimidasi.84 Akhirnya kerusuhan menjadi semakin parah dan bahkan pada tanggal 1 Mei 1989 pimpinan MQM, Altaf Hussein menarik para menterinya dari pemerintahan Benazir Bhutto dan dengan demikian menandai akhir dari koalisi pemerintahan MQM-PPP.85 Sehingga MQM kemudian berpindah haluan ke Combined Opposition Party (COP).

Masalah utama yang selalu dihadapi oleh propinsi Sindh di bidang keamanan dan ketertiban memang mempunyai dampak yang luas, karena tidak hanya mempengaruhi sitiasi politik di propinsi Sindh itu sendiri, tetapi juga dalam lingkup nasional. Penyebabnya masih bersifat traditional, yaitu pertentangan antar kelompok, suku dan ras. Namun faktor yang paling dominan mempertajam pertentangan itu sehingga mempunyai dampak nasional adalah pertentangan antar partai MQM dengan PPP. Pengikut-pengikut kedua faksi tersebut selalu berbenturan satu sama lainnya, yang mengakibatkan jatuhnya korban dari kedua pihak. MQM dengan didukung oleh IJI, bersama-sama menjadikan masalah keamanan dan ketertiban propinsi Sindh ini sebagai isu nasional untuk kepentingan politiknya.

Jenderal Mirza Aslam Beg berpendapat bahwa masalah keamanan dan ketertiban masyarakat hanya akan dapat diselesaikan secara tuntas, apabila militer diberi wewenang melebihi ketentuan yang tercantum dalam konstitusi. Namun Benazir Bhutto berkeberatan terhadap tuntutan militer tersebut, karena khawatir banyak dari

8484

Muhammad Farouk, “Pengaruh Militer di Pakistan.”

85

pengikut PPP yang terlibat kerusuhan akan dimasukkan dalam tahanan, apalagi pimpinan Angkatan Darat adalah Muhajir. Kalau hal ini sampai terjadi akan merugikan posisi PPP.

Militer Pakistan sebenarnya tidak ingin orang sipil berkuasa di negeri itu. Jika Benazir tampil sebagai Pemimpin, hal itu tidak seluruhnya karena kharisma keluarga Bhutto atau pesona pribadi Benazir Bhutto, tetapi karena militer tidak siap untuk mengambil alih kekuasaan ketika Zia ul-Haq tewas dalam kecelakaan pesawat tanggal 17 Agustus 1988. Aslam Beg yang tampil pada masa transisi itu tidak mampu menghimpun kekuasaan dengan segera, sehingga secara artifisial mekanisme demokrasi sempat berjalan sampai tampilnya Benazir dalam pemilu 16 November 1988. tetapi ketika usaha konsolidasi berjalan dua tahun, militer sudah kembali merasa solid dan mulai merongrong pemerintahan demokratis pimpinan Benazir. Aslam Beg juga pada

akhirnya telah mempengaruhi keputusan Benazir Bhutto untuk mengganti Ketua Menteri propinsi Sindh yaitu Qaim Ali Shah dengan Aftab Shaban Mirani.86

Dari uraian tersebut, terlihat bahwa peranan militer sangat kuat di Pakistan. Benazir pun bisa naik ke posisi puncak pada akhir tahun 1988 tak lepas karena persetujuan para Jenderal Pakistan. Namun ketika dia tidak bisa mengatasi masalah-masalah yang terjadi di dalam negeri Pakistan, maka militer menarik kembali persetujuannya. Militer menganggap pemerintahan sipil di bawah pimpinan Benazir Bhutto telah gagal dalam mengatasi konflik etnis di Pakistan. Bahkan militer kemudian ikut mendeskriditkan PPP dengan tuduhan melakukan koripsi dan penyalahgunaan kekuasaan, sehubungan dengan adanya beberapa kasus mengenai ketidakbecusan kabinetnya serta korupsi dalam pemerintahan Benazir Bhutto. Sebagai contoh, pada bulan

86

Widiyartono R, “Jalan Darah Keluarga Benazir Bhutto Ayah digantung, Dua Adik ditembak

Mati”, data diakses pada 16 Oktober 2008, dari

Desember 1989, Begum Rehan Sarwar, menteri negara urusan peranan wanita meresmikan sebuah pusat pelatihan komputer di Islamabad. Tetapi Benazir kemudian mengatahui bahwa pusat pelatihan tersebut telah bubar hanya dalam waktu 24 jam. Hal tersebut dikarenakan komputer-komputer yang ada di sana ternyata hanya disewa khusus untuk acara pembukaan tersebut. Lalu di bulan yang sama, menteri perdagangan ditemukan telah mengadakan negoisasi kontrak dagang yang sangat menguntungkan dengan sebuah perusahaan Abu Dhabi yang tidak dikenal sebelumnya yang memberi hak monopoli bernilai USD 30 Juta pertahunnya kepada perusahaan ekspor beras Pakistan untuk mengekspor beras ke negara Emirat Arab (UAE). Paling tidak perjanjian ini merupakan penyalahgunaan kewenangan.87

Dari awal pemerintahannya, Benazir Bhutto memang dinilai tidak memilih orang-orang yang tepat dalam anggota kabinet pemerintahannya. Ia hanya mempertahankan Sahebzada Yaqub Khan yang pernah menjabat sebagai menteri luar negeri dari pemerintahan sebelumnya. Tetapi rekan-rekan kabinetnya yang lain tidak mempunyai pengalaman dinas. Walaupun kabinetnya tercatat sebagai salah satu yang terbesar, namun dapat dikatakan bahwa tidak ada politisi yang berbobot dalam kabinet.

