• Tidak ada hasil yang ditemukan

Negara dalam Arti Institusi/Organisasi Negara

Dalam dokumen Mpkt a Buku Ajar 3 (Halaman 46-55)

negara, ideologi, dan konstitusi, serta mampu membangun pikiran yang terbuka dan kritis terhadap masalah negara dalam arti wilayah, yang

4. Negara dalam Arti Institusi/Organisasi Negara

integral dengan sifat-sifat 1) cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan; 2) tidak mengenal menyerah; dan 3) rela berkorban untuk tanah air.

Menghadapi berbagai kecenderungan regional maupun global, konsep geopolitik dan geostrategi perlu ditindaklanjuti dengan menyiapkan konsep ketahanan regional. Regional diartikan sebagai kawasan sekitar kita (Sunardi, 2004: 212) dan sekaligus merupakan lingkungan dan mitra strategis kita. Kita tidak dapat melawan ―serbuan‖ negara-negara maju, khususnya negara-negara demokrasi liberal yang sudah mapan dengan liberalisasi perdagangan dan demokrasi politik. Oleh karena itu, bangsa Indonesia mengutamakan pembangunan kekuatan sosial sebagai prioritas utama dan pembangunan kekuatan fisik sebagai prioritas selanjutnya.

Kekuatan sosial yang terbina dengan baik secara persuasif akan mampu mengajak masyarakat untuk membangun kekuatan fisik untuk kesejahteraan dan keamanan negara dan bangsa. Seperti halnya konsep Wawasan Nusantara, konsep ketahanan nasional juga ―tersisih‖ di era Reformasi karena keengganan elit politik untuk membicarakan konsep ini, yang

dikonotasikan dengan era sebelumnya—Orde Lama dan Orde Baru.

4. Negara dalam Arti Institusi/Organisasi Negara

Bentuk Negara Republik Indonesia adalah negara persatuan, yaitu negara yang

melindungi dan meliputi segenap bangsa dan seluruh tumpah darahnya; demikian Penjelasan Pembukaan UUD 1945. Yang tidak boleh dilupakan adalah kehendak rakyat kepulauan nusantara untuk bersatu sebagai bangsa Indonesia. Artinya, negara Indonesia bukan negara federasi melainkan negara kesatuan yang kekuasaan utamanya berada di tangan Pemerintah Pusat. Oleh karena itu masalah desentralisasi perlu dibahas dengan saksama agar kita tidak terjebak dalam pengertian desentralisasi yang mengarah kepada bentuk negara federal. Untuk itu perlu direnungkan makna negara menurut Pancasila. Hakikat negara Pancasila adalah negara persatuan, negara integralistik, negara kebangsaan yang berketuhanan, berkeadaban, berkerakyatan, dan berkeadilan sosial.

Kedaulatan berkerakyatan berarti bahwa dalam upaya menyelenggarakan kehidupan kenegaraan kita dituntut hidup berdemokrasi yang sesuai dengan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Asas kedaulatan rakyat bangsa Indonesia telah digariskan di dalam sila keempat Pancasila. Makna ―kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan‖ adalah bahwa demokrasi kita tidak meniru demokrasi Barat

47 yang berwatak idividualistik, atau demokrasi sosialis yang lebih mengutamakan

golongan/komunal daripada individu, sehingga dalam menyelesaikan masalah bangsa harus melalui upaya saling berhadapan (interface). Bangsa Indonesia lebih menekankan keserasian hidup sehingga lebih mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam setiap penyelesaian persoalan. Dalam musyawarah, pengambilan keputusan dilakukan melalui perwakilan, yang tidak harus perwakilan politik saja, tetapi juga perwakilan golongan. Perwakilan golongan meliputi alim ulama (ahli agama), cerdik pandai (ahli ilmu pengetahuan, penghulu adat (ahli dalam masalah tradisi, adat, serta masalah pemerintahan).

Bangsa Indonesia mengutamakan ajaran agama dan memberikan penghormatan kepada ketua adat. Ini menandakan bahwa kita selalu menjaga keserasian hidup. Oleh karena itu perlu direnungkan makna peribahasa ―Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena

mufakat‖. Dalam melakukan musyawarah dan mufakat diperlukan setidaknya tiga pilar yang mewakili kepentingan masyarakat, sebagaimana telah disebutkan di atas.

