IMPERIALISME
PERISTIWA pembunuhan tahun 1965, pembasmian komunis dan kaum kiri di Indonesia, bukanlah kejadian pembantaian manusia satu-satunya dalam sejarah.
Tahun 1950, gerilya anti Jepang yang seusai Perang Dunia kedua berkembang jadi gerilya bersenjata di bawah pimpinan Huk Balahap di Filipina dibasmi lewat pembantaian, kekerasan bersenjata di bawah pimpinan CIA. Dari penyimpulan pengalamannya membasmi gerilya di Filipina, CIA merumuskan gagasan Operasi Phoenix. Operasi ini dijalankan di Vietnam untuk membasmi gerilya di bawah pimpinan Partai Komunis Vietnam lewat pembunuhan besar-besaran.
Cara-cara pembasmian komunis dan kaum kiri ini menjadi bahan pendidikan di akademi militer Fort Leavenworth yang mendidik perwira- perwira Vietnam Selatan dan Indonesia. Dari Indonesia terdapat antara lain: Jenderal Ahmad Yani, Brigjen. Soewarto, Sarwo Edhie, dll. Pada tahun 1965 di Indonesia sudah terdapat dua ribu perwira hasil didikan akademi- akademi militer Amerika.
William Colby, mantan Direktur CIA menyatakan, bahwa program pembunuhan besar-besaran di Indonesia adalah sama dengan Program Phoenix. Para pembunuh, teroris-teroris ini dididik dan dilatih di sekolah-sekolah Western Hemisphere Institute For Security Cooperation, yang dulunya The School
' , .
of The Americas, Ft. Benning, Georgia dan The Counter-Insurgency Training
Center, Ft. Bragg, Fayetteville, N.C. [Baca The Real Phoenix Program, Posted By: tenavision Date: Friday, 6-Jan-2006 12:38:49]
Program Phoenix diramu oleh Kepala Divisi Timur Jauh CIA, William Colby, dilaksanakan oleh Kepala Kantor CIA, William Casey. Tom Ridge, Oliver North, dan Bob Kerry adalah di antara mata-mata pelaksana Program Phoenix. Di sekitar tahun enam puluhan, beberapa orang pengajar masalah kontra-pemberontakan datang di Indonesia memberi latihan. Latihan militer Amerika Serikat ini dilakukan dengan rahasia karena Washington menganggap pemimpin negeri ini yang netralis, Soekarno, adalah dicurigai secara politik. Latihan hanya diperbolehkan agar Amerika Serikat mendapat pengaruh dalam militer Indonesia yang dianggap dapat disandari.
Bantuan dan latihan yang diberikan Amerika secara rahasia, yang bagian terbesarnya diberi nama yang tidak menakutkan “civic action”, yang umumnya diperkirakan berarti untuk membangun jalan, memberi tenaga untuk klinik-klinik kesehatan dan bentuk-bentuk kegiatan lainnya dengan pekerja sipil berupa kegiatan-kegiatan saling-bantu. Tetapi “civic action” juga memberi syarat untuk kerja rahasia di Indonesia, demikian pula di Filipina dan Vietnam, yaitu untuk perang syaraf.
Untuk menangkal Partai Komunis Indonesia yang kuat, Beret Merah Angkatan Darat melancarkan pembunuhan ratusan ribu manusia, pria dan wanita, serta kanak-kanak. Begitu banyak mayat dilemparkan masuk sungai-sungai di Jawa Timur hingga airnya menjadi merah oleh darah. Dalam taktik perang syaraf klasik, mayat-mayat yang telanjang juga mengabdi untuk peringatan bagi para penduduk di desa-desa di hilir sungai.
“Supaya tidak tenggelam, mayat-mayat itu secara sembarangan diikatkan pada pancang-pancang bambu,” tulis saksi mata Pipit Rochijat.
“Dan hanyutnya mayat-mayat itu dari daerah Kediri ke daerah hilir Kali Brantas mencapai tujuan pentingnya dengan mayat-mayat itu ditumpuk di atas rakit berhiaskan panji-panji PKI berkibar dengan bangga.” [Baca: Rochijat, Am I PKI or Non-PKI?, Indonesia, Oktober 1985].
Sementara penulis sejarah, menghubungkan kekerasan yang luar biasa ini dengan sikap tentara yang keterlaluan kegila-gilaan yang bertindak dengan “kekejaman yang tak direncanakan” atau “histeria massa” yang menyebabkan berlangsungnya pembunuhan sampai hampir setengah juta orang Indonesia, banyak di antaranya adalah turunan Tionghoa.