Sementara itu, pihak oposisi yang ditulangpunggungi IJI cukup berhasil mengekspor isu yang di lontarkan oleh golongan dan partai-partai agama yang konservatif bahwa seorang wanita tidak dibenarkan memegang pemerintahan. Pemerintaha Benazir Bhutto terlibat pertikaian dengan para Ulama Pakistan yang berpegang teguh pada hukum Syariah dan menunjukan ketidak senangan atas pengangkatan seorang wanita untuk menjadi kepala pemerintahan di negara itu.

87

Tamir Hasan, “Peranan Militer Sangat Kuat di Pakistan”, artikel diakses pada 28 Maret 2008, dari http://beritadotcom.blogspot.com/2007_11_15_archive.html

Meskipun ia telah berusaha keras menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut, ia tetap tidak mampu meredakan penolakan para ulama atas dirinya.

Penolakan para Ulama semakin keras ketika Benazir Bhutto mulai menjauhi Syariah Islam, bahkan ia menyatakan akan membatalkan pengadilan Syariah.88 Kemudian ia juga telah mengeluarkan suatu kebijakan yang sangat ditentang oleh para Ulama dan militer. Benazir Bhutto yang dalam pidato-pidatonya menyatakan dukungannya kepada gerilyawan Mujahiddin sesuai dengan janjinya untuk melanjutkan kebijakan pemerintah sebelumnya, namun kenyataannya Benazir Bhutto tidak lagi mengupayakan kemenangan kaum Mujahiddin lewat pertarungan senjata tetapi mengupayakan suatu penyelesaian politik.

Perubahan kebijakan Pakistan terhadap Afghanistan dapat dilihat dari kasus penggantian Letjen. Hamid Gul selaku Dirjen Badan Intellegen Antar Angtkatan dengan Jenderal Shamsur Rahman Kallu. Padahal Hamid Gul adalah salah seorang arsitek kebijakan Pakistan tentang Afghanistan. Ia dikabarkan cenderung memberi dukungan kuat terhadap kelompok fundamentalis di kalangan kaum Mujahiddin, khususnya faksi yang dipimpin Gulbuddn Hekmatyar.89

Walaupun perubahan kebijakan itu dimaksudkan agar para pengungsi Afghanistan meninggalkan Pakistan guna memenuhi tuntutan warga Pakistan yang merasa terganggu oleh keberadaan lebih dari tiga juta pengungsi Afghanistan di Pakistan. Tetapi kalangan militer dan oposisi, pendukung kuat faksi-faksi garis keras Mujahiddin, tetap tidak bisa menerima alasan tersebut. Menurut mereka, sikap pemerintah Benazir

88

Nurani Soyomukti, “Dua Musuh Bubuyutan Bersaing Lagi”, artikel diakses pada 4 April 2008, dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1989/08/05/SEL/mbm.19890805.SEL21028.id.html

89

Ahmad Jubaedi, “Kaum Fundamentalis di Pakistan”, artikel diakses pada 12 Agustus 2008, dari http://indonesia99.blogspot.com/2007_12_01_archive.html

Bhutto tidak sesuai dengan maksud utama negara Pakistan dalam membantu Mujahiddin Afghanistan, yaitu dalam upaya berdirinya negara Afghanistan yang Islamis di bawah pimpinan Gulbuddin Hekmatyar. Apalagi sikap pemerintah Benazir Bhutto ternyata pada akhirnya hanya untuk menyenangkan pihak Amerika Serikat saja.

Hampir setiap sidang parlemen, pemerintahan Benazir Bhutto terus menerus diboikot oleh pihak oposisi. Bahkan oposisi melancarkan mosi tidak percaya terhadap Perdana Menteri Benazir Bhutto, walau akhirnya tidak berhasil menjatuhkan Benazir. Pengajuan dari mosi tidak percaya ini didahului oleh serangan protes terhadap pemerintahan Benazir Bhutto yang dituduh tidak mempu berprestasi, nepotisme dan melemahkan gerak Islamisasi. COP juga menggunakan fatwa dari para ulama Arab Saudi yang menegaskan lagi bahwa kepemimpinan seorang wanita tidak diperkenankan di sebuah negara Islam. Selain itu, di Pakistan masih ada budaya feodalisme yang menempatkan kedudukan pria lebih tinggi dari wanita.

