• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja Anak

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori

2.1.6. Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja Anak

ILO (2007) menjelaskan tentang permintaan dan penawaran tenaga kerja anak sebagai berikut:

1. Permintaan Tenaga Kerja Anak

a. Hipotesis “Nimble Fingers”/ Jari yang Lincah

Teori jari yang lincah menyatakan bahwa anak-anak memiliki keunggulan komparatif dalam beberapa jenis pekerjaan, sehingga untuk beberapa jenis pekerjaan ini anak-anak lebih cocok untuk dipekerjakan dibandingkan tenaga kerja dewasa. Teori ini secara masuk akal menjelaskan keberadaan sejumlah besar pekerja anak. Namun saat ini sudah banyak penelitian yang membantah Teori Nimble Finger dan menggali penyebab lain yang menjelaskan sisi permintaan terhadap tenaga kerja anak.

Grimsrud (2001) menyatakan bahwa upah tenaga kerja anak lebih rendah daripada pekerja dewasa pada jenis pekerjaan yang sama yang berarti bahwa biaya produksi yang lebih rendah bagi pengusaha. Terdapat dua kemungkinan alasan mengapa upah tenaga kerja anak lebih rendah: pertama, produktivitas dan kualitas kerja dari anak lebih rendah daripada pekerja dewasa dan kedua, anak- anak mudah untuk dieksploitasi. Kemungkinan lain yang bisa menjelaskan sisi permintaan tenaga kerja anak adalah karena adanya kekurangan tenaga kerja dewasa. Maka dapat disimpulkan bahwa secara langsung, permintaan terhadap tenaga kerja anak berhubungan erat dengan harga tenaga kerja anak (upah). Semakin banyak kesempatan pengusaha untuk mempekerjakan anak-anak dengan upah yang lebih rendah daripada pekerja dewasa, semakin besar permintaan terhadap tenaga kerja anak. Hal ini terjadi karena tidak adanya peraturan, kurangnya pengawasan, atau diperbolehkannya oleh norma sosial. Sedangkan permintaan tidak langsung terhadap tenaga kerja anak dihubungkan dengan rentang pendapatan dari tenaga kerja dewasa.

Grimsrud juga melihat permintaan dan penawaran tenaga kerja secara keseluruhan. Penawaran tenaga kerja anak merupakan akibat dari keputusan

rumah tangga yang berkenaan dengan kesejahteraan rumah tangga. Anak-anak yang bekerja berhubungan dengan pasar tenaga kerja orang tua mereka. Berkurangnya pendapatan rumah tangga akan direspon dengan mengirim anak- anak mereka ke pasar tenaga kerja atau menyuruh anak-anak mengerjakan tugas rumah tangga atau bekerja pada lahan keluarga, sedangkan tenaga kerja dewasa akan berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja.

b. Kemajuan Tekhnologi

Hazan dan Berdugo (2002) menjelaskan evolusi dari tenaga kerja anak, fertilitas, dan modal manusia dalam proses pembangunan. Pada tahap awal pembangunan ekonomi tenaga kerja anak melimpah, fertilitas tinggi, dan output perkapita rendah. Perkembangan tekhnologi secara bertahap meningkatkan perbedaan upah antara orang tua dan tenaga kerja anak, orang tua akan menyubstitusi pendidikan untuk pekerja anak dan mengurangi fertilitas. Perekonomian lepas landas kearah pertumbuhan yang berkelanjutan, ekuilibrium dalam kondisi steady state dimana pekerja anak secara efektif dihapuskan dan fertilitas menurun. Larangan pekerja anak ini akan mempercepat proses transisi dan menghasilkan hasil yang pareto dominan.

c. Efisiensi Upah

Upah yang efisien adalah upah yang dibayarkan melebihi upah di pasar. Upah ini merangsang produktivitas pekerja dan dapat menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi bagi pengusaha karena dapat mengimbangi biaya untuk membayar upah pekerja yang lebih tinggi. Jika sebagian upah dari tenaga kerja dewasa digunakan untuk meningkatkan gizi bagi anak dan jika upah yang efisien dibayarkan, pekerja anak cenderung akan meningkat. Hal ini terjadi karena altruisme dari orang tua, sebagai akibat dari pendapatan orang tua yang lebih tinggi dan gizi yang lebih baik bagi anak, akan menyebabkan kebocoran efisiensi upah tenaga kerja dewasa yang dapat meningkatkan insentif bagi pengusaha untuk mempekerjakan orang dewasa dan anak-anaknya. Analisis ini konsisten dengan fakta bahwa beberapa keluarga sering melakukan pekerjaan bersama-sama sekeluarga di ladang dan pabrik-pabrik.

