• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang Dibuat Untuk Penyelesaian Utang Piutang Oleh Para Pihak

Dalam dokumen Prosiding. Seminar Nasional dan Call For Paper (Halaman 134-139)

AGUNG NOMOR 1395 K/PDT/2017)

1. Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang Dibuat Untuk Penyelesaian Utang Piutang Oleh Para Pihak

a. Perjanjian Pengikatan Jual beli (PPJB) Sebagai Perjanjian Pendahuluan Dalam Peralihan Hak Atas Tanah

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah satu perjanjian yang dibuat oleh calon penjual dan calon pembeli suatu tanah atau bangunan sebagai pengikatan awal sebelum para pihak membuat Akta Jual Beli (AJB) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). PPJB dibuat para pihak karena adanya syarat-syarat atau keadaan-keadaan yang harus dilaksanakan terlebih dahulu oleh para pihak sebelum AJB di hadapan PPAT. Dengan demikian PPJB tidak dapat disamakan dengan AJB yang merupakan bukti pengalihan hak atas tanah atau bangunan dari penjual kepada pembeli.

Lahirnya PPJB sebagai akibat terhambatnya atau terdapatnya beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang yang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah yang akhirnya agak menghambat penyelesaian transaksi dalam jual beli hak atas tanah. Persyaratan tersebut ada yang lahir dari peraturan perundang undangan yang ada dan ada pula yang timbul sebagai kesepakatan para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah.

Bahwa PPJB merupakan perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertipikat hak atas tanah belum ada karena masih dalam proses, atau belum terjadinya pelunasan harga atau pajak-pajak yang dikenakan terhadap jual beli hak atas tanah belum dapat dibayar baik oleh penjual atau pembeli. 6

Pembuatan Akta PPJB dapat dibuat dengan akta notariil ataupun di bawah tangan. Dalam hal pembuatan PPJB yang dibuat dihadapan notaris merupakan akta autentik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa suatu akta autentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditetapkan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.

5 Amirudiin & H.Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 25

6 Retno Puspo Dewi,Op.Cit, 143

Notaris merupakan pejabat yang mempunyai kewenangan membuat akta autentik berdasarkan Undang-Undang. Kewenangan Notaris ini sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Pasal 15 ayat (1) yang menyebutkan:

“Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan, dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang”.

Para pihak dalam membuat PPJB dengan didasarkan pada kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian dengan melihat ketentuan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum tentang syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu:

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3) Suatu hal tertentu, dan

4) Suatu sebab yang halal

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan. Persetujuan mana dapat dinyatakan secara tegas maupun secara diam-diam.7 Syarat yang pertama dimaksudkan bahwa di antara pihak-pihak harus ada kemauan yang bebas untuk saling mengadakan suatu perjanjian yang sah dianggap tidak ada, apabila suatu sepakat itu diberikan atau terjadi karena adanya kekhilafan, penipuan atau paksaan (Pasal 1321 KUH Perdata).

Syarat yang kedua ialah adanya kecakapan dari para pihak untuk saling membuat suatu perikatan. Sehubungan dengan hal tersebut oleh Pasal 1329 KUHPerdata dinyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap.

Dengan demikian oleh undang-undang ditentukan adanya golongan-golongan orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, seperti itu ditentukan dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: mereka itu ialah orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.

Syarat ketiga adalah perjanjian itu harus mengenai sesuatu hal yang tertentu, dalam hal ini yang dimaksudkan ialah mengenai obyek dari perjanjian atau pokok perjanjian. Berdasarkan Pasal 1333 KUHPerdata, suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang yang sedikit sudah ditentukan. Dan

7 H. Ridwan Syahrani, S.H, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung:Alumni, 2006, hlm.

205

tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak ditentukan/tertentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Kemudian Syarat yang keempat ialah mengenai causa yang dihalalkan, yang dimaksud dengan causa itu ialah isi dan tujuan daripada perjajian itu sendiri. Yang dimaksud dengan causa yang tidak dihalalkan ialah causa yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum.8 Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.9

Kedudukan PPJB sendiri dalam hukum perjanjian merupakan suatu perjanjian yang lahir karena adanya asas kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak berkaitan erat dengan asas konsensualisme atau sepakat antara para pihak yang membuat perjanjian. Tanpa adanya sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat adalah tidak sah. Sebaliknya, apabila suatu perjanjian berdasarkan kesepakatan, kecakapan, memenuhi objek tertentu serta klausul yang halal maka perjanjian tersebut sah dan mengikat para pihak. Oleh karena itu, PPJB berkedudukan sebagai salah satu jenis perjanjian yang obligatoir dan konsensuil yang tunduk pada ketentuan Pasal 1320, Pasal 1457, serta Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.10 Berdasarkan asas kebebesan berkontrak para pihak dapat membuat suatu perjanjian berisi apa saja dan berbentuk apa saja asalkan tidak melanggar peraturan perundang-undangan ketertiban umum dan kesusilaan.

