• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Hukum Kepemilikan Harta Bersama atas Tanah Hak Milik Pada PerkawinanCampuran Tanpa Perjanjian Perkawinan Pisah Harta yang

Dalam dokumen Prosiding. Seminar Nasional dan Call For Paper (Halaman 123-130)

PERKAWINAN YANG TERDAPAT PERJANJIAN NOMINEE (Studi Kasus Putusan Nomor: 787Pdt.G/2014/PN.DPS)

A. Latar Belakang Masalah

1. Status Hukum Kepemilikan Harta Bersama atas Tanah Hak Milik Pada PerkawinanCampuran Tanpa Perjanjian Perkawinan Pisah Harta yang

Memuat Perjanjian Nominee

Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Hal ini dapat dipahami bahwa setelah terjadi perkawinan kedudukan para pihak (suami dan istri) dianggap sama atau seimbang, dimana kedudukan suami dan istri merupakan satu kesatuan yang saling mengisi dan melengkapi. Dengan demikian perkawinan campuran menyebabkan terjadinya percampuran harta antara WNI dan WNA.

Akibat hukum percampuran harta benda dalam perkawinan campuran antara lain kepemilikan atas benda tidak bergerak berupa tanah. Dalam perkawinan campuran setengah bagian hak milik atas tanah dipahami menjadi milik WNA apabila tanpa ada perjanjian pisah harta.15

Setengah bagian yang dipahami menjadi milik WNA kemudian dikualifikasikan dalam Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA),16 yang mengatur bahwa: Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa pihak-pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.

14 Ibid. Hlm. 47.

15 Irma Bandiyah dan Abraham Ferry Rosando. “Kepemilikan Hak atas Tanah Warga Negara Indonesia yang Melaksanakan Perkawinan Campuran.” DIH Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 13 No. 25. Februari 2017.

Hlm. 105-123. Diakses dari http://jurnal.untag-sby.ac.id/index.php/dih/article/download/2225/1899 pada hari Minggu, 13 Oktober jam 02.00 WIB.

16 Gede Ode Angga Pratama. “Pengaturan Perolehan Hak Milik Atas Tanah dalam Perkawinan Campuran.” Jurnal Kertha Patrika. Vol 40, No. 2, Agustus 2018. Hlm. 85-98. Diakses dari https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthapatrika/article/view/40633/25469 pada hari Miggu, 13 Oktober 2019 jam 01.00 WIB.

Dari segi kepemilikan tanah, khususnya bagi WNI, perkawinan campuran dapat mengakibatkan seorang WNI kehilangan tanah hak miliknya. Sesuai UUPA, seorang WNI yang memiliki tanah dengan hak milik dan menikah dengan WNA, harus melepaskan tanah tersebut. Pelepasan itu dapat dilakukan dengan cara, misalnya, menjual atau menghibahkannya. Pelepasan itu harus dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sejak WNI memperoleh tanahnya, atau sejak WNI melakukan perkawinan campuran. Jika waktu tersebut lewat dan hak kepemilikan tanah itu tidak dilepaskan, maka hak atas tanah tadi akan hapus secara hukum dan tanahnya jatuh ke tangan negara.

Perlunya dilakukan pelepasan hak atas tanah itu terjadi karena dalam perkawinan antara WNI dan WNA terjadi percampuran harta. Tanah hak milik yang dipunyai WNI bercampur dengan harta kekayaan WNA di dalam harta bersama perkawinan. Dalam harta bersama, harta yang diperoleh suami dan istri selama perkawinan tidak dikuasai oleh masing-masing suami dan istri, melainkan berada di dalam kepemilikan bersama. Dengan demikian, dalam harta bersama itu tanah hak milik yang dipunyai WNI akan menjadi bagian dari harta bersama yang juga dimiliki oleh WNA sehingga hal tersebut telah melampaui batas-batas prinsip nasionalitas dan karenanya wajib dilepaskan.

Analisis Kasus Putusan Nomor: 787Pdt.G/2014/PN.DPS Terkait Pada Perkawinan Campuran Tanpa Perjanjian Perkawinan Pisah Harta yang Memuat Perjanjian Nominee

Dalam kasus yang termuat dalam 787Pdt.G/2014/PN.DPS, Penggugat (WNI), menikah dengan Tergugat I (WNA), secara sah sesuai dengan akta Kutipan Akta Nikah Nomor: 715/55/IX/2006 tanggal 13 September 2006 tanpa adanya perjanjian pisah harta. Pada pernikahannya, Penggugat berdasarkan Akta Jual Beli Nomor 169, tanggal 12 Juni 2007 telah membeli sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 1022/Desa Pererenan terletak di Jalan Jantuk Angsa, tercatat atas nama Karpika Wati. Tanah tersebut pada awal 2008 telah dibangun sebuah villa dengan nama Emmanuelle.

