• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merebut kembali Mahkota Perdana Menteri

Dalam dokumen POLITIK BENAZIR BHUTTO (Halaman 119-133)

BAB IV. KEMBALINYA BENAZIR BHUTTO DALAM KEKUASAAN POLITIK

C. Keberhasilan Benazir Bhutto Menjadi Perdana Mentri Kedua Kalinya

C. 2. Merebut kembali Mahkota Perdana Menteri

Hasil pemilu Pakistan memang membuka peluang bagi Benazir Bhutto untuk kembali menjadi Perdana Menteri. Namun tetap harus dicatat bahwa perolehan kursi PPP melawan PML hanyalah 92 : 72. Kemenangan tipis PPP ini tentu saja belum mampu untuk menggeser Nawaz Sharif. Bahkan Nawaz Sharif masih tetap yakin akan dapat menjegal ambisi Benazir yang ingin memegang kembali tampuk kepemimpinan Pakistan. Sementara Benazir Bhutto sendiri dengan pengalamannya selama tiga tahun berjuang untuk merebut kembali kekuasaannya, telah menjadikan dirinya bersikap pragmatis dan mau menerima kompromi. Hal ini ditunjukkan keyakinan Benazir Bhutto bersedia menjalin “kerja sama” dangan partai agama JUI Fazlur Rahman dan PML Chatta Group

yang juga merupakan unsur-unsur penting dalam percaturan politik Pakistan. Manufer Benazir ini tampaknya sangat berpengaruh dalam perolehan suara PPP.145

Perolehan kursi bagi PPP maupun PML yang kurang dari mayoritas sederhana (119 kursi), menyebabkan Benazir Bhutto dan Nawaz Sharif sama-sama menyatakan berhak membentuk pemerintahan baru Pakistan. Tampaknya pemerintahan baru tersebut akan membentuk sebuah pemerintahan koalisi. Dalam upayanya memperoleh dukungan bagi masing-masing kubu, kedua mantan Perdana Menteri itu terjebak dalam pertarungan memperebutkan sekitar 40 wakil dari partai politik dan kelompok independen. Pertarungan tidak hanya di Islamabad, tetapi juga Punjab yang merupakan propinsi terdapat dengan jumlah penduduk sebesar 60% dari seluruh jumlah penduduk di Pakistan.146

Baik di Majelis Nasional maupun di Majelis propinsi Punjab, partai Benazir Bhutto setelah berhasil mendapatkan tambahan kursi dari faksi PML sempalan pimpinan Hamid Naserr Chatta yang tampaknya memang menolak bekerja sama dengan Nawaz Sarif. Sementara PML pimpinan Nawaz Sharif yakin “bisa” membentuk sebuah pemerintahan baru dengan bantuan partai-partai dan kelompok independent. Nawaz Sharif menyebut calon-calon sekutunya: Awami National Party (ANP), Partai Pakhtoon Khawa Milli Awami Party, National People’s Party (NPP) dan beberapa kelompok independent. PML Nawaz Sharif juga berhasil memperoleh delapan kursi di propinsi Benazir Bhutto, Sindh. Sementara di propinsi Baluchistan, Abdul Samad Achakzai yang didukung PML Nawaz Sharif Group berhasil mengalahkan ketua PPP di propinsi tersebut, Fateh Mohammad Hasni. Partai-partai keagamaan dan para independent

145

Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 21.

146

Yosef Ardi, “krisis Politik Pakistan”, Angkatan Bersenjata, data diakses pada 15 November 2008, dari http://.www.dictatorofthemonth.com/militer/sharif-ishaq=artiecle=316

menolak untuk mendukung Nawaz Sharif. Namun sebagaimana di maklumi, kesetiaan politik di Pakistan mudah berubah-ubah bahkan jurang pemisah tidaklah cukup untuk menjamin kemenangan Benazir Bhutto di Majelis Nasional agar supaya Benazir Bhutto terpilih sebagai Perdana Menteri.147

Juru bicara PPP mengatakan peluang Benazir Bhutto lebih terbuka karena partai itu sudah mengumpulkan 20 suara pendukung dan tinggal membutuhkan tiga suara lagi untuk menjadi kelompok mayoritas. Namun kenyataan ini tetap menghadapkan Benazir Bhutto pada masalah yang sulit karena tanpa dukungan mayoritas mutlak, Benazir Bhutto akan kehilangan kekuasaannya untuk menghapus Amandemen ke-8 yang membolehkan Presiden memecat Perdana Menteri.

