• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK BENAZIR BHUTTO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POLITIK BENAZIR BHUTTO"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK BENAZIR BHUTTO

(Analisis terhadap Keberhasilan Menjadi Perdana Menteri Pakistan Tahun 1988 dan 1993)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Disusun oleh:

KHOIRUL IMAM NIM: 103033227819

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya memberikan potensi keilmuan dan wawasan kepada penulis. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan, panutan, nabi akhir zaman Muhammad SAW. Alhamdulillah penulis telah menyelesaikan skripsi yang berjudul “POLITIK BENAZIR BHUTTO” (Analisis terhadap Keberhasilan Menjadi Perdana Menteri Pakistan Tahun 1988 dan 1993). Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selanjutnya pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu memperlancar proses penyusunan skripsi ini, antara lain:

1. Keluarga tercinta. Bapak H. Achmad Chotib dan Ibu Hj. Siti Mahwiyah atas segala motivasi, dukungan moril, materil, serta doa restu yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Dan juga kakak-kakak ku tercinta ceu Anis dan a’ Heru

2. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA. Selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Drs. Agus Darmadji, M. Fils. Dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M. Ag. Selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(3)

5. Ibu Dra. Haniah Hanafie, M. Si. Selaku dosen pembimbing atas kesabaran, kritik, dan saran-saran yang diberikan kepada penulis selama menyusun skripsi ini. 6. Seluruh dosen dan staff pengajar pada program studi Pemikiran Politik Islam

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas sega ilmu pengatahuan yang diberikan selama proses belajar.

7. Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Ushuluddin dan Filsafat, dan Perpustakaan CSIS Jakarta. Terima kasih banyak atas pinjaman bukunya.

8. Irmayanti, sosok yang selalu menemani dalam senang dan sedih, dan yang selalu membuat kenangan manis yang tak terlupakan dalam hidup, Semoga kau selalu menjadi ruh penyemangat dalam hidup ku. Entah jodoh ku atau bukan (kita lihat saja nanti he…). Pokoknya Thanks for all.

9. Kawan-kawan prodi Pemikiran Politik Islam, khususnya angkatan 2003. Sahabatku Rizal, Dedi, Burhan, Edi, Subairi, Fajri, Arya, Sigit, Ust Ahmarul Hadi, Yuli, Selly, Rufi’ah, Aniq, Fahmi, Davan, Damar, Hendri, Nabil,Yosep, Anang, Bahrul, Ayip, Arif, Suhadi, Alan dan Bos Rudin (si kantong ajaib), smoga kita semua menjadi orang yang sukses di dunia dan akhirat amien.

10. Sahabat mahasiswa Seperjuangan ku Idung, Kubil, Parto, Boy, Mayat, Udel, Badut, Burex, Kazoy, Karyo, Evi, Lutfi. Semoga kita semua menjadi Muslim yang Moderat, Mukmin yang Demokrat dan Muhsin yang Diplomat.

(4)

Skripsi ini tentu bukanlah sebuah karya yang sempurna dan bebas dari kesalahan. Karena itu, kritik dan saran dari para pembaca untuk perbaikan di masa mendatang sangat penulis nantikan.

Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapa saja, khususnya bagi para pegiat kajian pemikiran pilitik Islam.

Tangerang, 26 Desembe 2008

(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN

KATA PENGANTAR ………... i

DAFTAR ISI ……….. iv

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………... 11

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………... 11

D. Metode Penelitian………. 12

E. Sistematika Penulisan………... 12

BAB II. SEJARAH POLITIK PAKISTAN DAN BIOGRAFI BENAZIR BHUTTO A. Sejarah dan Kondisi Sosial Politik Pakistan…….……….14

B. Biografi Politik Benazir Bhutto……...………. 28

B.1. Riwayat Hidup dan Pendidikan………..28

B.2. Latar Belakang dan Pengalaman Politik………... 30

BAB III. BENAZIR BHUTTO DALAM KANCAH POLITIK A. Keterlibatan dalam Partai Politik………... 35

A. 1. Kematian Zulfikar Ali Bhutto……… 36

A. 2. Kediktatoran Pemerintahan Zia ul-Haq ………. 40

(6)

B. Ikut Pencalonan menjadi Perdana Menteri ………... 44

B. 1. Kemenangan dalam Pemilu 1988………... 44

B. 2. Dua Puluh Bulan di bawah Pemerintahan Benazir Bhutto…... 50

B. 3. Kekalahan dalam Pemilu 1990………... 62

C. Upaya Benazir Bhutto Menggoyahkan Pemerintahan Nawaz Sharif………... 71

C. 1. Mempengaruhi Opini Publik……… 74

C. 2. Menggalang Demonstrasi………. 81

C. 3. Mendesak untuk diadakannya Pemilu………. 85

BAB IV. KEMBALINYA BENAZIR BHUTTO DALAM KEKUASAAN POLITIK TAHUN 1993 A. Konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif……… 89

A 1. Pemecatan Perdana Menteri Nawaz Sharif oleh Presiden Ishaq Khan….. ...90

A. 2. Kontroversi Amandemen ke-8……….. ...91

A. 3. Sikap Benazir Bhutto terhadap konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif………. 96

B. Sikap Politik Militer………. .98

B. 1. Kuatnya pengaruh Militer di Pakistan……….. …99

B. 2. Ketidaksukaan Militer terhadap Pemerintahan Nawaz Sharif…………... 100

C. Keberhasilan Benazir Bhutto Menjadi Perdana Mentri Kedua Kalinya………. 103

C. 1. Terselenggaranya Pemilu Tahun 1993………... 104

(7)

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan………. 117 B. Saran ……….. 123

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Benazir Bhutto pertama kali berhasil menjadi Perdana Menteri Pakistan pada bulan Desember 1988, setelah partai yang dipimpinnya Pakistan People's Party (PPP) memenangkan pemilu 16 November 1988 dengan memperoleh 92 kursi dari 207 kursi yang diperebutkan. sementara saingannya Islamic Democraty Aliance (IDA) / Islami Jamhoori Ittehad (IJI) berhasil memeperoleh 54 kursi dan Muhajir Qoumi Movement (MQM) mendapat 13 kursi.1 meskipun PPP menang, namun kemenangannya bukanlah mayoritas mutlak yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu pemerintahan. sehingga PPP terpaksa berkoalisi dengan MQM yaitu sebuah partai politik yang relatif baru yang pendukungnya terdiri dari masyarakat imigran berbahasa Urdu di propinsi Sindh.

Sebagai seorang wanita pertama yang berhasil meraih posisi Perdana Menteri Pakistan, kepemimpinannya atas pemerintahan Pakistan sebenarnya tetap tak diterima oleh golongan konservatif. Alasannya masih dominannya budaya feodalisme yang menempatkan pria berada diatas wanita. Kalangan konservatif ini termasuk di dalamnya golongan Islamis, yaitu para pemimpin agama yang merupakan produk pendidikan dengan wawasan agama, tetapi memiliki sedikit apresiasi terhadap tantangan-tantangan pembaharuan dan modernitas negara bangsa.2 Mereka menginginkan Pakistan didasarkan pada hukum Islam secara komplit, mengingat alasan didirikannya negara Pakistan adalah keinginan orang muslim India untuk membentuk bangsa Muslim dengan merealisasikan

1

“Sekilas Perjalanan Politik Bhutto”, KOMPAS, 27 Desember 2007. h. 4.

2

(9)

hukum-hukum Islam dalam kehidupan bernegara. Golongan Islamis ini terbagi menjadi dua, yaitu golongan Islam Populer yang mencampurkan tradisi dengan ajaran Islam, dan golongan Islam Sentralis yang ingin menerapkan ajaran dasar Islam, kendati dengan menerima budaya yang tidak bertentangan dengan Islam. Menurut interpretasi mereka, ajaran Islam tidak memperkenankan wanita menjadi pemimpin suatu negara dan atau pemerintahan.

Sedangkan Benazir Bhutto termasuk ke dalam golongan Modernis Sekuler yang berpendidikan dan berpemikiran Barat, namun kurang pendidikan dan pemahaman tentang Islam, terutama dalam hubungannya dengan kepentingan mendefinisikan Pakistan sebagai sebuah negara Islam. Benazir beranggapan bahwa negara tidak perlu didasarkan pada Al-Quran dan Sunah karena apabila negara telah berusaha mewujudkan cita-cita sekulerisme itu bersamaan dengan persamaan hak dan keadilan, maka negara akan dengan sendirinya telah mewujudkan nilai-nilai pokok Islam.3 Antara ketiga golongan tersebut, terjadi pertentangan karena belum ditemukannya konsensus yang jelas yang sesuai dengan Ideologi Islam dan bagaimana aplikasinya dalam program-program dan kebijakan-kebijakan negara. Di sini terlihat bahwa Islam telah menjadi faktor yang sangat menentukan dalam perkembangan politik di Pakistan, sipil atau militer, dan apapun corak politiknya, otoriter dan diktatoris, tidak dapat mengabaikan peranan nilai-nilai dasar Islam.4

Sejak awal memerintah, pemerintahan Benazir Bhutto tidak pernah sepi dari kecaman. Salah satunya disebabkan oleh kegagalan Benazir Bhutto dalam mengatasi

3

Dhurorudin Mashad, "Pemilu di Pakistan 1990; Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih Kekuasaan", Jurnal Ilmu Politik, No. 13 (Jakarta: PT Gramedia, 1983), h. 73.

4

Dhurorudin Mashad, "Pemilu di Pakistan 1990; Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih Kekuasaan”, h. 73.

(10)

kemelut etnis yang berlarut-larut antara etnis Sindh yang merupakan penduduk asli dengan etnis Muhajir yang merupakan kaum pendatang. Konflik etnis pada masa pemerintahan Benazir Bhutto ini memuncak karena ia tidak memenuhi janjinya, untuk antara lain: memberikan pekerjaan pada etnis Muhajir yang menganggur sebagai akibat dari sisitem quota yang telah diberlakukan sejak Ali Bhutto; membebaskan para tahanan pemimpin MQM yang ditahan sejak pemerintahan Zia Ul Haq; dan membagi kekuasaan secara adil sebagaimana yang telah dijanjikan sewaktu pembentukan koalisi.

