• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak dan Kewajiban Warga Negara

Dalam dokumen Mpkt a Buku Ajar 3 (Halaman 82-94)

Setelah membaca bab ini mahasiswa mampu memahami saling pengaruh antara hak dan kewajiban negara dan warga negara, membuat penilaian

4. Hak dan Kewajiban Warga Negara

Secara umum, hak merupakan klaim yang dibuat oleh orang atau kelompok yang satu terhadap yang lain atau terhadap masyarakat. Klaim atau tuntutan tersebut adalah klaim yang sah atau dapat dibenarkan, karena orang yang mempunyai hak bisa menuntut bahwa orang lain akan memenuhi atau menghormati hak itu (Bertens, 2000: 178—179). Ada beberapa jenis hak yang kita kenal, yaitu a) hak legal dan moral, b) hak khusus dan umum, c) hak positif dan hak negatif, d) hak individual dan sosial (Bertens, 2000: 179—187).

Hak legal adalah hak yang berdasarkan hukum, berasal dari undang-undang, peraturan hukum, atau dokumen legal lainnya. Umpamanya, ketika pemerintah mengeluarkan peraturan tentang kenaikan gaji pegawai negeri, maka setiap pegawai negeri berhak mendapat tunjangan itu. Hak moral adalah hak yang berfungsi dalam sistem moral. Contohnya ialah sepasang suami istri yang berjanji untuk saling setia, atau seseorang peminjam uang berjanji untuk mengembalikan uang yang dipinjamnya dari orang lain. Hak moral belum tentu merupakan hak legal, tetapi banyak hak moral yang sekaligus juga merupakan hak legal. Misalnya, janji antarteman, yang dilakukan secara pribadi, hanya terbatas pada hak moral saja. Sedangkan hak legal belum tentu menampilkan nilai etis sehingga harus dikritik dengan norma moral. Sebagai contoh, negara-negara kolonial di masa silam sering mengetengahkan hak-hak legal mereka untuk menguasai wilayah jajahan, namun tentu dipertanyakan nilai etis dari

penjajahan itu sendiri.

Hak khusus timbul karena relasi khusus antar-beberapa orang atau karena fungsi khusus yang dimiliki seseorang terhadap orang lain, misalnya hak orang tua untuk dihormati anak-anaknya, hak untuk menggunakan gelar doktor setelah menyelesaikan persyaratan untuk mendapat gelar tersebut, dsb. Hak umum diperoleh seseorang bukan karena hubungan atau fungsi tertentu, melainkan semata-mata karena ia manusia. Hak ini sering disebut hak asasi manusia.

Dengan hak negatif, seseorang bebas melakukan sesuatu atau memiliki sesuatu; dengan kata lain, siapa pun tidak boleh menghalangi seseorang melakukan atau memiliki sesuatu. Contohnya ialah hak atas kehidupan, kesehatan, keamanan, kepemilikan, hak

83 bahwa, antara lain, negara atau siapa pun tidak boleh menghalangi seseorang menulis

pendapatnya di surat kabar. Hak positif adalah hak seseorang yang membolehkan orang lain berbuat sesuatu untuknya. Sebagai contoh, semua orang yang terancam bahaya berhak bahwa orang lain membantu menyelamatkannya. Contoh lain adalah hak atas makanan, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pekerjaan yang layak.

Hak individual dan hak sosial sering disebut dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM). Hak individual ialah hak yang dimiliki individu terhadap negara; negara tidak dapat menghalangi individu mewujudkan hak ini. Contohnya ialah hak

mengikuti hati nurani, hak beragama, hak berserikat, dan hak mengemukakan pendapat. Hak individual termasuk hak-hak negatif. Sementara yang dimaksud dengan hak sosial adalah hak yang dimiliki seseorang sebagai anggota masyarakat seperti hak atas pekerjaan yang layak dan hak atas pendidikan. Hak ini bersifat positif.