Sementara tekad Nawaz Sharif untuk membentuk sebuah pemerintahan semakin mantap. Dalam rangka mencari dukungan bagi keberhasilannya terpilih kembali menjadi Perdana Menteri Pakistan, ia juga berusaha menghubungi beberapa “penguasa” untuk mendapatkan “restu”. Ia berkunjung kepada Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Abdul Waheed Kakar selama satu jam guna membahas skenario Presiden Wasim Sajjad. Tetapi nampaknya pertemuan tersebut tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan oleh Nawaz Sharif.

Tarik menarik antara Benazir Bhutto dengan Nawaz Sharif jelas tidak akan menghasilkan pemenang kuat. Padahal siapapun yang akhirnya memimpin pemerintahan Pakistan, perlu dukungan kuat parlemen di propinsi guna menjamin kelancaran pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintahannya, terutama di Punjab dan Sindh, propinsi terkaya dan terbesar di negeri itu. Itulah yang dicari Benazir Bhutto dengan PPP-nya setelah kemenangan tipisPPP-nya.

147

Sebenarnya untuk menghindar dari ancaman oposisi Nawaz Sharif yang dapat dipastikan akan merongrong pemerintahannya, maka cara yang dapat ditempuh Benazir Bhutto adalah dengan merangkul PML Nawaz Sharif Group untuk berkoalisi. Dengan cara ini, koalisinya akan dapat menguasai mayoritas dua pertiga kursi dalam parlemen. Dan komitmen Benazir Bhutto untuk dapat menghapus Amandemen ke-8 yang memberikan kekuasaan lebih kepada Presiden, tentunya akan dapat terlaksana kendati Nawaz Sharif juga ingin mengubah Amandemen ke-8 tetapi dia menyatakan tidak akan mendukung Benazir Bhutto. Hal itu tentu sebagai taktiknya untuk meruntuhkan pemerintahan anak Zulfikar Ali Bhutto itu.

Baik Pakistan People’s Party (PPP) maupun Pakistan Moeslem League (PML Nawaz Sharif) telah menyatakan siap berkoalisi dengan partai-partai kecil guna memperkuat pemerintahan. Namun kenyataan memperlihatkan, akhirnya PPP dengan pertolongan PML sempalan pimpina Hamid Naser Chatta, para calon independent dan minoritas, mampu membentuk suatu koalisi di pusat PPP dan para sekutunya juga terbentuk pemerintahan propinsi di Punjab dan Sindh. Sedangkan PML pimpinan Nawaz Sharif yang duduk sebagai oposisi di pusat, Punjab dan Sindh, maupun membentuk pemerintahan di NWFP dan Baluchistan dengan bantuan sekutunya.

Berdasarkan hasil pemungutan suara di parlemen Pakistan pada tanggal 19 Oktober 1993, Benazir Bhutto akhirnya ditetapkan sebagai Perdana Menteri dengan perbandingan 121 mendukungnya dan 72 suara tidak mendukungnya. Benazir Bhutto pun lantas dilantik oleh Presiden sementara Wasim Sajjad menjadi Perdana Menteri Pakistan untuk kedua kalinya dengan membawa dua puluh bulan pengalaman sebagai Perdana

Menteri dan tiga tahun sebagai ketua partai oposisi di parlemen.148 Dengan kebaerhasilan Benazir Bhutto menjadi Perdana Menteri Pakistan untuk periode 1993-1998 sekaligus menggambarkan bahwa akhirnya ambisi Benazir Bhutto untuk kembali memerintah Pakistan telah tercapai.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Sejak awal pemerintahan Benazir Bhutto (1988-1990) hingga saat ini Pakistan dikuasai oleh tiga aktor utama, yaitu: Presiden, Perdana Menteri, dan Militer. Pertentangan yang terjadi diantara Presiden, Perdana Menteri, dan Militer berakar dari dikeluarkannya Amandemen ke-8 oleh rezim Presiden Zia ul-Haq pada tahun 1985. dengan amandemen itu presiden bisa memiliki wewenang lebih besar, seperti memilih dan memberhentikan perdana menteri, pimpinan militer dan anggota senior Mahkamah Agung. Selain itu, presiden juga dapat membubarkan parlemen. Peralihan dari pemerintahan parlementer menuju kekuasaan “tunggal” di bawah presiden inilah yang menjadi pokok permasalahan antara presiden dan perdana menteri di Pakistan yang pada akhirnya turut pula melibatkan militer.

