DALAM PELAKSANAAN EKSEKUSI BERDASARKAN PRAKTEK PERADILAN
3. Eksekusi atas Hak Tanggungan
Beberapa pendapat mengatakan bahwa kreditur dirugikan dengan adanya kredit macet yang diakibatkan karena debitur gagal melakukan pelunasan hutangnya setelah jatuh tempo. Hal ini dapat dipahami, karena meskipun kreditur menerima jaminan berupa hak tanggungan atas barang berupa tanah yang menjadi jaminan, tetapi menjadikan obyek hak tanggungan sebagai pemenuhan hutang debitur masih memerlukan langkah dan prosedur lanjutan yang harus diikuti.
15 Disarikan dari Victor M.Situmorang & Cormentyna Sitanggang, Op.Cit., Hlm.117.
Pasal 1 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT) memberikan definisi hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Pemegang hak tanggungan selalu memiliki kedudukan preferent, diutamakan dari kreditor lainnya, karena dalam sertifikat hak tanggungan terdapat irah-irah
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyai kekuatan eksekutorial sama dengan putusan pengadilan.
Pengertian “mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan”, secara umum dipahami bahwa kreditor sebagai pemegang hak tanggungan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan sendiri pemenuhan piutangnya terhadap debitor atas obyek hak tanggungan, dengan cara menjual atas kekuasaan sendiri. Penjualan obyek hak tanggungan oleh kreditor ini dilakukan dengan cara lelang umum atau kepada debitor diberikan kesempatan untuk menjual sendiri untuk memperoleh harga tertinggi (parate executie). Penjualan melalui lelang umum seperti ini dilakukan sendiri oleh kreditor tanpa bantuan perintah eksekusi oleh ketua pengadilan negeri. Kreditor dapat melakukan pelelangan dengan bantuan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang atau kantor lelang swasta.
Ada pendapat bahwa hanya terhadap pelaksanaan eksekusi berdasarkan grosse akta yang harus dengan perintah ketua pengadilan (fiat executie) , sedangkan terhadap parate executie berdasarkan kekuasaan sendiri tidak perlu dengan perintah ketua pengadilan , karena jika demikian, maka apa bedanya antara eksekusi grosse akta yang didasarkan pada irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dengan eksekusi langsung oleh kreditor (parate executie) yang tidak didasarkan pada irah-irah eksekutorial sebagaimana dalam grosse akta.
Saya berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 6 UUHT yang memberikan hak kepada kreditor untuk menjual obyek hak tanggungan dengan kekuasaan sendiri adalah merupakan bentuk dari parate executie yang tidak memerlukan fiat executie dari ketua pengadilan. Kreditor dapat melakukan penjualan obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum atau di bawah tangan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dan penerima hak tanggungan untuk memperoleh harga tertinggi. Ketua Pengadilan Negeri hanya dimintakan “bantuannya” dalam hal penjualan atas kekuasaan sendiri oleh kreditor telah selesai tetapi debitor tidak bersedia mengosongkan atau meninggalkan obyek lelang (vide SEMA No. 4 Tahun 2014 dan SEMA No. 5 Tahun 2014)16
Untuk pelaksanaan parate executie terhadap perjanjian tanpa titel eksekutorial, seperti gadai atau perjanjian pinjam uang dengan jaminan tanah yang kreditornya perorangan/rentenir, kreditor dapat melakukan parate executie dengan cara penjualan langsung atau dengan persetujuan debitor sepanjang hal itu diperjanjikan.
Praktek yang terjadi di masyarakat seringkali obyek jaminan hutang beralih menjadi milik kreditor sebagai pelunasan hutang. Ini merupakan praktek
16 Pri Pembudhi Teguh, Hakim Agung RI. “Dalam Seminar Nasional Implementasi Title Eksekutorial pada Sertifikat Hak Tanggungan dan Grosse Akta Kaitannya sebagai Alas Pelaksanaan Eksekusi”, 22 Juni 2019, Hotel Solo Paragon.
menyimpang yang dilarang berdasarkan Pasal 1178 KUHPerdata yang melarang semua janji dimana kreditor dikuasakan untuk memiliki benda obyek hak tanggungan dengan akibat batal (vervalbeding).