Apakah hak selalu memiliki hubungan timbal-balik dengan kewajiban? Kewajiban memang sering kali memiliki hubungan timbal-balik dengan hak, namun hubungan itu tidak bisa dikatakan mutlak dan tanpa pengecualian. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kita lihat bahwa pemenuhan hak-hak negatif atau hak-hak individual hampir selalu sesuai dengan kewajiban seseorang untuk menghormati orang lain yang sedang menikmati hak-haknya. Pemenuhan hak-hak sosial memang agak rumit. Sebagai contoh, setiap orang memiliki hak atas pendidikan. Tetapi itu tidak berarti bahwa saya sebagai guru memberi pengajaran kepada orang-orang tertentu. Hak sosial semacam ini sesuai dengan kewajiban masyarakat, atau negara, untuk mengatur kehidupan sedemikian rupa sehingga setiap warga negara memperoleh apa yang menjadi haknya. Hak-hak sosial ekuivalen dengan keadilan sosial.

a. Hak Asasi Manusia

Pembahasan tentang hak dan kewajiban tidak akan lengkap bila hak asasi manusia tidak dimasukkan. Pengetahuan tentang sejarah penegakan HAM dapat membantu memahami arti penting HAM dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejarah

penegakan HAM merupakan sejarah perjuangan manusia untuk menjadi manusia dan untuk melepaskan diri dari penyiksaan, penindasan, perbudakan, genosida, dsb. Dari perspektif sejarah, kesadaran atas HAM dalam diri manusia dan pada bangsa-bangsa dapat

84 negara-negara Barat, yaitu generasi yang melahirkan kesadaran akan hak-hak sipil dan politik. Generasi kedua merupakan generasi dengan kesadaran akan hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang diperjuangkan oleh negara-negara sosialis pada masa Perang Dingin (tahun 1945— 1970-an). Pemikiran tentang HAM pada generasi kedua ini didukung oleh banyak pemikir Barat serta negara-negara yang baru merdeka di Asia-Afrika. Generasi ketiga ialah generasi yang memiliki kesadaran untuk memperjuangkan hak atas perdamaian dan hak atas

pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga.

Perjuangan HAM dari generasi pertama yang lahir di Eropa Barat ditandai oleh

penandatanganan Magna Charta di Inggris pada tahun 1215. Ketika itu, Raja John ―dipaksa‖ untuk mengakui hak kelompok aristokrat yaitu hak untuk diperiksa di muka hakim (habeas

corpus). Hak ini sendiri dituntut sebagai imbalan atas dukungan kaum aristokrat dalam

membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan perang.

Perumusan HAM semakin berkembang seiring dengan munculnya pemikiran-pemikiran tentang hak alamiah manusia yang digaungkan untuk menentang pemikiran bahwa hak

memerintah berasal dari wahyu ilahi yang pada waktu itu dianut oleh raja-raja. Hak alamiah, sebagaimana dikemukakan oleh John Locke (1632—1704) dan pemikir lain seperti Jean Jacque Rousseau, meliputi hak atas hidup, hak akan kebebasan, dan hak untuk memiliki harta benda. Di samping itu juga muncul pemikiran bahwa penguasa yang memerintah harus mendapat persetujuan rakyat. Hasil pemikiran dan perjuangan HAM terbesar pada XVII dan XVIII itu adalah hancurnya monarki absolut yang memberi kewenangan kepada raja untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Namun demikian, pada masa itu hanya kelompok aristokrat dan kelas menengah saja yang dapat menikmati HAM, sementara rakyat biasa tetap dipandang sebagai abdi yang harus menerima perintah dari penguasa. Hak asasi yang berhasil mereka perjuangkan itu masih terbatas pada hak politik seperti hak atas

kebebasan dan kesetaraan serta hak untuk menyatakan pendapat. Hak-hak tersebut dituangkan dalam Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689 dan satu abad kemudian dalam Bill of Rights di AS (1783) dan Declaration des droits de l’homme et du citoyen di Prancis (1789).

Menginjak awal abad XX, terjadi banyak peristiwa penting di dunia yang

mempengaruhi generasi kedua perjuangan HAM, yaitu 1) Depresi Besar yang bermula di AS dan kemudian menjalar ke penjuru dunia pada tahun 1929—1934; 2) tampilnya Hitler sebagai pemimpin Jerman yang menyebabkan pembunuhan jutaan orang Yahudi di kamp konsentrasi; 3) meletusnya dua Perang Dunia; dan 4) tampilnya blok negara sosialis dan komunis.