Tindakan Benazir Bhutto tidak mencerminkan sikap pemimpin Pakistan yang mempunyai penduduk heterogen. Benazir Bhutto sangat mementingkan etnisnya saja dengan memberikan lowongan jabatan-jabatan penting di pemerintahan pada teman-temannya di partai, saudara dan kenalan dekatnya. Kebijakan sosial ekonomi Benazir Bhutto justru memperbesar sistem monopoli dan oligopoli yang dilakukan oleh orang-orang kaya di Pakistan dan menghambat kepentingan ekonomi kelompok Muhajir. Akibatnya MQM keluar dari koalisi dan kemudian konflik terus berlanjut antara etnis Sindh dan etnis Muhajir. Situasi dimanfaatkan oleh IJI, pimpinan Nawaz Sharif, sebagai pihak oposisi untuk menjatuhkan Benazir Bhutto.

Sikap Benazir Bhutto yang begitu tenang tanpa reaksi nyata untuk secepatnya menyelesaikan konflik, tentu saja menimbulkan ketidakpuasan dari kalangan Angkatan Darat. Kelompok ini merasa bertanggung jawab terhadap keselamatan dan ketentraman masyarakat. Bahkan Staf Angkatan Darat Jendral Mirza Aslam Beg, telah mengadakan pembicaraan dengan beberapa pejabat pemerintahan. Mereka menganggap perlunya segera diambil prakarsa politik berupa pengambilalihan secara langsung kekuasaan di Sindh oleh pemerintah federal dan memberlakukan Undang-Undang Darurat terbatas

(11)

untuk menyelesaikan masalah kerusuhan di propinsi Sindh yang sudah begitu sangat memprihatinkan.5

Pemeritah Benazir Bhutto menolak permintaan militer karena Benazir Bhutto takut tindakan ini akan mengundang diberlakukannya semacam Undang-Undang Militer yang dapat menimbulkan tindakan intimidasi. Selain itu Benazir Bhutto juga khawatir militer akan melangkahi kekuasaan sipil di propinsi Sindh. Dan yang paling penting adalah ketakutan Benazir Bhutto akan terlibatnya militer kembali dalam politik di Pakistan.

Sesungguhnya dalam percaturan politik Pakistan dewasa ini dikuasai oleh tiga faktor utama penentu jalannya pemerintahan, yaitu: presiden, militer, dan perdana menteri. Oleh karena itu, siapapun yang menjadi perdana menteri sudah seharusnyalah berusaha menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan hubungan perdana menteri dengan militer dan presiden dapat terjalin dengan serasi. Apabila gagal maka sangatlah munkin terjadi persaingan dan bahkan permusuhan diantara tiga kekuatan sentral ini, yang seringkali berakhir dengan jatuhnya pemerintah. Kondisi ini tampaknya terjadi pada diri Benazir Bhutto yang sejak awal berkuasa, hubungan Benazir Bhutto dengan militer tidak begitu harmonis dan semakin memburuk karena Benazir Bhutto dinilai terlalu ikut campur terhadap masalah intern dalam tubuh militer. Permusuhan ini mulai jelas terlihat pada waktu Benazir Bhutto memecat Letjen. Hamid Gul (seorang Jendral senior yang berpengaruh dan menjadi salah satu arsitek kebijakan tentang Afghanistan) dari jabatannya, pada bulan Agustus 19896 Presiden dan militer tidak suka atas tindakan Benazir Bhutto ini.

5

Sekilas Perjalanan Politik Bhutto”, KOMPAS, 27 Desember 2007. h. 4.

6

(12)

Pertentangan menjadi semakin parah setelah Benazir Bhutto ingin mencabut Amandemen ke-8 produk rezim Zia ul-Haq dengan alasan untuk memurnikan konstitusi 1973. Padahal alasan sebenarnya adalah Benazir Bhutto khawatir kalau sewaktu-waktu dipecat Presiden karena tidak mampu mengatasi konflik etnis yang berkepanjangan. Berlakunya Amandemen ke-8 tentu saja membuat kekhawatiran bagi Benazir Bhutto karena memberikan kekuasaan kepada Presiden untuk menghapuskan atau membatalkan pemerintahan yang terpilih dari hasil pemilu dan memungkinkan Presiden untuk menunjuk Dewan Militer atau pejabat militer untuk menjalankan pemerintahan.7 Keinginan Benazir Bhutto sulit direalisir, karena memerlukan konsensus dari Majelis Nasional. Sementara saat itu PPP bukanlah mayoritas, apalagi ia tidak didukung oleh oposisi.

Kenyataan memeperlihatkan bahwa pemerintahan Benazir Bhutto yang selama dua puluh bulan tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah dalam negeri Pakistan. Seperti kerusuhan etnis, janji-janji yang tidak terpenuhi, serta adanya tuntutan korupsi dan nepotisme. Tindakan nepotisme yang dilakukan Benazir Bhutto telah mengakibatkan telah terjadinya tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh orang-orang dekat Benazir Bhutto. Suaminya, Asif Ali Zardari dan Bapak mertuanya dituduh mencari keuntungan sebagai perantara bagi orang-orang yang ingin memperoleh kontrak-kontrak besar dari pemerintah. Dengan berbagai alasan tersebut, Akhirnya Presiden Ishaq Khan pada tanggal 6 Agustus 1990 mengeluarkan keputusan No. 178, membubarkan parlemen dan membekukan kabinet Benazir Bhutto.8

7

Deepak Tripathi, “Pakistan In Trumoil” artikel diakses pada 22 Desember 2007, dari http//www. danielpinem.wordpress.com/perpustakaan/hubungan-internasional/krisis-politik-baru-di-pakistan/

8

(13)

Setelah Benazir Bhutto jatuh, Presiden Ghulam Ishaq Khan mengangkat saingan Benazir Bhutto di parlemen yaitu Ghulam Mustafa Jatoi sebagai Perdana Menteri untuk memimpin pemerintahan sementara sambil mempersiapkan pemilu 24 Oktober 1990. Dalam pemilu tersebut ternyata IJI pimpinan Nawaz Sharif berhasil memperoleh 106 kursi dari 207 kursi yang diperebutkan parlemen. Sedangkan People's Democratic Alliance (PDA) pimpinan Benazir Bhutto yang merupakan koalisi dari PPP dengan beberapa partai kecil yaitu Tehrik-i -Istiqlal, Tehrik Nifaz Firqah Javariya dan PML Qasim Group, hanya memperoleh 45 kursi dan MQM sebagai kekuatan politik ketiga terbesar hanya memperoleh 15 kursi.9

Nawaz Sharif memang dipercaya oleh sekitar 53 juta pemilih dari 130 juta rakyat untuk memimpin pemerintahan Pakistan. Namun mantan Perdana Menteri Benazir Bhutto tetap muncul dalam kancah politik, kendati hanya sebagai oposisi. Tanggal 18 November 1992 misalnya, PDA gabungan partai-partai oposisi dibawah pimpinan Benazir Bhutto melancarkan demonstran yang berjumlah sekitar tiga puluh sampai empat puluh ribu orang itu semula akan melakukan long march dari Rawalpindi ke gedung parlemen Islamabad, namun dicegah oleh polisi dan para petugas keamanan lainnya.10

Tujuan demonstrasi itu adalah untuk menjatuhkan pemerintahan Pakistan pimpinan Perdana Menteri Nawaz Sharif, yang partainya IJI memenangkan pemilu 24 Oktober 1990. Benazir Bhutto menuduh pemerintahan yang ada tidak sah karena melakukan kecurangan dalam pemilu tersebut. Pemerintahan Nawaz Sharif dituduh pula telah melakukan korupsi dan oleh sebab itu harus mundur. Bahkan, akhirnya muncul pula protes-protes di beberapa kota menuntut mundurnya Nawaz Sharif terutama setelah

9

“Sekilas Perjalanan Politik Bhutto”, KOMPAS, 27 Desember 2007. h. 4

10

Mohammad Guntur Romli, “Oposisi Di Pakistan” artikel diakses tanggal 22 Desember 2007, dari http://hasanpanai.blogspot.com/2007/12/benazhir-tewas-dunia-gempa.html

(14)

Benazir Bhutto melakukan perjalanan politik sepanjang 1600 km dengan kereta api untuk membangkitkan tuntutan pelaksanaan pemilu yang baru.11 Adanya manuver politik pemerintahan care taker dalam upaya mendiskreditkan Benazir Bhutto melalui "pertangungjawaban" (accountability) dengan mengadili dirinya atas tuduhan korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan, mengakibatkan kredibilitas Benazir Bhutto dan tokoh-tokoh PPP merosot tajam. Namun setelah Nawaz Sharif berkuasa ternyata masalah "pertanggungjawaban" (accountability) yang dilancarkan oleh pemerintah care taker belum pernah membuktikan secara kongkrit atas tuduhan berbagai kesalahan, sehingga tidak menutup kemungkinan rakyat kembali percaya kepada dirinya.

Benazir Bhutto cukup tanggap untuk segera memanfaatkan situasi ini dalam upaya merebut kembali simpati rakyat dengan menyebar White Paper yang berisi tuduhan bahwa selama pemilu pemerintah telah melakukan manipulasi yang memungkinkan kelompok Nawaz Sharif menang mutlak.12 Hal tersebut sempat membuat repot kubu Nawaz Sharif.

Benazir Bhutto juga memanfaatkan situasi yang terjadi di Pakistan, dimana terjadi pertentangan antara Nawaz Sharif dan Presiden Ishaq Khan. Diantara mereka timbul ketidak cocokan tentang pengangkatan pejabat-pejabat senior di Angkatan Bersenjata, lembaga Yudikatif dan Pertahanan Sipil. Percekcokan yang paling serius mencuat ketika Kepala Staf Angkatan Darat Jendral Asif Nawaz Janjua, mendadak meninggal dunia. Nawaz Sharif telah berusaha mengusulkan beberapa nama atas pilihannya untuk menggantikan jabatan tersebut. Nama-nama tersebut ditolak oleh Presiden Ghulam Ishaq Khan dan sekutunya diangkatan bersenjata. Presiden akhirnya malah menunjuk Jendral

11

Mohammad Guntur Romli, “Oposisi Di Pakistan”

12

Dhurorudin Mashad, "Pertentangan Segi Tiga: Nawaz Sharif-Ishaq Khan-Benazir Bhutto", Suara Karya, 9 Juli 1993.