d. Komposisi Aset Portofolio Rumah Tangga

Komposisi aset portofolio rumah tangga merupakan faktor yang penting dalam sisi permintaan tenaga kerja anak. Rumah tangga yang memiliki sejumlah lahan akan cenderung mempekerjakan anak-anak mereka.

e. Perdagangan dan Keunggulan Komparatif

Beberapa negara maju berupaya mencari sanksi perdagangan kepada Negara-negara berkembang yang mempekrjakan anak-anak. Kekhawatiran ini terjadi karena fakta tentang eksploitasi anak di negara-negara berkembang dapat menurunkan biaya tenaga kerja, menyebabkan kompetisi yang tidak fair dalam pasar dunia dan memperluas tekanan pada upah tenaga kerja yang tidak terdidik dan kesempatan kerja di negara maju.

f. Aktivitas Nonekonomi Anak dan Isu Gender

Aktivitas nonekonomi anak merupakan permintaan terhadap waktu anak. Grimsrud (2001) mencatat bahwa sebagian besar pekerja anak di dunia adalah anak perempuan dan sebagian besar anak-anak yang aktif secara ekonomi adalah anak laki-laki. Perbedaan jumlah dan komposisi jender ini disebabkan karena pekerjaan rumah tangga yang banyak dilakukan anak perempuan merupakan sebuah aktivitas nonekonomi. Anak-anak (terutama perempuan) sering terlibat dalam aktivitas keluarga sebagai tenaga kerja tidak dibayar bagi orang tuanya (terutama ibunya) sebagai pekerja rumah tangga.

2. Penawaran Tenaga Kerja Anak a. Kemiskinan

Kemiskinan dikenal sebagai sisi penawaran yang penting dalam isu tenaga kerja anak, dan mungkin bisa dilihat sebagai faktor yang sangat berpengaruh dari sisi penawaran tenaga kerja baik tingkat mikro maupun makro. Laporan Bank Dunia menyatakan bahwa semakin tinggi share dari pertanian ke PDB, semakin tinggi pula kejadian pekerja anak. Pada tingkat mikro dapat dilihat dari tingkat rumah tangga. Terdapat dua asumsi, yaitu aksioma luxury dan substitusi. Asumsi ini dibuat untuk pasar tenaga kerja dimana anak-anak sebagai pekerja. Aksioma luxury menegaskan bahwa rumah tangga mengirim anaknya bekerja hanya karena dorongan kemiskinan. Aksioma substitusi menegaskan bahwa tenaga kerja dewasa dan anak-anak bersubstitusi. Berdasarkan asumsi ini, didapatkan kurva

penawaran hybrid dengan tiga wilayah yang berbeda (hanya tenaga kerja dewasa, pekerja anak meningkat dan total penawaran tenaga kerja). Terdapat ekuilibrium ganda dalam pasar tenaga kerja, ekuilibrium dengan upah tenaga kerja dewasa yang murah dan anak-anak bekerja, dan upah tenaga kerja dewasa tinggi dan anak-anak tidak bekerja).

b. Altruisme dan Isu dari Informasi yang Tidak Sempurna

Altruisme orang tua merupakan asumsi sederhana yang dibuat oleh model tenaga kerja anak. Altruisme ini akan berimplikasi terhadap keputusan rumah tangga apakah akan mengirim anaknya untuk bekerja atau sekolah. Anker (2000) menyatakan bahwa terdapat keterbatasan altruisme orang tua terutama untuk keluarga miskin di negara miskin. Terdapat enam alasan, pertama, keberlangsungan keluarga untuk rumah tangga miskin memerlukan pendapatan dari pekerja anak. Kedua, keluarga miskin mendapatkan manfaat apabila memiliki beberapa sumber pendapatan untuk meyakinkan adanya aliran pendapatan untuk setiap saat. Ketiga, orang tua tidak secara penuh altruistik terhadap anak-anak mereka. Keempat, krisis keluarga akan menyebabkan anak menjadi putus sekolah untuk bekerja dan membantu kelangsungan hidup keluarga. Kelima, ketidakpastian keuntungan yang diterima orang tua dari anak-anak yang terdidik/sekolah. Keenam, bekerja dan sekolah sering merupakan sebuah kombinasi.

