• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap Politik Militer

Dalam dokumen POLITIK BENAZIR BHUTTO (Halaman 104-109)

BAB IV. KEMBALINYA BENAZIR BHUTTO DALAM KEKUASAAN POLITIK

B. Sikap Politik Militer

Dalam percaturan politik Pakistan terdapat tiga kekuatan sentral penentu jalannya pemerintahan, yaitu militer, presiden dan perdana menteri. Oleh karena itu, siapapun

130

Kholda Naajiyah, “Seputar Krisis Politik di Pakistan”, artikel diakses pada 13 November 2008, dari http://politisi.blogspot.com/2007_06_01_archive.html

yang menjadi perdana menteri Pakistan sudah seharusnyalah berusaha menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan hubungan perdana menteri dengan militer dan presiden dapat terjalin dengan serasi. Apabila gagal maka sangatlah mungkin terjadi suatu persaingan bahkan permusuhan antara tiga kekuatan sentral tersebut, yang seringkali berakhir dengan jatuhnya pemerintah.

Sikap politik militer pada waktu itu merupakan salah satu faktor yang menguntungkan bagi Benazir Bhutto dalam keberhasilan meraih kembali kekuasaan. Dalam konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif peran militer terlihat jelas. Pertentangan Presiden Ghulam Ishaq Khan dengan Perdana Menteri Nawaz Sharif akhirnya dapat diselesaikan berkat campur tangan militer. Masing-masing pihak akhirnya bersepakat untuk mengundurkan diri dan menyelenggarakan pemilu lewat pemerintahan sementara.

Selain itu militer yang seharusnya bersikap netral kesemua pihak, tetapi dalam kenyataannya militer lebih dekat dengan presiden, hal ini dikarnakan Jenderal Abdul Waheed Kakar yang menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat adalah orang pilihan Presiden. Dengan demikian Ghulam Ishaq Khan bergandengan dengan militer. Otomatis militer pada waktu itu tidak suka terhadap pemerintahan Nawaz Sharif yang berseteru dengan Presiden Ishaq Khan. Momen inilah yang dimanfaatkan Benazir Bhutto untuk merongrong pemerintahan Nawaz Sharif yang sudah tidak didukung lagi oleh militer. B. 1. Kuatnya pengaruh Militer di Pakistan

Media massa barat umumnya yakin bahwa Ghulam Ishaq Khan tidak sendirian dalam menggeser Nawaz Sharif. Seperti telah diketahui bahwa peran militer sangatlah dominan dalam kehidupan politik Pakistan. Meskipun dalam konflik politik Ishaq Khan-Nawaz Sharif, militer “menyatakan” bersikap netral, tetapi kalau melihat profil petinggi

militernya, sulit mengatakan bahwa militer benar-benar netral. Yang benar adalah militer tidak begitu suka terhadap Nawaz Sharif, sehingga tidak lagi memberikan dukungan kepadanya.

Dalam konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif pun peran militer akhirnya terlihat jelas. Setelah beberapa usaha perdamaian gagal misalnya, pertentangan kekuatan antara Presiden Ghulam Ishaq Khan dengan Perdana Menteri Nawaz Sharif akhirnya dapat diselesaikan berkat campur tangan militer lewat upaya diplomasi yang dilancarkan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Abdul Waheed Kakar. Masing-masing pihak akhirnya bersapakat untuk mengundurkan diri pada tanggal 18 Juli 1993.131

Amandemen ke-8 merupakan alat yang memberikan kekuasaan mutlak pada Presiden. Sementara dalam kenyataannya Presiden adalah boneka militer karena hampir selalu meminta persetujuan pihak militer dalam tindakkannya. Karena itu selama Amandemen ke-8 masih berlaku, militer akan tetap sangat menentukan dalam panggung politik Pakistan.

B. 2. Ketidaksukaan Militer terhadap Pemerintahan Nawaz Sharif

Militer merasa Nawaz Sharif telah mencampuri urusan militer dan militer menjadi tidak suka terhadapnya. Sebetulnya hubungan Nawaz Sharif dengan militer mulai renggang ketika terjadi perselisihan yang menyangkut masalah tindakan militer untuk mengatasi kekerasan dan perselisihan etnis di Sindh dengan menempatkan satuan Angkatan Darat di Sindh. Terlebih lagi ketika Jenderal Asif Nawaz Janjua meninggal dunia dan Presiden Ghulam Ishaq Khan menunjuk Jenderal Abdul Waheed Kakar. Dibanding Waheed, Asif Nawaz Janjua lebih independen dan tidak terlalu mencampuri urusan politik. Sejak Abdul Waheed Kakar menjadi Kepala Staf Angkatan Darat itulah,

131

Ghulam Ishaq Khan bergandengan dengan militer, mengingat Abdul Waheed Kakar adalah pilihan Presiden Ghulam Ishaq Khan. Di bawah Abdul Waheed Kakar itulah Inter Service Intellegence (ISI), sebagai agen rahasia militer menjadi semakin kuat. Memang keterlibatan militer dealam urusan politik sangat kuat. Salah satu contohnya adalah bagaimana ISI turut membentuk pengelompokan baru dalam koalisi Islami Jamhoori Ittehad (IJI) yang didominasi oleh Pakistan Muslim League (PML) pimpinan Nawaz Sharif sehingga menyebabkan pecahnya IJI menjadi yang pro-Nawaz Sharif dan yang pro-Ishaq Khan.