Dari tahun 1988-1993 di Pakistan telah terjadi tiga kali friksi antar kekuatan tersebut dan senantiasa perdana menteri yang akhirnya jatuh sebagai tumbal. Friksi

148

Bahkan PPP juga menang mudah dalam pemilihan Presiden pada tanggal 13 November 1993 ketika calonnya Farooq Leghari, mengalahkan calon dari PML yaitu Wasim Sajjad, dengan 274 suara lawan 168 suara. PPP merasa lebih aman setelah kemenangan ini apalagi Presiden Faroog Leghari menyatakan bahwa ia menginginkan agar amandemen ke-8 dihapuskan oleh parlemen karena telah menjadi sumber krisis politik di Pakistan.Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 204-210.

pertama menyebabkan jatuhnya pemerintahan Perdana Menteri Khan Junejo akibat dipecat presiden Zia ul Haq pada tanggal 29 Mei 1988. friksi kedua berakhir dengan dipecatnya Perdana Menteri Benazir Bhutto oleh Presiden Ghulam Ishaq Khan pada tanggal 6 Agustus 1990, dan yang ketiga adalah dipecatnya Perdana Menteri Nawaz Sharif yang juga akibat ulah Presiden Ghulam Ishaq Khan pada tanggal 18 April 1993. ada persamaan alasan dalam pemecatan Perdana Menteri dalam ketiga peristiwa tersebut, yaitu: mereka dituduh melakukan korupsi, nepotisme dan tidak becus memerintah. Sebagai kelanjutan dari pemecatan tersebut, presiden kemudian mengangkat pejabat sementara untuk melaksanakan jalannya pemerintahan serta menyiapkan pemilu yang baru.

Peran militer di dalam tindakan pemecatan oleh presiden terhadap perdana menteri ternyata sangat besar karena sesuai dengan Amandemen ke-8, tindakan presiden haruslah dengan persetujuan militer. Terlebih apabila perdana menteri mulai ikut campur dalam masalah intern militer. Maka militer tentu saja cenderung mendukung tindakan presiden. Oleh karena itu, Amandemen ke-8 dapat dikatakan sebagai kunci pengaman dari “hukum militer” dan kuatnya kedudukan presiden. Akibatnya sering muncul anggapan bahwa presiden adalah boneka militer.

Ketika Nawaz Sharif mulai merintis jalan menuju kursi perdana menteri, ia memang dekat dengan Presiden. Pencalonannya mendapat dukungan yang kuat dari Ghulam Ishaq Khan. Namun di Pakistan sebelumnya bukan rahasia lagi jika tiba-tiba kawan politik berubah menjadi lawan, begitu pula sebaliknya. Pada tahun ketiga setelah Nawaz Sharif menjabat sebagai Perdana Menteri, mulailah keduanya bentrok memperebutkan kekuasaan. Demikian pula antara Benazir Bhutto dengan Ghulam Ishaq

Khan, kendati Benazir Bhutto semula membencinya karena telah memecat dirinya pada tahun 1990 ketika ia ingin menghapus Amandemen ke-8 (sama seperti keinginan Nawaz Sharif), namun Benazir Bhutto akhirnya justru mendukung Ghulam Ishaq Khan untuk bersama-sama menjatuhkan Nawaz Sharif dari kursi Perdana Menteri pada tahun 1993.

Uraian mengenai pertentangan yang terjadi antara Nawaz Sharif dengan Ishaq Khan atau antara Benazir Bhutto denagn Nawaz Sharif merupakan konflik elit. Perubahan pemerintahan terjadi karena penguasa-penguasa dihadapkan pada beberapa konflik atau kontradiksi yang tidak dapat diselesaikan dengan cara yang terdapat di dalam sistem politik. Kontradiksi-kontradiksi ini lambat laun akhirnya menyebabkan disintegrasi sistem politik kontradiksi-kontradiksi yang terjadi antar elit politik adalah kontradiksi yang disebabkan oleh kontradiksi kultural, seperti masih kuatnya perasaan kesukuan antara para tokoh penguasa pakistan tersebut. Dalam kasus pemilihan Kepala Staf Angkatan Darat misalnya, Nawaz Sharif telah mengusulkan beberapa nama namun ditolak ghulam Ishaq Khan. Pada akhirnya Presiden malah menunjuk Jenderal Abdul Waheed Kakar, rekan sejawat yang masih satu suku dengan Presiden sebagai Kepala Staf Angkatan Darat yang baru. Persaingan antar suku di Pakistan tercermin pula dari konflik di tingkat elit, di mana Benazir Bhutto yang merupakan suku Sindh cenderung menentang Nawaz Sharif dari suku Punjabi, demikian pula sebaliknya. Kiranya keadaan tersebut sesuai pula dengan teori mengenai ikatan primordial dari Clifford Greets yang mengatakan bahwa konflik yang timbul biasanya salah satunya disebabkan oleh kesukuan.