85 Peristiwa-peristiwa tersebut menyebabkan penderitaan yang luar biasa pada jutaan manusia: mati karena kelaparan, peperangan, dan genosida.

Rumusan HAM warisan liberalisme yang menekankan hak-hak alamiah ternyata tidak memadai sehingga perlu semakin dipertajam dan bahkan direinterpretasikan. Hak-hak yang semula disebut hak alamiah diubah menjadi HAM (human rights) yang menekankan

kebebasan individu yang meliputi hak untuk menyatakan pendapat dan hak untuk mendirikan, dan bergabung dalam organisasi. Perubahan paling signifikan dibandingkan dengan keadaan pada abad XVII dan XVIII adalah bahwa hak-hak politik diberikan kepada seluruh rakyat dengan tujuan untuk melindungi setiap individu dari penyalahgunaan kekuasaan pemerintah. Tokoh-tokoh yang memperjuangkan hak-hak tersebut antara lain ialah Presiden F. D.

Roosevelt dari AS yang merumuskan empat kebebasan, yaitu kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, kebebasan beragama, kebebasan dari ketakutan, dan kebebasan dari kemiskinan.

Kemajuan HAM pada generasi kedua juga ditandai oleh kesadaran untuk merumuskan HAM yang diakui di seluruh dunia sebagai standar universal bagi tingkah laku manusia (Budiardjo, 2008: 218). PBB telah merintis upaya ini dengan mencanangkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tahun 1948 dan kemudian diperkuat dengan dua kovenan internasional tentang hak politik dan sipil dan hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Yang menarik dari generasi kedua ini adalah upaya-upaya negara-negara blok sosialis dan negara-negara yang baru merdeka (negara-negara ―Dunia Ketiga‖) untuk

mengembangkan hak-hak sosial dan ekonomi yang meliputi hak atas pekerjaan, hak atas penghidupan yang layak, dan hak atas pendidikan. Mencuatnya tuntutan akan hak-hak tersebut antara lain adalah sebagai reaksi terhadap rumusan HAM negara-negara Barat yang lebih menonjolkan kebebasan individu dan hak politik ketimbang hak-hak sosial dan ekonomi yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi kemiskinan. Selain itu, berbeda dengan pelaksanaan hak politik dalam pemikiran liberal yang membatasi peran pemerintah, maka pelaksanaan hak-hak sosial dan ekonomi justru mendorong pemerintah untuk terlibat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Generasi ketiga dimotori oleh Dunia Ketiga (negara-negara berkembang yang tersebar di Asia-Afrika dan baru merdeka setelah PD II) sehingga hak-hak yang diajukan pun

mencerminkan kepentingan masyarakat di wilayah itu. Upaya mereka mulai menonjol pada tahun 1980-an, dengan tekanan pada hak atas perdamaian dan hak atas pembangunan. Selain

86 itu, konsep kekhasan nasional, wilayah, latar belakang budaya dan agama juga diterima

sebagai bahan pertimbangan. Penerimaan terhadap upaya negara-negara Dunia Ketiga ini dinyatakan dalam Deklarasi Wina (Juni 1993). Isi deklarasi itu merupakan kompromi antara negara-negara Barat dan negara-negara Dunia Ketiga. Sumbangan Indonesia dalam forum itu adalah penekanan pada perlunya hak asasi ditingkatkan dalam konteks kerja sama

internasional atas dasar penghormatan terhadap kesetaraan negara-negara yang berdaulat dan terhadap identitas nasional masing-masing (Budiardjo, 2008: 244—245).