Tetapi taktik yang berulang-kali menempatkan mayat secara menakutkan itu adalah cocok dengan doktrin perang syaraf militer, yang
( $( (1 1 * , '
menurut seorang perwira pimpinan para pembunuh, itu adalah satu bentuk isyarat tuntutan untuk pembasmian PKI.
Sarwo Edhie, komandan para komando yang terkenal dengan pasukan Beret Merah, memberi peringatan, bahwa perlawanan komunis “jangan diberi kesempatan untuk berkonsentrasi atau mengonsolidasi diri. Secara sistematik harus dipukul mundur dengan segala cara, termasuk perang syaraf.” [Baca: The Revolt of the G30S/PKI and Its Suppression, diterjemahkan oleh Robert Cribb dalam The Indonesian Killings].
Sarwo Edhie sudah dikenal sebagai seorang penghubung CIA, ketika dia bertugas di Kedutaan Indonesia di Australia. [Baca: Pacific, May-June 1968].
Dalam The Very Dark Side of U.S. History, Consortium News / By Peter Dale
Scott and Robert Parry, Oct. 8, 2010, dipaparkan bahwa dalam memoarnya,
Lansdale membual mengenai salah satu trik perang syaraf yang legendaris, yang dipergunakan melawan gerilya Huk, melawan mereka yang dianggap percaya akan takhayul dan takut pada makhluk seperti vampir penghisap darah, yang disebut dalam bahasa penduduk setempat asuang.
“Pasukan psy-war melakukan penghadangan di jalan yang biasanya ditempuh oleh rombongan gerilya Huk,” tulis Lansdale. “Ketika rombongan patroli Huk itu lewat di tempat penghadangan, pasukan psy-war dengan diam-diam menangkap orang yang paling belakang dari rombongan patroli Huk itu. Karena malam gelap, peristiwa ini tak diketahui oleh rombongan patroli itu. Orang yang ditangkap itu dibunuh, dengan diberi dua lubang di lehernya, sepertinya bekas gigitan vampir penghisap darah, ditegakkan mayat itu diatas tumitnya, dikeringkan darahnya, dan dibawa kembali mayat itu ke jalan semula.
Ketika rombongan gerilya Huk itu kembali mencari temannya yang hilang, menemukan mayat kawan mereka tanpa darah, maka setiap anggota patroli Huk itu akan percaya, bahwa asuang sudah menghisap darahnya.” [Baca: Lansdale, In the Midst of Wars].
Inilah operasi perang syaraf untuk menakut-nakuti gerilya Huk.
“Taktik khusus dari pasukan adalah mengepung suatu daerah, semua yang ada dalam daerah kepungan itu dianggap sebagai musuh,” kata seorang kolonel Filipina yang pro Amerika. “Hampir setiap hari didapati mayat mengapung di sungai, banyak di antara mereka adalah korban dari kesatuan Nenita dari pasukan mayor Napoleon Valeriano. [Baca: Benedict J. Kerkvliet, The Huk Rebellion: A Study of Peasant Revolt in the Philippines].
Kurt Nimmo menulis dalam CIA Assassination Program Revealed: Nothing New Under the Sun, bahwa program pembunuhan besar-besaran di Indonesia adalah didasarkan pada pengalaman-pengalaman CIA di Filipina. Para
'& , .
penasihat militer Amerika dari Joint US Military Advisory Group (JUSMAG) dan Kantor CIA di Manila merencanakan dan memimpin penindasan berdarah terhadap kekuatan nasionalis Hukbong Mapagpalaya ng Bayan [Catatan Roland G Simbulan, Operasi Rahasia dan CIA, Hidden History in the Philipines].
Sebuah petunjuk perintah CIA mengenai pembunuhan menyatakan bahwa adalah perlu membunuh seorang pemimpin politik yang kariernya jelas menunjukkan bahaya bagi usaha kemerdekaan. CIA tidak memilih- milih ketika melakukan pembunuhan sejumlah besar orang di Indonesia. Sesudah membasmi komunis di tahun 1965, perwira-perwira militer Indonesia memimpin pasukan mereka melikuidasi Partai Komunis Indonesia dan akhirnya menggulingkan Presiden Soekarno.
Peter Dale Scott menulis, bahwa tugas terbesar membasmi PKI dan pendukungnya yang berlumuran darah yang sekarang diakui oleh para sahabat Soeharto sudah mengorbankan lebih dari setengah juta jiwa. Untuk pertama kalinya pejabat-pejabat Amerika mengakui bahwa tahun 1965 secara sistematik mereka telah menghimpun daftar nama pimpinan komunis dari pimpinan atasan sampai kader-kader desa. Sebanyak 5.000 nama diserahkan kepada tentara Indonesia, dan kemudian diperiksa oleh pejabat Amerika nama-nama mereka yang ditangkap dan dibunuh, menurut pejabat-pejabat Amerika. [Kathy Kadane menulis untuk South Carolina’s Herald Journal on May, 1990].
