• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekalahan dalam Pemilu 1990

Dalam dokumen POLITIK BENAZIR BHUTTO (Halaman 69-77)

BAB III. BENAZIR BHUTTO DALAM KANCAH POLITIK

B. Ikut Pencalonan menjadi Perdana Menteri

B. 3. Kekalahan dalam Pemilu 1990

Tanggal 6 Agustus 1990, Presiden Ghulam Ishaq Khan memecat Benazir Bhutto dari jabatan Perdana Menteri. Ia mengumumkan pembubaran pemerintahan Benazir Bhutto, dengan alasan utama berupa korupsi dan nepotisme. Sesudah melakukan pemecatan, Ishaq Khan menunjuk saingan Benazir Bhutto, Ghulam Mustafa Jatoi (58 tahun) sebagai Perdana Menteri untuk memimpin pemerintahan sementara sekaligus mempersiapkan pemilu pada bulan Oktober 1990. keempat Majelis Propinsi juga dibubarkan dan ditunjuk pula seorang Ketua Menteri sementara.90

Benazir Bhutto menolak mengakui pemerintahan Ghulam Mustafa Jatoi ini dan mengajukan tuntutan kepada Mahkamah Agung agar pemerintahan Mustafa Jatoi dibubarkan dan diganti dengan kabinet peralihan yang netral. Namun Mahkamah Agung menolak tuntutan itu serta mengemukakan “sembilan tindakan pelanggaran dan kelalaian” yang memberikan alasan sah dan layak untuk memecat Benazir Bhutto. Pelanggaran dan kelalaian itu, misalnya: penyadapan telepon, penggunaan pesawat Angkatan Udara selama mosi tidak percaya di parlemen, kegagalan mendapat dukungan yang cukup di Majelis Tinggi yang didominasi oposisi, penyalahgunaan dana rahasia, kegagalan mengendalikan pelanggaran hukum di propinsi Sindh dan konfrontasi antara pusat dan pemerintah daerah.91

Ghulam Mustafa Jatoi adalah pemimpin Combined Opposition Party (COP). Ia memulai karir politiknya di Pakistan People’s Party (PPP) yang dibentuk oleh Zulfikar Al

90

Boentarto, “Martir Demokrasi Pakistan Benazir Bhutto (1953-2007)”.

91

Bhutto dan pernah menjabat Ketua Menteri Propinsi Sindh pada masa pemerintahan Ali Bhutto. Namun ketika Benazir Bhutto mengambil alih kekuasaan pada 1988-1990, ia berperan sebagai tokoh oposisi bagi PPP.92

COP, sebagaimana namanya adalah kelompok yang berbeda-beda, yang lebih dipersatukan oleh rasa kebencian yang sama terhadap pemerintahan Benazir Bhutto ketimbang program alternatif yang lebih masuk akal. Dalam hal ini COP nampaknya melanjutkan tradisi Pakistan National Alliance (PNA) yang ikut membantu kejatuhan Zulfikar Ali Bhutto pada tahun 1977 serta Gerakan untuk Perbaikan Demokrasi (Movement for the Restiration of Democracy – MRD) yang berkapanye menentang Zia ul-Haq sejak tahun 1981.93

Pengikut terbesar dari COP adalah Islami Jamhoori Ittehad (IJI), aliansi sembilan partai yang terbentuk sesaat sebelum pemilu tahun 1988. anggotanya yang paling kuat dari aliansi ini adalah Pakistan Moslem League (PML), yang dipimpin oleh mantan Perdana Menteri Mohammad Khan Junejo dan Ketua Menteri propinsi Punjab, Nawaz Sharif. Pengikut kedua yang terpenting dari COP adalah kaum Muhajir yang tergabung dalam Muhajir Qoumi Movement (MQM) dari Karachi dan beberapa daerah urban di propinsi Sindh.

COP nempaknya ingin meningkatkan tekanannya pada hal-hal yang berkaitan dengan Islam secara resmi, namun pada prakteknya harus sedikit membedakan program kerjanya dari apa yang dimiliki PPP. Pertikaian politik pada saat itu berpusat pada manusianya ketimbang mengenai ideologinya. COP mengatakan bahwa ia sanggup menyelenggarakan pemerintah yang lebih handal dan lebih jujur. Namun pada

92

Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 163.

93

. Nurani Soyomukti, “Benazir Bhutto, Perempuan, dan Demokrasi”, atikel diakses pada 5 Oktober 2008, dari http://esaipolitiknurani.blogspot.com/2008_02_01_archive.html

kenyataannya tekanan-tekanan untuk mempererat partai koalisi yang terpecah belah jelas akan menjurus kepada sejenis tawar menawar politik dan perpindahan kaum politisi dari satu partai ke partai yang lain. Hal ini pada akhirnya tentu dapat mengakibatkan ketidakstabilan pemerintahan sipil di Pakistan.