(15)

Abdul Waheed kakar, rekan sejawat yang masih satu suku dengan Presiden sebagai Kepala Staf Angkatan Darat yang baru.13

Benazir Bhutto semula sempat melakukan rekonsiliasi dengan Nawaz Sharif sehingga ia ditunjuk sebagai ketua komite Hubungan Luar Negeri. Keduanya berkeinginan menghapus Amandemen ke-8 yang memberikan kekuasaan yang lebih luas kepada Presiden. Dalam rangka menegakkan demokrasi di Pakistan. Namun seiring dengan kian parahnya perseteruan Ishaq Khan-Nawaz Sharif, Benazir Bhutto kemudian malah berbalik berpihak kepada Presiden Ishaq Khan yang semula merupakan musuhnya karena melakukan pemecatan atas dirinya ketika Benazir Bhutto menjadi Perdana Menteri Pakistan. Benazir Bhutto berpihak kepada Presiden Ishaq Khan karena dijanjikan akan diberi jabatan menteri bagi kubu Benazir Bhutto dalam kabinet sementara setelah kejatuhan kabinet Nawaz Sharif, disamping dijanjikan pula akan diselenggarakan pemilu secepatnya.14

Nawaz Sharif kemudian dipecat oleh Presiden Ishaq Khan pada tanggal 18 April 1993, namun ia mengajukan gugatan ke pengadilan. Pada Akirnya Mahkamah Agung dengan perbandingan suara 10 : 1 mengumumkan bahwa tindakan Presiden Ishaq Khan memecat Nawaz Sharif dan Majelis Nasional telah melampaui batas-batas kekuasaannya.15 Dengan demikian Mahkamah Agung membatalkan pemecatan tersebut. setelah itu pereseteruan diantara keduanya terus berlangsung sampai akhirnya Presiden Gulam Ishaq Khan dan Perdana Mentri Nawaz Sharif setuju sama-sama mundur dari jabatannya untuk menyelesaikan krisis politik yang telah berlangsung selama enam bulan.

13

Deepak Tripathi, “Pakistan In Trumoil.”

14

Sharif Al Mujahid, Pakistan History, The Fart East and Australasia 1994, 25 th editions (London: Europa Publications Limited, 1993), h. 802.

15

(16)

Mereka membubarkan parlemen, serta sepakat mengadakan pemilu baru, 6 dan 9 Oktober 1993 untuk membuktikan siapa yang lebih dipercaya rakyat untuk memimpin Pakistan. Kesepakatan ini dicapai setelah Kepala Staf Angkatan Darat Jendral Abdul Waheed Kakar, mengadakan pertemuan dengan kedua pimpinan puncak Pakistan.16 Setelah itu diadakan pemilu baru 6 dan 9 Oktober 1993, yang dimenangkan oleh PPP serta mengantarkan Benazir Bhutto terpilih menjadi Perdana Mentri Pakistan untuk kedua kalinya.

Dengan mengamati kejadian-kejadian di Pakistan, khususnya sejak jatuhnya kekuasaan Benazir Bhutto pada tanggal 6 Agustus 1990 dan kemudian menang kembali dalam pemilu 6 dan 9 Oktober 1993, menimbulkan kesan yang sangat menarik. Dikatakan menarik karena meskipun Benazir Bhutto pernah gagal dalam pemerintahannya pada 1988-1990 dengan berbagai tuduhan negatif sehingga kalah dalam pemilu 1990, namun ternyata rakyat masih memilihnya lagi sebagai Perdana Menteri Pakistan untuk periode 1993-1998.

Dan ketika tanggal 26 November 2007 Benazir Bhutto kembali menyatakan akan mengikuti pemilu di Pakistan yang akan diselenggarakan pada 8 Januari 2008. Namun tragedi penembakan dan bom bunuh diri yang terjadi pada tanggal 27 Desember di Rawalpindi, telah mengenai leher dan dada oleh seorang laki-laki bersenjata yang kemudian meledakkan bom yang menempel di tubuhnya. Benazir Bhutto yang terluka parah sempat di bawa ke Rumah Sakit Umum Rawalpindi. Dan akhirnya Benazir Bhutto meninggal dunia pada pukul 18.16 waktu setempat.17

16

Dhurorudin Mashad."Prospek Penyelesaian Kemelut Politik Pakistan," Republika 24 Juli 1993.

17

(17)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, penulis hanya membahas dan membatasi politik Benazir Bhutto di Pakistan tahun 1988-1993. Adapun mengenai perumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana keterlibatan Benazir Bhutto dalam kancah politik Pakistan? 2. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi keberhasilan Benazir Bhutto meraih

kekuasaan menjadi Perdana Menteri Pakistan Tahun 1988 dan Tahun 1993?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk meneliti:

1. Keterlibatan Benazir Bhutto dalam kancah politik Pakistan

2. Faktor-faktor yang melatarbelakangi keberhasilan Benazir Bhutto meraih kekuasaan menjadi Perdana Menteri Pakistan Tahun 1988 dan Tahun 1993. Dan kegunaannya:

1. Mengenal lebih dekat tokoh Benazir Bhutto sebagai sosok wanita pertama (pada abad modern ini) yang berhasil memelopori kepemimpinan di negara Pakistan.

(18)

2. Dapat memberikan tambahan wawasan bagi para pembaca, khususnya para peminat perpolitikan wilayah Asia Selatan.

3. Pengembangan Ilmu Politik di bidang kepemimpinan atau kekuasaan di negara-negara sedang berkembang khususnya Pakistan.

D. Metode Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan tipe penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang cenderung dan banyak digunakan dalam Ilmu-ilmu Sosial yang berhubungan dengan prilaku, gejala-gejala yang diamati yang tidak selalu berbentuk angka-angka atau koevisien antar variabel dan penelitian lebih sering berbentuk studi kasus.

Tekhnik pengumpulan data yang digunakan, dilakukan dengan mengumpulkan bahan pustaka. Yaitu, buku, media massa, artikel, jurnal dan lainnya yang berhubungan dengan tema bahasan penelitian ini.

Sedangkan tekhnik analisis data menggunakan deskriptif analisis. Yaitu, memaparkan dan menggambarkan serta menganalisa data-data yang diperoleh.

Untuk pedoman penulisan skripsi, penulis mengacu pada buku Pedoman

Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2004-2005.

E. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini menggunakan sistematika sebagai berikut:

(19)

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II Akan dibahas tentang sejarah singkat perpolitikan Pakistan dan biografi Benazir

Bhutto: riwayat hidup, pendidikan, latar belakang dan pengalaman politik.

Bab III Membahas keterlibatan Benazir Bhutto dalam kancah politik Pakistan, yang

didalamnya akan dibahas keterlibatan dalam partai politik: kematian Zulfikar Ali Bhutto, kediktatoran pemerintahan Zia ul-Haq, penerus perjuangan politik Zulfikar Ali Bhutto. Ikut pencalonan menjadi Perdana Menteri: kemenangan dalam Pemilu 1988, Dua Puluh Bulan di bawah Pemerintahan Benazir Bhutto, kekalahan dalam Pemilu 1990. Dan upaya Benazir Bhutto menggoyahkan Pemerintahan Nawaz Sharif: dengan mempengaruhi Opini Publik, menggalang Demonstrasi, dan mendesak untuk diadakannya Pemilu.

Bab IV Membahas Faktor-faktor yang melatarbelakangi keberhasilan Benazir Bhutto

meraih kembali kekuasaannya menjadi Perdana Menteri Pakistan untuk yang kedua kalinya tahun 1993. yang didalamnya membahas konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif: pemecatan Perdana Menteri Nawaz Sharif oleh Presiden Ishaq Khan, kontroversi Amandemen ke-8, Sikap Benazir Bhutto terhadap konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif. Sikap Politik Militer: kuatnya pengaruh Militer di Pakistan, ketidaksukaan Militer terhadap Pemerintahan Nawaz Sharif. Keberhasilan Benazir Bhutto menjadi Perdana Mentri Kedua Kalinya: terselenggaranya Pemilu Tahun 1993 dan Merebut kembali Mahkota Perdana Menteri.

Bab V Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran

(20)

BAB II

SEJARAH POLITIK PAKISTAN DAN BIOGRAFI BENAZIR BHUTTO

Dalam membahas Politik Benazir Bhutto terhadap keberhasilannya menjadi Perdana Menteri Pakistan tahun 1988 dan 1993, pada bab ini penulis sangat perlu rasanya untuk membahas sejarah kondisi sosial politik pakistan, yang mana didalamnya akan di uraikan sejarah berdirinya negara Pakistan sampai dengan masalah-masalah yang terjadi setelah kemerdekaan, seperti masalah pembagian wilayah, belum ditemukannya konsensus mengenai dasar negara yang sesuai dengan Islam, masih adanya budaya feodalisme yang menempatkan pria dominan atas wanita sampai pada masalah etnis, yang semua itu sedikit banyak berpengaruh bagi karir politik Benazir Bhutto.

Selain membahas sejarah politik pakistan akan dibahas pula biografi Benazir Bhutto, yang didalamnya akan diuraikan tentang riwayat hidup, pendidikan dan latarbelakang pengalaman politik yang kesemuanya itu sanagat berpengarauh terhadap langkah-langkah politik Benazir Bhutto kedepan.