Selain kontradiksi kultural, kontradiksi struktural pun dapat menjadi faktor yang menyebabkan konflik di Pakistan. Benazir Bhutto yang saat itu berperan sebagai ketua

Oposisi terlihat lebih kompak dengan memberikan tekanan-tekanan pada pemerintah berupa White Paper dan Long March yang diikuti oleh puluhan ribu pengikut-pengikutnya yang menginginkan jatuhnya pemerintahan Nawaz Sharif. Sementara itu akibat perseteruan antara Nawaz Sharif dengan Ishaq Khan, maka pada pemilu 1993 IJI (pimpinan Nawaz Sharif) pecah antara yang pro-Sharif dengan yang pro-Ishaq Khan. Bahkan PML sebagai unsur utama IJI telah pecah pula menjadi dua faksi, yaitu PML Sharif dan kelompok PML Hamid Nasser Chatta yang kemudian bergabung dengan PPP. Bergabungnya PML semplan pimpinan Hamid Nasser Chatta tersebut dengan PPP, tentu saja sangat menguntungkan Benazir Bhutto dalam perolehan suara pada pemilu 1993.

Meskipun kontradiksi kultural seringkali mewarnai perpolitikkan di Pakistan, namun dalam kasus keberhasilan Benazir Bhutto menjadi Perdana Menteri untuk kedua kalinya ini terlihat bahwa kontradiksi srtuktural mempunyai peran yang lebih penting daripada kontradiksi kultural. Karena jika para penguasa (Presiden Ghulam Ishaq Khan, Perdana Menteri Nawaz Sharif dan Kepala Steaf Angkatan Darat Jenderal Abdul Waheed Kakar) masih berjalan seiring dengan baik, tentu akan sulit bagi oposisi pimpinan Benazir Bhutto untuk menjatuhkan pemerintah ataupun untuk mendesak agar segera dilaksanakan pemilu baru. Juga akibat tetjadinya perpecahan di dalam koalisi Islami Jamhoori Ittehad (IJI) dan di dalam Pakistan Moeslim League (PML) yang sebenarnya merupakan partai terbesar dalam tubuh IJI, tentu saja mengakibatkan berkurangnya dukungan terhadap Nawaz Sharif dalam pemilu 1993.

Dengan demikian berarti “pertentangan Nawaz Sharif dengan Ishaq Khan mengakibatkan melorotnya perolehan suara bagi partai Nawaz Sharif”, adalah terbukti benar. Demikian pula dengan “perpecahan faksi-faksi dalam PML mengakibatkan

turunnya dukungan terhadap Nawaz Sharif dan menguatnya dukungan terhadap Benazir Bhutto” ternyata dapat terbukti. Sehingga PPP pimpinan Benazir Bhutto memperoleh suara lebih besar dari pada PML pimpinan Nawaz Sharif dalam pemilu 1993. hal ini tentu saja menjadi salah satu faktor yang menyebabkan Benazir Bhutto dapat meraih kekuasaan kembai menjadi Perdana Menteri.

Kemenangan Benazir Bhutto dalam pemilu 1993, mengenai pengangkatan tokoh politik haruslah memiliki kriteria-kriteria tertentu, antara lain: kesesuaian dengan nilai dominan (nilai dasar) sebuah sistem dalam Masyarakat; mempunyai keahlian-keahlian tertentu; mempunyai karir dan mobilitas yang memadai; dan mempunyai kewibawaan, serta mempunyai tingkat keterwakilan terhadap kelomok-kelompok yang ada. Dalam hal ini Benazir Bhutto nampaknya telah memenuhi berbagai kriteria tersebut, yang merupakan prasyarat bagi usahanya untuk meraih kekuasaan.