b. HAM dalam UUD 1945

Pembicaraan tentang hak dan kewajiban WNI tentu harus melibatkan UUD sebagai sumber atau landasan otoritas bagi rakyat untuk menikmati hak dan memenuhi kewajibannya sebagai warga negara. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan, khususnya menyangkut pasal-pasal berisi HAM, dalam UUD 1945 sebelum amandemen dan yang sesudah

amandemen. Dalam UUD 1945 sebelum amandemen, pasal tentang HAM tidak dicantumkan secara khusus sehingga timbul pertanyaan, apa yang melatarbelakangi para perumus UUD 1945 sehingga mereka tidak memasukkan pasal-pasal tersebut? Perdebatan di antara para tokoh bangsa dalam sidang-sidang BPUPKI bermuara pada rumusan hak-hak warga negara. Secara historis, sebagian besar pemikiran para tokoh itu dilatarbelakangi oleh

antikolonialisme dan antiliberalisme. Mereka pun telah melihat bahwa rumusan HAM dari negara-negara Barat sendiri sangat bercorak liberal dan individualistis, dan gagal

menghapuskan kemiskinan di negara-negara Barat yang saat itu diguncang depresi. Di samping itu, alam liberalisme juga ditandai oleh semakin tajamnya konflik buruh–majikan dan juga timbulnya persaingan antarnegara. Dampak persaingan antarnegara inilah yang kemudian melahirkan kolonialisme dan imperalisme.

Melihat dampak-dampak tersebut, para tokoh tersebut menjadi yakin bahwa untuk mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur, maka nilai keadilan sosial, kekeluargaan, dan gotong-royong merupakan nilai yang tepat untuk menjiwai pembentukan pasal-pasal

mengenai hak warga negara. Nilai keadilan sosial, khususnya, juga diyakini dapat membawa perdamaian dunia bila diterapkan oleh bangsa-bangsa lain. Dengan latar belakang sejarah tersebut, para tokoh bangsa yang merumuskan hak-hak warga negara sependapat bahwa HAM tidak perlu dimasukkan secara khusus. Namun, mereka tetap berpegang pada prinsip

87 bersidang, serta hak kesetaraan di hadapan hukum dan dalam pemerintahan. Kemerdekaan atau hak tersebut harus diberikan untuk mencegah terjadinya negara kekuasaan. Selain prinsip kedaulatan rakyat, sila-sila Pancasila juga sangat mewarnai perumusan hak-hak warga negara seperti terlihat dari sila keadilan sosial dalam perumusan hak pendidikan, pemeliharaan fakir miskin dan anak terlantar oleh negara, dan dari sila pertama yang menjiwai pasal tentang kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.21

Pasal-pasal tentang hak warga negara tetap tak berubah hingga terjadinya amandemen UUD 1945. Perubahan terjadi setelah bangsa Indonesia menempuh jalan gelap pada masa Orde Baru. Sejumlah peristiwa atau kasus yang terjadi, seperti Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, kasus Tanjung Priok, kasus Talang Sari, kasus Marsinah, kasus Semanggi I dan II, kasus Trisakti, dan kerusuhan di Ambon dan Poso telah menimbulkan jatuhnya banyak korban. Hal ini menyadarkan anggota masyarakat untuk berjuang menegakkan HAM di Indonesia. Tuntutan mereka bergaung dalam Gerakan Reformasi pada tahun 1998. Akhirnya, di bawah pemerintahan Megawati ditetapkankanlah TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM yang kemudian menjadi UU Nomor 39 Tahun 1999 yang di dalamnya juga ditetapkan hak perempuan dan anak. Secara formal, perjuangan penegakan HAM mencapai puncaknya dengan masuknya pasal-pasal khusus mengenai HAM dalam UUD 1945 sesudah amandemen. HAM melengkapi hak-hak sosial warga negara yang sangat ditekankan dalam UUD 1945 sebelum amandemen. Secara umum, HAM dalam UUD meliputi hak untuk hidup, hak untuk mengembangkan diri, hak untuk memperoleh keadilan, hak untuk perlindungan diri dan bebas dari penyiksaan, serta hak untuk memperoleh suaka politik dari negara lain. Hak-hak sosial pun semakin dijamin dengan penegasan atas hak atau jaminan sosial.22 Perubahan signifikan lainnya adalah pencantuman batasan-batasan terhadap hak warga negara.

c. Implementasi Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam Kehidupan Sehari-hari

Secara formal, hak dan kewajiban penduduk Indonesia telah ditetapkan dalam UUD. Hak-hak itu meliputi hak umum, hak negatif dan positif, serta hak individual dan sosial. Bagaimana implementasi hak dan kewajiban tersebut dalam kehidupan sehari-hari secara

21 Lihat UUD 1945 (sebelum amandemen) Pasal 27, 29, 31 dan 34. Lihat juga perdebatan para tokoh bangsa Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1992: 206—209, 222—223.

