• Tidak ada hasil yang ditemukan

Exploitation of Working Children in Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Exploitation of Working Children in Indonesia"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

DI INDONESIA

BETA SEPTI IRYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Eksploitasi terhadap Anak yang Bekerja di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2012

(3)
(4)

direction of D.S. PRIYARSONO and WIWIEK RINDAYATI.

Forcing children to enter the labour force not only violates the rights of children, but also brings adverse effects to them. The presence of working children can’t be eliminated. Government can reduce the number of working children and protect them from exploitation. This study investigated the determinants of working children, the severity of exploitation of working children, and factors determining exploitation of working children. This study used data resulted from National Labor Force Survey (Sakernas) 2011 and utilized logistic regression as the analytical tool. The result suggests that the most influential determinant of working children is child’s school participation. Children that do not attend school have of being a working children that is 10.370 times greater than that of children that do attend school. Based on the severity of exploitation, there are three provinces which are always of high value severity of exploitation, namely Jakarta, Banten and West Java. The most influential factor of exploitation measured by working hours and access to education is education level of household head. The lower the level of education of head of household, the greater chance the child to be exploited. As for the exploitation measured by wage, girls have a chance 2.357 times greater than that of boys to be exploited measured by wages.

(5)
(6)

BETA SEPTI IRYANI. Eksploitasi terhadap Anak yang Bekerja di Indonesia. Dibimbing oleh D.S. PRIYARSONO dan WIWIEK RINDAYATI.

Anak adalah anugerah terindah bagi setiap orang tua. Selain sebagai penerus keturunan, anak merupakan harapan di masa depan. Oleh karena itu, anak harus diberi perlindungan, pendidikan, pengajaran, dan keterampilan agar menjadi seorang yang berjiwa mulia. Orang tua merupakan pihak yang paling bertanggung jawab untuk memberikan semua itu, namun apabila orang tua tidak mampu memberikannya maka negara wajib turun tangan.

Peran negara dalam perlindungan terhadap anak sangat penting. Sebagai generasi penerus bangsa, anak merupakan modal pembangunan di masa yang akan datang, sehingga harus dipersiapkan sejak dini agar menjadi sumber daya manusia yang tangguh, unggul, dan dapat membangun bangsanya.

Keberadaan anak yang bekerja melanggar hak perlindungan dan tumbuh kembang anak. Pada usia tersebut, seharusnya anak masih menduduki bangku sekolah. Bekerja dengan jam kerja yang panjang dikhawatirkan akan memberikan dampak yang buruk bagi anak, baik dampak fisik maupun psikis. Membiarkan anak-anak bekerja sebagai pengganti sekolah dapat membuat lingkaran setan; awalnya, bekerja menimbulkan dampak buruk bagi sekolah, selanjutnya berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali dapat mengakibatkan berlanjutnya keharusan anak-anak itu untuk bekerja.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya, termasuk membuat peraturan yang melarang adanya anak yang bekerja maupun peraturan yang bersifat proteksi bagi mereka. Namun pada kenyataannya, anak yang bekerja tetap ada dan jumlahnya relatif besar. Hal ini disebabkan karena biasanya anak yang bekerja berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang relatif rendah, sehingga mereka terdorong untuk bekerja agar dapat membantu perekonomian keluarga. Sekalipun kemiskinan merupakan pendorong utama anak-anak untuk terjun ke dunia kerja, namun pada kenyataan tidak semua orang miskin membiarkan anaknya untuk bekerja. Berarti terdapat faktor-faktor lain yang memengaruhi anak untuk bekerja, baik faktor sosial, budaya, demografi, atau psikososial.

Pemerintah pun akhirnya cenderung menghadapi dilema. Pemerintah telah meratifikasi konvensi ILO No. 138 tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, yaitu 15 tahun dengan UU No. 20 Tahun 1999. Selain itu, UU no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pada prinsipnya, anak tidak boleh bekerja, namun terdapat beberapa kasus yang bisa ditolerir, yaitu anak diperbolehkan bekerja untuk kondisi dan kepentingan tertentu.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah anak-anak yang bekerja adalah dengan mencegah adanya eksploitasi. Jam kerja yang panjang, upah yang rendah, dan terancamnya pendidikan anak merupakan indikator adanya eksploitasi terhadap anak.

(7)

berstatus belum kawin yang bekerja di Indonesia pada tahun 2011. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data SAKERNAS tahun 2011.

Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui bagaimana karakteristik anak yang bekerja, bentuk eksploitasi terhadap anak yang bekerja dan tingkat keparahan eksploitasi yang dihitung dengan menggunakan pendekatan Indeks Foster-Greer-Thorbecke (FGT). Sedangkan analisis regresi logistik digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi keputusan anak untuk bekerja serta faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya eksploitasi terhadap anak yang bekerja.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2011 terdapat 3,27 juta anak yang bekerja atau sebesar 8,80 persen dari keseluruhan anak umur 10-17 tahun. Rata-rata jam kerja anak perminggu adalah 42 jam. Rata-rata jam kerja ini sangat panjang dan melebihi jam kerja normal yang ditetapkan oleh pemerintah. Bahkan ada sekitar satu persen anak yang bekerja lebih dari 90 jam perminggu. Rata-rata upah/gaji/pendapatan yang diterima anak adalah Rp. 171.190,00 perbulan. Rata-rata upah/gaji/pendapatan tersebut lebih rendah apabila dibandingkan dengan rata-rata upah/gaji/pendapatan anak pada tahun sebelumnya yang sebesar Rp. 270.000,00 perbulan.

Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa faktor-faktor yang secara signifikan memengaruhi keputusan anak untuk bekerja adalah umur anak, jenis kelamin anak, partisipasi sekolah anak, umur kepala rumah tangga (KRT), jenis kelamin KRT, lapangan usaha KRT, status/kedudukan KRT dalam pekerjaan, pendidikan KRT, status perkawinan KRT, jumlah anggota rumah tangga, dan daerah tempat tinggal. Umur anak dan jumlah anggota rumah tangga memberikan pengaruh positif terhadap keberadaan anak yang bekerja, sedangkan umur KRT memberikan pengaruh negatif. Karakteristik yang mempunyai peluang lebih besar untuk memunculkan anak bekerja adalah anak yang tinggal di daerah perdesaan, berjenis kelamin laki-laki, belum/tidak bersekolah, anak dari KRT berjenis kelamin perempuan, dengan KRT berpendidikan rendah, lapangan usaha KRT di sektor pertanian, status pekerjaan KRT di sektor informal, dan KRT berstatus single/cerai.

Eksploitasi terhadap anak-anak yang bekerja dalam penelitian ini terdiri atas tiga kondisi, yaitu anak yang bekerja melebihi jam kerja normal yang diperbolehkan, anak yang tidak bersekolah (terhambat akses pendidikan), dan anak yang mendapatkan upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) yang telah disesuaikan dengan jam kerja dan produktivitas anak.

(8)

yang memiliki tingkat keparahan melebihi nilai indeks nasional. Tingkat keparahan eksploitasi dari segi upah terbesar dialami oleh anak-anak yang bekerja di Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jambi, Jawa Barat, dan Sumatera Selatan, sedangkan tingkat keparahan eksploitasi upah terkecil terjadi di Provinsi Jawa Tengah dan Papua.

Dari data SAKERNAS 2011 diketahui terdapat 59,90 persen anak bekerja yang tidak/belum pernah bersekolah. Bagi rumah tangga yang berpendapatan rendah, anak-anak pada kelompok ini biasanya akan lebih memilih untuk bekerja membantu orang tua. Untuk kelompok umur 10-15 tahun, persentase anak bekerja yang belum/tidak bersekolah sebesar 30,66 persen. Hal ini menunjukkan bahwa harapan dari program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun belum dapat dicapai, karena masih banyak anak yang bekerja belum menyelesakan pendidikan dasar atau masih tingginya angka drop-out di tingkat SMP. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki persentase yang tertinggi, yang diikuti oleh Provinsi Jawa Barat, Kalimantan Barat, DKI Jakarta, dan Provinsi Banten.

Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa faktor-faktor yang secara signifikan memengaruhi terjadinya eksploitasi terhadap anak yang bekerja dari segi jam kerja adalah umur anak, jenis kelamin anak, lapangan usaha anak, status/kedudukan anak dalam pekerjaan, umur KRT, jenis kelamin KRT, pendidikan KRT, status perkawinan KRT, jumlah anggota rumah tangga, dan daerah tempat tinggal. Jumlah anggota rumah tangga memberikan pengaruh positif terhadap terjadinya eksploitasi terhadap anak yang bekerja dari segi jam kerja, sedangkan umur anak dan umur KRT memberikan pengaruh negatif. Karakteristik anak yang mempunyai peluang lebih besar untuk tereksploitasi dari segi jam kerja adalah anak yang tinggal di daerah perkotaan, berjenis kelamin laki-laki, bekerja di sektor nonpertanian dan berstatus kerja formal, anak dari KRT berjenis kelamin laki-laki, dengan KRT berpendidikan rendah, dan KRT berstatus single/cerai.