Setelah Presiden Ishaq Khan mengakhiri ketidakstabilan pemerintahan Benazir Bhutto, maka sesuai dengan konstitusi 1973 dan janji dari pemerintahan sementara untuk mempersiapkan pelaksanaan pemilu, dibentuklah panitia pemilu yang diketuai oleh hakim Naemuddin, untuk mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan pemilu.94 Ishaq Khan juga telah menjadwalkan pemilu tingkat nasional maupun pemilihan Majelis Propinsi yang masing-masing ditetapkan pada tanggal 24 Oktober 1990 dan tanggal 27 Oktober 1990.95

Walaupun Benazir Bhutto tetap mengkritik atas pemecatan dirinya, namun akhirnya dia bersedia untuk bertanding dalam pemilihan umum yang diharapkan “bebas dan adil”. Dalam rangka mengsukseskan pemilu, Komite Pemilu Nasional mengumumkan “Code of Conduct” sebagai tata tertib pemilu guna menjamin pelaksanaan pemilu yang bebas, jujur dan tidak memihak. Tata tertib itu antara lain; melarang mengganggu pertemuan yang diadakan partai lain; melarang menyampaikan pendapat atau bertindak dalam cara apapun yang sifatnya merugikan ideologi, kedaulatan, integritas dan keamanan negara; menghindari untuk secara langsung mengkritik partai-partai politik lain dan para pemimpinnya; menghindari pembicaraan yang menimbulkan rasa pertentangan antar masyarakat; melarang membawa senjata atau

94

Nurani Soyomukti, “Benazir Bhutto, Perempuan, dan Demokrasi”.

95

Shahid Javed Burki, Pakistan: The Continuting Search for Nationhood, secound edition (San Francisko: Westview Press, 1993), h. 103.

peledak dalam setiap pertemuan; dan melarang membawa spanduk-spanduk yang mempunyai unsur intimidasi lebih dari 400 yard di tempat pemungutan suara.

Untuk pelaksanaan pemilu tersebut telah terdaftar 80 partai politik, namun hanya 45 partai politik saja yang akhirnya dinilai memenuhi syarat serta menyampaikan tanda gambarnya. Di antara partai-partai tersebut yang paling dominan dan menentukan perimbangan politik di Pakistan hanya ada dua kelompok, yaitu aliansi Islam Jamhoori Ittehad (IJI) pimpinan Nawaz Sharif dan People’s Democratic Aliance (PDA) pimpinan Benazir Bhutto. IJI terdiri dari Pakistan Muslem League (PML), National People’s Party (NPP-Jatoi), Jamiat ul Ulama i Islami Fazlur Rahman (JUIF), Jamaat Islami (JI), Jama’at Ulema Pakistan (JUP), Awami National Party (ANP), Jamhoori Watan Party (JWP), Islamic Ahle Hadith Party, Jamaat ul Mashaikh, Azad Group dan Nizami Mustafa Group. Sedangkan People’s Democratic Alliance (PDA) terdiri dari Pakistan People’s Party (PPP), Tehrik I Istiqlal, Tehrik Nifaz Firqah Jafariya dan Pakistan Moslem League (PML) Qasim Group.96

Selama masa kampanye, kedua kelompok tersebut masing-masing telah menyampaikan program dan janji-janji mereka sebagai platform kampanye. Program PDA misalnya dapat dilihat dari manifesto. Manifesto itu antara lain berisi rencana penghapusan Amandemen ke-8; pengajuan daftar kekayaan sebelum dan sesudah menjadi presiden, perdana menteri, anggota-anggota parlemen dan pejabat-pejabat tinggi, perbaikan nasib pengacara, kebebasan pers; meningkatkan peranan wanita; menjamin hak-hak golongan minoritas dalam pemerintahan. Manifesto politik berisi pula rencana pengembangan sektor industri, pendidikan dan kesehatan, meningkatkan peranan ulama;

96

Sharif Al Mujahid, Pakistan History, The far East and Australasia 1993, 24 th edition (London: Europa Publications Limited, 1992), h. 803.

memberantas perdagangan obat-obat terlarang, peningkatan sarana angkutan, modernisasi angkatan bersenjata, pembangunan program nuklir untuk maksud damai, peningkatan politik luar negeri; peningkatan sarana untuk kepentingan rakyat seperti fasilitas listrik, gas, telepon, tempet-tempat rekreasi, sekolah dan rumah sakit.97