Semua program CIA semenjak Perang Vietnam, sesungguhnya adalah
kelanjutan dari Program Phoenix. Ke dalamnya termasuk operasi
penyeludupan senjata dan narkotik di Iran; operasi di Nicaragua yang dikendalikan oleh William Casey dan Oliver North; serangan atas Panama yang mengakibatkan 20.000 orang mati. Masih dapat disebutkan tentang kejadian-kejadian di Amerika Selatan dan Tengah, Irlandia, Kroatia, Serbia, Kosovo, Makedonia, Montenegro, Afganistan, Indonesia yang selama empat bulan dengan 500.000 terbunuh, nama-nama orang yang akan dibasmi dikumpulkan pejabat Kedutaan Besar AS dan diserahkan pada Soeharto yang naik berkuasa lewat kup CIA, pasukan Soeharto mendapat bimbingan dan diberi bantuan jeep, senjata, radio-radio lapangan. Sinyal siaran pesan- pesan radio single side band KWM-2s dapat dimonitor National Security Agency.
Para penasihat militer dari Joint US Military Advisory Group (JUSMAG) dan kantor CIA di Manila merencanakan dan memimpin penindasan berdarah terhadap gerakan nasionalis Hukbong Mapagpalaya ng Bayan (HMB) yang seusai Perang Dunia kedua menentang dengan keras
( $( (1 1 * , ''
amendemen Parity Rights dan persetujuan militer yang berat sebelah dengan Amerika Serikat. Berhasilnya CIA mematahkan pemberontakan Huk yang berlandaskan kaum tani di tahun 1950, menjadikan operasi ini satu model untuk operasi-operasi kontra pemberontakan di masa depan di Vietnam dan Amerika Latin. Kolonel Lansdale dan koleganya, Kolonel Napoleon Valeriano, kemudian menggunakan pengalaman kontra-gerilyanya di Filipina ini untuk mendidik mata-mata para pekerja rahasia di Vietnam dan di sekolah yang diselenggarakan Amerika, yang melatih pembunuh- pembunuh kontra-gerilya di Amerika Latin. Jadi, Filipina sudah menjadi prototipe contoh operasi-operasi rahasia yang sukses dan perang syaraf. [Baca: Covert Operations and the CIA’s Hidden History in the Philippines, by Roland G. Simbulan, Convenor/Coordinator, Manila Studies Program University of the Philippines, Lecture at the University of the Philippines-Manila, Rizal Hall, Padre Faura, Manila, August 18, 2000.]
Pada akhir tahun lima puluhan, CIA juga aktif menggunakan daerah Filipina, terutama pangkalan udara Clark Air Base, untuk latihan dan melancarkan operasi mata-mata dan logistik, di mana Amerika Serikat secara rahasia mendukung para kolonel yang memberontak di Indonesia (PRRI-Permesta), tapi gagal menggulingkan Presiden Soekarno. Waktu itu CIA memberi bantuan suplai, latihan, dan pangkalan logistik di beberapa pulau Filipina, termasuk landasan udara di pulau Tiwi-Tiwi, Sanga-Sanga. Sebuah maskapai milik CIA, the Civil Air Transport, secara aktif dipergunakan oleh CIA dari daerah Filipina untuk memberikan bantuan langsung bagi grup pemberontakan militer yang berusaha menggulingkan Presiden Soekarno di ujung tahun lima puluhan. [Ibid]
Sekali lagi, dalam hubungan dengan ini, keunggulan-keunggulan dari model Indonesia menunjukkan dengan jelas, bahwa di masa selanjutnya, Amerika akan mencari kesempatan-kesempatan untuk sasaran-sasaran pembunuhan besar-besaran dan bila terjadi bisa direkayasa secara rahasia dengan lebih baik. Ini bisa berarti menggunakan mereka sebanyak mungkin untuk berjuang membasmi musuh atas dasar apa pun.
“Mantan Direktur CIA, William Colby, dalam satu wawancara, menyatakan bahwa kegiatan Kedutaan Besar AS di Indonesia menyiapkan daftar nama pemimpin-pemimpin PKI adalah sama dengan pelaksanaan Program Phoenix CIA di Vietnam. Tahun 1965, Colby adalah Direktur Divisi Timur Jauh dari CIA yang bertanggung jawab untuk memimpin strategi rahasia Amerika di Asia.” [San Fancisco Examiner, 20/5/90].