Hubungan Benazir Bhutto dengan Presiden Ghulam Ishaq Khan juga memburuk ketika Benazir ingin mencabut Amandemen ke-8 produk rezim Zia ul-Haq dengan alasan ingin memurnikan Konstitusi 1973. padahal alasan sebenarnya adalah Benazir khawatir kalau sewaktu-waktu dipecat Presiden karena tidak mampu mengatasi masalah-masalah dalam negeri Pakistan selama pemerintahannya. Pemerintahan PPP ingin mencabut Amandemen ke-8 yang memberikan kekuasaan lebih pada Presiden, sehingga dapat mengancam kedudukan Perdana Menteri. Adanya Amandemen ke-8 dalam kehidupan konstitusi telah mempersempit ruang gerak Benazir Bhutto sebagai kepala pemerintahan sehingga Benazir berusaha untuk menghapusnya. Namun pencabutan tersebut tidak mudah, karena memerlukan konsensus dari Majelis Nasional,

sedangkan PPP saat itu bukanlah mayoritas, apalagi tidak didukung oleh oposisi Benazir bhutto saat itu terlalu yakin pada dukungan massa partainya, PPP dan hal ini merupakan kekeliruannya yang pertama selama masa pemerintahannya. Usia muda dan kekurang pengalamannya, menyebabkan Benazir Bhutto tergelincir berkonfrontasi melawan Presiden dan Kepala Staf Angkatan Darat yang akhirnya malah menyebabkan kejatuhannya.

Hasil pembangunan yang dicapai oleh pemerintah Benazir Bhutto memang tidaklah terlalu mengesankan. Parlemen belum juga membuahkan produk Undang-Udang sejak berkuasanya Benazir Bhutto. Pendukung PPP menuduh bahwa hal tersebut terjadi karena kaum oposisi mempunyai kekuatan dan dukungan yang sangat luar biasa besarnya di Majelis Nasional, namun hal ini tidak juga menjelaskan kenyataan bahwa rancangan peraturan baru belum juga diajukan.

Selain masalah tersebut di atas, juga terdapat beberapa masalah lain, yaitu adanya pertentangan antara pemerintah federal dengan propinsi Punjab, di mana yang menjadi Ketua Menteri adalah Nawaz Sharif, yang juga menjadi ketua IJI. Seperti halnya dengan masalah Sindh, pertentangan ini diperlebar menjadi isu nasional untuk kepentingan IJI. Nawaz Sharif membentuk Bank Daerah Punjab dan mengusulkan untuk membentuk stasiun televisi daerah. Dalam kaitannya dengan dua hal tersebut, ia menentang hak monopoli pemerintah federal. Kepentingan propinsi lain, sehingga seolah-olah sebagai pertentangan antara pusat dengan daerah secara menyeluruh. Misalnya, Ketua menteri propinsi Baluchistan, Nawab Akbar Bugti tergabung dengan Nawaz Sharif dan menuntut seperti yang diinginkan oleh IJI, yaitu antara lain: pemberian otonomi yang lebih luas dan masalah bersidangnya dewan untuk kepentingan umum (Council of

Comman Interst – CCI). CCI adalah suatu badan yang terdiri dari empat ketua menteri propinsi ditambah dengan empat menteri pemerintahan federal, yang digariskan pada Undang-undang 1973, meskipun Undang-Undang tersebut belum pernah disahkan.

Presiden Ghulam Ishak Khan setelah berkonsultasi dengan pimpinan Angkatan Bersenjata Pakistan akhirnya pada tanggal 6 Agustus 1990 mengeluarkan keputusan No. 178, yaitu memberlakukan parlemen dan membekukan kabinet Benazir Bhutto. Adapun alasannya adalah: tidak berfungsinya badan legislatif; pertentangan antara pemerintah pusat dan propinsi; korupsi dan nepotisme; kegagalan menegakkan keamanan dan ketertiban di propinsi Sindh, dan pelanggaran konstitusi. Dengan bubarnya parlemen dan kabinet di tingkat federal, otomatis parlemen dan kabinet propinsi juga membubarkan diri.

Dari uraian tadi terlihat bahwa Presiden Ghulam Ishaq Khan membubarkan kabinet pernah mengajukan mosi tidak percaya dengan tuduhan bahwa pemerintahan Benazir Bhutto korupsi, nepotisme dan tidak becus memerintah . Tetapi mosi yang dikemukakan dalam bulan November 1989 itu tidak memperoleh dukungan mayoritas, sehingga gagal menyingkirkan Benazir Bhutto. Namun, tuduhan yang sama terhadap Benazir Bhutto akhirnya muncul kembali dalam pengumuman Presiden Ghulam Ishaq Khan mengenai pembubaran kabinet Benazir Bhutto dan parlemen.

Jelaslah bahwa kejatuhan pemerintahan Benazir Bhutto bisa dikatakan sebagai kudeta tanpa kekerasan, yang ujung tombaknya adalah Ghulam Ishak Khan tetapi diduga dalangnya adalah militer. Tindakan Ghulam Ishaq Khan untuk memecat pemerintahan Benazir Bhutto yang dinilai sebagai langkah yang berani, boleh jadi karena

adanya tekanan dari pihak militer yang memang sudah berkali-kali merebut kekuasaan di negeri itu.

Dalam dokumen POLITIK BENAZIR BHUTTO (Halaman 56-69)