Faktor-faktor yang secara signifikan memengaruhi terjadinya eksploitasi dari segi upah kerja adalah umur anak, jenis kelamin anak, lapangan usaha anak, status/kedudukan anak dalam pekerjaan, dan daerah tempat tinggal. Karakteristik anak yang mempunyai peluang lebih besar untuk tereksploitasi dari segi upah kerja adalah anak yang tinggal di daerah perkotaan, berjenis kelamin perempuan, bekerja di sektor pertanian dan berstatus kerja informal. Selain itu semakin tinggi umur anak, maka peluang anak untuk tereksploitasi dari segi upah akan semakin tinggi. Sedangkan faktor-faktor yang secara signifikan memengaruhi terjadinya eksploitasi dari segi akses pendidikan adalah umur anak, jenis kelamin anak, lapangan usaha anak, status/kedudukan anak dalam pekerjaan, umur KRT, pendidikan KRT, dan daerah tempat tinggal.

(9)
(10)

©Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(11)

(12)

BETA SEPTI IRYANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUTE PERTANIAN BOGOR

(13)
(14)

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui Komisi Pembimbing

Ir. D.S. Priyarsono, Ph.D Ketua

Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Ilmu Ekonomi

Dr. Ir.R. Nunung Nuryartono, M.Si.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc. Agr

(15)
(16)

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis dengan judul ”Eksploitasi terhadap Anak yang Bekerja di Indonesia”. Tesis ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada penulis, terutama kepada: 1. Kepala BPS RI, Direktur Statistik Keuangan, Tekhnologi Informasi, dan

Pariwisata serta Kepala Subdirektorat Statistik Pariwisata yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPS) IPB.

2. Ir. D.S Priyarsono, Ph. D dan Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si yang telah memberikan bimbingan dengan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses penyusunan tesis ini.

3. Dr. Ir. Idqan Fahmi, M. Ec. sebagai dosen penguji luar komisi dan Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr. selaku perwakilan dari Program Studi Ilmu Ekonomi.

4. Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si. beserta jajarannya.

5. Suami, anak (M. Aqeel Rakhshana dan M. Fikri Fauzan Naufal Aziz), bapak, ibu, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

6. Teman-teman seperjuangan IPB BPS Batch3 .

Penulis menyadari dengan waktu dan kemampuan yang terbatas, tesis ini masih jauh dari sempurna. Namun demikian penulis tetap mengharapkan tesis ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dan juga memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan.

Bogor, Juli 2012

(17)
(18)

Penulis bernama Beta Septi Iryani, lahir pada tanggal 29 September 1982 di Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Penulis anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Sugeng Taryono dan Wakirah. Penulis menamatkan sekolah dasar di SDN Muntilan II pada tahun 1994, kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Muntilan, dan lulus pada tahun 1997. Pada tahun yang sama diterima di SMAN 1 Magelang dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta. Penulis berhasil menamatkan Program Diploma IV pada tahun 2004 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (SST) dan langsung mendapat penempatan kerja di BPS Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

(19)
(20)

xix Halaman

DAFTAR TABEL ... xxiii

DAFTAR GAMBAR ……….………..,………xxvii

DAFTAR LAMPIRAN ………...…...xxix

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA... 11

2.1. Tinjauan Teori ... 11

2.1.1. Pengertian Anak ... 11

2.1.2. Hak-Hak Anak ... 11

2.1.3. Anak-anak yang Bekerja dan Pekerja Anak... 12

2.1.4. Eksploitasi Anak ... 14

2.1.5. Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja secara Umum ... 15

2.1.6. Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja Anak ... 17

2.1.7. Partisipasi Anak dalam Kegiatan Ekonomi Keluarga ... 26

2.1.8. Variabel-variabel yang Memengaruhi Keputusan Anak untuk Bekerja ... 27

2.2. Tinjauan Empiris ... 28

2.3. Kerangka Pemikiran ... 30

2.4. Hipotesis Penelitian ... 31

III. METODE PENELITIAN ... 33

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 33

3.2. Metode Analisis ... 33

3.2.1. Metode Analisis Deskriptif ... 33

3.2.2. Analisis Regresi Logistik ... 34

(21)

xx

IV. GAMBARAN UMUM ANAK-ANAK YANG BEKERJA DI

INDONESIA ... 41

4.1. Karakteristik Anak ... 41

4.1.1. Anak-anak yang Bekerja menurut Provinsi ... 41

4.1.2. Daerah Tempat Tinggal ... 42

4.1.3. Jenis Kegiatan ... 43

4.1.4. Jam Kerja ... 46

4.1.5. Status Pekerjaan dan Lapangan Usaha ... 48

4.1.6. Upah/Gaji/Pendapatan ... 51

4.2. Karakteristik Kepala Rumah Tangga (KRT) ... 55

4.2.1. Umur, Jenis Kelamin, dan Status Perkawinan KRT ... 55

4.2.2. Pendidikan KRT ... 56

4.2.3. Status Pekerjaan dan Lapangan Usaha KRT ... 57

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEPUTUSAN ANAK UNTUK BEKERJA ... 61

5.1. Likelihood Ratio Test ... 61

5.2. Output Classification Model ... 62

5.3. Uji Wald ... 62

5.4. Odds Ratio ... 65

VI. EKSPLOITASI TERHADAP ANAK YANG BEKERJA ... 69

6.1. Tingkat Keparahan Eksploitasi terhadap Anak yang Bekerja ... 69

6.1.1. Eksploitasi dari Segi Jam Kerja ... 69

6.1.2. Eksploitasi dari Segi Upah ... 74

6.1.3. Eksploitasi dari Segi Terhambatnya Akses Pendidikan ... 79

6.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Eksploitasi terhadap Anak yang Bekerja....……….………….. 84

6.2.1. Eksploitasi dari Segi Jam Kerja ... 84

(22)

xxi 7.1. Kesimpulan ... 99 7.2. Implikasi Kebijakan ... 99 7.3. Saran ... 101

(23)
(24)

xxiii

Nomor Halaman

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.

(25)

xxiv 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.

Indonesia, tahun 2011 ………. Persentase anak yang tereksploitasi dari segi upah menurut jenis kelamin dan kelompok umur di Indonesia, tahun 2011 …. Persentase anak yang tereksploitasi dari segi upah menurut jenis kelamin dan daerah tempat tinggal di Indonesia, tahun 2011 ………. Persentase anak yang tereksploitasi dari segi upah menurut lapangan usaha dan daerah tempat tinggal di Indonesia, tahun 2011 ………. Persentase anak yang tereksploitasi dari segi upah menurut status pekerjaan dan daerah tempat tinggal di Indonesia, tahun 2011 ………. Tingkat keparahan eksploitasi dari segi upah menurut provinsi di Indonesia tahun 2011 ………... Persentase anak yang terhambat akses pendidikan menurut jenis kelamin dan kelompok umur di Indonesia, tahun 2011 …. Persentase anak yang terhambat akses pendidikan menurut jenis kelamin dan daerah tempat tinggal di Indonesia, tahun 2011 ………. Persentase anak yang terhambat akses pendidikan menurut lapangan usaha dan daerah tempat tinggal di Indonesia, tahun 2011 ………. Persentase anak yang terhambat akses pendidikan menurut status pekerjaan dan daerah tempat tinggal di Indonesia, tahun 2011 ………. Persentase anak yang bekerja yang terhambat akses pendidikan menurut provinsi di Indonesia, tahun 2011……….. Hasil estimasi koefisien model, nilai uji Wald, signifikansi, dan nilai odd ratio dari model regresi logistik faktor-faktor yang memengaruhi eksploitasi dari segi jam kerja di Indonesia, tahun 2011 ………. Hasil estimasi koefisien model, nilai uji Wald, signifikansi, dan nilai odds ratio dari model regresi logistik faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya eksploitasi anak bekerja dari segi upah di Indonesia, tahun 2011 ……….

(26)

xxv memengaruhi terjadinya eksploitasi dari segi akses pendidikan

(27)
(28)

xxvii

Nomor Halaman

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

Kurva permintaan, penawaran, dan pasar tenaga kerja ...……… Model pekerja anak .…..………...………... Alur kerangka pemikiran …… …………..……….. Persentase anak yang bekerja menurut provinsi di Indonesia, tahun 2011. ……….. Persentase anak yang bekerja menurut daerah tempat tinggal dan jenis kelamin di Indonesia, tahun 2011 ……… Persentase anak yang bekerja menurut jenis kegiatan di Indonesia, tahun 2011 ………. Persentase anak bekerja yang tidak bersekolah menurut umur di Indonesia, tahun 2011 ……… Persentase anak bekerja yang masih bersekolah di Indonesia, tahun 2011 ……… Persentase anak yang bekerja menurut kelompok jam kerja perminggu di Indonesia, tahun 2011 ……… Persentase anak bekerja menurut kelompok jam kerja dan umur di Indonesia, tahun 2011 ……….. Persentase anak yang bekerja menurut status pekerjaan dan lapangan usaha di Indonesia, tahun 2011 ……… Persentase anak yang bekerja menurut upah/gaji/pendapatan dan umur di Indonesia, tahun 2011 ………. Persentase anak yang bekerja menurut status pekerjaan dan lapangan usaha KRT di Indonesia, tahun 2011 ………... Persentase anak yang tereksploitasi jam kerja menurut lapangan usaha dan daerah tempat tinggal di Indonesia, tahun 2011 ……

(29)
(30)

xxix

Nomor Halaman

1.