Dalam membahas sistem pemerintahan di Indonesia, perlu disimak latar belakang perkembangan politik di jaman modern—tidak hanya di Indonesia tetapi juga di beberapa negara Eropa, Asia, dan Afrika. Undang-undang Dasar kita menghendaki Negara Republik dengan sistem pemerintahan presidensial dengan pemisahan kekuasaan negara dalam tiga bagian. Dalam perjalanan sejarahnya penerapan sistem tersebut menjadi tidak murni karena sangat dipengaruhi oleh proses politik dunia pasca-Perang Dunia II.

Pasca-Perang Dunia II, dunia terpecah dalam dua blok yaitu blok demokrasi liberal, yang dikenal sebagai blok Barat, dan blok komunis atau demokrasi sosialis yang dikenal sebagai blok Timur. Kedua blok ini berupaya menyeret negara-negara merdeka ―baru‖ yang dikenal sebagai negara sedang berkembang untuk bergabung dengan mereka masing-masing.

a. Politik Nasional Indonesia

Politik nasional Indonesia merupakan asas, haluan, usaha, dan kebijakan tindakan dari negara tentang pembinaan dan penggunaan segenap potensi nasional, baik untuk mencapai tujuan nasional. Pembahasan politik nasional Indonesia mencakup pemisahan kekuasaan (separation of power), termasuk kelembagaan politik, kedaulatan negara, dan tujuan negara. Pemisahan kekuasaan di Indonesia adalah pemisahan lembaga-lembaga negara secara

horizontal menurut fungsinya, sebagaimana dinyatakan dalam doktrin Trias Politica. Doktrin itu membagi kekuasaan negara ke dalam tiga bagian, yaitu kekuasaan legislatif (kekuasaan

48 membuat undang-undang (rule-making function)), kekuasaan eksekutif (kekuasaan

melaksanakan undang-undang (rule-application function)), dan kekuasaan yudikatif

(kekuasaan mengawasi pelaksanaan undang-undang atau kekuasaan mengadili pelanggaran undang-undang (rule-adjudication function)).

Implementasi pembagian kekuasaan di Indonesia merupakan varian dari Trias Politica sesuai dengan konstitusi Indonesia, UUD NRI Tahun 1945. Fungsi dan kekuasaan negara itu tidak dibagi secara terpisah dalam tiga lembaga saja tapi didistribusikan ke dalam enam lembaga tinggi negara. Setelah UUD 1945 diamandemen—sampai amandemen keempat—ada satu lembaga tinggi negara yang dihapuskan yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA), yang sebelumnya mempunyai kekuasaan konsultatif bagi Presiden, dan ada satu lembaga tinggi negara baru yang dibentuk yaitu Mahkamah Konstitusi (MK).

Penafsiran Trias politica tidak lagi sebagai pemisahan kekuasaan tetapi sebagai pembagian kekuasaan. Artinya, hanya fungsi pokok yang dibedakan menurut sifatnya dan diserahkan kepada badan yang berbeda, tetapi kerja sama di antara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi (Budiarjo, 2008: 151—155).

Berdasarkan ketentuan UUD NRI Tahun 1945, kekuasaan yang ada pada negara didistribusikan kepada 1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan konstitutif yaitu kekuasaan membentuk Undang-Undang Dasar (Pasal 2 dan 3); 2) Pemerintah negara yaitu Presiden serta Menteri dan aparat di bawahnya, yang memiliki kekuasaan eksekutif yaitu menjalankan pemerintahan negara (Pasal 4—17); 3) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan legislatif yaitu membentuk undang-undang (Pasal 19—22); 4) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan inspektif yaitu melakukan pemeriksaan keuangan negara (Pasal 23 E—23 G); 5) Mahkamah Agung (MA), lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan yudikatif yaitu mengawasi pelaksanaan undang-undang (Pasal 24, 24A—24B, dan 25); dan 6) Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan menguji Undang-Undang Dasar (Pasal 24C dan 25).