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan perjanjian pendahuluan yang dibuat oleh para pihak dalam peralihan hak atas tanah yang belum dapat dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Masyarakat dapat memilih untuk mengadakan perjanjian pendahuluan yang bertujuan untuk mengikat para pihak, dimana perjanjian pendahuluan itu akan berisikan bahwa pihak penjual dan pihak pembeli berjanji bahwa pada saat segala persyaratan yang menyangkut pelaksanaan jual beli tersebut telah terpenuhi secara sepenuhnya, para pihak akan melakukan jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang.

b. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat Berdasarkan Hubungan Hukum Utang Piutang

Perjanjian utang piutang tidak hanya dapat dilakukan dengan lembaga perbankan saja melainkan dapat pula dilakukan dengan siapa saja yang mempunyai kemampuan untuk itu, melalui perjanjian utang piutang antara pemberi pinjaman di satu pihak dan penerima pinjaman di lain pihak.

Selanjutnya dalam kegiatan pinjam meminjam uang yang terjadi dalam

8 Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Yogyakarta:Liberty, 1984, hlm. 33-34

9 R Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta:Intermasa, 2005, hlm. 17

10R.Subekti & R Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta:PT. Pradnya Paramita, 2001, hlm. 128.

masyarakat dapat diperhatikan bahwa pada umumnya sering dipersyaratkan adanya jaminan utang oleh pihak pemberi pinjaman kepada pihak penerima pinjaman. Jaminan utang dapat berupa barang (benda) sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau berupa janji penanggungan utang sehingga merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak kebendaan kepada pemegang jaminan.11

Jaminan utang adalah pemberian keyakinan kepada pihak kreditor atas pembayaran utang-piutang yang telah diberikannya kepada debitor, dimana hal ini terjadi karena hukum ataupun terbit dari suatu perjanjian yang bersifat assesoir tehadap perjanjian pokoknya berupa perjanjian yang menerbitkan utang-piutang.12 Para pihak yang terkait dalam utang piutang, baik kreditor, debitor, atau pihak lain harus mendapat perlindungan melalui lembaga jaminan yang bisa memberi kepastian hukum bagi semua pihak. Lembaga jaminan merupakan kebutuhan bagi kreditor untuk memperkecil resiko dalam menyalurkan kredit.

Dalam prakteknya perjanjian dituangkan dalam perjanjian jaminan secara umum yang tunduk kepada Pasal 1131 KUH Perdata, isinya; "Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu". Barang-barang objek jaminan adalah barang yang dapat dinilai dan dapat diperdagangkan.

Sistem jaminan kebendaan yang tunduk pada Pasal 1131 KUHPerdata tersebut diistilahkan dengan Jaminan Umum. Sementara itu ada jaminan khusus yakni penjaminan yang diatur di dalam undang-undang khusus seperti fidusia dan hak tanggungan yang bersifat eksekutorial.

Jaminan yang paling diterima oleh kreditor adalah berupa tanah, karena tanah mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan tidak akan mengalami penurunan nilainya. Fungsi tanah sebagai jaminan suatu utang atau agunan kredit, keberadaannya diatur salah satunya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Atas Tanah (selanjutnya disebut UUHT). UUHT menjadi dasar hukum mengenai apa saja yang dapat dijadikan jaminan sesuatu utang, kedudukan obyek jaminan terhadap utang, siapa yang dapat memberi dan menerima suatu jaminan serta bagaimana penyerahan dan penerimaan jaminan sesuatu utang.13

Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu

11 Astrian Endah Pratiwi, Perjanjian Utang Piutang Dengan Jaminan Penguasaah Tanah Pertanian Oleh Para Pihak Berpiutang, Privat Law Vol. No. 2 Juli-Desember 2017, hlm.94

12 Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang¸ Jakarta:Erlangga, 2013, hlm. 8

13 Annisa Ridha Watikno, Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Pemegang Jaminan Hak Atas Tanah yang Belum Terdaftar Akibat Debitor Wanprestasi, Repertorium:Jurnal Hukum Vol.6, 2019, hlm. 4.

terhadap kreditur-kreditur lain. Hak tanggungan merupakan jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberi kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya. Maksud dari kreditor diutamakan dari kreditor lainnya yaitu apabila debitor cidera janji, kreditor pemegang hak tanggungan dapat menjual barang agunan melalui pelelangan umum untuk pelunasan utang debitor. Kedudukan diutamakan tersebut tentu tidak mempengaruhi pelunasan utang debitor terhadap kreditor-kreditor lainnya.14 Dengan demikian maka hak tanggungan merupakan suatu lembaga hak jaminan atas tanah guna pelunasan suatu utang piutang yang diperjanjikan, bukan dengan membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) atas tanah guna pelunasan utang piutang.

