• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Kritis terhadap Hubungan Timbal-balik antara Negara dan Warga Negara

Dalam dokumen Mpkt a Buku Ajar 3 (Halaman 94-98)

Setelah membaca bab ini mahasiswa mampu memahami saling pengaruh antara hak dan kewajiban negara dan warga negara, membuat penilaian

6. Evaluasi Kritis terhadap Hubungan Timbal-balik antara Negara dan Warga Negara

Bila negara lain seperti AS memiliki piagam hak asasi yang terpisah dari UUD, Indonesia tidak demikian. UUD 1945 (sebelum amandemen) telah mencakup hak asasi di dalamnya. Hak-hak tersebut termuat dalam Pasal 27—31 yaitu tentang hak di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Budiardjo, 2008: 248).

Pencantuman hak-hak tersebut memiliki latar belakang sejarah yang menarik. Penjajahan Belanda di Indonesia telah menyebabkan para pendiri bangsa bersikap kritis

31 Lihat Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28; Pasal 28 A–J; Pasal 29 ayat (2); Pasal 30 ayat (1); Pasal 31 ayat (1) dan (2); Pasal 32 ayat (1) dan (2); Pasal 34 ayat (1), (2), dan (3), UUD 1945 (sesudah amandemen).

95 terhadap paham-paham seperti liberalisme, kapitalisme, kolonialisme, dan individualisme. Liberalisme misalnya telah digunakan negara-negara Barat untuk merumuskan hak asasi. Liberalisme pula yang mendorong adanya kompetisi bebas antarnegara sehingga timbul benih-benih kolonialisme yang berakibat pada penjajahan, terutama di Asia dan Afrika. Liberalisme dan kapitalisme yang dipraktikkan tanpa batas, pada masa tahun 1930-an juga menyebabkan krisis ekonomi di negara-negara Barat dan memicu terjadinya perang antarnegara. Dampak penerapan liberalisme dan kapitalisme tersebut telah menyadarkan tokoh-tokoh bangsa bahwa hak-hak politik seperti hak mengeluarkan pendapat dan berserikat yang ditekankan di alam liberalisme tidak mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat atau kesetaraan di bidang ekonomi, padahal kesejahteraan merupakan masalah krusial bagi negara-negara yang baru merdeka seperti Indonesia. Sebagai jawaban atas masalah tersebut, maka dalam perumusan UUD, keadilan sosial lebih ditekankan.32 Namun, di tengah kuatnya arus pemikiran untuk lebih menekankan hak atau kemerdekaan warga negara di bidang sosial dan ekonomi, ada tokoh seperti Hatta yang tetap kokoh untuk mencantumkan hak rakyat untuk mengeluarkan pendapat dan berserikat. Tujuan pencantuman hak tersebut tidak lain untuk mencegah timbulnya negara kekuasaan yang berpotensi menindas rakyat.

Dengan diterimanya usulan-usulan tentang pencantuman hak mengeluarkan pendapat dan berserikat, maka UUD 1945 sebelum amandemen telah mencantumkan hak-hak politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Ada satu hal yang membanggakan dan patut diketengahkan di sini, yakni bahwa UUD 1945 memuat hak-hak kolektif, seperti hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri (lihat Pembukaan UUD 1945), hak ekonomi dan sosial seperti hak mendapat pengajaran, hak atas penghidupan yang layak, hak untuk fakir miskin dan anak terlantar, dst. Pencantuman hak-hak tersebut dilakukan mendahului Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang baru diundangkan tiga tahun kemudian, yakni pada tahun 1948 (Budiardjo, 2008: 244). Dengan demikian, dari sudut sejarah pemikiran, kita patut menghargai pemikiran-pemikiran tokoh pendiri bangsa kita.

Pembicaraan tentang pemikiran tentu tidak akan lengkap bila tidak mencakup aspek tindakan dalam bentuk kebijakan negara di bidang pemenuhan hak-hak warga negara

sebagaimana tercantum dalam UUD. Dari sejarah perjalanan bangsa terlihat bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat, dan kebebasan pers tidak dapat dinikmati sepenuhnya oleh warga negara, karena adanya batasan-batasan seperti pembubaran partai

32

96 politik dan pembredelan pers, dan tindakan sewenang-wenang seperti kekerasan militer

(pemberlakuan daerah operasi militer /DOM) di Aceh, kasus Tanjung Priok, dan kasus Trisakti. Faktor-faktor tersebut, bersama-sama dengan keterpurukan ekonomi dan masalah-masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang kronis, telah mendorong berbagai elemen masyarakat melakukan gerakan reformasi untuk mengakhiri pemerintahan Soeharto.