A. Sejarah dan Kondisi Sosial Politik Masyarakat Pakistan

Pakistan mencapai kemerdekaan pada tanggal 14 Agustus 194718, sebagai hasil dari usaha kurang lebih seratus juta orang Muslim India di bawah pimpinan Mohammad

18

Pakistan adalah satu-satunya negara muslim yang didirikan atas nama Islam. Negara pakistan memperoleh kemerdekaan dari inggris pada tanggal 14 Agustus 1947, namun pakistan telah dipopulerkan sejak tahun 1933 oleh perkumpulan Mahasiswa Muslim India di Inggris, yang dipimpin oleh Khoudri Rahmat Ali. Menurut satu versi , nama Pakistan adalah singkatan dari Punjab, Afgan, Kashmir, Sind, dan Baluchistan. Akan tetapi Pakistan menurut versi lain dalam bahasa Parsi mengandung arti yaitu: Pak (suci)

(21)

Ali Jinnah. Peristiwa bersejarah tersebut diawali pada pagi hari tanggal 14 Agustus 1947, dengan pengangkatan sumpah Ali Jinnah sebagai Gubernur Jenderal Pakistan yang pertama oleh Lord Mounbatten, yaitu seorang raja muda terakhir dari negara India jajahan Inggris.19 Tiga hari sebelumnya, yaitu pada tanggal 11 Agustus 1947, Ali Jinnah memimpin pertemuan pertama Dewan Konstitusi, sebuah dewan yang beranggotakan kurang dari tujuh puluh orang yang dipercayakan dengan tugas untuk membuat kerangka landasan hukum bagi sebuah negara baru.

Selama minggu-minggu tersebut, Ali Jinnah sebagai Presiden dari Liga Muslim (Muslim League) telah menerima ratusan politikus di kediamannya. Dalam sebuah pertemuan khusus di Dewan Konstitusi, sebutan sebagai “ Quaid-i-Azam atau Pemimpin Besar” dianugrahkan kepada Ali Jinnah.20 Untuk itu hal-hal yang berkaitan dengan masalah Gubernur Jenderal dan kepresidenan diartikan oleh Jinnah sebagai tugas yang sangat mendasar. Ia sebenarnya merasa tidak perlu diperlakukan sebagai penerima kehormatan atas tugas yang telah dilaksanakannya untuk mendirikan sebuah negara baru bagi orang-orang Muslim India. Karena setelah tugas tersebut selesai, Ali Jinnah masih mempunyai tugas untuk menyediakan struktur-struktur politik, ekonomi dan administrasi. Kemampuan yang diperlihatkan Ali Jinnah dalam minggu-minggu di awal kemerdekaan ini sangatlah mengesankan. Tidak saja berdasarkan usianya, yang saat itu hampir 71 tahun, namun karena pada bulan Agustus 1947 itu, penyakit yang selalu dirahasakannya telah bertambah parah. Namun tidak ada yang mengatahui tentang

dan Stan (negara). John L. Esposito, Ensiklopedi Dunia Islam Modern, (New York, Syracuse Press, 1995) h. 227.

19

Shahid Javed Burki, PAKISTAN: The Continuing Search for Nationhood, secound edition (San Francisco: Westview Press, 1993), h. 37.

20

John L. Esposito, Islam dan Politik, Alihbahasa H.M. Joesoef Sou’yb, (Cet: 1, PT Bulan Bintang Jakarta), 1990, h. 156.

(22)

penyakit Ali Jinnah tersebut, termasuk Perdana Menteri Liaquat Ali Khan yang merupakan salah satu teman dekat politiknya. Ali Jinnah mempunyai alasan untuk merahasiakan berita tentang penyakitnya terhadap kawan-kawan politiknya ketika ia pertama kali mengetahuinya pada tahun 1945. Ia khawatir berita tentang penyakitnya dapat memperlambat proses penarikan Inggris dari wilayah India yang telah di prakarsai oleh Lord Mounbatten sesaat setelah kunjungannya.

Lord Mounttabaten mengepalai penarikan tentara Inggris dari wilayah India dengan satu keyakinan bahwa hal tersebut adalah untuk kepentingan orang-orang Hindu dan Muslim untuk tetap menjaga persatuan India. Keyakinan ini didukung oleh Indian National Congress yang merupakan partai dari Gandhi, Nehru dan mayoritas masyarakat Hindu di India.21 Tetapi Ali Jinnah mempunyai pandangan yang berbeda. Ali Jinnah mengatakan:

“Golongan masyarakat itu telah membuka kartunya bahwa Hindustan adalah buat kaum Hindu. Tindakan partai Congress hanyalah berkedok kebangsaan.”22

Ia melanjutkan untuk berargumentasi dengan semangat yang besar yang dipandang oleh para lawan politiknya sebagai karakter yang keras kepala dan tidak mau berkompromi. Ali Jinnah meyakini bahwa orang-orang Muslim di India akan mendapatkan perlakuan yang kurang adil di negara itu, karena mereka hanya terdiri dari kelompok minoritas kecil.

Cita-cita umat Islam untuk mendirikan pemerintahannya sendiri mulai tercapai, ketika pada tanggal 3 Juni 1947, pemerintah Inggris menyetujui dasar pembagian India. Dan akhirnya pada tanggal 14 Agustus 1947, berdirilah negara Pakistan. Dengan

21

Zahir Khan, “Kashmir, 56 Tahun Dibawah Pendudukan India”, artkel diakses pada 9 Oktober 2008 dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=23032

22

(23)

demikian terlihat bahwa usaha Ali Jinnah tidaklah sia-sia dengan lahirnya negara Pakistan. Jinnah sangat berjasa bagi kemerdekaan bangsa Pakistan meskipun tiga belas bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 11 September 1948, ia meninggal dunia akibat penyakit TBC yang dideritanya.23 Namun dengan merdekanya negara Pakistan, bukan berarti tidak terdapat masalah di dalam kelangsungan pemerintahan negara tersebut.

Diawali oleh pertukaran penduduk antara Pakistan dengan India, dimana Pakistan kehilangan 6 Juta orang Hindu namun sebagai gantinya mendapat 8 Juta orang pengungsi Muslim dari India. Para pengungsi ini berasal dari dua kelompok. Kelompok yang paling penting pengaruhnya pada masa awal perkembangan ekonomi dan politik adalah kaum Muslim yang datang dari Delhi, Uttar Pradesh, Madya Pradesh, Bumbay, Gujarat dan Bhopal, Hyderabad dan Junagarh. Arus perpindahan kelompok penduduk yang kedua datang dari Timur Distrik Punjab.24

Mohammad Ali Jinnah mendorong kaum Muslim untuk pindah dari India ke Pakistan, khususnya bagi mereka yang mempunyai keahlian dan keterampilan karena di negara baru Pakistan ini sangat kekurangan tenaga ahli dan terampil dalam jumlah besar.25 Saat itu Pakistan pada pokoknya mempunyai bentuk ekonomi yang didasarkan atas hasil pertanian. Tingkat urbanisasi dan melek hurup masih sangat rendah. Ali Jinnah juga yakin bahwa penduduk asli Pakistan tidak akan mampu menyediakan modal sumber daya manusia yang diperlukan oleh sebuah negara baru. Hal tersebut harus diatasi dengan jalan mendatangkan dari luar. Selaras dengan usahanya itu, Ali Jinnah membujuk kaum

23

Shahid Javed Burki, PAKISTAN: The Continuing Search for Nationhood, h. 38.

24

Shahid Javed Burki, PAKISTAN: The Continuing Search for Nationhood, h. 40.

25

Bahkan di Pakistan justru terjadi perpindahan penduduk Hindu dan Sikh yang kebanyakan adalah wiraswasta dan manager profesional, yang mengakibatkan Punjab semakin hancur ekonominya. Lebih lanjut, pabrik dan industri di Pakistan kurang dari 1/10 industri yang ada di benua tersebut. Pakistan saat itu kekurangan modal dan tenaga ahli untuk mengembangkan industrinya. Sharif Al Mujahid, Pakistan History, The far East and Australasia 1994, h. 794.

(24)

Muslim dari kaum pedagang, kaum bankir, para dokter, pengacara dan pegawai negeri sipil dari propinsi India sebagai kaum minoritas Islam untuk pindah ke Pakistan.

Pidato perdananya yang terkenal di hadapan Dewan Pemilih pada tanggal 11 Agustus 1947 telah diterima oleh sejumlah besar pengikutnya. Dia mengatakan:

“kalian dapat beragama apapun atau dari kasta manapun atau aliran manapun yang tidak mempunyai kaitan dengan urusan kenegaraan…Kita memulai dengan prinsip dasar bahwasanya kita semua adalah penduduk dengan hal yang sama dari sebuah negara…Sekarang saya pikir bahwa kita harus selalu menempatkan hal tersebut di hadapan kita sebagai idealisme dan kalian akan menentukan bahwa dalam perjalanan waktu, kaum Hindu akan berhenti menjadi Hindu dan kaum Muslim akan berhenti menjadi kaum Muslim. Tidak berarti dalam kehidupan beragama karena hal itu merupakan kepercayaan yang paling pribadi dari setiap individu. Namun yang dimaksud adalah di dalam hal berpolitik sebagai penduduk atau sebagai warga sebuah negara.”26

Negara Pakistan yang bangkit sebagai hasil dari perpindahan penduduk secara besar-besaran yang cenderung mempunyai keyakinan beragama yang sama, ternyata jauh melampaui dugaan Ali Jinnah. Seandainya Pakistan tetap mempertahankan sejumlah minoritas kaum beragama di sekitar garis perbatasan, maka rancangan Undang-undangnya harus menampung perbedaan agama yang ada. Oleh karenanya adalah hal yang sangat logis dan masuk akal bagi Ali Jinnah untuk berbicara mengenai masalah politik dan Undang-Undang dengan harapan perbedaan agama dapat berperan bagi sebuah negara yang didirikan berdasarkan agama.