Benazir Bhutto adalah seorang orator ulung yang mampu memobilisasi dan menarik simpati massa. Ia memanfaatkan nama besar ayahnya untuk memperoleh dukungan dalam perolehan suara pada pemilu 1993. Gabungan antara keahliannya dan kharisma ayahnya mampu membentuk kewibawaan Benazir Bhutto di mata masyarakat Pakistan. Apalagi ia pernah memimpin Pakistan pada tahun 1988-1990, sehingga golongan konserfatif tidak terlau mengungkit-ngungkit tentang kepemimpinan seorang wanita. Untungnya isu agama tidak lagi menonjol dalam pemilu 1993, melainkan lebih pada ekonomi karena Nawaz Sharif tidak lagi didukung oleh partai-partai agama.

Benazir Bhutto memang berbeda dengan wanita-wanita lain yang berada di Pakistan, yang mana pendidikan mereka masih sangat rendah dengan tingkat buta huruf yang tinggi di Pakistan, yaitu 65 dari 120, 84 juta jiwa jumlah penduduk Pakistan, yang

terdiri dari 63, 4441 juta jiwa pria dan 57, 399 juta wanita. Benazir Bhutto merupakan profil wanita Pakistan yang berhasil memperoleh pendidikan tinggi dari Harvard dan Oxford University, sehingga wajar saja jika ia tampil dengan cerdik dalam politik di Pakistan. Sementara Nawaz Sharif yang merupakan saingannya kendati juga berkualitas, namun saat ia gagal mencegah partainya pecah akibat perseteruannya dengan Presiden Ghulam Ishaq Khan. Bahkan partai pecahnya itu malah kemudian mendukung PPP. Dalam kasus ini terlihat Benazir Bhutto cukup cerdik untuk memanfaatkan perseteruan Ishaq Khan-Nawaz Sharif. Strategi politik menyebabkan Benazir Bhutto berhasil meraih suara mayoritas dalam pemilu 1993”, juga terbukti.

Benazir Bhutto menyadari bahwa dukungan partainya saja tidak cukup untuk membentuk sebuah pemerintahan. Oleh karenanya ia berusaha mengadakan pendekatan dengan partai lain, bahkan ia juga menawarkan beberapa jabatan penting bagi tokoh-tokoh dari partai yang mau mendukungnya di dalam usahanya untuk membentuk sebuah pmerintahan. Hal ini merupakan kunci sukses bagi Benazir Bhutto untuk dapat meraih posisi perdana menteri. Sehingga “sikap pragmatis Benazir Bhutto untuk berbagai jabatan dalam pemerintahan dengan partai lain telah menyebabkan dirinya meraih posisi Perdana Menteri”, juga terbukti.

Sementara itu militer yang memainkan peranan penting dalam perpolitikan Pakistan, sebelum berlangsungnya pemilu 1993 berupaya agar kedua elit politik yang berseteru (Perdana Menteri Nawaz Sharif dan Presiden Ghulam Ishaq Khan) segera mundur dari jabatannya masing-masing guna mengakhiri krisis politik yang terjadi dan bersepakat untuk memilih pemerintahan sementara yang netral untuk bertugas menyelenggarakan pemilu baru. Militer juga tidak mendukung Nawaz Sharif dalam

pemilu 1993 karena militer kecewa terhadap sikap Nawaz Sharif yang ikut campur dalam masalah intern militer. Terlebih lagi, Kepala Staf Angkatan Darat yang baru Jenderal Abdul Waheed Kakar adalah orang pilihan Presiden Ghulam Ashaq Khan lawan dari Nawaz Sharif. Sehingga militer tidak mempunyai pilihan terhadap calon Perdana Menteri baik Benazir Bhutto maupun Nawaz yang bersaing dalam pemilu 1993. Akibatnya militer cenderung bersikap realistis agar pemilu dapat terlaksana secara jujur dan adil dan tidak lagi mendukung Nawaz Sharif seperti pada pemilu sebelumnya. Dengan tidak adanya dukungan militer terhadap Nawaz Sharif, maka kubu Benazir Bhutto berhasil meraih suara mayoritas dalam pemilu 1993. Militer Pakistan tidak lagi mendukung Nawaz Sharif menyebabkan kubu Benazir Bhutto meraih suara mayoritas dalam pemilu 1993.

B. Saran

1. Seharusnya Pakistan yang berpenduduk multi-etnis tidak terlalu fanatik terhadap kesukuannya. Mengingat berdirinya Pakistan atas dasar pada masyarakat keagamaan untuk menjadi sebuah bangsa Muslim, dengan kata lain , dasar berdirinya Pakistan adalah untuk membentuk bangsa Muslim dengan merealisasikan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bernegara. Tapi dalam kenyataannya rasa kesukuan atau etnis lebih di tonjolkan dengan merasa bahwa etnisnyalah yang paling berkuasa tanpa mempedulikan kesamaan dalam beragama.