c. Norma Sosial dan Budaya dan Faktor Komunitas

Pengaruh dari norma sosial, budaya, dan faktor komunitas berhubungan dengan diterima atau tidaknya keberadaan pekerja anak. Faktor komunitas seperti pedesaan dan lingkungan, kelompok agama, suku, kasta berperan penting dalam menentukan boleh tidanya pekerja anak, serta bentuk terburuk dan berbahaya dari pekerja anak.

d. Transisi Ekonomi

Transisi ekonomi menyajikan berbagai macam studi kasus keadaan yang mengarahkan anak ke bentuk terburuk dari pekerja anak. Kombinasi faktor sosial dan ekonomi yang dapat menyebabkan anak rentan untuk dieksploitasi dan diperdagangkan adalah kemiskinan dan pengangguran, kurangnya jaringan keamanan sosial, kriminal dan korupsi, struktur keluarga tanpa kehadiran orang

tua, rumah tangga dengan orang tua tunggal, keluarga besar, kebiasaan hidup yang buruk seperti alkohol, kekerasan, dan obat-obatan terlarang, putus sekolah dan tingkat partisipasi sekolah yang rendah, masuknya anak secara dini ke dunia kerja, putus asa, tidak terpenuhinya aspirasi, depresi, hidup dan bekerja di jalanan, migrasi, dan lain-lain.

e. Teori Risiko

Semua orang, rumah tangga, dan komunitas rentan terhadap berbagai resiko, baik secara alami (seperti gempa bumi, banjir, dan wabah penyakit) atau buatan manusia (seperti pengangguran, degradasi lingkungan, dan perang). Guncangan ini dialami oleh sebagian besar individu, komunitas, dan wilayah dengan cara yang tidak dapat diprediksi atau tidak dapat dicegah, oleh karenanya dapat menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan berhubungan dengan kerentanan karena orang miskin cenderung lebih mudah terkena risiko padahal mereka memiliki akses yang terbatas. Oleh karena itu, salah satu solusinya adalah dengan mempekerjakan anak.

f. Kualitas Sekolah dan Partisipasi Sekolah

Terdapat trade-off antara anak yang bekerja dan anak yang bersekolah. Ketika anak-anak bekerja penuh waktu maka kemungkinan akan mengalami putus sekolah, anak-anak yang bekerja paruh waktu akan merelakan waktu belajarnya untuk bekerja. Oleh karena itu keputusan rumah tangga yang lebih memilih anaknya untuk bekerja daripada bersekolah tentu dengan pertimbangan bahwa tingkat pengembalian relatif dari sekolah lebih rendah atau biaya relatif untuk bersekolah lebih tinggi. Salah satu cara yang efektif untuk menarik anak keluar dari pekerjaan yang berbahaya adalah dengan mendorong mereka untuk bersekolah dengan meningkatkan kualitas sekolah.

Tjandraningsih (1995) juga memandang anak-anak yang bekerja dari sisi pasar tenaga kerja upahan berdasarkan beberapa teori berikut:

1. Teori yang mendukung dari sisi penawaran, menyatakan bahwa kemiskinan merupakan sebab utama yang mendorong anak-anak bekerja untuk dapat menjamin kelangsungan hidup diri dan keluarganya. Dorongan tersebut bisa datang baik dari diri anak-anak itu sendiri maupun dari orang tua. Dengan

melakukan pekerjaan, anak-anak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, sehingga dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tuanya. 2. Teori yang berpijak pada sisi permintaan, menyatakan bahwa dengan

mempekerjakan anak-anak (dan perempuan dewasa) yang dianggap pencari nafkah kedua dan mau dibayar murah, majikan dapat melipatgandakan keuntungannya.