Mayoritas penduduk yang berurbanisasi dari India tertarik untuk berdiam di kota-kota di barat daya Pakistan, kebanyakan di Karachi dan Hyderabad. Karachi adalah kota-kota

26

(25)

kelahiran Mohammad Ali Jinnah dan dipilih sebagai Ibukota Pakistan. Oleh karena kebanyakan orang yang pindah ke Pakistan berdiam di Karachi agar mendapat manfaat dari peluang ekonomi yang sedang dibuka untuk mereka. Namun karena tidak semuanya dapat tertampung di Karachi, maka sebagian dari mereka bergerak menuju ke Hyderabad, Sukkur dan kota-kota lainnya. Pada tahun 1951 saat Pakistan mengadakan sensus yang pertama, pengungsi tercatat sebanyak 57% dari seluruh penduduk Karachi, 65% di kota Hyderabad dan 55% di kota Sukkur. Secara keseluruhan para penduduk yang pindah dari India tahun 1951 tercatat 46% dari jumlah penduduk campuran di kota besar di Pakistan.27 Setelah pisahnya Pakistan dan India, ternyata negara Muslim ini mempunyai masalah yang berkaitan dengan faktor etnis dan wilayah.

Pada mulanya Pakistan dibagi menjadi dua wilayah yang berlainan, yaitu Pakistan Timur (Propinsi Bengal Timur) dan Pakistan Barat (meliputi Propinsi Punjab, Sindh, NWFP dan Baluchistan). Pakistan Timur luasnya hanya 1/7 dari luas seluruh wilayah Pakistan dan berpenduduk 4/7 dari jumlah seluruh penduduk Pakistan. Sedangkan Pakistan Barat yang luasnya 6/7 dari seluruh wilayah Pakistan namun hanya mempunyai 3/7 dari seluruh jumlah penduduk Pakistan. Selain itu, kedua wilayah Pakistan tersebut dipisahkan oleh jarak sekitar 1600 kilometer.28

Secara umum Pakistan didominasi oleh dua kelompok budaya yang berbeda satu dengan yang lainnya, yaitu Bengali dan Patham. Bengali di Pakistan Timur dan Pathan di Barat Punjab dan Sindhi yang juga merupakan budaya di Pakistan Barat merupakan kelompok budaya yang lain, namun tidak sekuat dua budaya yang terdahulu. Bahasa Bengali digunakan oleh hampir semua orang di Pakistan Timur sedangkan bahasa

27

Shahid Javed Burki, PAKISTAN: The Continuing Search for Nationhood, h. 42.

28

(26)

Punjabi dan Sindh tidak digunakan oleh semua orang di Pakistan Barat. Pakistan Barat budayanya lebih dekat ke Timur Tengah, kecuali Punjab yang dipengaruhi oleh budaya Hindu. Sedangkan Pakistan Timur budayanya lebih dekat ke India.

Ketidak senangan Pakistan Timur timbul ketika pada tahun 1952, pemerintah pusat mengumumkan bahwa bahasa Urdu akan menjadi bahasa resmi Pakistan. Demonstrasi mahasiswa seluruh Pakistan Timur meledak pada Februari 1952. dan dalam kerusuhan tersebut beberapa orang meninggal dan terluka ketika pemerintah pusat memadamkan demonstrasi tersebut pada tanggal 21 Februari 1952. Tanggal tersebut dijadikan “Shaheed Day” (Martyrs) bagi Pakistan Timur. Peristiwa tersebut mempunyai arti politis yang luas karena dengan adanya peristiwa tersebut, Pakistan Timur kemudian melontarkan isu bahwa masalah bahasa merupaka wujud dominasi Pakistan Barat terhadap Pakistan Timur.29

Ketidak senangan Pakistan Timur terhadap Pakistan Barat juga terlihat dalam bidang ekonomi. Bagi Pakistan Barat, Pakistan Timur merupakan sumber bahan mentah yang murah yang diperlukan bagi industri yang berpusat di barat terutama di Punjab dan Sindh, disamping ia juga merupakan sumber bahan mentah untuk ekspor. Salah satu sumber ekspor yang terbesar bagi Pakistan adalah jute yang dihasilkan oleh Pakistan Timur. Namun untuk mengekspornya harus melalui suatu proses yang dilakukan oleh the State Bank of Pakistan. Bank inilah yang mengatur alokasi impor yang pembayarannya dilakukan dari hasil jute tersebut dan alokasi impor tersebut ditentukan oleh Pakistan Barat. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa prioritas adalah untuk kepentingan Pakistan

29

Isbodroini Suyanto, “Pakistan yang terkoyak”, Seminar Nasional XI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia), Manado, September 1993, h. 15-16.

(27)

Barat.30 Pada tahun 1959-1960 income per kapita di Pakistan Barat 30% lebih besar dari Pakistan Timur, lima tahun kemudian meningkat menjadi 40% dan tahun 1969-1970 menjadi 60%.31 Sehingga dapat dikatakan pula bahwa Pakistan Barat telah mengeksploitasi Pakistan Timur. Padahal Pakistan Timur adalah penghasil bahan mentah yang sangat diperlukan bagi perekonomian Pakistan.

Selain itu pula, timbul konflik antara etnis Punjabi dan etnis Bengali, dimana etnis Punjabi telah mendominasi birokrasi (civil service) dan militer. Padahal etnis Bengali berharap bahwa mereka akan mendapat tempat di birokrasi dengan jabatan-jabatan yang berarti di masa yang akan datang. Namun ternyata tidaklah demikian, bahkan dalam militerpun, dominasi etnis punjabi sudah demikian kokohnya.

Ketidak seimbangan antara luas wilayah dengan jumlah penduduknya di Pakistan Timur dibandingkan dengan Pakistan Barat, kurang lancarnya komunikasi antara Pakistan Timur dengan pemerintahan pusat yang berada di Pakistan Barat, terdapatnya diskriminasi ekonomi dan politik antara Pakistan Barat dengan Pakistan Timur, adanya pertentangan etnis Punjabi dan etnis Bengali dan ketidakadilan pembagian hasil pembangunan, menyebabkan Pakistan Timur dengan bantuan dari India pada akhirnya memisahkan diri menjadi negara Bangladesh pada tahun 1971.32

Setelah Pakistan Timur melepaskan diri menjadi negara Bangladesh, Pakistan tinggal terdiri atas lima etnis utama, yaitu etnis Baluch, etnis Punjabi, etnis Sindh, etnis Pathan dan etnis Muhajir. Dari kelima etnis yang ada di Pakistan, dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok “pendatang baru” dan kelompok “penduduk asli”

30

Isbodroini Suryanto, “Pakistan yang terkoyak”, h. 19.

31

Isbodroini Suryanto, “Pakistan yang terkoyak”, h. 20.

32

”Perang Kemerdekaan Bangladesh”, data diakses pada 11 November 2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Kemerdekaan_Bangladesh

(28)

yang dimaksud dengan pendatang baru adalah etnis Muhajir yang datang dari India setelah Pakistan memisahkan diri dari India. Sedangkan kelompok penduduk asli terdiri dari etnis Punjabi, Pathan, Sindh dan Baluch yang sudah ratusan tahun tinggal menetap di Pakistan.

Penduduk Pakistan hingga Januari 1993, diperkirakan berjumlah 120, 84 juta jiwa, terdiri dari 63, 441 juta pria dan 57, 399 juta wanita. Mayoritas penduduk (82, 77 juta jiwa) tinggal di wilayah pedesaan dan selebihnya (38, 065 juta jiwa) tinggal di daerah perkotaan. 40 juta rakyat Pakistan hidup di bawah garis kemiskinan dan 65% dari penduduk Pakistan masih buta huruf.33 Banyaknya jumlah penduduk Pakistan yang masih buta huruf, menggambarkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Pakistan juga masih rendah, terutama pendidikan bagi kaum wanita. Sehingga sampai saat ini masih ada yang beranggapan bahwa pria kedudukannya lebih tinggi dari wanita dan cenderung memandang wanita hanyalah sebagai pengurus rumah tangga. Anggapan tersebut didukung pula oleh sebagian ulama Pakistan yang mengatakan bahwa dalam ajaran agama Islam, wanita tidak diperkenankan menjadi Imam dalam sholat bersama dimana ada makmum laki-laki atau dengan kata lain seorang wanita tidak boleh menjadi pimpinan bagi laki-laki. Hal ini tentu saja menyebabkan kaum wanita di Pakistan menjadi jauh tertinggal dibandingkan kaum prianya, dan kondisi demikian akan berpengaruh pula terhadap pemilihan pimpinan pemerintahan.

Wilayah Pakistan secara administratif dibagi ke dalam 4 propinsi sebagai peninggalan masa penjajahan Inggris, yang berdasarkan etnis-etnis penduduk asli Pakistan, yaitu: propinsi Punjab, propinsi Baluchistan, propinsi Sindh dan propinsi North West Frontier Pathan (propinsi Pathan). Keempat propinsi ini mempunyai hak-hak

33

(29)

khusus yang cukup besar bagi pemerintahan propinsi. Hak-hak istimewa ini tentu saja diharapkan oleh etnis Muhajir sebagai etnis pendatang. Karena mereka banyak berada di propinsi Sindh, tepatnya di wilayah Karachi dan Hyderabad, mereka mengharapkan agar wilayah Karachi dan Hyderabad menjadi propinsi tersendiri.34

Antara empat propinsi ini masing-masing juga mempunyai bahasa yang berbeda etnis Sindh berbahasa Sindhi, etnis Punjabi berbahasa Punjabi, etnis Baluch berbahasa Baluchis dan etnis Pathan berbahasa Putshu serta etnis Muhajir yang tinggal di propinsi Sindh berbahasa Urdu. Meskipun demikian bahasa Urdu dan Inggris dapat menjadi bahasa pengantar bagi komunikasi antara mereka.

Fanatisme kesukuan dengan adanya ciri khusus dari masing-masing etnis yang berlainan masih mencuat di Pakistan. Masing-masing etnis berpendirian bahwa etnisnyalah yang terbaik dan ini memunculkan persaingan yang tidak sehat antara mereka. Kondisi in ternyata berpengaruh pula dalam kehidupan politik, termasuk di dalamnya semangat untuk bergabung ke dalam suatu partai yang dapat mewakili kelompok etnisnya.