Pendistribusian kekuasaan negara pada lembaga-lembaga tinggi negara di atas merupakan bentuk pembatasan antar-lembaga secara horizontal atau sederajat. Pembatasan tersebut juga menunjukkan pembagian kewenangan pada beberapa lembaga tinggi negara sehingga kewenangan tidak didominasi oleh satu lembaga saja. Hal ini memungkinkan adanya saling kontrol di antara lembaga-lembaga tersebut dalam permasalahan yang

49 berkaitan. Berikut ini uraian mengenai lingkup kewenangan dari beberapa lembaga negara tersebut di atas.

Pemerintah atau badan eksekutif adalah organisasi yang berwenang merumuskan dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk dalam suatu wilayah. Pemerintah bertindak atas nama negara dan menyelenggarakan kekuasaan negara. Di negara demokrasi biasanya badan eksekutif terdiri dari kepala negara atau kepala

pemerintahan, beserta menteri-menteri, pegawai negeri sipil, dan militer. Dalam buku ini pengertian badan eksekutif dipersempit, yakni hanya mencakup kepala negara, kepala pemerintahan, dan para menterinya. Tugas badan eksekutif, menurut tafsiran tradisional asas trias politika, hanya melaksanakan kebijakan yang telah ditentukan oleh badan legislatif. Tetapi pada kenyataannya badan eksekutif lebih luas ruang geraknya dibandingkan dengan badan legislatif. Untuk memperlancar tugasnya dibentuklah badan pelaksana yang bersifat permanen dan profesional yakni birokrasi.

Birokrasi dibangun untuk melaksanakan tugas-tugas administrasi yang bersifat teknis yang tentu tidak dapat ditangani oleh para politisi. Oleh karena itu tidak terelakkan bahwa kaum ahli perlu ditunjuk. Terdapat kontroversi mengenai perlu tidaknya dibentuk birokrasi. Harold Laski tidak setuju dibentuk birokrasi dan mengatakan bahwa kekuasaan kaum birokrat tidak mudah dikendalikan oleh lembaga-lembaga demokratis. Kaum birokrat secara terus-menerus memperluas ruang lingkup kekuasaannya sehingga sulit dikendalikan. Di sisi lain, Max Weber setuju dengan adanya lembaga ini dan menyatakan bahwa birokrasi mampu mencapai efisiensi yang paling tinggi dan bentuk administrasi yang paling rasional karena birokrasi merupakan pelaksana. Pengendalian dilakukan oleh pemerintah melalui ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini militer, yaitu angkatan darat, laut, dan udara, adalah bagian dari birokrasi yang harus langsung di bawah Kepala Negara bukan di bawah Kepala

Pemerintahan.

Badan yudikatif merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam konsep politik, badan yudikatif sebenarnya berperan juga sebagai penguji peraturan perundang-undangan (judicial review). Dalam konsep trias politika klasik, ketiga cabang kekuasaan harus benar-benar dipisahkan (Budiardjo, 2008: 200). Pada kenyataannya, pemisahanan tidak mungkin dapat dilaksanakan sepenuhnya, sehingga pada zaman modern ini yang ada adalah distribusi kekuasaan saja. Artinya, hanya fungsi pokoknya saja yang dipisahkan sedangkan fungsi lainnya yang bersifat

50 teknis dari ketiga cabang tersebut terjalin satu sama lain. Ini disebabkan semakin kompleksnya tugas-tugas kenegaraan. Indonesia kini memiliki tiga badan yudikatif yakni Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial. Mahkamah Agung berfungsi menyelenggarakan peradilan termasuk menguji materi perundang-undangan di bawah UU. Mahkamah Konstitusi berfungsi menguji UU terhadap UUD, memutuskan sengketa kewenangan lembaga yang kewenangannya diberikan UUD—termasuk

membubarkan partai politik—dan perselisihan hasil pemilihan umum. Merujuk kepada UUD 1945 amandemen keempat tahun 2002, MK wajib memberikan pendapat atas pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran oleh Presiden. Komisi Yudisial mempunyai kewenangan untuk mengusulkan Hakim Agung dan kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim.

Badan legislatif adalah badan yang membuat undang-undang. Anggotanya dianggap mewakili rakyat. Menurut teori yang berlaku maka rakyatlah yang berdaulat dan mempunyai suatu kemauan. Badan legislatif dianggap merumuskan kemauan rakyat dengan jalan

menentukan kebijakan umum (public policy) yang mengikat seluruh masyarakat. Dalam kenyataannya, bentuk dan susunan badan-badan legislatif berbeda pada tiap negara.