Menurut Effendi (1993), ada dua teori yang menjelaskan mengapa pekerja anak bisa terjadi. Teori tersebut adalah:

1. Teori strategi kelangsungan rumah tangga (household survival strategy). Menurut teori ini, dalam masyarakat pedesaan yang mengalami transisi dan golongan miskin kota, mereka akan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia bila kondisi ekonomi mengalami perubahan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menggunakan tenaga kerja keluarga. Biasanya anak- anak yang belum dewasa pun diikutsertakan dalam menopang kehidupan ekonomi keluarga.

2. Teori transisi industrialisasi.

Tumbuhnya industrialisasi membutuhkan pemupukan modal untuk meningkatkan produksi. Biasanya para pengusaha ingin menekan biaya produksi. Upaya untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mencari tenaga kerja anak dan wanita karena bisa dibayar dengan upah yang murah tetapi mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi.

Imawan (1999) memandang beberapa faktor pendorong yang menyebabkan munculnya fenomena pekerja anak, yaitu:

1. Kemiskinan.

Kemiskinan merupakan faktor utama yang diyakini sebagai penyebab utama anak-anak terpaksa terjun dalam dunia kerja. Dalam keluarga miskin, anak merupakan aset keluarga. Dimana ketika kelangsungan hidup keluarga terancam maka seluruh sumber daya keluarga akan dikerahkan untuk bekerja dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya.

2. Melarikan diri dari kedua orang tua mereka.

Dalam beberapa kasus yang terjadi pada anak yang terpaksa bekerja adalah karena mereka melarikan diri dari orang tua dengan berbagai sebab. Sebagian

besar dari mereka melarikan diri karena ingin mencari kebebasan dari tekanan orang tua. Mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.

3. Rendahnya kualitas pendidikan.

Di dalam pandangan masyarakat, timbul suatu persepsi bahwa pendidikan yang berlaku sekarang, tidak atau belum menjamin anak-anak setelah lulus sekolah akan mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Faktor inilah yang menyebabkan orang tua cenderung untuk mengirimkan anak-anak mereka untuk bekerja lebih dini.

4. Akibat dari perubahan proses produksi.

Adanya perkembangan industrialisasi yang sangat pesat dewasa ini mengakibatkan permintaan tenaga kerja semakin meningkat. Perusahaan- perusahaan lebih cenderung untuk menerima anak-anak sebagai tenaga kerja daripada menerima pekerja dewasa. Hal ini disebabkan karena pekerja anak lebih mudah diatur memiliki produktivitas yang sama dengan pekerja dewasa dan yang paling utama ialah pekerja anak bisa diupah dengan gaji yang sama atau lebih rendah dari pekerja dewasa. Perusahaan tidak mempunyai banyak resiko dituntut untuk memberikan layanan dan tunjangan lain yang seharusnya diberikan terhadap karyawannya, karena pekerja anak tidak memiliki perlindungan hukum yang kuat.

5. Masalah budaya dan lemahnya pengawasan.

Anak yang bekerja merupakan suatu hal yang wajar dan sudah merupakan suatu kebiasaan. Selain itu lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menangani pekerja anak semakin membuat praktek pekerja anak ini semakin dianggap sesuatu yang tidak terlalu penting.

Basu dalam Todaro dan Smith (2006), memeriksa kasus kekakuan pasar tenaga kerja dewasa yang mendorong adanya pekerja anak. Dia menganggap upah di pasar tenaga kerja dewasa cenderung kaku, sehingga menimbulkan pengangguran dewasa. Dalam keluarga dengan pengangguran dewasa, maka anak-anak harus bekerja. Basu menganalisis kasus dimana orang tua menarik anak-anak mereka dari pasar tenaga kerja setelah upah tenaga kerja dewasa mencapai titik kritis. Dengan demikian pasar tenaga kerja memiliki dua kesetimbangan: pertama, pada saat anak-anak dan pekerja dewasa bekerja, akan

menyebabkan penawaran tenaga kerja yang sangat besar dan upah yang rendah, dan yang kedua, ketika hanya orang tua yang bekerja, menyebabkan penawaran tenaga kerja yang rendah dan upah tenaga kerja dewasa yang tinggi.