Sedangkan program-program yang dicanangkan IJI, meliputi peningkatan perlindungan hak-hak azasi manusia; memperbaharui sistem peradilan sesuai dengan perinsip Islam; pembentukan pemerintahan yang jujur dan berwibawa; perbaikan lembaga kemasyarakatan; penyederhanaan cara mendapatkan pupuk, air minum, listrik, gas, telepon dan peningkatan pelayanan angkutan umum. Kendati masing-masing telah memiliki program konkrit seperti tercermin dari manifesto politiknya tadi, namun kenyataannya selama rapat-rapat umum, kedua kelompok besar tesebut lebih menfokuskan perdebatan pada isu saling menjelek-jelekan atau bersifat saling berusaha melemahkan posisi lawan saja. Keduanya jarang menyampaikan program-program yang sifatnya bermanfaat bagi rakyat.98

Selama kampanye kubu PDA selalu dihantui oleh tindakan pertanggungjawaban (acountability) yang dilancarkan oleh pemerintahan sementara. Tindakan itu sebagai langkah lanjut atas tuduhan yang dilancarkan Presiden Ghulam Ishaq Khan terhadap Benazir Bhutto yang mengakibatkan dipecatnya perdana menteri wanita itu. Pemerintah sementara ini melakukan penyidikan dan penangkapan para aktifis PPP sesuai dengan tuduhan yang dijadikan alasan Presiden Ghulam Ishaq Khan untuk membubarkan pemerintahan Benazir Bhutto. Tidak hanya Benazir Bhutto yang diajukan ke pengadilan,

97

Riza Aulia, “Apa yang Terjadi di Pakistan?”, data diakses pada 29 Oktober 2008, dari http://hizbut-tahrir.or.id/2007/11/22/apa-yang-terjadi-di-pakistan/

98

Lawrence Ziring, “Pakistan in 1990: The fail of Benazir Bhutto”, ASIAN Survey, Vol. XXXI, No. 2, Februari 1991, h. 119.

tetapi banyak juga tokoh-tokoh PPP yang diajukan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan pengadilan sesuai dengan tuduhan atas tindakan mereka selama dua puluh bulan pemerintahan PPP berkuasa. Tuduhan-tuduhan yang akan dibuktikan di depan pengadilan meliputi tindak pidana korupsi, teror politik terhadap musuh-musuhnya serta tindakan-tindakan tidak konstutisional. Waktu itu banyak tokoh PDA khususnya PPP, yang di tangkap dan ditahan sehingga tidak memungkinkan bagi mereka untuk berkampanye di daerah para pemilihnya.

Masalah pertanggungjawaban accountability mendapat reaksi keras tidak hanya dari PPP yang merasa dirugikan, tetapi juga memancing reaksi dari Amerika Serikat yang disampaikan melalui Duta Besar Amerika Serikat di Pakistan dengan mengkritik bahwa terjadi ketidakadilan karena diskriminatif hanya diberlakukan terhadap orang-orang PPP, dan bukan termasuk tokoh-tokoh pemerintah sebelumnya. Dari proses pelaksanaannya terlihat bahwa motif sebenarnya dari “pertanggungjawaban” accountability lebih bersifat politis, yaitu untuk menyingkirkan tokoh-tokoh PPP. Dengan demikian diharapkan dapat memperkuat kedudukan IJI.

Pihak PPP tidak hanya mendapat tekanan dari pemerintah melalui pertanggungjawaban accountability. Pemerintahan Jatoi ternyata juga semakin keras berusaha mengeliminir pengaruh Benazir Bhutto dengan menarik para pendukung utama Benazir untuk bergabung dalam pemerintahan sementara. Jatoi menarik empat orang mantan sekutu Benazir (Ghulam Mustafa Khan, Miraj Khalid, Mahdoem Shafiquzzaman dan Kazi Abdul Majed Abid), untuk menjadi menteri dalam pemerintahan sementara. Pengangkatan Makhdoem Shafiquzzaman ini menjadi pukulan berat bagi Benazir untuk mengumpulkan dukungan pada pemilu Oktober 1990. Makhdoem adalah keluarga kiyai

yang dipuja para pengikutnya (para santri) di propinsi Sindh dan Punjab. Sebagaimana para kiyai lainnya, keluarga Makhdoem ini juga mengikat tali keluarga dengan kaum Zamidar (tuan tanah muslim), yang juga berpengaruh besar pada rakyat pedesaan.99 Pihak Angkatan Darat juga memberi peluang bagi kemenangan IJI. Hal ini terlihat dari penempatan pasukan Angkatan Darat di beberapa daerah para pemilih yang merupakan basis PPP. Alasan yang disampaikan pimpinan Angkatan Darat bagi penempatan pasukannya adalah untuk menangkal kemungkinan teror yang akan dilakukan pihak-pihak tertentu yang ingin mengacaukan pemilu. Namun daerah-daerah tersebut adalah tempat potensial bagi PPP untuk meraih kemenangan, seperti di propinsi Sindh dan beberapa tempat di Punjab. Melihat gelagat demikian, ketua PPP Benazir Bhutto dari awal telah dapat meramalkan bahwa pemilu tersebut tidak akan dapat terlaksana sebagaimana yang diharapkan, yaitu bebas, jujur dan tidak memihak.