2. Partai-partai Politik di Pakistan seharusnya menjadi alat pemersatu yang mengarahkan pada terwujudnya rasa kebangsaan demi terciptanya suatu pemerintahan yang adil untuk kesejahteraan rakyat, dalam kenyataannya partai

politik di Pakistan banyak yang berdimensikan pada semangat pengelompokan berdasar latar belakang etnis. Sehingga primordialisme demikian berimplikasi pula pada berbagai kebijakan dan pengangkatan pejabat suatu pemerintahan di Pakistan

3. Harus adanya undang-undang yang jelas yang mengatur pembagian kerja presiden dan perdana menteri. Sehingga hak kekuasaan perdana menteri tidak di kendalikan oleh presiden juga sebaliknya. Sehingga dalam kekuasaannya di Pakistan selalu terjadi kekuasaan yang tumpang tindih dimana baik presiden dan perdana menteri merasa saling berkuasa dan paling bertanggung jawab.

4. Militer seharusnya tidak ikut berkecimpung dalam politik peraktis. Toh dalam kenyataannya justru militerlah yang selalu mengendalikan perpolitikan Pakistan. Hal ini menjadikan tiga aktor utama dalam perpolitikan Pakistan: militer, presiden dan perdana menteri. Sehingga, siapapun yang ingin menjadi pemimpin Pakistan seolah haruslah mendapatkan restu dahulu dari pihak militer.

5. Pihak Oposisi seharusnya menjadi suatu badan pembanding dalam kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan memberikan jalan keluar atau masukan-masukan kepada pemerintah. Dengan tidak menjadi provokator yang mengarah kepada kehancuran negara dengan cara anarkis untuk menggulingkan pemerintahan berkuasa.

DAFTAR PUSTAKA

Bhutto, Benazir. The way out: Interviews, impressions, statements, and messages. Mahmood Publications. 1988.

Bhutto, Benazir. Benazir Bhutto defends herself. Rhotas Books. 1990 Bhutto, Benazir. Issues in Pakistan. Jang Publishers. 1993.

Ali, Zaenal. Tragedi Benazir Bhutto. Yogyakarta: Narasi. 2008.

Mashad, Dhurorudin. Pemilu di Pakistan 1990; Kegagalan Benazir Bhutto Dalam

Meraih Kekuasaan, Jurnal Ilmu Politik, No. 13 Jakarta: PT Gramedia, 1983. Mashad, Dhuroruddin. Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam

Jakarta:Pustaka CIDESINDO. 1996.

Esposito, John L. Ensiklopedi Dunia Islam Modern, New York, Syracuse Press. 1995. Esposito, John L. Islam dan Politik. Jakarta: PT Bulan Bintang. 1990.

Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1999. Ahmad, Zaenal Abidin. Konsep Politik dan Ideologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1977. Apter, David E. Pengantar Analisa Politik. Jakarta: LP3ES, 1988.

Crouch, Harold. Rezim Militer: Perkembangan Politik dan Modernisasi. Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1982.

Duverger, Maurich. Sosioligi Politik. Jakarta: Rajawali Press, 1985.

Esposito, Jhon L. Agama dan Perubahan Sosio-Politik, terj. S.H.S. Jakarta: Aksara Perdata, 1983.

Greetz, Clifford. Ikatan-Ikatan Primordial dan Politik Kebangsaan di Negara-Negara

Baru, Pembangunan Politik dan Perubahan Politik (Sebuah Bunga Rampai), editor oleh Juwono Sudarsono. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1982. L. Garl Brown, Wajak politik Islam, Jakarta: Serambi,2003.

Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (terj) (Bandung: Mizan Pustaka, 2004).

Hasan, Rias. Islam Dari Konservatisme Sampai Fundamentalisme, terj. Dewi Haryani. Jakarta: Rajawali Press, 1985.

Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta:: Bulan Bintang, 1975.

Huntington, Samuel P. Tertib Politik di Dalam Masyarakat Yang Sedang Berubah. Jakarta: CV. Rajawali , 1983.

Sligman, Lester G. Pengangkatan Tokoh-Tokoh Politik, Beberapa Aspek Dalam

Pembangunan Politik, Tarj. Afan Gaffar. Jakarta: CV. Rajawali, 1990. Varma, S.P. Teori Politik Modern. Jakarta: CV Rajawali, 1990.

Dalam dokumen POLITIK BENAZIR BHUTTO (Halaman 119-133)