Badan legislatif di Indonesia adalah Volksraad (1912—1942), Komite Nasional Indonesia (1945—1949), DPR dan Senat RIS (1949—1950), DPR Sementara (1950—1956), DPR Hasil Pemilu (1956—1959), DPR Peralihan (1959—1960), DPR Gotong-Royong (Demokrasi Terpimpin) (1960—1959), DPR Gotong-Royong (Demokrasi Pancasila) (1966— 1971) DPR hasil Pemilihan Umum secara periodik (1971—sekarang), DPR dan DPD hasil Pemilihan Umum 2004 dan 2009.

b. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi dan setiap provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang masing-masing mempunyai pemerintah daerah (Pasal 2, UU Nomor 32/2004). Pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan menurut asas otonomi dan perbantuan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan, dan daya saing daerah. Untuk menjalankan

pemerintahan daerah dengan otonomi seluas-luasnya, dibentuklah pemerintah daerah yang terdiri atas kepala daerah dan perangkat daerah dan DPRD.

51 Urusan pemerintahan yang tidak diturunkan kewenangannya kepada daerah meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, dan agama (Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 tahun 2004). Kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah provinsi meliputi 16 urusan, antara lain perencanaan dan pengendalian pembangunan,

perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, penyelengaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, serta penyediaan sarana dan prasrana umum.

Urusan pemerintahan provinsi bersifat pilihan sesuai dengan kondisi dan kekhasan provinsi (Pasal 13, UU Nomor 32 Tahun 2004). Demikian pula kewenangan daerah kabupaten/kota, namun, dalam skala kabupaten/kota (Pasal 14, UU Nomor 3 Tahun 2004). Pemerintah provinsi yang berbatasan dengan laut memiliki kewenangan wilayah laut sejauh 12 mil laut, diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan, dan wilayah kabupaten/kota memperoleh 1/3 dari wilayah provinsi. Kewenangan atas wilayah laut meliputi pengelolaan sumber daya eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan laut; pengaturan administrasi; pengaturan tata ruang; penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan dari Pemerintah; keikutsertaan dalam pemeliharaan keamanan; dan keikutsertaan dalam pertahanan kedaulatan negara (Pasal 18, UU Nomor 32 Tahun 2004).

Untuk mendukung jalannya pemerintahan di daerah diperlukan dana, tetapi diakui bahwa tidak semua daerah mampu mendanai sendiri jalannya roda pemerintahan. Dana untuk keperluan pembinaan wilayah meliputi Pendapatan Asli Daerah (pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah) Dana Perimbangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dengan tujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Pinjaman Daerah yang bertujuan memperoleh sumber pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan urusan Pemerintah Daerah, dan

pendapatan-pendapatan lain yang ditujukan untuk memberikan peluang kepada daerah untuk memperoleh pendapatan selain yang disebut di atas (UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah).

Falsafah yang harus diperhatikan oleh seorang pimpinan daerah otonom adalah bahwa Pemerintah Daerah ada karena ada rakyat yang harus dilayani dan bahwa rakyat adalah

pemberi legitimasi. Oleh karena kebijakannya hendaknya diarahkan kepada pemenuhan bahan kebutuhan pokok rakyat dan pengaturan daerahnya menjadi tertib dan berkepastian hukum. Ada di antara kandidat kepala daerah yang kurang menguasai ajaran Wawasan Nusantara

52 (geopolitik Indonesia) yang setelah terpilih berupaya meningkatkan pendapatan daerah,

namun karena tidak melihat potensi wilayahnya secara keseluruhan, tidak jarang dapat menyebabkan timbulnya masalah kerusakan lingkungan.

Pimpinan daerah, politisi, maupun para pejabat di tingkat pusat, hendaknya

menyadari dan mendalami makna falsafah otonomi daerah sehingga wilayah yang terpencil tidak menjadi rusak dan terisolasi dari akses nyata maupun maya pada era globalisasi. Daerah terisolasi atau tertinggal ini dikenal sebagai daerah pedalaman (hinterland). Daerah tertinggal menjadi persoalan antar-bangsa bila terjadi di perbatasan antar-negara. Daerah ini dikenal sebagai daerah beranda depan (frontier).