22

88 praktis? Untuk melihat aspek praktis dari pasal-pasal tentang hak warga negara, maka berikut ini hak-hak itu akan diuraikan dalam tiga kategori, yakni keamanan, kesetaraan, dan

kemerdekaan.

(1) Keamanan

Dalam Pembukaan UUD disebutkan bahwa salah satu tujuan negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tujuan ini tentu akan

diemban sebagai kewajiban tiap pemerintah untuk menjamin keamanan negara dan keselamatan penduduk yang tinggal di wilayah Indonesia. Perlindungan dan jaminan pemerintah atas keamanan ini diperlukan oleh setiap orang karena ancaman terhadap penduduk bisa datang dari luar yaitu serangan bangsa lain, dan secara internal berupa tindakan kriminal. UUD 1945 sesudah amandemen telah menetapkan pasal-pasal tentang HAM. Hal ini berarti bahwa dalam kehidupan sehari-hari setiap orang juga dijamin

keamanannya terhadap tindakan negara yang tidak adil, misalnya tindakan penangkapan tanpa alasan yang mencukupi. Bila terjadi kekeliruan dalam penangkapan, penahanan, atau

penuntutan, maka seseorang dapat meminta ganti rugi. UU tentang prosedur ini secara khusus diatur dalam KUHAP.23

(2) Kesetaraan

Seluruh warga negara tanpa memandang suku, agama, budaya, aliran politik, profesi dan status sosial-ekonomi diperlakukan setara. Kesetaraan ini menempatkan setiap warga negara mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian yang adil, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.24

(3) Kemerdekaan (indepedensi)

Kata kemerdekaan kita jumpai pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kemerdekaan negara-bangsa merupakan prasyarat bagi kemerdekaan tiap-tiap warga negara. Kemerdekaan di sini bermakna lebih dari kebebasan dalam pengertian liberal, karena kemerdekaan menempatkan individu sebagai ―persona‖ atau pribadi yang bermartabat di dalam negara. Inilah hakikat individu sebagai warga negara yang

23 UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 95.

24

89 tidak hanya diposisikan di hadapan lembaga-lembaga hukum dalam negara, melainkan juga memiliki hak untuk mengajukan tuntutan terhadap negara. Bersamaan dengan itu, pengakuan terhadap hak itu juga menuntut tanggung jawab untuk memelihara dan mempertahankan kemerdekaan negara. Tanggung jawab untuk ini sendiri bukanlah bentuk paksaan melainkan merupakan bentuk aktivitas bebas warga negara, yang dilakukan dengan penuh kesadaran (Poole, 1999: 83).

Bila ditinjau lebih jauh, aktivitas politik yang dilakukan tiap-tiap warga negara sebenarnya juga merupakan sarana untuk memenuhi hak-haknya. Hal ini dijelaskan berikut ini.

Hak untuk mengeluarkan pendapat dan mendapatkan informasi.25 Dalam

kehidupan sehari-hari kita melihat pemerintah membuat kebijakan-kebijakn yang berpengaruh luas seperti menaikkan harga dasar listrik (TDL), mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM), meningkatkan pajak penjualan, jaminan sosial, dsb. Dalam menghadapi keijakan-kebijakan tersebut, hak untuk mengeluarkan pendapat dan mendapat informasi tentu harus dipergunakan untuk mengawal pemerintah agar bertindak untuk kepentingan seluruh rakyat. Rakyat harus mengetahui apa yang dikerjakan pemerintah, dapat menyuarakan pendapat mereka, dan bersikap kritis bila ternyata dampak kebijakan tersebut tidak untuk kepentingan seluruh rakyat. Hak untuk mendapatkan informasi juga berarti mengetahui hak-hak, dan menggunakannya bila diperlukan. Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari sering kali aparat negara melakukan salah tangkap terhadap seseorang yang tidak bersalah. Jika warga negara tersebut sadar akan hak-haknya maka ia pun dapat terhindar dari perlakuan yang tidak adil tersebut. Kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat dan memperoleh informasi juga terkait erat dengan kebebasan pers karena pemenuhan akan hak tersebut akan mengacu kepada sarana-sarana untuk mengeluarkan pendapat dalam wujud tulisan, seperti koran, majalah, buku, dsb., serta sumber-sumber informasi modern seperti radio, televisi, dan internet.