Etnis Pathan yang dominan kedua dalam militer dan birokrasi mempunyai kesadaran etnis yang besar, dengan menyebut budaya mereka sebagai Pakhtua Wali. Mereka menyebut dirinya sebagai patriot sejati yang memegang kehormatan, keramah-tamahan dan berjiwa petualang dan mereka bahkan sempat memunculkan suatu keinginan untuk mendirikan negara sendiri, Pakhtunistan, yang meliputi wilayah NWFP dan sebagian Baluchistan yang berbatasan dengan wilayah Afghanistan. Wilayah ini

34

Daerah Karachi dan Hyderabad merupakn daerah yang subur dan memiliki banyak air, daerah tersebut berhasil dikembangkan oleh orang-orang Muhajir sebagai daerah industri yang sangat membutuhkan banyak air, kompasinteraktif, “Suku bangsa di Bangladesh", artikel diakses pada 11 November 2008 dari http://id.kompasinteraktif.org/wiki/Kategori:Suku_bangsa_di_Bangladesh

(30)

merupakn basis utama dari ANP (Awami National Party), yang di bentuk oleh Khan Abdul Ghafar Khan pada tahun 1957 dan menjadi partai yang kuat di propinsi NWFP dan Baluchistan. Dalam pemilu 1970, partai tersebut bergabung dengan partai Jamiat ul Ulama i Islami (JUI) dan dapat memenangkan pemilu di propinsi serta membentuk pemerintahan di NWFP di bawah pimpinan Khan Abdul Wali Khan, anak dari Khan Abdul Ghafar Khan.35

Orang-orang punjabi menganggap dirinya sebagai ahli waris tradisi peperangan, tentara yang baik, administrator yang efisien dan Muslim yang taat. Etnis Punjabi terlihat mendominasi etnis lainnya di Pakistan, hal ini dapat diketahui dari jumlah penduduk Pakistan yang ternyata 60% dari seluruh penduduk Pakistan adalah etnis Punjabi. Selain itu keanggotaan birokrasi sipil dan militer dikuasai oleh etnis Punjabi dan propinsi Punjab jika dibandingkan dengan propinsi lainnya memang lebih kaya dan lebih maju serta merupakan pusat industri Pakistan. Keadaan tersebut menimbulkan perasaan superior pada etnis Punjabi yang jumlahnya jauh lebih besar dari etnis-etnis lainnya sehingga mereka merasa bahwa dirinya lebih layak untuk memerintah Pakistan.36

Sedangkan Baluchistan (yang luasnya sekitar 40% dari seluruh wilayah Pakistan) juga dengan identitas kewilayahan atau kesukuannya punya aliansi politik yang berbeda. Baluchistan adalah propinsi terluas namun hanya dihuni 5% dari total penduduk Pakistan dan cenderung pro-ANP. Namun sebagian besar tinggal di Karachi, propinsi Sindh.

35

Craig Baxter, Yogendra K. Malik, Charles H. Kennedy, and Robert C. Oberst, Government and Politics in South in Asia, secound edition (Boulder, San Franscisco, Oxford: Westview Press, 1991), h. 182-183.

36

(31)

Kaum Baluch yang tinggal di Baluchistan hanya terkonsentrasi terutama di distrik kalat dan di perbatasan Baluchistan-Iran37

Sindh adalah sutu-satunya propinsi, dimana PPP mempunyai dukungan mayoritas di Majelis Propinsi Sindh. Namun bersamaan dengan itu Sindh adalah propinsi yang memusingkan mengenai masalah keamanan dalam negerinya. Suhu politik yang tinggi berpangkal pada keadaan etnis yang terbagi-bagi antara penduduk asli suku Sindh dengan penduduk pendatang, khususnya kaum Muhajir yang mayoritas berdiam di kota Karachi.

Etnis Muhajir yang karena keuletan dan pendidikannya, dapat hidup lebih baik secara ekonomis daripada penduduk aslinya, etnis Sindh. Orang Muhajir banyak menguasai lapangan pekerjaan di Sindh. Keadaan ini membuat perasaan tidak suka dan tidak puas etnis Sindh terhadap etnis Muhajir sehingga melahirkan kecemburuan sosial. Di lain pihak etnis Muhajir sering diperlakukan sebagai warga negara “kelas dua” oleh etnis Sindh dan pemerintah propinsi Sindh.38

Perseteruan kaum Sindh sebagai penduduk asli dengan kaum Muhajir sejak 1947 hingga kini hampir memenuhi catatan sejarah Pakistan. Kaum Muhajir adalah tulang punggung pembangunan perdagangan di kota pelabuhan Karachi. Mereka menguasai industri, pendidikan, dan sumber-sumber lainnya, yang tingkatnya di atas rata-rata kaum asli, Sindh.39 Kondisi tersebut akhirnya menumbuhkan kecemburuan sosial kaum Sindh terhadap kaum Muhajir. Mereka memandang muhajir telah mengambil hak milik suku Sindh. Kaum Muhajir ini secara politis bergabung ke dalam MQM (Muhajir Qoumi

37

Dhurorudin Mashad, “Otonomi dan Pembangunan Daerah, Antara Otonomi dan Instabilitas: Delima Dalam Politik Pakistan”, Seminar Nasional XIII (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia), Bangkinang, Riau, 1-3 November, 1995, h. 9.

38

Craig Baxter, Government and Politics in South in Asia, h. 187.

39

Dhurorudin Mashad, “Otonomi dan Pembangunan Daerah, Antara Otonomi dan Instabilitas: Delima Dalam Politik Pakistan”, h. 10.

(32)

Movement), yang pada dua dekade terakhir merupakan partai politik ketiga terbesar di Pakistan.

Dengan adanya primordialisme sempit terutama didasarkan pada semangat etnisitas akhirnya menghasilkan suatu pola politik terkotak-kotak antara satu propinsi dengan propinsi lainnya. Pola primordialisme sempit demikian jelas sangat mengancam stabilitas bahkan persatuan nasional. Sementara itu, partai politik yang diharapkan dapat menjadi sarana pemersatu bangsa, ternyata akhirnya tersesat pula ke dalam semangat primordialisme ini. Di Pakistan, hampir “tidak ada” partai politik yang bersifat nasional dan dapat mengatasi semua perbedaan suku, melainkan hampir semua telah terkontaminasi semangat etnisitas. Misalnya, masyarakat Sindh cenderung menjadi pendukung PPP (Pakistan People’s Party) dengan pimpinan yang berasal dari Sindh sehingga dianggap lebih mewakili “prestise” suku Sindh. Orang Punjab cenderung memilih partai yang dipimpin oleh orang Punjab dan Muhajir cenderung memilih MQM sebagai partainya kaum Muhajir.40

Selain masalah etnis, masalah agama dan politik ternyata juga menjadi masalah penting dalam negara. Pakistan didirikan atas kesamaan agama dan perjuangan untuk memperoleh kedaulatan yang disemangati oleh ajaran Islam. Dengan demikian, timbul keinginan masyarakat Pakistan untuk menjadikan Pakistan sebagai negara Islam.41 Namun setelah Pakistan berdiri sebagai suatu negara yang berdaulat, belum dicapai kesepakatan mengenai apakah negara Muslim itu harus menjadi suatu negara yang

40

Boentarto, “Martir Demokrasi Pakistan Benazir Bhutto (1953-2007),” artikel diakses pada 11 November 2008, dari http://www.tokohindonesia.com/aneka/tokohdunia/benazir-bhutto/index.shtml

41

Negara Islam ialah suatu negara ketuhanan, di mana firman Tuhan menjadi dasarnya, dan suara rakyat (musyawarah) berkuasa. Dengan tegas dapat dikatakan bahwa firman Tuhan dan ajran Nabi bergabung dengan suara rakyat, menjadi kekuasaan yang tertinggi di dalam negara, Zainal Abidin Ahmad, Konsep Politik dan Ideologi Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 69.

(33)

berdasarkan hukum Islam dan diperintah oleh para pemimpin agama ataukah mengambil sistem pemerintahan sekuler seperti halnya dengan India.

Akhirnya terdapat dualisme hubungan antara nasionalisme dan agama. Kalangan konserfatif yang termasuk di dalamnya golongan Islamis menginginkan Pakistan didasarkan pada hukum Islam secara komplit, mengingat alasan didirikannya negara Pakistan adalah keinginan Muslim India untuk membentuk bangsa Muslim dengan merealisasikan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bernegara. Di lain pihak, golongan modernis sekuler berpandangan Islam hanya sebagai sumber nasionalisme belaka sehingga tidak perlu mendasarkan negara pada Al-Quran dan Sunnah. Karena apabila negara telah berusaha mewujudkan cita-cita sekulerisme itu bersamaan dengan hak dan keadilan maka negara akan dengan sendirinya telah mewujudkan nilai-nilai pokok Islam.42

Dalam pelaksanaannya, setiap pemerintahan mempunyai persepsi sendiri mengenai bentuk suatu negara Islam. Ali Bhutto misalnya mempersepsikan sosialisme Islam sebagai wujud dari negara Islam. Dan ternyata kata Islam hanya digunakan Ali Bhutto sebagai upaya legitimasi pemerintahan sosialisme gaya baratnya.43 Sementara itu, Zia ul-Haq yang mempersepsikan islamisasi sebagai wujud dari negara Islam untuk melaksanakan pemurnian Islam ternyata juga tidak dapat melaksanakan sepenuhnya pemurnian Islam itu.44

Dengan belum ditemukannya konsensus yang jelas yang sesuai dengan ideologi Islam dan bagaimana aplikasinya dalam program-program dan kebijakan-kebijakan

42

Dhurorudin Mashad, “Pemilu di Pakistan 1990: Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih Kekuasaan”, Jurnal Ilmu Politik 13 (Jakarta: PT Gramedia, 1993), h. 73.

43

Riaz Hassan, Islam dari Konservatisme sampai Fundamentalisme, terj. Dewi Haryani (Jakarta: Rajawali Press, 1985), h. 75.