Satu hal yang menarik dan patut dipelajari dari peristiwa-peristiwa tersebut adalah bahwa ketika negara menjadi negara kekuasaan maka negara (dalam hal ini pemerintah) memakai kekuasaan untuk menafsirkan UUD demi kepentingan kekuasaan itu sendiri

sehingga dalam praktik rakyat menjadi pihak yang tertindas. Pada masa Orde Baru, sering kali terjadi ketidaksamaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat tentang konsep

―kepentingan umum‖ dan ―keamanan nasional‖. Dalam tafsiran pemerintah, tidak jelas kapan kepentingan individu berakhir dan kepentingan umum mulai. Sebagai contoh, dalam kasus penggusuran, penduduk diminta menyerahkan lahannya untuk pendirian fasilitas rumah sakit. Dalam kasus seperti ini, masyarakat biasanya tidak mempersoalkannya, tetapi dalam kasus penggusuran untuk pendirian pusat komersial, interpretasi tentang ―kepentingan umum‖ dapat bertolak belakang karena dapat dipandang sebagai pelanggaran hak asasi. Demikian pula interpretasi tentang ―keamanan‖, tidak pernah jelas kapan keamanan terancam dan kapan unjuk rasa masih dapat ditoleransi sebagai upaya untuk mengeluarkan pendapat. Kekuasaan menafsir ―kepentingan umum‖, ―keamanan umum‖ dan ―stabilitas nasional‖ merupakan monopoli negara (Budiardjo, 2008: 251—253). Negara dengan demikian telah menampilkan diri sebagai negara kekuasaan.

Menghadapi situasi demikian, maka memasuki era Reformasi, berbagai elemen

masyarakat menuntut penguatan hak asasi. Upaya ini berhasil dengan diundangkannya UU RI Nomor 39 Tahun 1999. Pemberlakuan dan pelaksanaan UU itu merupakan kemajuan hak-hak asasi politik, seperti hak untuk mengeluarkan pendapat, hak berserikat, dan kebebasan pers yang kini dapat dinikmati rakyat secara bebas. Selain itu, terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasaan dalam rumah tangga telah menguatkan hak asasi perempuan. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan RI terdapat pasal yang

mengesahkan status anak yang terlahir dari ibu WNI dan ayah WNA. Dengan UU ini, status anak yang terlahir dari ibu WNI adalah mengikuti kewarganegaraan ibunya sampai ia dapat menentukan statusnya sendiri pada usia 18 tahun. UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang

97 pemberantasan tindak pidana perdagangan orang diterbitkan agar bila perkawinan berakhir dengan perceraian, hak asuh anak tetap pada ibu.

Adapun pemenuhan hak-hak politik ternyata tidak diimbangi dengan pemenuhan hak warga negara di bidang sosial-ekonomi dan budaya. Saat ini Indonesia masih terbelit oleh masalah pengangguran, pendidikan dan kesehatan yang mahal, kemiskinan, dan korupsi. Kebijakan-kebijakan pemerintah ternyata belum mampu memenuhi tujuan-tujuan yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Kesejahteraan dan keadilan sosial masih jauh dari harapan. Masalah kesetaraan di hadapan hukum pun masih menjadi persoalan sehingga timbul rasa ketidakadilan di kalangan rakyat.

Di pihak warga negara, yang juga patut mendapat perhatian khusus adalah bahwa perilaku kebebasan tanpa batas seperti tindak anarki, amuk massa, tindakan-tindakan yang tidak mencerminkan toleransi dalam hidup beragama, perilaku korupsi, dsb. merupakan cermin melemahnya kesadaran akan pentingnya hukum untuk ketertiban bersama dan menciptakan keadilan.

Dengan melihat keadaan yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa masalah keamanan, kesetaraan, dan kebebasan tetap menjadi masalah penting dalam hidup berbangsa dan bernegara. Pemenuhan hak-hak warga negara di ketiga bidang tersebut memerlukan peran negara. Namun, mengingat permasalahan dalam masyarakat begitu rumit dan beragam, negara juga membutuhkan partisipasi warga negara. Partisipasi politik warga negara merupakan kekuatan penyeimbang bagi kekuasaan negara. Melalui hubungan kerja sama atau hubungan timbal-balik antara negara dan warga negaralah penyelenggaraan negara dapat terarah pada cita-cita bersama sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945.

98

BAB V

Dalam dokumen Mpkt a Buku Ajar 3 (Halaman 94-98)