Hak berserikat. Dengan kemerdekaan berserikat, rakyat dapat membentuk

organisasi-organisasi, mulai dari klub olah raga, asosiasi profesi, hingga partai politik. Rakyat juga dijamin haknya untuk hadir dalam rapat umum, kampanye, dsb.

25

90

Hak untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Dengan hak yang telah ditetapkan dalam pasal 29 ini26 pemerintah menjamin rakyat untuk menjalankan ajaran agama mereka. Sesuai dengan prinsip kesetaraan, maka pemerintah tidak akan memperlakukan rakyat secara berbeda karena agama yang dipeluknya.

Hak untuk memilih dalam pemilu. Hak untuk memilih merupakan salah satu hak

yang penting sekaligus merupakan bentuk tanggung jawab warga negara. Dalam pemilihan umum, warga negara memilih orang-orang yang akan duduk dalam pemerintahan dan suara pemilih merupakan mandat bagi pemerintah yang terpilih. Jadi, kalau ternyata bahwa mereka yang terpilih tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik maka warga negara berhak untuk tidak memilihnya kembali pada pemilu berikutnya. Pemenuhan hak ini secara bertanggung jawab akan memastikan pergantian kepemimpinan secara tertib dan damai.

Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Dalam kehidupan bermasyarakat

kita menjumpai persoalan-persoalan yang begitu kompleks dan tidak dapat diatasi oleh pemerintah semata-mata. Masalah itu antara lain ialah kemiskinan, pengangguran, dan kekerasan dalam rumah tangga. Penyelesaian masalah-masalah tersebut mengundang partisipasi aktif warga negara, baik secara individu maupun melalui organisasi semacam lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga bantuan hukum, atau bentuk lembaga lain untuk membantu meringankan beban masyarakat. Dengan demikian partisipasi dalam pemerintahan tidak hanya berupa hak untuk memilih atau dipilih untuk menduduki jabatan-jabatan pemerintah, tetapi juga partisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat.

d. Batasan-batasan terhadap Hak dan Kebebasan Warga Negara

Dengan pemenuhan hak-hak warga negara tidak dapat diartikan bahwa warga negara dapat melaksanakan haknya tanpa batasan. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal bahwa kebebasan manusia memiliki batasan-batasan. Seiring dengan itu maka Pasal 73 dan 74 UU Nomor 39 Tahun 1999, dan Pasal 28 UUD 1945 tentang HAM telah mengatur batasan-batasan tentang hak dan kebebasan warga negara. Hal itu dilakukan untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.

Hak atau kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat sangat penting dalam negara yang menganut sistem demokrasi karena dengan itu warga negara dapat memperoleh

26

91 informasi, menyuarakan pendapat, berdiskusi, dsb. Demokrasi akan berkembang bila warga negara dapat menggunakan hak berpendapat itu tanpa rasa takut. Namun, warga negara tidak boleh menyalahgunakan hak untuk berpendapat dan berbicara serta kebebasan pers dengan tujuan untuk mencemarkan nama baik orang lain, menghasut, berbohong, atau membocorkan rahasia negara yang dapat membahayakan negara. Pihak yang nama baiknya dicemarkan berhak meminta perlindungan dari yang berwajib. Hal ini diatur dalam KUHP Pasal 310.

Menyuarakan pendapat dengan cara unjuk rasa juga diatur agar tidak mengganggu ketertiban umum. Sebagai contoh, pengunjuk rasa wajib memberitahukan rencananya kepada aparat negara terlebih dahulu agar unjuk rasa itu berjalan tertib dan tidak menggangu hak

Dalam dokumen Mpkt a Buku Ajar 3 (Halaman 82-94)