2.

3.

4.

Output regresi logistik faktor-faktor yang memengaruhi keputusan anak untuk bekerja ………. Output regresi logistik faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya eksploitasi dari segi jam kerja ………. Output regresi logistik faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya eksploitasi dari segi upah kerja ……….. Output regresi logistik faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya eksploitasi dari segi terhambatnya akses pendidikan .

106

111

116

(31)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Anak adalah anugerah terindah bagi setiap orang tua. Selain sebagai penerus keturunan, anak merupakan harapan di masa depan. Oleh karena itu, anak harus diberikan perlindungan, pendidikan, pengajaran, dan ketrampilan agar menjadi seorang yang berjiwa mulia. Orang tua merupakan pihak yang paling bertanggung jawab untuk memberikan semua itu, namun apabila orang tua tidak mampu memberikannya maka negara wajib turun tangan.

Peran negara dalam perlindungan terhadap anak sangat penting. Sebagai generasi penerus bangsa, anak merupakan modal pembangunan di masa yang akan datang, sehingga harus dipersiapkan sejak dini agar menjadi sumber daya manusia yang tangguh, unggul, dan dapat membangun bangsanya. Anak memiliki hak-hak dasar yang harus diakui yaitu hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights), hak terhadap perlindungan (protection rights), hak tumbuh kembang (development rights), dan hak untuk berpartisipasi (participation rights). Namun pada kenyataannya, tidak semua hak-hak anak tersebut dapat terpenuhi. Contohnya adalah hak tumbuh kembang dimana didalamnya menyangkut tentang pendidikan anak.

(32)

Salah satu indikator untuk mengetahui keberhasilan dalam bidang pendidikan dasar adalah Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI/Paket A dan SMP/MTs/Paket B. APM SD/MI/Paket A pada tahun 2007-2010 cukup tinggi, yaitu sebesar 93,78 persen pada tahun 2007 dan terus meningkat menjadi 94,76 persen pada tahun 2010. Sedangkan APM SMP/MTs/Paket B dari 66,90 persen

pada tahun 2007 menjadi 67,73 persen pada tahun 2010 (lihat Tabel 1).

Sumber: BPS, 2008-2011

Pencapaian APM SD/MI/Paket A yang sebesar 94,76 persen pada tahun 2010 menunjukkan bahwa target untuk memasukkan semua anak ke sekolah dasar hampir terwujud. Namun APM SMP/MTs/Paket B pada tahun 2010 yang hanya sebesar 67,73 persen masih dirasakan belum cukup karena walaupun angka partisipasi SD tinggi, namun banyak anak yang tidak melanjutkan ke jenjang SMP. Dengan kondisi ini maka pemerintah masih menghadapi tantangan yang cukup besar mengingat target Indonesia adalah wajib belajar 9 tahun yang terdiri dari 6 tahun di SD dan 3 tahun di SMP. Untuk mencapai tujuan kedua dari MDGs tidak cukup semua anak bisa sekolah, tetapi harus memberikan pendidikan dasar yang utuh. Kenyataannya, banyak anak yang tidak bisa bersekolah dengan lancar di sekolah dasar. Ada yang tidak naik kelas atau bahkan terpaksa berhenti sekolah. Angka putus sekolah pada tahun ajaran 2007/2008-2008/2009 untuk SD mencapai 1,64 persen atau sebesar 437.608 anak, sedangkan angka putus sekolah untuk SMP mencapai 2,49 persen atau sebanyak 214.775 anak. Sebagian besar anak putus sekolah karena masalah ekonomi. Sepertiga keluarga termiskin mengatakan bahwa mereka memiliki masalah untuk membayar uang sekolah dan biaya lainnya, sedangkan sebagian yang lain disebabkan karena orang tua memerlukan anak-anak untuk bekerja (Stalker, 2008).

Tabel 1 Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI/Paket A dan SMP/MTs/Paket B di Indonesia, tahun 2007-2010 (Persen)

Tahun 2007 2008 2009 2010

SD/MI/Paket A 93,78 93,99 94,37 94,76

(33)

Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) pada tahun 2007, dari keseluruhan anak usia 10-17 tahun terdapat 3,7 juta anak yang bekerja atau sebesar 13,2 persen, yang kemudian sedikit menurun pada tahun 2008, menjadi 3,5 juta anak (11,9 persen), dan kembali meningkat pada tahun 2009, menjadi 3,7 juta anak (12,1 persen). Pada tahun 2010, persentase anak yang bekerja kembali menurun menjadi 9,0 persen. Walaupun begitu secara jumlah masih cukup besar, yaitu 3,3 juta anak.

Keberadaan anak yang bekerja ini melanggar hak perlindungan dan tumbuh kembang anak. Pada usia tersebut, seharusnya anak masih menduduki bangku sekolah. Tjandraningsih (1995), mengatakan ketika anak-anak tidak mempunyai kesempatan untuk bersekolah, maka pilihan hidupnya hanya dua, yaitu: masuk angkatan kerja atau tidak. Namun perlu diingat bahwa anak-anak justru putus sekolah lantaran bekerja. Bahkan, di lingkungan yang kondusif untuk bekerja, konsekuensi yang muncul adalah gejala putus sekolah yang sering diawali dengan menggabungkan sekolah sambil bekerja.

Tabel 2 Persentase anak usia 10-17 tahun yang bekerja menurut jam kerja pada pekerjaan utama dalam seminggu dan status sekolah di Indonesia, tahun 2010

Jam Kerja

Status Sekolah

Total Tidak/belum

pernah sekolah

Masih bersekolah

Tidak bersekolah lagi

1-9 5,63 25,57 3,23 11,89

10-14 6,24 26,03 6,00 13,69

15-24 24,59 28,18 15,48 20,70

25-34 32,84 9,42 15,02 13,57

35-44 25,51 5,18 16,44 12,48

45-59 3,88 4,18 27,83 17,83

60+ 1,30 1,44 15,99 9,84

Total 100,00 100,00 100,00 100,00

[image:33.595.107.515.468.681.2]
(34)

Tabel 2 menunjukkan bahwa sebanyak 10,80 persen anak bekerja yang masih bersekolah memiliki jam kerja 35 jam atau lebih dalam seminggu. Dengan asumsi lima hari kerja dalam seminggu, berarti mereka bekerja selama tujuh jam perhari, sedangkan jam sekolah rata-rata antara lima sampai enam jam dalam sehari. Kondisi ini dikhawatirkan menyebabkan mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk kegiatan belajar. Pada kelompok anak yang tidak bersekolah lagi terlihat bahwa sebagian besar anak cenderung memiliki jam kerja yang panjang, bahkan sebesar 15,99 persen anak memiliki jam kerja 60 jam atau lebih dalam seminggu.

Bekerja dengan jam kerja yang amat panjang tentunya melanggar hak anak. Bekerja dikhawatirkan akan memberikan dampak yang buruk bagi anak, baik dampak fisik maupun psikis. Kondisi fisik anak masih terlalu muda untuk bekerja dalam jumlah waktu yang lama. Waktu bermain menjadi sedikit sehingga pengembangan kreativitas anak lambat. Terlebih lagi mereka tidak akan bisa menikmati kebahagiaan masa kecil. Mereka juga seringkali harus menghadapi risiko kecelakaan kerja dan menjadi sasaran pelecehan atau penindasan dan kesewenang-wenangan pekerja dewasa. Tjandraningsih (1995) mengemukakan bahwa anak yang bekerja di sektor formal (pabrik) bekerja dengan jam kerja relatif panjang dan memperoleh gaji yang relatif lebih rendah dari pekerja dewasa.

Pada tahun 2010, rata-rata pendapatan/upah/gaji anak bekerja perbulan sangat rendah, yaitu hanya berkisar 207 ribu rupiah. Anak yang bekerja pada umumnya tidak mempunyai pilihan, mereka dipaksa bekerja tanpa memikirkan berapa besar uang yang akan mereka peroleh. Mereka tidak punya daya dan upaya sehingga mereka tidak mampu menuntut pendapatan/upah/gaji yang lebih.

(35)

selanjutnya berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali dapat mengakibatkan berlanjutnya keharusan anak-anak itu untuk bekerja.

Selain itu, Edmonds (2006) mengemukakan bahwa pendidikan yang rendah menyebabkan pendapatan yang rendah sehingga investasi pendidikan pada generasi yang akan datang juga akan rendah. Orang tua yang berpendidikan rendah, dengan pendapatan rendah akan memengaruhi kesehatan dan gizi anak sehingga berdampak pada produktivitas anak-anak baik dalam kegiatan sekolah maupun bekerja. Selain itu, pengalaman orang tua yang bekerja pada masa anak-anak membuat mereka akan beranggapan bahwa bekerja pada masa kanak-anak-kanak-anak adalah hal yang wajar.

Riset menunjukkan bahwa semakin awal seorang anak bekerja, semakin tinggi dampak negatif yang harus ia bayar dalam hal pendapatan pada saat ia dewasa (ILO, 2007). Bukti dari Brazil menunjukkan bahwa keterlibatan secara dini di dunia kerja mengurangi pendapatan selama hidup sebanyak 13-20 persen. Berdasarkan review dari riset-riset yang ada, ILO memerkirakan bahwa pendapatan seseorang meningkat 11 persen untuk setiap tahun pendidikan yang dienyam seorang anak.

1.2. Perumusan Masalah

(36)

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya, termasuk membuat peraturan yang melarang adanya anak yang bekerja maupun peraturan yang bersifat proteksi bagi mereka. Tetapi pada kenyataannya, anak yang bekerja tetap ada dan jumlahnya relatif besar. Hal ini terjadi karena biasanya anak yang bekerja berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang relatif rendah, sehingga mereka terdorong untuk bekerja agar dapat membantu perekonomian keluarga. Namun sekalipun kemiskinan merupakan faktor pendorong utama anak-anak untuk terjun ke dunia kerja, pada kenyataannya tidak semua orang miskin membiarkan anaknya untuk bekerja. Berarti terdapat faktor-faktor lain yang memengaruhi anak untuk bekerja, baik faktor sosial, budaya, demografi, atau psikososial.

Becker (1964) dalam Tharmmapornphillas (2006) mengemukakan teori tentang pembuatan keputusan dalam keluarga yang berhubungan dengan keputusan bersekolah dan bekerja. Becker mempelajari tentang investasi dalam modal manusia dan menyatakan bahwa anak-anak akan pergi ke sekolah bila keuntungan yang didapat dari sekolah (pendapatan potensial) lebih besar dari biaya (langsung dan tidak langsung) setelah mempertimbangkan nilai sekarang dan yang akan datang. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah siapa yang bertanggung jawab dalam membuat keputusan apakah anak bersekolah atau bekerja. Keputusan tersebut bisa datang baik dari diri anak-anak itu sendiri, maupun dari orang tua. Advig (2000) dan Myers (1988) dalam ILO (2007) meneliti tentang anak sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk membuat keputusan sendiri. Mereka memiliki hak untuk bersuara, berpendapat, dan memiliki pengalaman yang harus diperhitungkan. Sedangkan Priyono (1992) menyatakan bahwa keluarga dapat memengaruhi anak untuk bekerja. Dalam mencukupi konsumsi keluarga dipengaruhi oleh kondisi eksternal maupun internal termasuk dalam menentukan besarnya tenaga kerja yang dicurahkan untuk bekerja. Keadaan internal keluarga yang memengaruhi keterlibatan anggota keluarga usaha mencari nafkah antara lain besarnya tanggungan, tenaga yang dimiliki, pendapatan kepala keluarga, kebutuhan konsumsi, dan lain-lain.

(37)

dari keluarga miskin. Mereka bekerja karena keadaan, yaitu untuk membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Aturan penghapusan tenaga kerja anak akan berimbas pada keberlangsungan hidup keluarga anak tersebut. White (1994) mengatakan bahwa untuk kasus Indonesia, tenaga kerja anak sebaiknya tidak usah dilarang. Asalkan anak-anak tersebut masih mempunyai kesempatan untuk sekolah dan mengerjakan pekerjaan yang masih dalam batas kemampuannya. Pemerintah pun akhirnya cenderung menghadapi dilema fenomena anak-anak yang bekerja. Pemerintah telah meratifikasikonvensi International Labour Organization (ILO) No. 138 tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, yaitu 15 tahun dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 1999. Selain itu, dalam Undang-Undang (UU) no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun. Pada prinsipnya, anak tidak boleh bekerja, namun Undang-undang ini juga menyebutkan bahwa terdapat beberapa kasus yang bisa ditolerir, yaitu anak diperbolehkan bekerja untuk kondisi dan kepentingan tertentu.

Beranjak dari pendapat White, maka salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah anak-anak yang bekerja adalah dengan mencegah adanya eksploitasi terhadap mereka. Jam kerja yang panjang, upah yang rendah, dan terancamnya pendidikan anak merupakan indikator adanya eksploitasi terhadap anak. Anak dengan jam kerja yang panjang akan tereksploitasi karena mereka akan kekurangan waktu untuk bermain, bersekolah, dan mengembangkan kemampuan mereka sehingga pada akhirnya mereka dapat terjebak dalam lingkaran kemiskinan.

Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah:

1. Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi keputusan anak untuk bekerja ?

2. Seberapa besar tingkat keparahan eksploitasi terhadap anak yang bekerja? 3. Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi eksploitasi terhadap anak

(38)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi keputusan anak untuk bekerja.

2. Mengeksplorasi tingkat keparahan eksploitasi terhadap anak yang bekerja. 3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi eksploitasi terhadap

anak yang bekerja.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi keputusan anak-anak untuk bekerja, tingkat keparahan eksploitasi terhadap anak yang bekerja, dan faktor-faktor yang memengaruhi eksploitasi terhadap anak yang bekerja.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini meliputi tiga hal. Pertama, mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi keputusan anak-anak untuk bekerja. Kedua, mengeksplorasi tingkat keparahan eksploitasi terhadap anak yang bekerja. Ketiga, mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi eksploitasi terhadap anak yang bekerja.

(39)

hanya untuk anggota rumah tangga berumur 10 tahun ke atas. Padahal pada kenyataannya banyak dijumpai anak di bawah usia 10 tahun yang bekerja.

Kelemahan data SAKERNAS yang lain adalah survei hanya dapat menggambarkan anak-anak yang bekerja yang berada dalam suatu rumah tangga biasa (memiliki tempat tinggal tetap). Anak-anak yang bekerja yang tidak mempunyai tempat tinggal atau merupakan penduduk secara de facto saja, tidak akan terjaring dalam survei ini.

(40)
(41)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Pengertian Anak

Dalam beberapa ketentuan hukum, manusia disebut sebagai anak dengan pengukuran/batasan usia. Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi pada 1990 (melalui Keputusan Presiden No. 36) mendefinisikan usia di bawah 18 sebagai anak-anak kecuali, berdasarkan hukum, kedewasaan telah dicapai lebih awal. Selain itu, definisi yang hampir sama juga terdapat pada Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mendefinisikan anak sebagai mereka yang berusia di bawah 18 tahun, termasuk bayi yang masih dalam rahim ibu mereka.

2.1.2. Hak-Hak Anak

Hak-hak yang harus didapatkan seorang anak dikuatkan dalam beberapa undang-undang, antara lain UU. No. 36 Tahun 1990 dan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 yang berisi tentang perlindungan dan pemeliharaan yang dilakukan oleh negara terhadap fakir miskin dan anak terlantar. Dari kedua undang-undang tersebut dapat disimpulkan bahwa anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat proses pertumbuhan dan perkembangan jiwa mereka yang tidak wajar. Selain itu anak juga merupakan subyek hukum dari sistem hukum nasional sehingga anak mempunyai kedudukan yang kuat di sisi hukum (Wadong, 2000).

Dalam konvensi hak anak tercantum empat hak dasar anak yang harus selalu dipantau perkembangannya dan upaya dalam pemenuhan hak anak tersebut. Empat hak tersebut pada pokoknya berkaitan dengan:

1. Hak atas kelangsungan hidup yang mencakup hak hidup dan hak memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai.

(42)

3. Hak atas perlindungan yang mencakup perlindungan terhadap diskriminasi, penyalahgunaan dan pelalaian, perlindungan bagi anak-anak tanpa keluarga dan perlindungan bagi anak-anak pengungsi.

4. Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat yang meliputi hak anak untuk menyampaikan pendapat/pandangannya dalam semua hal yang menyangkut nasib anak itu.

2.1.3. Anak-anak yang Bekerja dan Pekerja Anak

ILO mendefinisikan anak yang bekerja adalah anak-anak yang terlibat dalam aktivitas produksi apapun yang termasuk dalam Sistem Neraca Nasional (SNN) paling sedikit selama satu jam dalam periode referensi (BPS, 2010).

Menurut resolusi internasional yang disebutkan sebelumnya, anak-anak yang bekerja terdiri dari tiga kategori sebagai berikut:

1. Mereka yang bekerja sesuai dengan SNN,

2. Anak-anak berumur 13 sampai 14 tahun dalam pekerjaan ringan diperbolehkan. Peraturan memungkinkan anak-anak pada kelompok umur ini terlibat dalam pekerjaan ringan. Jam kerja kurang dari 15 jam per minggu digunakan sebagai indikator pekerjaan ringan.

3. Remaja di kelompok umur 15-17 tahun terlibat dalam pekerjaan tidak ditunjuk sebagai salah satu dari bentuk-bentuk terburuk pekerja anak.

Sedangkan yang disebut sebagai pekerja anak/buruh anak (Depnakertrans, 2005) adalah anak yang melakukan segala jenis pekerjaan yang memiliki sifat atau intensitas yang dapat mengganggu pendidikan, membahayakan keselamatan, kesehatan serta tumbuh kembangnya dapat digolongkan sebagai pekerja anak. Disebut pekerja anak apabila memenuhi indikator antara lain: anak bekerja setiap hari, anak tereksploitasi, anak bekerja pada waktu yang panjang, waktu sekolah terganggu/menjadi tidak mampu bersekolah. Definisi yang lebih jelas dari ILO

tentang pekerja anak adalah terdiri dari komponen berikut:

1. Semua anak-anak yang bekerja umur 5-12 tahun, tanpa melihat jam kerja mereka.

2. Anak-anak berumur 13-14 tahun yang bekerja lebih dari 15 jam per minggu. 3. Anak-anak yang bekerja umur 15-17 tahun yang bekerja lebih dari 40 jam per

(43)

untuk pekerjaan umum. Namun, untuk anak-anak ada aturan khusus yang didedikasikan untuk melindungi anak-anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk dan berbahaya. Di sini, 40 jam per minggu digunakan sebagai indikator pendekatan untuk pekerjaan berbahaya.

[image:43.595.98.508.63.812.2]

Secara ringkasnya, Tabel 3 akan menyajikan kerangka kerja untuk mendefinisikan pekerja anak berdasarkan resolusi PBB.

Tabel 3 Kerangka identifikasi statistik pekerja anak

Kelompok Umur

Sistem Neraca Nasional

Pekerjaan yang tidak berbahaya Bentuk-bentuk terburuk pekerja anak Pekerjaan

ringan

Pekerjaan Tetap

5-12 tahun 13-14 tahun 15-17 tahun

Sumber: BPS, 2010

Catatan: adalah area pekerja anak.

adalah area dimana anak-anak masih diperbolehkan untuk bekerja.

Keppres 59 tahun 2002 telah mengidentifikasi 13 bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, yaitu:

1. Mempekerjakan anak-anak sebagai pelacur. 2. Mempekerjakan anak-anak di pertambangan.

3. Mempekerjakan anak-anak sebagai penyelam mutiara. 4. Mempekerjakan anak-anak di bidang konstruksi.

5. Menugaskan anak-anak di anjungan penangkapan ikan lepas pantai (yang di Indonesia disebut jermal).

6. Mempekerjakan anak-anak sebagai pemulung.

(44)

8. Mempekerjakan anak-anak di jalanan.

9. Mempekerjakan anak-anak sebagai tulang punggung keluarga.

10.Mempekerjakan anak-anak di industri rumah tangga (cottage industries). 11.Mempekerjakan anak-anak di perkebunan.

12.Mempekerjakan anak-anak dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan usaha penebangan kayu untuk industri atau mengolah kayu untuk bahan bangunan dan pengangkutan kayu gelondongan dan kayu olahan.

13.Mempekerjakan anak-anak dalam berbagai industri dan kegiatan yang menggunakan bahan kimia berbahaya.

2.1.4. Eksploitasi Anak

Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan oleh keluarga atau masyarakat. Memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial ataupun politik tanpa memerhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis, dan status sosialnya (Suharto, 2005).

Ditinjau dari segi bentuk dan jenis pekerjaan yang dilakukan anak serta ancaman resiko yang dihadapi anak, terdapat pekerjaan-pekerjaan yang dapat dimasukkan dalam keadaan yang dikualifikasikan sebagai eksploitasi anak berbahaya dan eksploitasi anak yang paling tidak bisa ditolerir lagi. Unicef telah menetapkan beberapa kriteria pekerja anak yang eksploitatif (Usman dan Nachrowi, 2004), yaitu bila menyangkut:

1. Kerja penuh waktu (full time) untuk umur yang terlalu dini. 2. Terlalu banyak waktu yang digunakan untuk bekerja.

3. Pekerjaan yang menimbulkan tekanan fisik, sosial, dan psikologis yang tak patut terjadi.

4. Upah yang tidak mencukupi.

5. Tanggung jawab yang terlalu banyak.

6. Pekerjaan yang menghambat ke akses pendidikan.

7. Pekerjaan yang mengurangi martabat dan harga diri anak, seperti perbudakan atau pekerjaan kontrak paksa dan eksploitasi seksual.

(45)

Untuk mencegah terjadinya eksploitasi terhadap pekerja anak, Indonesia memiliki perangkat hukum antara lain melalui UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 69 mengatur tentang usia anak yang bekerja, yaitu anak berumur 13 sampai 15 tahun dengan ketentuan-ketentuan tertentu yang ketat dapat melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak menghambat atau mengganggu perkembangan fisik, mental, dan sosial anak yang bersangkutan. Pengusaha yang memperkerjakan anak pada pekerjaan ringan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Pengusaha harus mendapatkan izin tertulis dari orang tua atau wali. 2. Harus ada perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali.

3. Pengusaha tidak boleh mengharuskan anak untuk bekerja lebih dari 3 (tiga) jam sehari.

4. Pengusaha hanya dibenarkan mempekerjakan anak pada siang hari tanpa mengganggu waktu sekolah anak yang bersangkutan.

5. Dalam mempekerjakan anak, pengusaha harus memenuhi syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja.

6. Ada hubungan kerja yang jelas (antara pengusaha dan pekerja anak yang bersangkutan/orang tua atau walinya).

7. Anak berhak menerima upah sesuai ketentuan yang berlaku.

Tingkat keparahan eksploitasi terhadap anak yang bekerja dihitung untuk mengetahui seberapa jauh jarak antara kondisi normatif (sesuai aturan yang berlaku mengenai kondisi anak yang bekerja yang masih bisa ditoleransi) dan kondisi yang sebenarnya terjadi. Untuk mengukur tingkat keparahan eksploitasi terhadap anak yang bekerja digunakan pendekatan Indeks Foster-Greer-Thorbecke (FGT) dari ukuran kemiskinan.

2.1.5. Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja secara Umum

(46)

Permintaan tenaga kerja dipengaruhi oleh tingkat upah, teknologi yang digunakan, produktivitas, kualitas tenaga kerja dan besarnya modal.

Penawaran tenaga kerja merupakan hubungan antara tingkat upah yang ditawarkan dengan jumlah tenaga kerja yang disediakan. Kurva penawaran tenaga kerja menggambarkan jumlah maksimum tenaga kerja yang tersedia dengan kemungkinan tingkat upah tertentu. Jumlah tenaga kerja yang tersedia dapat diketahui berdasarkan jumlah penduduk di suatu daerah, persentase jumlah angkatan kerja serta jumlah jam kerja yang ditawarkan oleh angkatan kerja. Kurva penawaran mempunyai slope positif artinya jumlah tenaga kerja yang ditawarkan akan naik bila tingkat upah mengalami kenaikan.

Interaksi permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja secara bersama menentukan suatu tingkat upah keseimbangan dan penggunaan tenaga kerja keseimbangan dalam pasar tenaga kerja. Pasar tenaga kerja dalam keadaan seimbang terjadi ketika permintaan tenaga kerja sama dengan penawaran tenaga kerja.

Gambar 1 Kurva permintaan, penawaran, dan pasar tenaga kerja.

Pada Gambar 1, fungsi permintaan tenaga kerja (DL) sama dengan nilai

Value Marginal Physical Product Labour (VMPPL) yang merupakan besarnya

nilai hasil marginal tenaga kerja. VMPPL diperoleh dengan mengalikan MPPL

(47)

Berdasarkan titik keseimbangan tersebut diperoleh tingkat upah (W*) dan jumlah tenaga kerja (L*) keseimbangan.

2.1.6. Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja Anak

ILO (2007) menjelaskan tentang permintaan dan penawaran tenaga kerja anak sebagai berikut:

1. Permintaan Tenaga Kerja Anak

a. Hipotesis “Nimble Fingers”/ Jari yang Lincah

Teori jari yang lincah menyatakan bahwa anak-anak memiliki keunggulan komparatif dalam beberapa jenis pekerjaan, sehingga untuk beberapa jenis pekerjaan ini anak-anak lebih cocok untuk dipekerjakan dibandingkan tenaga kerja dewasa. Teori ini secara masuk akal menjelaskan keberadaan sejumlah besar pekerja anak. Namun saat ini sudah banyak penelitian yang membantah Teori Nimble Finger dan menggali penyebab lain yang menjelaskan sisi permintaan terhadap tenaga kerja anak.

Grimsrud (2001) menyatakan bahwa upah tenaga kerja anak lebih rendah daripada pekerja dewasa pada jenis pekerjaan yang sama yang berarti bahwa biaya produksi yang lebih rendah bagi pengusaha. Terdapat dua kemungkinan alasan mengapa upah tenaga kerja anak lebih rendah: pertama, produktivitas dan kualitas kerja dari anak lebih rendah daripada pekerja dewasa dan kedua, anak-anak mudah untuk dieksploitasi. Kemungkinan lain yang bisa menjelaskan sisi permintaan tenaga kerja anak adalah karena adanya kekurangan tenaga kerja dewasa. Maka dapat disimpulkan bahwa secara langsung, permintaan terhadap tenaga kerja anak berhubungan erat dengan harga tenaga kerja anak (upah). Semakin banyak kesempatan pengusaha untuk mempekerjakan anak-anak dengan upah yang lebih rendah daripada pekerja dewasa, semakin besar permintaan terhadap tenaga kerja anak. Hal ini terjadi karena tidak adanya peraturan, kurangnya pengawasan, atau diperbolehkannya oleh norma sosial. Sedangkan permintaan tidak langsung terhadap tenaga kerja anak dihubungkan dengan rentang pendapatan dari tenaga kerja dewasa.

(48)

rumah tangga yang berkenaan dengan kesejahteraan rumah tangga. Anak-anak yang bekerja berhubungan dengan pasar tenaga kerja orang tua mereka. Berkurangnya pendapatan rumah tangga akan direspon dengan mengirim anak-anak mereka ke pasar tenaga kerja atau menyuruh anak-anak-anak-anak mengerjakan tugas rumah tangga atau bekerja pada lahan keluarga, sedangkan tenaga kerja dewasa akan berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja.

b. Kemajuan Tekhnologi

Hazan dan Berdugo (2002) menjelaskan evolusi dari tenaga kerja anak, fertilitas, dan modal manusia dalam proses pembangunan. Pada tahap awal pembangunan ekonomi tenaga kerja anak melimpah, fertilitas tinggi, dan output perkapita rendah. Perkembangan tekhnologi secara bertahap meningkatkan perbedaan upah antara orang tua dan tenaga kerja anak, orang tua akan menyubstitusi pendidikan untuk pekerja anak dan mengurangi fertilitas. Perekonomian lepas landas kearah pertumbuhan yang berkelanjutan, ekuilibrium dalam kondisi steady state dimana pekerja anak secara efektif dihapuskan dan fertilitas menurun. Larangan pekerja anak ini akan mempercepat proses transisi dan menghasilkan hasil yang pareto dominan.

c. Efisiensi Upah

(49)

d. Komposisi Aset Portofolio Rumah Tangga

Komposisi aset portofolio rumah tangga merupakan faktor yang penting dalam sisi permintaan tenaga kerja anak. Rumah tangga yang memiliki sejumlah lahan akan cenderung mempekerjakan anak-anak mereka.

e. Perdagangan dan Keunggulan Komparatif

Beberapa negara maju berupaya mencari sanksi perdagangan kepada Negara-negara berkembang yang mempekrjakan anak-anak. Kekhawatiran ini terjadi karena fakta tentang eksploitasi anak di negara-negara berkembang dapat menurunkan biaya tenaga kerja, menyebabkan kompetisi yang tidak fair dalam pasar dunia dan memperluas tekanan pada upah tenaga kerja yang tidak terdidik dan kesempatan kerja di negara maju.

f. Aktivitas Nonekonomi Anak dan Isu Gender

Aktivitas nonekonomi anak merupakan permintaan terhadap waktu anak. Grimsrud (2001) mencatat bahwa sebagian besar pekerja anak di dunia adalah anak perempuan dan sebagian besar anak-anak yang aktif secara ekonomi adalah anak laki-laki. Perbedaan jumlah dan komposisi jender ini disebabkan karena pekerjaan rumah tangga yang banyak dilakukan anak perempuan merupakan sebuah aktivitas nonekonomi. Anak-anak (terutama perempuan) sering terlibat dalam aktivitas keluarga sebagai tenaga kerja tidak dibayar bagi orang tuanya (terutama ibunya) sebagai pekerja rumah tangga.

2. Penawaran Tenaga Kerja Anak a. Kemiskinan

(50)

penawaran hybrid dengan tiga wilayah yang berbeda (hanya tenaga kerja dewasa, pekerja anak meningkat dan total penawaran tenaga kerja). Terdapat ekuilibrium ganda dalam pasar tenaga kerja, ekuilibrium dengan upah tenaga kerja dewasa yang murah dan anak-anak bekerja, dan upah tenaga kerja dewasa tinggi dan anak-anak tidak bekerja).

b. Altruisme dan Isu dari Informasi yang Tidak Sempurna

Altruisme orang tua merupakan asumsi sederhana yang dibuat oleh model tenaga kerja anak. Altruisme ini akan berimplikasi terhadap keputusan rumah tangga apakah akan mengirim anaknya untuk bekerja atau sekolah. Anker (2000) menyatakan bahwa terdapat keterbatasan altruisme orang tua terutama untuk keluarga miskin di negara miskin. Terdapat enam alasan, pertama, keberlangsungan keluarga untuk rumah tangga miskin memerlukan pendapatan dari pekerja anak. Kedua, keluarga miskin mendapatkan manfaat apabila memiliki beberapa sumber pendapatan untuk meyakinkan adanya aliran pendapatan untuk setiap saat. Ketiga, orang tua tidak secara penuh altruistik terhadap anak-anak mereka. Keempat, krisis keluarga akan menyebabkan anak menjadi putus sekolah untuk bekerja dan membantu kelangsungan hidup keluarga. Kelima, ketidakpastian keuntungan yang diterima orang tua dari anak-anak yang terdidik/sekolah. Keenam, bekerja dan sekolah sering merupakan sebuah kombinasi.

c. Norma Sosial dan Budaya dan Faktor Komunitas

Pengaruh dari norma sosial, budaya, dan faktor komunitas berhubungan dengan diterima atau tidaknya keberadaan pekerja anak. Faktor komunitas seperti pedesaan dan lingkungan, kelompok agama, suku, kasta berperan penting dalam menentukan boleh tidanya pekerja anak, serta bentuk terburuk dan berbahaya dari pekerja anak.

d. Transisi Ekonomi

(51)

tua, rumah tangga dengan orang tua tunggal, keluarga besar, kebiasaan hidup yang buruk seperti alkohol, kekerasan, dan obat-obatan terlarang, putus sekolah dan tingkat partisipasi sekolah yang rendah, masuknya anak secara dini ke dunia kerja, putus asa, tidak terpenuhinya aspirasi, depresi, hidup dan bekerja di jalanan, migrasi, dan lain-lain.

e. Teori Risiko

Semua orang, rumah tangga, dan komunitas rentan terhadap berbagai resiko, baik secara alami (seperti gempa bumi, banjir, dan wabah penyakit) atau buatan manusia (seperti pengangguran, degradasi lingkungan, dan perang). Guncangan ini dialami oleh sebagian besar individu, komunitas, dan wilayah dengan cara yang tidak dapat diprediksi atau tidak dapat dicegah, oleh karenanya dapat menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan berhubungan dengan kerentanan karena orang miskin cenderung lebih mudah terkena risiko padahal mereka memiliki akses yang terbatas. Oleh karena itu, salah satu solusinya adalah dengan mempekerjakan anak.

f. Kualitas Sekolah dan Partisipasi Sekolah

Terdapat trade-off antara anak yang bekerja dan anak yang bersekolah. Ketika anak-anak bekerja penuh waktu maka kemungkinan akan mengalami putus sekolah, anak-anak yang bekerja paruh waktu akan merelakan waktu belajarnya untuk bekerja. Oleh karena itu keputusan rumah tangga yang lebih memilih anaknya untuk bekerja daripada bersekolah tentu dengan pertimbangan bahwa tingkat pengembalian relatif dari sekolah lebih rendah atau biaya relatif untuk bersekolah lebih tinggi. Salah satu cara yang efektif untuk menarik anak keluar dari pekerjaan yang berbahaya adalah dengan mendorong mereka untuk bersekolah dengan meningkatkan kualitas sekolah.

Tjandraningsih (1995) juga memandang anak-anak yang bekerja dari sisi pasar tenaga kerja upahan berdasarkan beberapa teori berikut:

(52)

melakukan pekerjaan, anak-anak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, sehingga dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tuanya. 2. Teori yang berpijak pada sisi permintaan, menyatakan bahwa dengan

mempekerjakan anak-anak (dan perempuan dewasa) yang dianggap pencari nafkah kedua dan mau dibayar murah, majikan dapat melipatgandakan keuntungannya.

Menurut Effendi (1993), ada dua teori yang menjelaskan mengapa pekerja anak bisa terjadi. Teori tersebut adalah:

1. Teori strategi kelangsungan rumah tangga (household survival strategy). Menurut teori ini, dalam masyarakat pedesaan yang mengalami transisi dan golongan miskin kota, mereka akan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia bila kondisi ekonomi mengalami perubahan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menggunakan tenaga kerja keluarga. Biasanya anak-anak yang belum dewasa pun diikutsertakan dalam menopang kehidupan ekonomi keluarga.

2. Teori transisi industrialisasi.

Tumbuhnya industrialisasi membutuhkan pemupukan modal untuk meningkatkan produksi. Biasanya para pengusaha ingin menekan biaya produksi. Upaya untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mencari tenaga kerja anak dan wanita karena bisa dibayar dengan upah yang murah tetapi mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi.

Imawan (1999) memandang beberapa faktor pendorong yang menyebabkan munculnya fenomena pekerja anak, yaitu:

1. Kemiskinan.

Kemiskinan merupakan faktor utama yang diyakini sebagai penyebab utama anak-anak terpaksa terjun dalam dunia kerja. Dalam keluarga miskin, anak merupakan aset keluarga. Dimana ketika kelangsungan hidup keluarga terancam maka seluruh sumber daya keluarga akan dikerahkan untuk bekerja dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya.

2. Melarikan diri dari kedua orang tua mereka.

(53)

besar dari mereka melarikan diri karena ingin mencari kebebasan dari tekanan orang tua. Mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.

3. Rendahnya kualitas pendidikan.

Di dalam pandangan masyarakat, timbul suatu persepsi bahwa pendidikan yang berlaku sekarang, tidak atau belum menjamin anak-anak setelah lulus sekolah akan mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Faktor inilah yang menyebabkan orang tua cenderung untuk mengirimkan anak-anak mereka untuk bekerja lebih dini.

4. Akibat dari perubahan proses produksi.

Adanya perkembangan industrialisasi yang sangat pesat dewasa ini mengakibatkan permintaan tenaga kerja semakin meningkat. Perusahaan-perusahaan lebih cenderung untuk menerima anak-anak sebagai tenaga kerja daripada menerima pekerja dewasa. Hal ini disebabkan karena pekerja anak lebih mudah diatur memiliki produktivitas yang sama dengan pekerja dewasa dan yang paling utama ialah pekerja anak bisa diupah dengan gaji yang sama atau lebih rendah dari pekerja dewasa. Perusahaan tidak mempunyai banyak resiko dituntut untuk memberikan layanan dan tunjangan lain yang seharusnya diberikan terhadap karyawannya, karena pekerja anak tidak memiliki perlindungan hukum yang kuat.

5. Masalah budaya dan lemahnya pengawasan.

Anak yang bekerja merupakan suatu hal yang wajar dan sudah merupakan suatu kebiasaan. Selain itu lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menangani pekerja anak semakin membuat praktek pekerja anak ini semakin dianggap sesuatu yang tidak terlalu penting.

(54)

menyebabkan penawaran tenaga kerja yang sangat besar dan upah yang rendah, dan yang kedua, ketika hanya orang tua yang bekerja, menyebabkan penawaran tenaga kerja yang rendah dan upah tenaga kerja dewasa yang tinggi.

Model buruh/pekerja anak-anak secara grafis terlihat seperti pada Gambar 2. Pada sumbu x, merupakan penawaran tenaga kerja yang setara dengan tenaga kerja orang dewasa. Asumsi yang ada adalah adanya unit-unit tenaga kerja yang homogen dan produktivitas buruh anak-anak adalah γ kali produktivitas buruh dewasa (dimana γ<1). Dengan asumsi semua orang dewasa bekerja, berapapun tingkat upahnya, maka akan menyebabkan kurva penawaran tenaga kerja orang dewasa akan inelastis sempurna dan berbentuk garis vertikal, yang ditunjukkan oleh garis AA’ dalam diagram. Kurva penawaran tenaga kerja yang inelastis merupakan asumsi yang sangat masuk akal di antara keluarga-keluarga yang sangat miskin, yang menyuruh anak-anaknya untuk bekerja. Sementara para orang tua tidak mempunyai pekerjaan di sektor modern, setiap orang dewasa terlibat dalam sejumlah aktivitas untuk membantu keluarganya bertahan hidup.

Sumber: Todaro dan Smith (2006)

Gambar 2 Model pekerja anak.

w

A

A

T

w

H

w

L

E

1

E

2

0

L

T’

A

(55)

Kurva penawaran tenaga kerja dewasa AA’ adalah jumlah orang dewasa yang tidak terlatih. Jika upah tenaga kerja dewasa menurun hingga wH, maka

sejumlah keluarga akan merasa cukup miskin sehingga dengan segera menyuruh anaknya untuk bekerja. Jika upah terus menurun, maka lebih banyak lagi keluarga yang akan melakukan hal yang sama, dan kurva penawaran tenaga kerja bergeser sepanjang kurva yang berbentuk S hingga mencapai upah wL, dimana pada titik

ini anak-anak akan bekerja, dan akan berada pada garis vertikal TT’ yang merupakan kurva penawaran tenaga kerja agregat dari semua orang dewasa dan anak-anak. Jumlah ini adalah jumlah orang dewasa ditambah jumlah anak-anak dikalikan dengan produktivitas yang lebih rendah, γ<1. Basu menyatakan bahwa untuk anak-anak γ diasumsikan 0,5.

Jika permintaan tenaga kerja DL cukup inelastis untuk memotong garis AA’ di atas wH, dan juga memotong garis TT’ di bawah wL, maka akan terdapat

dua ekuilibria yang stabil, yaitu E1 dan E2 dalam diagram tersebut. Apabila

terdapat dua ekuilibria, maka jika kita mulai dari ekuilibrium yang buruk E2,

pelarangan buruh anak yang efektif akan menggeser penawaran menuju ekuilibrium yang baik, E1. Lebih jauh, setelah perekonomian bergerak ke

ekuilibrium yang baru, pelarangan buruh anak akan terjadi dengan sendirinya, karena menurut asumsi, upah yang baru cukup tinggi sehingga keluarga-keluarga miskin tersebut tidak perlu menyuruh anaknya bekerja. Jika keluarga-keluarga miskin dapat saling berkoordinasi dan menolak untuk menyuruh anak-anaknya bekerja, maka setiap orang akan diuntungkan; namun pada umumnya, mengingat besarnya jumlah keluarga yang ada, mereka tidak akan mampu melakukan koordinasi tersebut.

(56)

Meskipun model buruh anak-anak ini mungkin merupakan gambaran yang masuk akal dari banyak kawasan negara berkembang, namun informasi mengenai kondisi pasar tenaga kerja tidak terdidik sangat kurang untuk mengatakan signifikansi jenis ekuilibria berganda. Oleh karena itu, pelarangan buruh anak-anak di seluruh dunia mungkin justru akan berakibat kontraproduktif.

2.1.7. Partisipasi Anak dalam Kegiatan Ekonomi Keluarga

Keluarga dalam arti luas adalah satu kesatuan kekeluargaan yang terdiri dari dua orang atau lebih yang saling berhubungan melalui perkawinan, hubungan darah, perjanjian atau adopsi. Anggota keluarga memegang fungsi ekonomi, fungsi reproduksi, dan sosialisasi. Di dalam keluarga yang orang tuanya tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan anggota keluarga, anak-anak terdorong untuk berpartisipasi membantu perekonomian keluarga.

Keputusan mengenai apakah anak bekerja atau tidak bisa berasal dari orang tua, anak itu sendiri, atau anggota keluarga yang lain. Model neoklasik yang paling utama dikemukakan oleh Becker pada tahun 1964 (Brown et al., 2001). Becker mempelajari bahwa investasi pada modal manusia dan keputusan bahwa anak akan bersekolah apabila keuntungan dari sekolah (pendapatan potensial) lebih besar dari pada biaya (langsung dan tidak langsung) setelah mempertimbangkan perbedaan dari nilai sekarang dan yang akan datang.

Menurut beberapa peneliti, anak dianggap tidak memiliki posisi tawar dalam keluarga. Orang tua dipandang sebagai pembuat keputusan utama untuk menentukan anak bekerja atau sekolah. Hal ini menimbulkan problem klasik, ketika orang tua memutuskan anaknya bekerja, mereka tidak sepenuhnya menyadari biaya dari keputusan tersebut. Selain itu, asumsi bahwa orang tua membuat keputusan agar anaknya bekerja telah menegaskan bahwa adanya penawaran pekerja anak adalah bukti dari sikap orang tua yang tidak berperasaan dan ketidakpedulian terhadap anak-anak mereka.

(57)

anak meningkat dan anak yang bersekolah berkurang, karena antara orang tua, anak dan pemegang obligasi tidak memiliki jaminan atas pengembalian investasi pada anak.

Penelitian lain membuktikan bahwa ketika anak memiliki peluang kerja di luar rumah, mereka mungkin dapat memengaruhi keputusan rumah tangga. Moehling (2005) menemukan bukti menarik tentang kemampuan anak bekerja untuk memengaruhi pengambilan keputusan rumah tangga. Dia memeriksa data pengeluaran rumah tangga AS tahun 1917-1919. Dia mengamati bahwa pangsa pengeluaran rumah tangga untuk barang-barang bagi anak yang bekerja meningkat. Basu (2006) juga menunjukkan bahwa mungkin ada siklus kekuasaan dalam rumah tangga. Sebagai anak yang bekerja, mereka memiliki kemampuan untuk memengaruhi kegiatan rumah tangga, oleh karena itu mereka lebih memilih untuk bekerja. Iverson (2002) meneliti tentang anak-anak migran di sebuah distrik pedesaan di India Selatan. Dia melaporkan bahwa anak laki-laki yang mulai bekerja pada usia 13 tahun ke atas bekerja atas keinginan mereka sendiri. Para migran ini bermigrasi dan bekerja agar memiliki kontrol yang lebih besar atas kehidupan mereka sendiri.

2.1.8. Variabel-variabel yang Memengaruhi Keputusan Anak untuk Bekerja

Menurut Tharmmapornphilas (2006), variabel-variabel penelitian empiris yang berhubungan dengan keputusan anak untuk bekerja dibedakan menjadi empat kelompok; yaitu:

1. Karakteristik anak yang meliputi jenis kelamin, umur, dan urutan kelahiran 2. Karakteristik rumah tangga yang meliputi pendapatan, pendidikan orang tua,

dan jumlah anak.

3. Karakteristik sekolah yang meliputi jarak dari rumah ke sekolah dan kualitas sekolah.

4. Karakteristik komunitas yang meliputi lokasi, infrastruktur, dan lingkungan. Okurut dan Yinusa (2009) menggunakan beberapa variabel untuk meneliti faktor-faktor yang memengaruhi anak-anak untuk bekerja dan bersekolah, yaitu: 1. Karakteristik demografi individu, yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan,

(58)

2. Karakteristik rumah tangga, yaitu tingkat pendidikan kepala rumah tangga, jenis kelamin kepala rumah tangga, status bekerja kepala rumah tangga, dan ukuran rumah tangga (banyaknya anggota rumah tangga).

2.2. Tinjauan Empiris

Survei yang dilakukan oleh SMERU dari data 100 desa pada tahun 1998-1999 menemukan bahwa faktor pendorong signifikan yang mempengaruhi keputusan orang tua untuk mengirimkan anaknya bekerja adalah besarnya jumlah anggota rumah tangga. Semakin besar anggota rumah tangga, semakin besar kemungkinan bahwa anak-anak keluarga tersebut terpaksa bekerja. Selain itu, rasio ketergantungan yang lebih besar mempunyai kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengirimkan anaknya bekerja. Rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang berusia lanjut dan mereka yang bekerja di sektor pertanian memiliki kecenderungan yang sangat tinggi untuk mengirimkan anaknya dalam dunia kerja (SMERU Newsletter, 2003).

Usman dan Nachrowi (2004) meneliti tentang faktor-faktor yang memengaruhi timbulnya pekerja anak-anak, dan melihat karakteristik pekerja anak yang mengalami eksploitasi. Metode analisis yang digunakan adalah regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan semakin rendah rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita perbulan, maka akan semakin tinggi resiko anak-anak untuk bekerja. Karakteristik kepala rumah tangga, yaitu: pendidikan, lapangan usaha, status pekerjaan, dan jenis kelamin, juga mempunyai pengaruh yang mengakibatkan timbulnya pekerja anak-anak. Disamping itu, daerah tempat tinggal, dan jenis kelamin anak juga ikut memengaruhi timbulnya pekerja anak-anak.

(59)

tapi tidak berlaku pada pekerja anak perempuan, pendidikan orang tua berpengaruh negatif terhadap penawaran pekerja anak.

Yunita (2006) dengan menggunakan data IFLS (Indonesian Family Life Survey) tahun 1997 dan 2000, meneliti hubungan antara kondisi sosial ekonomi keluarga, posisi tawar dan pendidikan orang tua pada kecenderungan anak-anak mereka untuk bersekolah atau bekerja. Model yang digunakan adalah model probit. Hasil penelitian menyatakan bahwa posisi tawar ibu yang lebih tinggi secara signifikan mengurangi kecenderungan anak untuk bekerja. Jumlah tahun bersekolah ibu juga lebih mempengaruhi keputusan apakah anak bekerja atau bersekolah, dibandingkan dengan pendidikan ayah.

Okurut dan Yinusa (2009) dengan menggunakan Survei Tenaga Kerja (Labour Force Survey/LFS) Botswana meneliti tentang faktor-faktor yang memengaruhi anak untuk bekerja dan bersekolah. Model yang digunakan adalah multinomial logit. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah peluang anak-anak bekerja ketika bersekolah secara negatif dan signifikan dipengaruhi oleh umur anak, kepala rumah tangga berjenis kelamin perempuan, dan status bekerja kepala rumah tangga. Sedangkan peluang anak-anak bekerja dan bersekolah secara positif dan signifikan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan anak, jumlah anak dalam rumah tangga, dan kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian.

Triningsih dan Ichihashi (2010) memeriksa determinan dan dampak dari kebijakan pendidikan bagi anak-anak yang bekerja di Indonesia menggunakan data IFLS. Penelitian ini menggunakan model probit untuk mengestimasi kecenderungan anak-anak untuk bekerja. Hasil penelitian menyatakan bahwa kemiskinan merupakan salah satu determinan anak-anak yang bekerja di Indonesia selain faktor-faktor lain seperti umur, sektor pertanian, dan pendidikan orang tua.

(60)

2.3. Kerangka Pemikiran

Anak adalah investasi yang sangat berharga karena merupakan sumber daya yang penting untuk pembangunan di masa yang akan datang. Agar mendapatkan SDM yang berkualitas, maka perlu diperhatikan tumbuh kembang anak sejak dini. Salah satu hak tumbuh kembang anak adalah pendidikan. Namun kenyataannya, pencapaian pendidikan dasar di Indonesia masih kurang. Pencapaian APM untuk SMP masih jauh dari target, walaupun APM untuk SD sudah cukup tinggi. Hal ini berarti bahwa masih banyak anak yang lulus SD tapi tidak melanjutkan ke jenjang SMP. Salah satu faktor penyebab anak putus sekolah adalah faktor ekonomi. Selain karena kesulitan dalam membayar uang sekolah dan biaya lainnya, sebagian orang tua memerlukan anak-anak mereka untuk bekerja.

[image:60.595.48.491.46.706.2]

Keterangan: tidak diteliti

Gambar 3 Alur kerangka pemikiran. Karakteristik Rumah tangga Karakteristik

anak

Karakteristik sekolah

Implikasi kebijakan

Pentingnya SDM yang berkualitas

Adanya ancaman lost generation akibat lingkaran kemiskinan

Karakteristik komunitas

Anak bekerja

Eksploitasi:

-Dari segi jam kerja -Dari segi upah

-Dari segi terhambatnya akses pendidikan

(61)

Aturan mengenai pelarangan anak untuk bekerja dirasakan kurang efektif selama dorongan dari sisi permintaan dan penawaran anak untuk bekerja tetap besar. Upaya yang perlu dilakukan pemerintah saat ini adalah melindungi agar mereka tidak tereksploitasi dan menjaga kelangsungan pendidikan mereka. Oleh karena itu, perlu dit

Gambar

Tabel 2 Persentase anak usia 10-17 tahun yang bekerja menurut jam kerja pada
Tabel 3 Kerangka identifikasi statistik pekerja anak
Gambar 3 Alur kerangka pemikiran.
Tabel 5 Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian (lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

materi pelajaran yang sudah lama tersimpan dalam subsistem akal permanennya mengganggu masuknya materi pelajaran baru. Peristiwa ini terjadi apabila siswa

• Sebagian besar kegiatan manusia berhubungan dengan memori (ingatan) manusia, seperti saat manusia selalu mengingat semua yang terjadi, memori manusia berisi semua pengetahuan dari

Rahyono (2003) menyatakan intonasi sebuah bahasa memiliki keteraturan yang telah dihayati bersama oleh para penuturnya.Penutur sebuah bahasa tidak memiliki kebebasan yang

Mata kuliah ini mempelajari definisi dan model manajemen stratejik; konsep manajemen stratejik dan perkembangannya; mendeskripsikan fungsi dan peran

Kondisi kesehatan keluarga Bapak I Ketut Kartu dapat dijaga dengan mengurangi. aktivitas fisik yang

Pada bab ini dibahas mengenai penjelasan sistem keseluruhan dari proses serangan dengan menggunakan simulasi jaringan, beserta detail dari blok diagram system, yang

memiliki latar belakang bidang studi yang berbeda dengan guru PAI yang akan dinilai, maka penilaian dapat dilakukan oleh Pengawas PAI Kepala Sekolah atau Guru PAI dari Sekolah

HONORARIUM PANITIA PELAKSANA KEGIATAN; HONORARIUM PEGAWAI HONORER / TIDAK TETAP; BANTUAN TRANSPORT NARASUMBER DAN BANTUAN TRANSPORT PESERTA; HONORARIUM NARASUMBER; BELANJA