Dalam kenyataaannya, terdapat beberapa kasus dimana kantor lelang tidak bersedia melakukan pelelangan tanpa adanya perintah eksekusi dari ketua pengadilan negeri (fiat exekutie) dan sebaliknya, terdapat pula ketua pengadilan negeri tidak bersedia memberikan fiat-nya karena penjualan obyek hak tanggungan oleh kreditor merupakan parate executie (eksekusi langsung) yang didasarkan pada titel eksekutorial dalam sertifikat hak tanggungan, sehingga tidak diperlukan bantuan pengadilan karena kekuatannya setara dengan putusan pengadilan.
Apabila kreditor berhasil melaksanakan sendiri penjualan obyek hak tanggungan, baik karena lelang umum maupun penjualan di bawah tangan, termasuk penjualan oleh debitor sendiri, beberapa perkara yang menjadi buntutnya adalah tidak bersedianya debitor mengosongkan obyek lelang dan akhirnya menjadi sengketa di pengadilan. Dalam hal seperti ini, bagaimana kreditor dapat melakukan upaya (paksa) agar debitor mengosongkan obyek lelang, tanpa perintah pengadilan?
Terdapat beberapa pendapat, antara lain upaya pengosongan harus melalui gugatan ke pengadilan atau mohon penetapan eksekusi ketua pengadilan negeri khusus untuk pengosongan. Mengacu pada ketentuan Pasal 224 HIR, utang yang dijamin dengan hak tanggungan, apabila debitor tidak memenuhi kewajiban melunasi hutangnya secara sukarela (damai), maka pelaksanaannya dilakukan di bawah perintah ketua pengadilan negeri. Perintah ketua pengadilan negeri ini sejalan dengan kekuatan eksekutorial karena adanya irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan, karena itu melalui SEMA No. 5 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2014 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, Mahkamah Agung menegaskan bahwa dalam hal terlelang tidak bersedia mengosongkan obyek hak tanggungan yang telah dilelang, pemenang lelang dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri tanpa melalui gugatan.
Rumusan ini merupakan revisi atas Rumusan Kamar Perdata tanggal 14-16 Maret 2011 yang pada pokoknya menyepakati bahwa apabila terlelang tidak bersedia mengosongkan obyek lelang, tidak dapat dilakukan pengosongan berdasarkan Pasal 200 ayat (11) HIR, yaitu melalui perintah eksekusi oleh ketua pengadilan negeri, melainkan harus melalui gugatan karena pelelangan oleh kreditor sendiri tersebut merupakan pelelangan sukarela dan bukan lelang eksekusi.
Permohonan pengosongan diajukan oleh pemenang lelang dan bukan oleh kreditor, karena pelelangan dilakukan sendiri oleh kreditor melalui kantor lelang dan pemenangnya telah ditetapkan, karena itu obyek hak tanggungan beralih menjadi hak pemenang lelang. Sampai tahap ini, tidak ada peran apapun dari ketua pengadilan negeri, meskipun sebagian lainnya pelaksanaan lelang tetap dimintakan fiat eksekusinya kepada ketua pengadilan negeri.
Dengan demikian, rumusan dalam SEMA No. 5 Tahun 2014 memberikan penegasan bahwa irah-irah eksekutorial dalam hak tanggungan benar-benar
diperlakukan dan diberlakukan setara dengan kekuatan putusan pengadilan, selain mengoptimalisasi keberlakuan asas sederhana, cepat dan biaya ringan.
Pelaksanaan eksekusi hak tanggungan oleh kreditor sendiri merupakan eksekusi langsung (parate executie) yang didasarkan pada titel eksekutorial dalam perjanjian pinjam uang dengan jaminan tanah, karena itu mengacu pada penjelasan angka pasal 9 UUHT, parate executie merupakan aturan khusus (lex specialis) dari aturan umum eksekusi dalam Pasal 195 s.d. 197 HIR. Kekhususan ini terletak pada dimasukkannya ketentuan Pasal 224 HIR ke dalam Pasal 6 dan Pasal 14 UUHT, yaitu kreditor mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri berdasarkan adanya titel eksekutorial dalam perjanjian kreditor dengan debitor.