Terkait mengenai Perjajian Pengikatan Jual Beli (PPJB) sebagai penyelesaian utang piutang antara para pihak, berdasarkan kasus dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1395 K/Pdt/2017 diketahui bahwa Para Penggugat (suami istri ) dan Tergugat I mulanya mempunyai hubungan hukum yaitu utang piutang dengan dibuatnya Akta Pengakuan Hutang di hadapan Notaris (Tergugat II) dan membuat Surat Pernyataan Jaminan dibawah tangan dan dilegalisasi oleh Tergugat II berupa jaminan perhiasan. Tidak hanya itu pada tanggal yang sama seperti perbuatan hukum diatas yaitu tanggal 03 Oktober 2006 dibuatlah Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Dalam Akta Pengakuan Hutang dan PPJB tersebut terdapat klausul kuasa jual dengan objek diluar jaminan hutang yaitu Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dengan atas nama Penggugat I.

Seiring berjalannya waktu karena krisis keuangan, penggugat belum sepenuhnya melunasi hutangnya sampai batas waktu perjanjian utang piutang dan memohon kebijakan dari Tergugat I. Kemudian dari Tergugat I meminta kembali Penggugat I untuk menandatangani PPJB pada tanggal 11 Juli 2008 yang didalamnya terdapat klausul kuasa jual yang dibuat dihadapan Tergugat II.

Berdasarkan PPJB tersebut oleh Tergugat I digunakan untuk membuat Akta Jual Beli Tanah pada tanggal 20 Agustus 2008, dengan Tergugat I bertindak baik sebagai penjual (pihak pertama) atas dasar kuasa menjual dari Penggugat I dan sekaligus bertindak selaku pembeli (pihak kedua) yang dibuat dihadapan Notaris lain (Tergugat III). Akhirnya terbitlah Sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama Tergugat I dan kemudian ditingkatkan menjadi Sertipikat Hak Milik (SHM).

PPJB yang diikuti dengan kuasa menjual yang seolah-seolah telah terjadi kesepakatan jual beli hak atas tanah antara pihak penjual dan pembeli yang sebenarnya untuk penyelesaian utang piutang bukan karena adanya peralihan hak jual beli atas tanah tersebut merupakan suatu penyimpangan hukum. Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan kuasa menjual tidak boleh menjadi motif sebagai cara pembayaran utang piutang.

14 Nurjannah, Eksistensi Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Hak Atas Tanah (Tinjauan Filosofis), Jurnal: Jurisprudentie, Volume 5 Nomor 1, Juni 2018, hlm.199

Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dalam kasus tersebut bahwa PPJB yang dibuat secara notarill memuat sebab yang palsu yang dimana bukan karena peralihan jual beli tanah melainkan untuk pelunasan hutang piutang yang dikaitkan dengan syarat sahnya perjanjian pada Pasal 1320 KUHPerdata maka tidak memenuhi syarat subjektif dan unsur objektif. PPJB tersebut dibuat oleh para pihak atas kehendak yang tidak bebas karena adanya penyalahgunaa keadaan dimana salah satu pihak sedang terpuruk keadaan ekonominya yang mengandung unsur suatu kekhilafan, penipuan atau paksaan.

Berdasarkan Pasal 1335 KUHPerdata menyebutkan “suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.” Hal ini mengatur suatu perjanjian tanpa sebab (causal), atau telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Perjanjian tersebut dilakukan dimana salah satu pihak sedang terpuruk keadaan ekonominya sehingga tidak bebas dalam membuat perjanjian, Dapat dikatakan adanya unsure penyalahgunaan keadaan. Penyalahgunaan Keadaan merupakan salah satu keadaan yang dapat disalahgunakan ialah adanya kekuasaan ekonomi (eenmisch verwicht) pada salah satu pihak yang mengganggu keseimbangan antara kedua belah pihak sehingga tidak ada kehendak yang bebas untuk memberikan persetujuan yang merupakan salah satu syarat bagi sahnya suatu perjanjian.15

Dengan demikian terkait Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat untuk penyelesaian utang piutang telah menyalahi aturan hukum yang mengandung sesuatu sebab yang palsu dan terlarang dan merupakan salah satu bentuk penyelundupan hukum seolah olah terjadi peralihan berupa jual beli dengan melakukan pelanggaran hukum dengan membuat dokumen berupa akta Pengikatan Perjanjian Jual beli yang dibuat secara notariil sehingga kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat untuk penyelesaian utang piutang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

2. Akibat Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang Dibuat Untuk

Dalam dokumen Prosiding. Seminar Nasional dan Call For Paper (Halaman 134-139)

Dokumen terkait