Ketika dia mengambil jabatan ini di tahun 1962, Colby mengatakan dia mendapati bahwa Amerika tidak mempunyai daftar lengkap para aktivis PKI di
'% , .
Indonesia, dan dia berpendapat bahwa ini adalah satu celah dalam sistem intelijen” [Ibid].
Maka tak pelak lagi dia pun mengambil langkah untuk mengatasi keadaan ini.
Operasi Phoenix pada dasarnya adalah proyek pembunuhan yang dikelola
Amerika dengan menggunakan Pasukan Khusus, dan ditujukan pada kader- kader Front Pembebasan Nasional Vietnam. Perang Vietnam yang berkembang sampai sedemikian jauh, walaupun lewat saringan politik dan media pers, terhitung juga bahwa Operasi Phoenix telah menyebabkan 41.000 rakyat Vietnam mati. [William Blum, The CIA: A Forgotten History, London: Zed Books Ltd., 1986, p.145].
Dengan Operasi Phoenix yang tak berperikemanusiaan, diiringi dengan pemboman besar-besaran hingga bom-bom yang dijatuhkan di Vietnam melebihi jumlah bom dalam Perang Dunia kedua, walaupun menggunakan semua senjata termodern pada waktu itu, Amerika tidak berhasil membasmi komunis Vietnam dan menundukkan Republik Demokrasi Vietnam.
CIA tidak hanya melakukan pembasmian komunis dengan
pembunuhan-pembunuhan yang tak berperikemanusiaan. Di samping operasi pembasmian secara fisik , CIA menggalakkan operasi-operasi psikis. Operasi di bidang propaganda anti-komunis juga merupakan kegiatan sangat penting dari CIA. Untuk itu, dibangun dan digalakkan siaran Radio Svoboda, Radio Free Europe dengan berbagai bahasa yang ditujukan ke daerah Uni Sovyet dan negara-negara sosialis Eropa Timur. Di Asia digalakkan Radio Free Asia, yang terutama ditujukan ke daerah Republik Rakyat
Tiongkok. Isi siarannya adalah berpropaganda anti-komunis,
mendiskreditkan sistem sosialis. Seiring dengan propaganda anti-komunis CIA dengan siaran radio ini, terdapat kegiatan internet yang menggunakan berbagai website, terutama website World Socialist WebSite (WSWS), jaringan Internasionale IV Trotskis. Tidak kalah dengan kampanye CIA, website ini sangat tangguh dalam berpropaganda anti Partai Komunis Tiongkok, anti sistem sosialis yang dibangun di Tiongkok.
Dengan dananya yang melimpah ruah, Ford Foundation sangat intensif bergerak di bidang penerbitan mengabdi propaganda anti-komunis. Para penulis yang kehausan dana akan mendapat fasilitas dari Ford Foundation untuk menerbitkan karya-karya yang anti komunis.
Praeger Publishers, yang dibangun Frederick A. Praeger tahun 1949, adalah salah satu Badan Penerbit penting yang memenuhi pesanan CIA telah menerbitkan banyak karya tentang komunisme, yang sebenarnya mengabdi pada propaganda anti komunisme. Church Committee Senat
( $( (1 1 * , '"
Amerika tahun 1976 menyatakan, bahwa selama tiga puluh tahun atas permintaan dan subsidi CIA telah diterbitkan lebih dari seribu judul buku proganda anti komunisme.
Dengan dukungan CIA, Penerbit Praeger sudah menerbitkan buku-buku anti-komunisme, antara lain: The Dynamic of Soviet Society oleh Walt Rostow; The New Class oleh Milovan Djilas; Concise History of the Communist Party oleh Robert A.Burton; The Foreign Aid Programs of the Soviet Bloc and Communist
China oleh Kust Muller; In Pursuit of World Order oleh Richard N. Gardner;
Peking and People’s Wars oleh Jenderal Mayor Sam Griffith; The Yenan Way
oleh Eudocio Ravines; Life and Death in Soviet Russia oleh Valentin Gonzales;
The Anthill oleh Suzanne Labin; The Politics of Struggle: The Communist Front
and Political Warfare oleh James D. Atkinson; From Colonialism to Communism oleh Hoang Van Chi; Why Vietnam oleh Frank Trager; dan Terror in Vietnam oleh Jay Malin.