44

(34)

negara, telah menempatkan Islam sebagai faktor yang sangat menentukan dalam perkembangan politik di Pakistan. Pihak manapun yang akan memerintah Pakistan, sipil atau militer, dan apapun corak politiknya, otoriter dan diktatoris atau demokratis, tidak dapat mengabaikan peranan Islam.45 “Islam” dipakai pemerintah untuk melegitimasi kekuasaannya. Namun bersamaan dengan hal itu, “Islam” pun dimanfaatkan oleh pihak oposisi untuk menjatuhkan penguasa.

Ketika pemerintahan sipil termasuk partai-partai politik dan birokrasi tidak mampu mengatasi masalah-masalah tersebut, baik yang dilatar belakangi oleh konflik etnis maupun isu agama, akhirnya militer pun seringkali tampil ke kancah politik untuk mengambil alih kekuasaan dengan alasan menyelamatkan negara.

B. Biografi Politik Benazir Bhutto

B.1. Riwayat Hidup dan Pendidikan

Benazir (dalam bahasa Pakistan berarti: tak ada duanya) dilahirkan di Karachi 21 Juni 1953 dan meninggal kamis, 27 Desember 2007 dalam serangan tembakan dan bom bunuh diri di Rawalpindi.46 Benazir Bhutto Dilahirkan dari pasangan Ali Bhutto dengan istri keduanya Begum Nusrat. Benazir dikenal dunia sebagai politisi Pakistan yang menjadi perempuan pertama yang berhasil memimpin sebuah negara yang berpenduduk mayoritas Islam dalam sejarah dunia di masa pasca-kolonial. Ia terpilih dua kali sebagai Perdana Menteri Pakistan yaitu pada periode 1988-1990 dan 1993-1996.47 Ia dibesarkan dalam lingkungan masyarakat yang mayoritas masih buta huruf dan feodal yang masih

45

Dhurorudin Mashad, “Pemilu di Pakistan 1990: Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih Kekuasaan”, h.73.

46

Zaenal Ali, Tragedi Benazir Bhutto (Yogyakarta: Narasi, 2008), h. 36.

47

(35)

cenderung memandang wanita sejenis perabot keluarga, dimana laki-laki keluar rumah mencari nafkah dan wanita cukup mengurus rumah tangga. Pembagian kerja demikian oleh masyarakat Pakistan dipercaya sebagai telah diatur oleh alam secara luhur dan adil, dan oleh karena itu harus dipertahankan.48

Kepercayaan demikian lebih diperkuat oleh interpretasi sebagian Ulama Pakistan yang 97% penduduknya beragama Islam, bahwa agama Islam tidak mengijinkan pria menjadikan wanita sebagai Imam dalam shalat berjamaah (bersama). Sehingga sebagai

konsekuensi kiasnya, seorang wanita tak diperkenankan menjadi pemimpin, termasuk dalam pemerintahan. Karakteristik masyarakat feodal (dengan masyarakat didomonasi kaum pria) ini akhirnya menyebabkan terhambatnya mobilitas hidup dikalangan wanita. Wanita cenderung tertinggal dalam banyak hal, termasuk bidang pendidikan.

Namun, justru dalam situasi demikian ternyata Benazir Bhutto berhasil memperlihatkan perbedaan mendasar dalam latar belakang kehidupannya. Benazir mengalami proses Sosialisasi, Internalisasi, dan Enkulturisasi49 secara lebih menguntungkan dibanding umumnya wanita Pakistan. Nilai-nilai yang tertanam dalam diri Benazir ini, baik yang diperoleh karena usaha aktif lewat bangku sekolah maupun dari berbagai pengalaman hidup yang ia alami sangat berpengaruh dalam membentuk

48

Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam (Jakarta: Pustaka CIDESINDO, 1996), h. 7.

49Sosialisasi

adalah proses pengajaran penamaan sikap terhadap seseorang tentang bagaimana seseorang seharusnya berinteraksi dengan orang lain. Internalisasi adalah proses pengajaran dari penanaman sikap terhadap orang lain. Tentang bagaimana cara seseorang mengemukakan perasaan / isi hati, baik rasa cinta, benci suka maupun duka. Sedang Enkulturisasi adalah proses pengajaran dan penanaman sikap terhadap seseorang tentang bagaimana seseorang menyesuaikan diri terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang dianut masyarakat. Lebih jelas lihat Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 8.

(36)

watak kepribadian baik sebagai seorang individu maupun sebagai anggota masyarakat serta membedakannya dengan kebanyakan wanita Pakistan.

Berbeda dengan mayoritas rakyat Pakistan yang hidup dalam kemiskinan, sebagai anak Ali Bhutto dengan latar belakang keluarga tuan tanah yang kaya kehidupan Benazir tak pernah kekurangan materi. Apalagi Ali Bhutto pun adalah pejabat tinggi yang luas pergaulan dan pengalamannya, yang oleh sebab itu dia punya sikap berbeda dari umumnya keluarga Pakistan dalam urusan pendidikan anak-anaknya. Bhutto yang dikenal berpandangan cenderung sekuler bersikap sangat moderat dalam mendidik anaknya. Bahkan walaupun berasal dari keluarga Muslim, Benazir diperkenankan menamatkan pendidikan di sekolah-sekolah Katolik.

Dimasa kecil dan remajanya, Benazir belajar di lady Jennings Nursery School dan sekolah perempuan Jesus and Mary di Karachi, Pakistan. Seterusnya di Rawalpindi Presantation Convent. Ia lulus O-level ketika berumur 15 tahun. Begitu setelah tamat sekolah menengahnya Benazir telah dikirim ke Amerika untuk melanjutkan pendidikannya di Radcliffe College, sekolah katolik khusus wanita di bawah bendera Harvard University. Di Amerika dalam waktu relarif singkat ternyata Benazir sudah mampu menemukan pribadinya dalam menghadapi budaya Barat yang sangat berbeda dari budaya Pakistan. Sehingga ia segera dapat aktif terlibat dalam berbagai kegiatan, termasuk ikut berpartisipasi dalam demonstrasi anti perang Vietnam.50

Benazir lulus dari Harvard University pada tahun 1973 dan melanjutkan kuliah di Oxford University di Inggris dan lulus tahun 1977. Dikampusnya Benazir dikenal sebagai orator ulung, bahkan pada tahun 1976 Benazir terpilih menjadi pemimpin Oxford Union, sebuah kelompok diskusi di kampus Oxford dan ia menjadi perempuan Asia

50

(37)

pertama yang memimpin kelompok elit tersebut sehingga langsung menarik perhatian media di seluruh dunia.51

b. 2. Latar Belakang dan Pengalaman Politik

Dari latar belakang sosial-budaya dan pendidikan tergambar jelas bahwa jiwa Benazir mengalami percampuran (akulturasi) budaya antara nilai-nilai Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan dengan nilai-nilai sekuler Barat, antara nilai-nilai feodal masyarakat Pakistan dengan nilai-nilai kebebasan Barat. Akulturasi demikian akhirnya membentuk Benazir pada suatu pribadi “mendua” dalam arti tak mempunyai ketertarikan kuat terhadap suatu nilai tertentu, baik terhadap Islam, adat-istiadat Pakistan, maupun nilai-nilai sekuler Barat. Dalam kehidupannya Benazir pun cenderung berusaha “mengawinkan” berbagai nilai yang telah tersosialisasi, terinternalisasi dan terenkulturisasi dalam dirinya itu.52

Benazir sebenarnya telah mulai kenal dunia politik sejak ia masih “kanak-kanak”,hal ini dimungkinkan mengingat ayahnya, Ali Bhutto, sudah menjabat pos-pos penting di pemerintahan Pakistan mulai dari Menteri Luar Negeri, Ketua Delegasi Pakistan di PBB, dan akhirnya sebagai Perdana Menterti tetkala Benazir masih kecil.

Sedari kecil Benazir memang telah dipersiapkan Ali Bhutto untuk terjun ke dunia politik. Terbukti setelah Ali Bhutto berkuasa pada tahun 1970 segera membina putri sulungnya untuk melanjutkan aspirasi politiknya. Untuk itu Benazir segera dikirim ke Harvad (AS) dan selanjutnya ke Oxford (Inggris) untuk membina ilmu pengatahuan yang berkaitan dengan soal-soal pemerintahan.

51

Zaenal Ali, Tragedi Benazir Bhutto, h. 56.

52

(38)

Kendati demikian waktu itu Benazir sebenarnya tak cukup tertarik pada dunia politik praktis, meskipun di kampus dia telah dikenal sebagai orator ulung dan cerdas, sehingga cukup potensial untuk terjun dalam politik. Bahkan, tetkala pulang ke Pakistan pada pertengahan 1977 pun Benazir masih menyatakan:

“Tapi aku bukanlah seorang aktifis politik…aku hanya tertarik pada masalah-masalah internasional tanpa melibatkan unsur politik dalam kehidupanku.”53

Dengan kata lain waktu itu Benazir belum berniat terjun ke dunia politik kendati sang ayah, Ali Bhutto, sudah mempersiapkan Benazir untuk dunia tersebut. Hal demikian terefleksi dari tindakkan-tindakkan Ali Bhutto, misalnya, pada usia 18 tahun oleh sang ayah Benazir diikut sertakan dalam perjalanan bersejarah ke Simla, India, dimana Bhutto dan Ghandi menandatangani perjanjian Simla untuk mengakhiri krisis Bangladesh. Bahkan tetkala berusia 25 tahun Benazir diangkatnya menjadi anggota komite sentral Partai Rakyat Pakistan.

Setelah ayahnya dieksekusi pada 1979 oleh rezim militer Zia ul-Haq, Benazir secara tidak resmi menjadi pemimpin sementara Partai Rakyat Pakistan. Namun ia dikenai penahanan rumah pada 1979-1984. Sejak tahun 1984 hingga 1986 ia bahkan diasingkan walau kemudian bisa kembali ke Pakistan dan segera menjadi tokoh penting yang memposisikan diri sebagai oposisi Presiden Zia ul-Haq.54

Pada 8 Desember 1987, Benazir menikah dengan Asif Ali Zardari di Karachi. Mereka mendapat tiga anak, yaitu Bilawal, Bakhtwar, dan Aseefa.55 Pada Agustus 1988, Presiden Zia ul Haq tewas dalam kecelakaan pesawat terbang. Akibatnya, terjadi kekosongan kekuasaan di Pakistan. Dalam pemilu yang dilakukan kemudian, Partai

53

Dhuroruddin, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 73.