Model buruh/pekerja anak-anak secara grafis terlihat seperti pada Gambar 2. Pada sumbu x, merupakan penawaran tenaga kerja yang setara dengan tenaga kerja orang dewasa. Asumsi yang ada adalah adanya unit-unit tenaga kerja yang homogen dan produktivitas buruh anak-anak adalah γ kali produktivitas buruh dewasa (dimana γ<1). Dengan asumsi semua orang dewasa bekerja, berapapun tingkat upahnya, maka akan menyebabkan kurva penawaran tenaga kerja orang dewasa akan inelastis sempurna dan berbentuk garis vertikal, yang ditunjukkan oleh garis AA’ dalam diagram. Kurva penawaran tenaga kerja yang inelastis merupakan asumsi yang sangat masuk akal di antara keluarga-keluarga yang sangat miskin, yang menyuruh anak-anaknya untuk bekerja. Sementara para orang tua tidak mempunyai pekerjaan di sektor modern, setiap orang dewasa terlibat dalam sejumlah aktivitas untuk membantu keluarganya bertahan hidup.

Sumber: Todaro dan Smith (2006)

Gambar 2 Model pekerja anak.

w

A

A

T

w

H

w

L

E

1

E

2

0

L

T’

A

D

L

Kurva penawaran tenaga kerja dewasa AA’ adalah jumlah orang dewasa yang tidak terlatih. Jika upah tenaga kerja dewasa menurun hingga wH, maka

sejumlah keluarga akan merasa cukup miskin sehingga dengan segera menyuruh anaknya untuk bekerja. Jika upah terus menurun, maka lebih banyak lagi keluarga yang akan melakukan hal yang sama, dan kurva penawaran tenaga kerja bergeser sepanjang kurva yang berbentuk S hingga mencapai upah wL, dimana pada titik

ini anak-anak akan bekerja, dan akan berada pada garis vertikal TT’ yang merupakan kurva penawaran tenaga kerja agregat dari semua orang dewasa dan anak-anak. Jumlah ini adalah jumlah orang dewasa ditambah jumlah anak-anak dikalikan dengan produktivitas yang lebih rendah, γ<1. Basu menyatakan bahwa untuk anak-anak γ diasumsikan 0,5.

Jika permintaan tenaga kerja DL cukup inelastis untuk memotong garis AA’ di atas wH, dan juga memotong garis TT’ di bawah wL, maka akan terdapat

dua ekuilibria yang stabil, yaitu E1 dan E2 dalam diagram tersebut. Apabila

terdapat dua ekuilibria, maka jika kita mulai dari ekuilibrium yang buruk E2,

pelarangan buruh anak yang efektif akan menggeser penawaran menuju ekuilibrium yang baik, E1. Lebih jauh, setelah perekonomian bergerak ke

ekuilibrium yang baru, pelarangan buruh anak akan terjadi dengan sendirinya, karena menurut asumsi, upah yang baru cukup tinggi sehingga keluarga-keluarga miskin tersebut tidak perlu menyuruh anaknya bekerja. Jika keluarga-keluarga miskin dapat saling berkoordinasi dan menolak untuk menyuruh anak-anaknya bekerja, maka setiap orang akan diuntungkan; namun pada umumnya, mengingat besarnya jumlah keluarga yang ada, mereka tidak akan mampu melakukan koordinasi tersebut.

Pelarangan buruh anak-anak ketika terdapat ekuilibrium alternatif yang memungkinkan semua anak-anak bersekolah merupakan kebijakan yang tidak dapat ditolak, namun perlu diingat bahwa ketika semua keluarga buruh anak-anak diuntungkan, para majikan yang mempekerjakan buruh anak-anak akan dirugikan, karena sekarang mereka harus membayar upah yang lebih tinggi (karena harus mempekerjakan orang dewasa). Oleh karenanya, para majikan tersebut dapat menggunakan tekanan politik untuk mencegah undang-undang mengenai larangan buruh anak.

Meskipun model buruh anak-anak ini mungkin merupakan gambaran yang masuk akal dari banyak kawasan negara berkembang, namun informasi mengenai kondisi pasar tenaga kerja tidak terdidik sangat kurang untuk mengatakan signifikansi jenis ekuilibria berganda. Oleh karena itu, pelarangan buruh anak- anak di seluruh dunia mungkin justru akan berakibat kontraproduktif.

Dokumen terkait