• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksploitasi dari Segi Terhambatnya Akses Pendidikan

Dalam dokumen Exploitation of Working Children in Indonesia (Halaman 109-114)

VI. EKSPLOITASI TERHADAP ANAK YANG BEKERJA

6.1. Tingkat Keparahan Eksploitasi terhadap Anak yang Bekerja

6.1.3. Eksploitasi dari Segi Terhambatnya Akses Pendidikan

Sesuai kriteria yang diberikan oleh UNICEF mengenai eksploitasi terhadap anak yang bekerja, bahwa salah satu jenis pekerjaan yang eksploitatif adalah pekerjaan yang menghambat ke akses pendidikan. Oleh karena itu, perlu diteliti tentang partisipasi sekolah anak yang bekerja sebagai indikator hambatan terhadap akses pendidikan bagi anak-anak yang bekerja.

Pengolahan data SAKERNAS 2011 memberikan hasil bahwa dari keseluruhan anak yang bekerja, terdapat 59,90 persen anak yang tidak/belum pernah bersekolah. Tabel 22 memperlihatkan sebaran anak-anak bekerja yang tidak/belum pernah bersekolah berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur. Sebanyak 65,73 persen anak-anak yang terhambat akses pendidikannya adalah anak laki-laki, sedangkan sisanya sebanyak 34,27 persen adalah anak perempuan. Tabel 23 Persentase anak yang terhambat akses pendidikan menurut jenis kelamin

dan kelompok umur di Indonesia, tahun 2011

Jenis Kelamin

Kelompok Umur

10-12 tahun 13-15 tahun 16-17 tahun

Laki-laki 64,55 68,00 64,89

Perempuan 35,45 32,00 35,11

L+P 1,43 29,23 69,34

Sumber: data diolah dari BPS, 2011

Apabila dilihat berdasarkan kelompok umur, sebagian besar anak-anak yang terhambat akses pendidikannya adalah pada kelompok umur 16-17 tahun, yaitu sebesar 69,34 persen. Hal ini mengindikasikan banyak anak bekerja yang putus sekolah atau tidak mampu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Bagi rumah tangga yang berpendapatan rendah, anak-anak pada kelompok ini biasanya akan lebih memilih untuk bekerja membantu orang tua. Untuk kelompok umur 10-15 tahun, persentase anak bekerja yang belum/tidak bersekolah sebesar 30,66 persen. Angka ini cukup tinggi mengingat anak-anak pada umur ini merupakan target utama program wajib belajar sembilan tahun yang sedang gencar digiatkan oleh pemerintah.

Tabel 23 memperlihatkan bahwa persentase anak yang terhambat akses pendidikan lebih besar di daerah perdesaan dibandingkan daerah perkotaan. Sebanyak 64,58 persen anak yang terhambat akses pendidikan tinggal di perdesaan, sedangkan sisanya tinggal di perkotaan. Besarnya persentase anak yang terhambat akses pendidikan di daerah perdesaan ini diduga selain karena masalah ekonomi juga karena kondisi lingkungan. Fasilitas pendidikan di perdesaan kurang lengkap dibandingkan di daerah perkotaan. Selain itu, faktor kultural di daerah perdesaan yang mendukung anak untuk bekerja agar melatih kemandirian sejak kecil.

Tabel 24 Persentase anak yang terhambat akses pendidikan menurut jenis kelamin dan daerah tempat tinggal di Indonesia, tahun 2011

Jenis Kelamin

Daerah Tempat Tinggal

Perdesaan Perkotaan D+K

Laki-laki 71,99 54,32 65,73

Perempuan 28,01 45,68 34,27

L+P 64,58 35,42 100,00

Sumber: data diolah dari BPS, 2011

Perbandingan antardaerah tempat tinggal juga terlihat dari Tabel 23. Di daerah perdesaan, proporsi anak laki-laki yang mengalami hambatan akses pendidikan lebih tinggi dibandingkan proporsi anak laki-laki yang tinggal di daerah perkotaan. Sebaliknya untuk anak perempuan, proporsi anak perempuan di daerah perkotaan yang terhambat akses pendidikan lebih besar dibandingkan proporsi anak perempuan yang tinggal di daerah perdesaan. Di daerah perdesaan anak laki-laki biasanya lebih dituntut untuk dapat membantu meringankan beban ekonomi keluarga sehingga mereka terancam putus sekolah karena masuk ke dunia kerja, sedangkan di daerah perkotaan meskipun persentase anak laki-laki yang terhambat akses pendidikan lebih tinggi dibandingkan persentase anak perempuan namun perbedaan persentase tidak terlalu besar.

Tabel 25 Persentase anak yang terhambat akses pendidikan menurut lapangan usaha dan daerah tempat tinggal di Indonesia, tahun 2011

Lapangan Usaha

Daerah Tempat Tinggal

Perdesaan Perkotaan D + K

Pertanian 65,44 11,77 46,44

Nonpertanian 34,56 88,23 53,56

Jumlah 100,00 100,00 100,00

Sumber: data diolah dari BPS, 2011

Apabila dilihat dari lapangan usaha anak, persentase anak bekerja yang terhambat akses pendidikan lebih besar di sektor nonpertanian dibandingkan sektor pertanian, yaitu masing-masing 53,56 persen dan 46,44 persen. Perbedaan yang signifikan terlihat antara proporsi anak-anak bekerja yang terhambat akses pendidikan di daerah perdesaan dan perkotaan. Di daerah perdesaan, sebanyak 65,44 persen anak yang terhambat akses pendidikan bekerja di sektor pertanian. Hal ini sesuai kondisi yang ada bahwa sebagian besar anak yang bekerja di perdesaan berada di sektor pertanian. Demikian juga untuk daerah perkotaan yang lapangan usaha anak didominasi sektor modern/nonpertanian, maka sebagian besar anak yang terhambat akses pendidikannya juga bekerja di sektor nonpertanian.

Perbedaan proporsi anak yang bekerja di sektor formal dan informal yang terhambat akses pendidikannya terlihat pada Tabel 25. Sebagian besar anak yang terhambat akses pendidikan (tidak/belum pernah bersekolah) bekerja di sektor informal, yaitu 63,33 persen, sedangkan sisanya (36,67 persen) bekerja di sektor formal. Sektor informal sering dikaitkan dengan tenaga kerja yang berpendidikan dan berkualitas rendah karena sektor ini dapat dengan mudah menampung angkatan kerja muda yang masih belum berpengalaman atau angkatan kerja yang pertama kali masuk pasar kerja. Selain itu sistem jam kerja di sektor informal cenderung tidak teratur, berbeda dengan sistem jam kerja di sektor formal yang cenderung teratur. Apabila dilihat menurut daerah tempat tinggal, terlihat proporsi yang berbeda. Di daerah perdesaan, sebagian besar anak yang tereksploitasi akses

pendidikan bekerja di sektor informal, sedangkan di daerah perkotaan terjadi kondisi yang sebaliknya, anak-anak yang tereksploitasi akses pendidikan sebagian besar bekerja di sektor formal.

Tabel 26 Persentase anak yang terhambat akses pendidikan menurut status pekerjaan dan daerah tempat tinggal di Indonesia, tahun 2011

Sataus Pekerjaan

Daerah Tempat Tinggal

Perdesaan Perkotaan D + K

Formal 23,63 60,45 36,67

Informal 76,37 39,55 63,33

Jumlah 100,00 100,00 100,00

Sumber: data diolah dari BPS, 2011

Tidak seperti eksploitasi anak bekerja dari segi jam kerja dan upah yang tingkat keparahannya dapat dihitung dengan Indeks FGT, tingkat keparahan eksploitasi dari segi terhambat akses pendidikan anak hanya dapat didekati dengan persentase anak bekerja yang terhambat akses pendidikan (belum pernah bersekolah/tidak bersekolah lagi). Jika dilihat dari persentase anak-anak bekerja yang terhambat akses pendidikannya, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki persentase yang tertinggi, yaitu sebesar 81,90 persen, yang diikuti oleh Provinsi Jawa Barat (79,30 persen), Kalimantan Barat (78,00 persen), DKI Jakarta (77,90 persen), dan Provinsi Banten (72,30 persen). Sedangkan Provinsi Bali memiliki persentase terkecil, yaitu 32,80 persen.

Tingginya persentase anak-anak yang terhambat akses pendidikan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diduga berkaitan dengan lapangan kerja anak-anak. Sebagian besar anak-anak bekerja di sektor pertambangan dan pertanian dengan waktu yang panjang. Provinsi ini merupakan penghasil timah dan hasil perkebunan seperti karet dan sawit, anak-anak cenderung memilih bekerja dan meninggalkan bangku sekolah. Dari data SAKERNAS 2011 menunjukkan bahwa sebanyak 55,32 persen anak di provinsi ini bekerja lebih dari 40 jam perminggu, atau lebih dari delapan jam perhari dengan asumsi lima hari kerja perminggu.

Tabel 27 Persentase anak yang bekerja yang terhambat akses pendidikan menurut provinsi di Indonesia, tahun 2011

Provinsi Persentase Anak yang Terhambat

Akses Pendidikan Aceh 37,30 Sumatera Utara 36,40 Sumatera Barat 45,90 Riau 61,00 Jambi 64,20 Sumatera Selatan 67,00 Bengkulu 60,50 Lampung 52,50

Kep. Bangka Belitung 81,90

Kep. Riau 62,90 DKI Jakarta 77,90 Jawa Barat 79,30 Jawa Tengah 71,10 DIY 51,30 Jawa Timur 66,00 Banten 72,30 Bali 32,80 NTB 44,40 NTT 54,10 Kalimantan Barat 78,00 Kalimantan Tengah 69,40 Kalimantan Selatan 62,60 Kalimantan Timur 63,90 Sulawesi Utara 61,10 Sulawesi Tengah 46,00 Sulawesi Selatan 47,10 Sulawesi Tenggara 34,80 Gorontalo 60,50 Sulawesi Barat 48,80 Maluku 41,90 Maluku Utara 36,40 Papua Barat 65,70 Papua 54,80 Indonesia 59,90

6.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Eksploitasi terhadap Anak yang

Dalam dokumen Exploitation of Working Children in Indonesia (Halaman 109-114)

Dokumen terkait