54

Zaenal, Tragedi Benazir Bhutto, h. 58

55

(39)

Rakyat Pakistan memenangkan mayoritas kursi di Dewan Nasional yang berujung pada pengangkatan Benazir Bhutto sebagai perdana menteri pada 1 Desember 1988. Benazir Bhutto menjadi perempuan Muslim pertama di dunia yang menjadi perdana menteri.

Pada awalnya, Benazir sangat popular dan dilihat sebagai tokoh yang sangat berbeda dengan pemerintah militer. Tetapi dua kali masa jabatannya sebagai perdana menteri berakhir dengan pemecatan atas dakwaan korupsi. Benazir meninggalkan kantor perdana menteri dengan reputasi yang hancur. Selama berkuasa, Benazir banyak menghadapi perlawanan dari gerakan-gerakan Islam ekstrim yang tidak menyukai kepemimpinan seorang perempuan.

Dalam pemilu berikutnya yang berlangsung pada Oktober 1993, Partai Rakyat Pakistan menang kembali dan untuk yang kedua kalinya Benazir Bhutto menjadi Perdana Menteri Pakistan. Namun kembali masalah korupsi, maka Presiden Pakistan Farooq leghari membubarkan pemerintahan pada November 1996.56

Setelah Jenderal Pervez Musarraf melakukan kudeta pada 1999, kondisi Benazir tidak mengalami perubahan berarti. Permohonan agar tuduhannya terhadap dirinya dan suaminya dicabut, ditolak oleh pimpinan Pakistan Pervez Musarraf. Ia kemudian diasingkan dan diancam akan ditangkap jika berani kembali ke Pakistan. Benazir Bhutto pun hidup dalam pengasingan di London dan Dubai sejak akhir tahun 1999.57

Karena dekrit Musharraf tahun 2002 melarang mantan perdana menteri mencalonkan diri untuk ketiga kalinya, maka Benazir tidak bisa ikut pemilu tahun itu. Benazir pun mendapat ganjalan karena statusnya sebagai terpidana tidak memungkinkannya memimpin sebuah partai.

56

“Sekilas Perjalanan Politik Bhutto”, KOMPAS, 27 Desember 2007. h. 4.

57

Ririn, “Perjalanan Benazir Bhutto” data diakses pada 6 Juni 2008 dari http://suryoele.wordpress.com/2008/05/19/perjalanan-benazir-bhutto/

(40)

Pada tahun 2007 ketika akan dilangsungkannya pemilu, dimulailah pembicaraan mengenai kemungkinan kembalinya Benazir Bhutto ke Pakistan. Musharraf akhirnya memberi amnesti terhadap tuduhan korupsi yang ditimpakan pada Benazir di masa pemerintahan Nawaz Sharif.

Pada Oktober 2007, Benazir bisa kembali ke Pakistan setelah delapan tahun hidup di pengasingan di Dubai. Tapi ancaman terhadapnya tidak pernah surut. Selain pemerintah, banyak kalangan yang kurang menyukainya. Pada tanggal 27 Desember 2007, terjadi tembakan dan ledakan bom yang mengakhiri perjalanan Benazir Bhutto dalam kancah politik Pakistan, dan akhirnya Benazir meninggal bersama puluhan orang yang mengikutinya. 58

BAB III

BENAZIR BHUTTO DALAM KANCAH POLITIK

Pada tanggal 17 Agustus 1988, Pakistan digemparkan dengan peristiwa terjadinya kecelakaan pesawat terbang yang mengakibatkan meninggalnya Jenderal Mohammad Zia ul Haq dan juga 20 tokoh top militer Pakistan, termasuk didalamnya Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Jenderal Akhtar Abdul Rahman serta Duta Besar

58

Bambang Kurniawan, “Pembunuhan Benazir dan Tragedy Pakistan”, artikel diakses pada 7 Juni 2008, dari http://www.mail-archive.com/milis-kammi@yahoogroups.com/msg05923.html

(41)

Amerika untuk Pakistan Arnold Raphel dan penasehat militer Amerika di Pakistan Brigjend. Herbert Wassom. Pesawat Hercules tersebut meledak di udara hanya beberapa menit setelah lepas landas dari bandara sipil Bahawalpur, 550 km sebelah Selatan Islamabad, pukul 11.30 waktu setempat.59

Berita kematian Zia ul Haq tentu saja membawa kegembiraan bagi Benazir Bhutto yang memang telah lama berambisi untuk menyingkirkan Zia ul Haq dari kekuasaannya. Benazir Bhutto menyimpan dendam pribadi terhadap Zia ul Haq, akibat telah menghukum gantung ayahnya, yaitu Zulfikar Ali Bhutto 4 April 1979 di penjara pusat Rawalpindi.

Proses Benazir untuk meraih kekuasaan menjadi semakin lancar, setelah militer Pakistan sebagai kelompok yang paling menentukan dalam politik Pakistan membiarkan terlaksananya pemilu secara jujur dan adil. Meskipun sesungguhnya militer Pakistan tidak ingin orang sipil berkuasa di negeri itu, namun pada saat itu militer tidak siap mengambil alih kekuasaan ketika Presiden Zia ul-Haq tewas dalam kecelakaan pesawat. . Karena tokoh-tokoh militer lainnya yang bisa diandalkan untuk menggantikan Zia ul-Haq juga ikut tewas. Dari 30 orang penumpang yang terdapat di dalam pesawat tersebut, tak ada seorangpun yang selamat. Dengan demikian mau tidak mau kalangan oposisi sipil dapat maju untuk bersaing mengikuti pemilu di Pakistan.

Dalam bab ini penulis akan membahas awal ketertarikan Benazir Bhutto terhadap politik dengan keterlibatannya dalam partai politik yang didirikan Ali Bhutto, yang kemudian ikut pencalonan menjadi perdana menteri yang didalamnya membahas kemenangan pada pemilu 1988, Dua Puluh Bulan Pakistan dibawah Pemerintahan

59

“Misteri kematian Zia ul-Haq,” data diakses pada 11 November, dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1989/08/05/SEL/mbm.19890805.SEL21028.id.html

(42)

Benazir Bhutto, dan mengenai kekalahannya dalam Pemilu 1990. selain itu akan dibahas pula upaya-upaya yang dilakukan Benazir Bhutto untuk menggoyahkan pemerintahan Nawaz Sharif yang berhasil memenangkan pemilu tersebut.

A. Keterlibatan dalam Partai Politik

Setelah eksekusi dilakukan terhadap ayahnya Zulfikar Ali Bhutto tahun 1979 pada masa pemerintahan militer Mohammad Zia-ul-Haq, Benazir Bhutto secara tidak resmi menjadi pimpinan sementara Partai Rakyat Pakistan.

Dengan demikian Benazir menjadi penerus partai yang didirikan ayahnya, termasuk permusuhannya dengan pemerintahan yang berkuasa. Dan ia menjadi tokoh penting yang memposisikan diri sebagai oposisi Presiden Zia ul-Haq lewat partainya itu.

PPP secara nyata mendapat manfaat dari sikap Benazir Bhutto yang membangkitkan kembali kenangan tentang ayahnya serta berjuang untuk perubahan. Dia mendapat manfaat karena popularitasnya di masyarakat, setelah ketertindasan 11 tahun di bawah pemerintahan militer Zia ul-haq. Benazir Bhutto sudah mengenal kehidupan di penjara pada tahun 1978 akibat menghina rezim penguasa dalam berbagai pidatonya. Sejak tahun 1984 hingga 1986 Benazir bahkan diasingkan ke luar negeri.60

Kematian sang ayah dan kerasnya tekanan rezim berkuasa terhadap diri Benazir tidaklah membuat takut akan perlawanannya terhadap pemerintahan. Hal ini justru dijadikan fundamen bagi titik balik kehidupan Benazir untuk mulai terlibat dalam kancah politik Pakistan dengan memimpin partai politik yang di besarkan oleh ayahnya, untuk

60

Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam (Jakarta:Pustaka CIDESINDO, 1996), h. 14.

Gambar

Tabel 4  Hasil Pemilu Propinsi Punjab, 9 Oktober 1993. 141
Tabel 5  Hasil Pemilu Propinsi Sindh, 9 Oktober 1993. 142
Tabel 7  Hasil Pemilu Propinsi Baluchistan, 9 Oktober 1993. 144

Referensi

Dokumen terkait

Dengan jumlah realisasi Anggaran Pendapatan Negara dan Hibah Tahun Anggaran 2002 sebesar Rp298.527.596.715.451,00 (dua ratus sembilan puluh delapan triliun lima ratus dua puluh

Kartino Surodipo (2015) membuat penguat audio kelas D dengan cara Self Oscillating , dimana terdapat loop feadback dari rangkain R-C yang membuat sinyal gigi gergaji yang akan

4. Kendala yang dihadapi dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri 2 Ende meliputi beberapa aspek yakni aspek guru, peserta didik, dan waktu. Aspek guru dalam menjalankan

Pelaksanaan program utama PPL II berada di Bidang DIKMENTAS Dinas Pendidikan Menengah dan Nonformal Kabupaten Bantul, dengan Program “Pendataan APK dan APM SMA

kontekstualisasi adalah suatu konsep usaha memahami konteks kehidupan manusia secara luas dalam dimensi budaya, agama, sosial, ekonomi, dan politik, dalam hubungannya dengan

a) al-‘aqidayn (dua orang yang melakukan perjanjian), orang tersebut haruslah cakap hukum dan cakap diangkat sebagai wakil dikarenakan pengelola saham tersebut merupaka wakil

Setelah memasukkan data waktu pengecekan kita harus memasukkan batas maksimum produk NG dengan menekan tombol kanan yang ada pada air leak test agar dapat

Puji dan syukur kepada TUHAN Yang Maha Esa atas berkat dan karuniaNya kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL