I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Anak adalah anugerah terindah bagi setiap orang tua. Selain sebagai penerus keturunan, anak merupakan harapan di masa depan. Oleh karena itu, anak harus diberikan perlindungan, pendidikan, pengajaran, dan ketrampilan agar menjadi seorang yang berjiwa mulia. Orang tua merupakan pihak yang paling bertanggung jawab untuk memberikan semua itu, namun apabila orang tua tidak mampu memberikannya maka negara wajib turun tangan.
Peran negara dalam perlindungan terhadap anak sangat penting. Sebagai generasi penerus bangsa, anak merupakan modal pembangunan di masa yang akan datang, sehingga harus dipersiapkan sejak dini agar menjadi sumber daya manusia yang tangguh, unggul, dan dapat membangun bangsanya. Anak memiliki hak-hak dasar yang harus diakui yaitu hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights), hak terhadap perlindungan (protection rights), hak tumbuh kembang (development rights), dan hak untuk berpartisipasi (participation rights). Namun pada kenyataannya, tidak semua hak-hak anak tersebut dapat terpenuhi. Contohnya adalah hak tumbuh kembang dimana didalamnya menyangkut tentang pendidikan anak.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani deklarasi “Education for All” yang diselenggarakan di Jomtien, Thailand pada tahun 1990 dan di Dakkar, Senegal pada tahun 2000. Selain itu, Indonesia juga ikut berkomitmen mewujudkan MDGs (Millenium Development Goals). Tujuan kedua dari MDGs adalah mewujudkan pendidikan dasar untuk semua. Dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut, pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam undang- undang tersebut dinyatakan bahwa wajib belajar adalah program minimal yang harus diikuti oleh semua Warga Negara Indonesia. Pasal 6 ayat 1 berbunyi: “Setiap Warga Negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs)”.
Salah satu indikator untuk mengetahui keberhasilan dalam bidang pendidikan dasar adalah Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI/Paket A dan SMP/MTs/Paket B. APM SD/MI/Paket A pada tahun 2007-2010 cukup tinggi, yaitu sebesar 93,78 persen pada tahun 2007 dan terus meningkat menjadi 94,76 persen pada tahun 2010. Sedangkan APM SMP/MTs/Paket B dari 66,90 persen
pada tahun 2007 menjadi 67,73 persen pada tahun 2010 (lihat Tabel 1).
Sumber: BPS, 2008-2011
Pencapaian APM SD/MI/Paket A yang sebesar 94,76 persen pada tahun 2010 menunjukkan bahwa target untuk memasukkan semua anak ke sekolah dasar hampir terwujud. Namun APM SMP/MTs/Paket B pada tahun 2010 yang hanya sebesar 67,73 persen masih dirasakan belum cukup karena walaupun angka partisipasi SD tinggi, namun banyak anak yang tidak melanjutkan ke jenjang SMP. Dengan kondisi ini maka pemerintah masih menghadapi tantangan yang cukup besar mengingat target Indonesia adalah wajib belajar 9 tahun yang terdiri dari 6 tahun di SD dan 3 tahun di SMP. Untuk mencapai tujuan kedua dari MDGs tidak cukup semua anak bisa sekolah, tetapi harus memberikan pendidikan dasar yang utuh. Kenyataannya, banyak anak yang tidak bisa bersekolah dengan lancar di sekolah dasar. Ada yang tidak naik kelas atau bahkan terpaksa berhenti sekolah. Angka putus sekolah pada tahun ajaran 2007/2008-2008/2009 untuk SD mencapai 1,64 persen atau sebesar 437.608 anak, sedangkan angka putus sekolah untuk SMP mencapai 2,49 persen atau sebanyak 214.775 anak. Sebagian besar anak putus sekolah karena masalah ekonomi. Sepertiga keluarga termiskin mengatakan bahwa mereka memiliki masalah untuk membayar uang sekolah dan biaya lainnya, sedangkan sebagian yang lain disebabkan karena orang tua memerlukan anak-anak untuk bekerja (Stalker, 2008).
Tabel 1 Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI/Paket A dan SMP/MTs/Paket B di Indonesia, tahun 2007-2010 (Persen)
Tahun 2007 2008 2009 2010
SD/MI/Paket A 93,78 93,99 94,37 94,76
Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) pada tahun 2007, dari keseluruhan anak usia 10-17 tahun terdapat 3,7 juta anak yang bekerja atau sebesar 13,2 persen, yang kemudian sedikit menurun pada tahun 2008, menjadi 3,5 juta anak (11,9 persen), dan kembali meningkat pada tahun 2009, menjadi 3,7 juta anak (12,1 persen). Pada tahun 2010, persentase anak yang bekerja kembali menurun menjadi 9,0 persen. Walaupun begitu secara jumlah masih cukup besar, yaitu 3,3 juta anak.