Apabila perbatasan (boundary) merupakan sempadan resmi dari dua negara, maka beranda depan merupakan batas imajiner dari dua negara. Beranda depan terjadi karena pengaruh dari negara di luar perbatasan. Sifatnya sangat dinamis dan dapat digeser-geser dan berada di antara masyarakat bangsa.

Secara politis pengaruh efektif dari pemerintah tidak lagi mencakup seluruh wilayah kedaulatan tetapi dikurangi luas wilayah sampai dengan batas beranda depan yang sudah dipengaruhi kekuasaan asing dari seberang perbatasan. Pengaruh asing dapat berawal dari budaya, ekonomi, sosial, agama, dan ras, yang masuk karena kurang/tidak ditangani oleh pusat pemerintahan dengan baik. Pengaruh itu kemudian dapat berubah menjadi pengaruh politik yang berujung pada pemisahan diri masyarakat daerah beranda depan (Sunardi, 2004: 175).

Akibat lain dari pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung ialah munculnya fenomena rezim keluarga, artinya yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah berasal dari satu keluarga, misalnya isteri, suami, dan bahkan anak. Hal ini sebenarnya tidak menjadi masalah apabila si calon memang benar-benar mempunyai kompetensi yang tinggi. Namun, apabila kualitas kompetensinya rendah maka hal itu akan berdampak pada menurunnya kualitas kepala daerah yang akan terpilih. Di samping itu, juga mungkin timbul persaingan yang tidak sehat yang dapat menutup peluang bagi calon lain yang sesungguhnya berpotensi.

Fenomena yang terjadi pada tahun 2011, yang berkaitan dengan masalah otonomi daerah adalah kemungkinan kebangkrutan yang dialami sejumlah daerah. Kebangkrutan terjadi bukan semata-mata akibat buruknya perencanaan anggaran daerah, tetapi juga dipicu oleh persoalan yang lebih serius, yaitu terjadinya proses pembiayaan politik. Ini dapat terjadi karena calon-calon kepala daerah kurang menyadari bahwa alokasi Anggaran Pendapatan

53 Belanja Daerah (APBD) sangat terbatas, dengan perbandingan 60% merupakan belanja atau gaji pegawai, dan hanya 40% untuk pembangunan. Ironisnya, ada beberapa daerah yang menjadi bangkrut dan tidak dapat membayar gaji pegawai, meskipun telah mendapat dana bagi hasil dari minyak dan gas. Dari sisi anggaran, daerah itu seharusnya lebih makmur dibandingkan dengan daerah lain. Kebangkrutan di daerah menunjukkan telah terjadi penyimpangan berkaitan dengan pemerintahan yang baik (good governance).10

Meskipun urusan luar negeri menjadi urusan pemerintah pusat, pemerintah daerah harus ikut mewaspadai manuver negara lain yang berkepentingan atas wilayah kita. Dengan telah disahkannya konsep negara kepulauan oleh PBB tahun 1994 (melalui UNCLOS 1982), timbullah tantangan, ancaman, dan gangguan terhadap Indonesia. Ada empat golongan negara yang sangat berkepentingan dengan wilayah kita, yaitu negara-negara tetangga (beberapa negara anggota ASEAN dan Austalia); negara dengan armada perikanan besar (salah satu di antaranya Jepang); negara pemilik perusahaan perkapalan (sea liners); dan negara adidaya yang berupaya memperoleh kemudahan untuk manuver armada militernya dalam rangka melaksanakan strategi global geopolitiknya (Kusumaatmadja, 2003: 25).