Sebelumnya Tergugat I telah curiga terhadap Penggugat apabila dikemudian hari akan timbul suatu permasalahan terhadap status harta bersama yang seluruhnya tercatat atas nama Penggugat, sehingga menghadap Notaris Eddy Nyoman Winarta, S.H selaku Tergugat II untuk mengikat apa yang yang menjadi milik Tergugat I dan dibuatkan akta berupa:

1) Akta Notaris Nomor 89, tanggal 24 Maret 2008 tentang Sewa Menyewa Tanah antara Penggugat selaku pihak pertama yang menyewakan dan Tergugat I selaku pihak kedua sebagai pihak penyewa

2) Akta Notaris Nomor 90, tanggal 24 Maret 2008 tentang Pengakuan Hutang Dengan Memakai Jaminan antara Tergugat I selaku pihak pertama yang menghutangkan dan Penggugat selaku pihak kedua sebagai pihak yang berhutang;

3) Akta Notaris Nomor 91, tanggal 24 Maret 2008 tentang Pernyataan dan Kuasa antara Penggugat selaku yang menyatakan dan pemberi kuasa dan Tergugat I selaku yang menerima pernyataan dan penerima kuasa, yang berisikan:

a) Menyatakan sebenarnya jumlah uang yang dipakai untuk membeli tanah dan bangunan yang atas nama Penggugat berasal dari uang milik pribadi Tergugat I;

b) Penggugat memberikan kuasa kepada Tergugat I untuk dan atas nama Penggugat menjual, mengoperkan dan/atau dengan jalan lain melepaskan hak atas tanah dan bangunan yang atas nama Penggugat;

4) Akta Notaris Nomor 108, tanggal 1 April 2008 tentang Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas nama Alain Maurice Pons beralamat di 10, Rue Jean Vidaihet 31800 St. Gaudens, France;

Melihat dari keempat akta tersebut jelas memposisikan Penggugat selaku nominee warga negara asing untuk maksud memindahkan hak milik secara langsung kepada Tergugat I. Perjanjian pinjam nama yang menarik untuk disoroti disini adalah adanya akta Akta Notaris Nomor 91, tertanggal 24 Maret 2008 tentang Pernyataan dan Kuasa antara Penggugat selaku yang menyatakan dan pemberi kuasa dan Tergugat I selaku yang menerima pernyataan dan penerima kuasa, yang berisikan:

a. Menyatakan sebenarnya jumlah uang yang dipakai untuk membeli tanah dan bangunan yang atas nama Penggugat berasal dari uang milik pribadi Tergugat I;

b. Penggugat memberikan kuasa kepada Tergugat I untuk dan atas nama Penggugat menjual, mengoperkan dan/atau dengan jalan lain melepaskan hak atas tanah dan bangunan yang atas nama Penggugat;

Menurut Maria SW. Sumardjono17, Perjanjian Pokok yang diikuti dengan perjanjian lain terkait penguasaan hak atas tanah oleh warga negara asing menunjukkan bahwa secara tidak langsung melalui perjanjian notariil, telah terjadi penyelundupan hukum. Karena Perjanjian Pinjam Nama (nominee) sama sekali tidak dikenal dalam sistem hukum di Indonesia khususnya dalam hukum perjanjian Indonesia, dan tidak ada pengaturan secara khusus dan tegas, sehingga dapat dikatakan mengandung pengertian yang kosong/norma kosong.

Menelaah mengenai kepastian hukum perjanjian pinjam nama (nominee agreement) di Indonesia, maka secara hukum perjanjian pinjam nama tersebut dapat dipersamakan dengan perjanjian yang secara tegas dilarang dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) UUPA yang mengatur bahwa: “Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik.” Jika dilihat sepintas, perjanjian pinjam nama (nominee agreement) sebagai cara penguasaan tanah dengan hak milik oleh WNA ini tidak terlihat seperti menyalahi peraturan perundang-undangan karena tidak dalam bentuk pemindahan hak milik atas tanah secara langsung kepada WNA. Tetapi, apabila isi perjanjian tersebut ditelaah, secara tidak langsung dimaksudkan untuk mengalihkan atau memindahkan hak atas tanah (yang berupa hak milik) kepada warga negara asing.