Keberadaan anak yang bekerja ini melanggar hak perlindungan dan tumbuh kembang anak. Pada usia tersebut, seharusnya anak masih menduduki bangku sekolah. Tjandraningsih (1995), mengatakan ketika anak-anak tidak mempunyai kesempatan untuk bersekolah, maka pilihan hidupnya hanya dua, yaitu: masuk angkatan kerja atau tidak. Namun perlu diingat bahwa anak-anak justru putus sekolah lantaran bekerja. Bahkan, di lingkungan yang kondusif untuk bekerja, konsekuensi yang muncul adalah gejala putus sekolah yang sering diawali dengan menggabungkan sekolah sambil bekerja.
Tabel 2 Persentase anak usia 10-17 tahun yang bekerja menurut jam kerja pada pekerjaan utama dalam seminggu dan status sekolah di Indonesia, tahun 2010 Jam Kerja Status Sekolah Total Tidak/belum pernah sekolah Masih bersekolah Tidak bersekolah lagi 1-9 5,63 25,57 3,23 11,89 10-14 6,24 26,03 6,00 13,69 15-24 24,59 28,18 15,48 20,70 25-34 32,84 9,42 15,02 13,57 35-44 25,51 5,18 16,44 12,48 45-59 3,88 4,18 27,83 17,83 60+ 1,30 1,44 15,99 9,84 Total 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: BPS, 2010
Tabel 2 menunjukkan bahwa sebanyak 10,80 persen anak bekerja yang masih bersekolah memiliki jam kerja 35 jam atau lebih dalam seminggu. Dengan asumsi lima hari kerja dalam seminggu, berarti mereka bekerja selama tujuh jam perhari, sedangkan jam sekolah rata-rata antara lima sampai enam jam dalam sehari. Kondisi ini dikhawatirkan menyebabkan mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk kegiatan belajar. Pada kelompok anak yang tidak bersekolah lagi terlihat bahwa sebagian besar anak cenderung memiliki jam kerja yang panjang, bahkan sebesar 15,99 persen anak memiliki jam kerja 60 jam atau lebih dalam seminggu.
Bekerja dengan jam kerja yang amat panjang tentunya melanggar hak anak. Bekerja dikhawatirkan akan memberikan dampak yang buruk bagi anak, baik dampak fisik maupun psikis. Kondisi fisik anak masih terlalu muda untuk bekerja dalam jumlah waktu yang lama. Waktu bermain menjadi sedikit sehingga pengembangan kreativitas anak lambat. Terlebih lagi mereka tidak akan bisa menikmati kebahagiaan masa kecil. Mereka juga seringkali harus menghadapi risiko kecelakaan kerja dan menjadi sasaran pelecehan atau penindasan dan kesewenang-wenangan pekerja dewasa. Tjandraningsih (1995) mengemukakan bahwa anak yang bekerja di sektor formal (pabrik) bekerja dengan jam kerja relatif panjang dan memperoleh gaji yang relatif lebih rendah dari pekerja dewasa.
Pada tahun 2010, rata-rata pendapatan/upah/gaji anak bekerja perbulan sangat rendah, yaitu hanya berkisar 207 ribu rupiah. Anak yang bekerja pada umumnya tidak mempunyai pilihan, mereka dipaksa bekerja tanpa memikirkan berapa besar uang yang akan mereka peroleh. Mereka tidak punya daya dan upaya sehingga mereka tidak mampu menuntut pendapatan/upah/gaji yang lebih.
Bellamy dalam Usman dan Nachrowi (2004) mengatakan bahwa anak-anak yang bekerja pada usia dini, yang biasanya berasal dari keluarga miskin, dengan pendidikan yang terabaikan, sesungguhnya akan melestarikan kemiskinan, karena anak yang bekerja tumbuh menjadi seorang dewasa yang terjebak dalam pekerjaan yang tak terlatih, dan dengan upah yang sangat buruk. Membiarkan anak-anak bekerja sebagai pengganti sekolah dapat membuat lingkaran setan (vicious circle); awalnya, bekerja menimbulkan dampak buruk bagi sekolah,
selanjutnya berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali dapat mengakibatkan berlanjutnya keharusan anak-anak itu untuk bekerja.
Selain itu, Edmonds (2006) mengemukakan bahwa pendidikan yang rendah menyebabkan pendapatan yang rendah sehingga investasi pendidikan pada generasi yang akan datang juga akan rendah. Orang tua yang berpendidikan rendah, dengan pendapatan rendah akan memengaruhi kesehatan dan gizi anak sehingga berdampak pada produktivitas anak-anak baik dalam kegiatan sekolah maupun bekerja. Selain itu, pengalaman orang tua yang bekerja pada masa anak- anak membuat mereka akan beranggapan bahwa bekerja pada masa kanak-kanak adalah hal yang wajar.
Riset menunjukkan bahwa semakin awal seorang anak bekerja, semakin tinggi dampak negatif yang harus ia bayar dalam hal pendapatan pada saat ia dewasa (ILO, 2007). Bukti dari Brazil menunjukkan bahwa keterlibatan secara dini di dunia kerja mengurangi pendapatan selama hidup sebanyak 13-20 persen. Berdasarkan review dari riset-riset yang ada, ILO memerkirakan bahwa pendapatan seseorang meningkat 11 persen untuk setiap tahun pendidikan yang dienyam seorang anak.