Menghadapi negara-negara tetangga, tindakan yang dapat dilakukan setidak-tidaknya adalah mewaspadai silent occupation dengan pemantapan pembinaan kekuatan maritim khusus. Menghadapi Australia dengan proyek Australia Maritime Identification Zone (AMIZ)-nya, Indonesia harus segera mengidentifikasikan pulau-pulau yang tersebar luas. Menghadapi Malaysia dan Singapura, Indonesia perlu mewaspadai The Five Power Defence

Arrangements (FPDA) yang masih berlaku. Five Power Defence Arrangements adalah

serangkaian hubungan pertahanan yang didasarkan atas perjanjian bilateral antara Inggris, Australia, Selandia Baru, Malaysia, dan Singapura yang ditandatangani pada tahun 1971. Lima kekuatan negara tersebut akan saling berkonsultasi apabila terjadi agresi eksternal atau ancaman serangan terhadap Semenanjung Malaysia (Malaysia Timur tidak termasuk wilayah tanggung jawab FPDA) atau Singapura. Bentuk-bentuk perhatian terhadap rakyat di daerah perbatasan perlu terus dilakukan. Kunjungan Presiden atau Wakil Presiden ke perbatasan, misalnya, akan meningkatkan rasa nasionalisme rakyat.

Tindakan yang perlu dilakukan untuk menghadapi negara yang berkepentingan dengan perikanan adalah meningkatkan kemampuan nelayan Indonesia sendiri, yaitu kemampuan dari nelayan pantai menjadi nelayan laut, kemampuan nelayan membaca peta laut dan

10

54 menggunakan peralatan navigasi dengan lebih baik; membangun desa pantai yang diisi oleh keluarga nelayan/pelaut; dan menjadikan nelayan sebagai monitor terhadap pengganggu negara dalam hal pencurian ikan, pencemaran lingkungan, dan perusakan alat navigasi laut.

Tindakan yang perlu dilakukan untuk menghadapi negara yang memiliki armada angkutan laut besar yang ingin tetap berperan dalam era globalisasi adalah penolakan terhadap penambahan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) oleh International Maritime

Organization tetap diteruskan, karena pada hakikatnya membuat wilayah kita terbuka akan

kontraproduktif dengan Deklarasi Djuanda. Dalam pada itu ALKI perlu diinformasikan lebih intensif kepada masyarakat maritim Indonesia dengan menindaklanjuti pengawasan secara proaktif.

Negara adidaya yang sejak semula menentang negara nusantara, kita juga menghadapinya dengan tetap menolak penambahan ALKI. Penambahan ALKI dapat

55

BAB III.

PANCASILA

Pada bagian ini pembaca diajak untuk kembali mengingat ikatan dasar dari bangsa Indonesia. Awalnya adalah kelompok, yang memiliki ciri-ciri dasar khusus. Beberapa di antaranya adalah mempersepsi dan dipersepsi sebagai satu kesatuan, memiliki tujuan yang sama dan anggota merasa dirinya sebagai bagian kelompok (Halida, 2009: 168). Dengan demikian, bergabungnya individu dalam satu kelompok kecil atau besar karena yang dianggap adanya kesamaan-kesamaan tertentu akan dapat meningkatkan rasa percaya diri dan tujuan yang dapat diraih bersama.

Bagi banyak negara yang baru saja merdeka dan berdaulat, mereka menghadapi masalah bagaimana membangun rasa kebangsaan. Para pendiri bangsa yang sejak awal menyadari hal ini, karena pada awalnya yang disebut sebagai bangsa Indonesia , belum ada. Yang ada adalah kelompok-kelompok besar berdasarkan etnis dan kelompok berbasis keagamaan. Untuk itu, dari berbagai cara untuk membangun kesatuan dalam kelompok besar atau bangsa, diajukan pola yang dianggap sama dan dapat diterima oleh semua pihak. Karena ikatan-ikatan primordial seperti etnis dan agama tidak dapat dikenakan pada bangsa Indonesia, dibutuhkan ikatan lain yang dianggap umum sekaligus berbeda dengan bangsa lain. Akhirnya, para pendiri bangsa, khususnya Soekarno, mencetuskan ide bahwa nilailah yang dapat menimbulkan rasa kesatuan itu. Soekarno menyebutnya sebagai lima nilai dasar atau yang sekarang dikenal sebagai Pancasila. Upaya ini adalah sebuah bentuk kreasi sosial yang bermanfaat bagi pengembangan dan pembedaan kelompok (Tajfel, 1974: 84).

Setelah membaca bab ini diharapkan mahasiswa mampu memahami

Dalam dokumen Mpkt a Buku Ajar 3 (Halaman 46-55)