17 Maria S.W. Sumardjono. 1994. WNA dan Pemilikan Hak Milik Terselubung. Jakarta: Kompas. Hlm. 16

Perjanjian sewa nama (nominee agreement) sebagai cara penguasaan tanah dengan hak milik oleh WNA tentu tidak memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1320 ayat (4) yaitu suatu sebab yang halal. Adapun suatu sebab yang halal tersebut adalah hal yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Jika kita lihat dalam kasus ini, perjanjian tersebut jelas melanggar syarat sahnya perjanjian yang keempat karena telah ada suatu sebab yang tidak halal, karena sebagai orang asing yang dalam pasal 21 ayat (1) UUPA telah menyebut hanya Warga Negara Indonesia yang dapat memiliki hak milik atas tanah di Indonesia. Apabila tidak dipenuhinya syarat obyektif yaitu sebab yang halal akan mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum.

Artinya sejak semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

Dalam tatanan hukum pertanahan nasional, hubungan hukum antara terkait dengan tanah, telah diatur dalam UUPA dimana salah satu asas yang dianut oleh UUPA adalah asas Nasionalitas. WNA hanya berhak untuk memiliki Hak Pakai untuk peruntukan tanah di Indonesia, tetapi bukan Hak Milik. Hanya WNI-lah yang dapat mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia. Hal ini untuk perlindungan dan pencegahan monopoli di bidang/lapangan agraria, ditekankan pada pemilikan dan penguasan atas tanah (monopoli tanah).

Menurut Boedi Harsono,18 hak-hak perseorangan yang diberi hak untuk memakai dalam arti menguasai, menggunakan dan/atau mengambil manfaat tertentu, berupa Hak-hak atas tanah yang akan tetap berupa Hak Milik. Dapat dilihat jika menurut Boedi Harsono hak untuk menguasai adalah hak atas tanah yang tetap berupa hak milik, maka warga negara asing tidak dapat dikatakan bisa menguasai atau mengambil manfaat tersebut, karena warga negara asing hanya dapat menggunakan hak pakai dan hak sewa saja.

Pada praktiknya terdapat unsur-unsur yang membuat perjanjian pinjam nama (nominee agreement) tersebut tidak diperbolehkan dibuat karena dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yaitu: “tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Menelaah dari unsur-unsur perbuatan melawan hukum diatas maka perjanian pinjam nama (nominee agreement) sebagai cara penguasaan tanah dengan hak milik oleh WNA dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum apabila isi dari perjanjian pinjam nama (nominee agreement) tersebut memenuhi keempat unsur diatas. Pada prakteknya, perjanjian pinjam nama (nominee agreement) digunakan sebagai penyelundupan hukum kepemilikan tanah, dengan didasari oleh Kuasa mutlak.

Perjanjian tersebut jelas melanggar pengaturan perjanjian pada umumnya yang telah diatur secara sedemikian rupa. Perjanian pinjam nama (nominee agreement) sebagai cara penguasaan tanah dengan hak milik oleh WNA tersebut tentulah merugikan negara, karena perjanjian nominee dapat dibuat untuk suatu penggelapan pajak atau

18 Boedi Harsono. 2007. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Taruna Grafika. Hlm 27-28.

untuk mempermudah Orang Asing menguasai segala bentuk kepemilikannya di Indonesia.

Mengenai akibat yang ditimbulkan dari dilanggarnya pemindahan hak milik tanah kepada orang asing tertera dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA, yaitu:

“Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan- perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warganegara yang di samping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali”

Maka akibat perjajian yang dibuat dengan melanggar Pasal 26 ayat (2) tersebut sesauai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA adalah:

a. Perbuatan batal demi hukum.

b. Tanah yang jadi objek jatuh pada Negara.

c. Hak-hak pihak lain yang membaninya tetap berlangsung.

d. Semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.

D. Kesimpulan

1. Berdasarkan analisis dan kajian kasus pada Putusan Nomor 787/Pdt.G/2014/PN.

DPS, perjanjian nominee antara WNA dan WNI terkait kepemilikan Hak Atas Tanah dapat dikatakan tidak sesuai hukum dan patut untuk dinyatakan batal demi hukum.

Perolehan Hak Milik atas tanah tersebut diperoleh dari harta bersama, dalam harta bersama itu tanah hak milik yang dipunyai WNI akan menjadi bagian dari harta bersama yang juga dimiliki oleh WNA sehingga hal tersebut telah melampaui batas-batas prinsip nasionalitas dan karenanya perbuatan tersebut batal demi hukum dan tanah tersebut jatuh pada negara.