Bekerja sama dengan berbagai penerbit, memberi dana bagi penerbitan karya-karya tulis yang anti komunis, yang menyesatkan pembaca mengenai komunisme adalah salah satu kegiatan CIA lewat Ford Foundation. Kegiatan ini sudah memainkan peranan penting dalam melaksanakan the policy of containment di semua benua, termasuk Indonesia. Buku Negara Madiun? yang terbit dengan dana Ford Foundation, bermanfaat menyalahkan PKI dalam Peristiwa Madiun adalah sejenis buku yang dideretkan di atas.
Kenapa di Vietnam Operasi Phoenix membunuh, memenjarakan,
menyiksa jutaan rakyat, gagal membasmi Partai Komunis Vietnam dan gagal mengalahkan Republik Demokrasi Vietnam, tapi di Indonesia berhasil menghancurkan PKI dan menggulingkan pemerintah Bung Karno?
Sebabnya adalah: di Indonesia, semenjak tahun 1949 di bawah rekayasa CIA, Ford Foundation dengan program dua puluh tahunnya berkolaborasi dengan RAND Corporation, Rockefeller Foundation, menggunakan berbagai akademi militer AS Fort Leavenworth, Fort Benning, Fort Bragg, mendidik sejumlah besar perwira Angkatan Darat, mendidik sejumlah besar intelektual hingga terbentuknya kelompok “Berkeley Mafia”, dengan dukungan partai-partai kanan anti komunis Masyumi, kaum sosial demokrat PSI, dan penganut aliran Trotskis, semuanya menjadi kekuatan anti-komunis, anti Bung Karno. Di samping menggunakan Angkatan Bersenjata, kekuatan inilah yang dikerahkan Kubu Soeharto-CIA membasmi kaum komunis dan kaum kiri serta berhasil menggulingkan pemerintah Presiden Soekarno.
Walaupun terdapat Partai Komunis yang besar, yang gigih mengangkat semboyan anti imperialisme Amerika, tapi PKI tidak memimpin kekuatan
'# , .
bersenjata seperti Partai Komunis Vietnam, PKI menempuh jalan damai dalam berrevolusi, tidak dipersiapkan untuk menghadapi musuh biadab yang demikian perkasa, yang semenjak bertahun-tahun secara berencana dengan teliti mempersiapkan pembasmian kaum komunis dan kaum kiri Indonesia dengan tujuan menggulingkan Bung Karno.
Operasi Program Phoenix yang dilancarkan CIA adalah sumber
malapetaka yang mengorbankan banyak jiwa. Rezim fasis orba Soeharto yang anti komunis ditegakkan dengan memanipulasi G30S, adalah hasil dari operasi ini. Rezim ini memusatkan tuduhannya, bahwa PKI lah dalang G30S, adalah bertanggung jawab atas terjadinya korban pembunuhan besar- besaran itu.
Sesudah rezim Soeharto digulingkan, para pakar sejarah Indonesia memusatkan perhatian pada mencari sumber dan sebab musabab bencana ini. Di antara sekian banyak pakar sejarah, Pak Asvi Warman Adam adalah salah seorang yang berusaha keras secara objektif meninjau dan menulis kembali sejarah. Membantah versi tunggal pemerintah orba Soeharto yang menyatakan PKI adalah dalang G30S.
Tapi tak sedikit yang menulis dengan haluan melemparkan tanggung jawab kesalahan pada pimpinan PKI terutama Bung Aidit, atau Bung Karno. Ini adalah pemalsuan sejarah. Hal ini dilakukan oleh Victor Miroslav Fic, Jung Chang, C.J.A. Dake, Noegroho Notosoesanto, John Roosa, dll. Mereka dengan segala jalan, termasuk dengan pemalsuan-pemalsuan sejarah, berusaha membuktikan bahwa PKI adalah dalang, atau pemimpin PKI terutama
Aidit, terlibat dalam peristiwa G30S, yang bermuara pada peristiwa
pembantaian manusia yang berlumuran darah ini.
Di kalangan generasi muda yang menjadi korban peristiwa berdarah ini, terdapat usaha untuk mempelajari dan memahami masa lampau, belajar sejarah, mencari sumber malapetaka yang telah menimpa bangsa. Ada yang disesatkan oleh pandangan, bahwa malapetaka itu disebabkan oleh kesalahan pimpinan PKI. Pandangan demikian bisa ditunggangi oleh usaha membangkitkan komunisto-fobi yang selalu dikobarkan CIA. Kalau ini berkembang, maka akan menghasilkan lahirnya generasi muda yang anti- komunis di Indonesia. Inilah yang jadi idaman penguasa Amerika Serikat
* , '!