Proses pengadilan atas diri Benazir dan sejumlah mantan menterinya jelas merugikan PPP, terutama dalam menghadapi pemilu 1990 ini. Benazir tidak dapat berkampanye secara bebas karena harus menghadiri sidang pengadilan. Hal ini berpengaruh pada semangat para pendukung tokoh-tokoh PPP lainnya karena Benazir merupakan tokoh senteral PPP yang pada pemilu 1988 terbukti mampu memobilisasi massa. Dengan absennya Benazir dari beberapa kampanye PPP, tokoh-tokoh PPP lainnya tidak terlalu yakin akan dapat menarik simpati massa. Selain itu, selama pengadilan berlangsung, pers resmi cenderung pula membuat versi yang sudah mengarah pada “pengadilan oleh media”. Kondisi ini jelas akan berpengaruh besar sebab turunnya kredibilatas Benazir dan tokoh-tokoh PPP lain di hadapan masyarakat Pakistan. Media

99

Dhururudin Mashad, “Pemilu di Pakistan 1990: Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih Kekuasaan”, h. 80.

massa (pers) adalah pembentuk “opini publik” yang sangat ampuh. Sehingga apa yang diinformasikan oleh pers tentang diri Benazir Bhutto akan langsung diterima mentah-mentah oleh masyarakat.

Akhirnya pemilu tanggal 24 Oktober 1990 dimenangkan IJI dengan memperoleh 105 kursi dari 217 kursi yang diperebutkan untuk mengisi 217 kursi di parlemen. Sementara PDA yang didominasi PPP hanya memenangkan 45 kursi. Dalam pemilu ini, MQM tampil lagi sebagai kekuatan ketiga terbesar dengan memenangkan 15 kursi, ANP 11 kursi, JUIF 11 kursi, dan partai-partai kecil dan calon Independen 30 kursi (lihat tabel 2). Dari hasil pemilu tesebut terlihat IJI (bersama-sama dengan sekutunya) berhasil memimpin perolehan suara dengan menjadi mayoritas.

Tabel 2.

Hasil Pemilihan Umum Anggota Majelis Nasional di Pakistan, 24 Oktober 1990100

NO. NAMA PARTAI Perolehan Kursi

1. Islamic Jamhoori Ittehad (IJI) 105 kursi

2. Pakistan People’s Party (PPP) 45 kursi

3. Mohajir Qoumi Movement (MQM) 15 kursi

4. Awami National Party (ANP) 11 kursi

5. Jamaati Ulamai Islami (JUI) 11 kursi

6. Lainnya:

- Nation People’s Party (NPP),

100

Dhururudin Mashad, “Pemilu di Pakistan 1990: Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih Kekuasaan”, Jurnal Ilmu Politik 13 (Jakarta: PT Gramedia, 1993), h. 82.

- Sind National Party (SNP),

- Tehrik i Nifaz Fiqh i Jafrida (TNFJ),

- dan partai-partai kecil independent.* 30 kursi Total 217 kursi

* NPP, SNP< TI, TNFJ adalah pendukung People’s Democratic Alliance (PDA) pimpinan Benazir Bhutto.

Kemenangan IJI ternyata tidak hanya terjadi pada tingkat nasional. Pada pemilihan tingkat propinsi tanggal 27 Oktober 1990, ternyata menghasilkan pola sama. IJI dan sekutunya memperoleh 325 kursi dari 473 kursi di keempat propinsi, PDA ternyata gagal memenangkan suara mayoritas propinsi asal Benazir Bhutto sendiri, Sindh. Alhasil, dengan kemenangan telak, IJI pun membentuk pemerintahan propinsi di Punjab. IJI juga menunjukkan kekuatannya di propinsi Sindh dan Baluchistan serta membentuk pemerintahan koalisi dengan ANP di NWFP. Untuk pertama kalinya pula, IJI dapat membentuk pemerintahan di empat propinsi.

Dalam dokumen POLITIK BENAZIR BHUTTO (Halaman 69-77)