E. Saran

1. Notaris semestinya menjaga tegaknya hukum pertanahan, ikut menjaga aset-aset tanah di Wilayah hukumnya agar tidak dikuasai baik secara langsung atau pun tidak langsung oleh Warga Negara Asing bukan justru dengan sengaja memberikan jalan menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku karena hal tersebut merupakan bentuk penyimpangan atau penyelundupan hukum dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan baik keperdataan ataupun pertanahan. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dapat membuat WNI dalam perkawinan campuran yang sebelumnya tidak mempunyai perjanjian kawin dapat membuat perjanjian kawin (setelah kawin) hal ini tentunya bagus untuk penganut perkawinan campuran untuk proteksi yakni pemisahkan harta kekayaan antara pihak suami dengan pihak istri sehingga harta kekayaan mereka tidak bercampur.

DAFTAR PUSTAKA Buku

Boedi Harsono. 2007. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Taruna Grafika.

Darda Syahrizal. 2011. Kasus-kasus Hukum Perdata di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Grhatama.

Maria Sumardjono. 2005. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Edisi Revisi. Jakarta: Kompas.

Irma Devita Purnamasari. 2014. Kiat-kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris. Bandung: Mizan Pustaka.

Peter Mahmud Marzuki. 2014. Penelitian Hukum. Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Jurnal

Ahmadika Safira Edithafitri. “Status Kepemilikan Benda Tidak Bergerak dalam Perkawinan Campuran Di Indonesia.” Jurnal Lex Privatum. Vol 3. No. 1. Januari-Maret 2015. Hlm. 73-83. Diakses dari https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/

lexprivatum/article/download/7027/6536 pada hari Minggu, 13 Oktober 2019, jam 01.30 WIB.

Andina Damayanti Saputri. “Perjanjian Nominee dalam Kepemilikan Tanah bagi Warga Negara Asing yang Berkedudukan di Indonesia (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Nomor: 12/PDT/2014/PT.DPS)”. Jurnal Repertorium. 2015. hlm 97. Diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/213115-perjanjian-nominee-dalam-kepemilikan-tan.pdf pada hari Sabtu, 12 Oktober 2019 pukul 15.24 WIB.

Dyah Ochtorina Susanti. 2018. “Perjanjian Kawin Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Pasangan Suami Istri (Perspektif Maqashid Syari’ah). “ Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam Ulul Albab. Vol. 1, No.2, April 2018. Hlm. 11. Diakses dari http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/ua/article/view/2456 pada hari Minggu, tanggal 13 Oktober 2019, pukul 10.00 WIB.

Endah Pertiwi. “Tanggung Jawab Notaris Akibat Pembuatan Akta Nominee yang Mengandung Perbuatan Melawan Hukum Oleh Para Pihak”. Jurnal IUS. 2018.

Hlm 247. Diakses melalui http://jurnalius.ac.id/ojs/index.php/jurnalIUS/article/

view/559 pada hari Sabtu, 12 Oktober 2019 pukul 8.48 WIB.

Gede Ode Angga Pratama. “Pengaturan Perolehan Hak Milik Atas Tanah dalam Perkawinan Campuran.” Jurnal Kertha Patrika. Vol 40, No. 2, Agustus 2018.

Hlm. 85-98. Diakses dari https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthapatrika/article/

view/40633/25469 pada hari Miggu, 13 Oktober 2019 jam 01.00 WIB.

I Nyoman Putu Budhiartha. 2017. “Dilema Penegakan Hukum Putusan MK No.69/PUU-xii/2015 (Persoalan Perkawinan Campuran Tanpa Perjanjian Kawin)”

Jurnal Notariil. Vol. 1, No. 2, Mei 2017, hlm. 5-6. Diakses dari http://repository.warmadewa.ac.id/431/1/DILEMA%20PENEGAKAN%20HUK

UM%20PUTUSAN%20MK%20NO.69PUU-XII2015%20%28PERSOALAN%20PERKAWINAN%20CAMPURAN%20TAN PA%20PERJANJIAN%20KAWIN%29.pdf pada hari sabtu, 12 Oktober 2019 pada jam 13.17 WIB.

Irma Bandiyah dan Abraham Ferry Rosando. “Kepemilikan Hak atas Tanah Warga Negara Indonesia yang Melaksanakan Perkawinan Campuran.” DIH Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 13 No. 25. Hlm. 105-123. Diakses dari http://jurnal.untag-sby.ac.id/index.php/dih/article/download/2225/1899 pada hari Minggu, 13 Oktober jam 02.00 WIB.

Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria Putusan Pengadilan:

Putusan Pengadilan Negeri Denpasar 787Pdt.G/2014/PN.DPS

KEDUDUKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB)

Dalam dokumen Prosiding. Seminar Nasional dan Call For Paper (Halaman 123-130)

Dokumen terkait