Ketidaksukaan militer atas Nawaz Sharif makin membesar setelah Nawaz Sharif terpilih kembali sebagai pimpinan PML, yang memberinya basis kekuasaan dan kekuatan yang lebih luas. Sadar bahwa Presiden dan militer siap membidikan senjata kearahnya, Nawaz Sharif mengumumkan bahwa ia akan meminta parlemen untuk menghapus Amandemen ke-8 dari konstitusi yang memberi presiden kekuasaan untuk mengangkat dan memberhentikan perdana menteri, mencalonkan dan menunjuk Kepala Staf Angkatan Darat serta kekuasaan untuk membubarkan parlemen.

Benazir Bhutto sebagai pemimpin oposisi mengencam untuk melakukan “Long March” di ibukota dengan ratusan ribu pendukungnya kecuali jika segera diadakan pemilu. Khawatir dengan akan konsekuensi yang akan terjadi, yaitu takut akan terjadinya pertumpahan darah yang dapat menimbulkan instabilitas politik dan keamanan di Pakistan, maka Jenderal Waheed Kakar berupaya untuk mengadakan pembicaraan dengan kedua kelompok yang saling bertentangan. Pada awalnya tidak satupun (baik Nawaz Sharif maupun Ishaq khan) menyetujui adanya pemilu, kecuali jika salah satu pihak mengundurkan diri terlebih dahulu. Pemecahannya menurut Jenderal Waheed

Kakar adalah sangat sederhana, yaitu kedua belah pihak harus berjalan secara seiring setelah menyetujui tentang siapa yang akan menjadi pemimpin pada pemerintahan sementara.

Akhirnya dipilih politisi yang jujur dan netral Moeen Qureshi, seorang mantan Wakil Presiden Bank Dunia yang tinggal di Singapura.132 Ia dianggap sebagai satu-satunya orang yang dapat diterima semua pihak. Semua pejabat pengganti yang ditunjuk, termasuk para gubernur dan para ketua menteri dari keempat propinsi adalah para pejabat pensiunan militer. Sedangkan sebagai Presiden sementara dipilih Ketua Senat Wasim Sajjad. Kemudian pemerintahan sementara tersebut menetapkan pelaksanaan pemilu baru pada 6 Oktober 1993.133 Perdana Menteri Qureshi mengatakan pemilihan umum yang jujur dan adil serta memberikan kesempatan sama kepada semua pihak akan menjadi “prioritas utama” pemerintahannya.

Penunjukan Moeen Qureshi sebagai pejabat Perdana Menteri sementara merupakan kejutan besar bagi Pakistan. Moeen Qureshi tidak memiliki hubungan dengan negara dan pemerintahan Pakistan dalam waktu yang lama, mengingat ia bekerja sebagai seorang konsultan sekaligus tinggal di Singapura. Tampaknya, dia dipilih oleh kelompok militer-birokrat karena sifat non-politisnya, sehingga ia bisa diterima oleh partai yang berkuasa maupun oposisi. Juga karena ia dianggap sebagai orang yang cocok untuk

132

Pada awalnya Moeen Qureshi menolak karena sudah meninggalkan Pakistan selama 40 tahun dan hanya mengenal sedikit seluk beluk politik di Pakistan. Tetapi pengalamannya yang sedikit itulah yang justru diinginkan. Setelah akhirnya ia menyetujui tawaran tersebut, maka ia berangkat ke Islamabad pada tanggal 18 Juli 1993 sore hari. Malamnya Nawaz Sharif membubarkan Majelis Nasional serta mengundurkan diri, beberapa menit kemudian Nawaz Sharif mengambil sumpah jabatan Moeen Qureshi sebagai perdana Menteri sementara dan kemudian Ishaq Khan mengundurkan diri pula. Kemudian Ketua Senat, Wasim Sajjad diangkat sebagai Presiden sementara. Yosef Ardi, “krisis Politik Pakistan”.

133

memperbaiki hubungan Pakistan dengan Amerika Serikat dan institusi-institusi finansial Internasional, yang dapat memberikan pinjaman kepada Pakistan.134

Dengan telah dibubarkannya pemerintahan Nawaz Sharif dan adanya rencana pemerintahan sementara untuk menyelenggarakan pemilu, maka besar kemungkinan Benazir Bhutto akan dapat kembali berkuasa di Pakistan. Apalagi Nawaz Sharif sebagai lawan utamanya tidak lagi didukung oleh partai-partai agama, militer, dan terlebih lagi oleh Presiden. Untuk itu pemilu 1993 tidak ada pilihan bagi militer selain menginginkan pemilu dapat terselenggara dengan jujur dan adil.

Dalam dokumen POLITIK BENAZIR BHUTTO (Halaman 104-109)