• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mpkt a Buku Ajar 3

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Mpkt a Buku Ajar 3"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

1

PROGRAM PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN

PENDIDIKAN TINGGI

MATA KULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN

TERINTEGRASI A

BUKU AJAR III

BANGSA, NEGARA, DAN PANCASILA

Tim Penulis:

R. Ismala Dewi

Slamet Soemiarno

Agnes Sri Poerbasari

Eko A. Meinarno

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK, 2012

(2)

2

BAB I

BANGSA INDONESIA

Sebagai negara kebangsaan (nation state), Indonesia merupakan kumpulan dari berbagai ikatan primordial—agama, suku, ras, bahasa, budaya, daerah, dan adat—yang berbeda satu sama lain. Kemajemukan bangsa Indonesia dengan perbedaan-perbedaan yang ada itu

menimbulkan berbagai masalah integrasi dan konflik yang berkaitan dengan keberadaan dasar dan ideologi bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai pengikat bangsa, faktor-faktor pemersatu bangsa lainnya, serta jati diri bangsa.

1. Pengertian Bangsa dan Suku Bangsa

Secara konseptual, yang dimaksud dengan bangsa adalah sekelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri. Contoh: Bangsa Indonesia, India, dsb.1 Sekelompok masyarakat yang membentuk suatu bangsa, sebagaimana definisi bangsa tersebut tidaklah sesederhana itu. Suatu bangsa terbentuk melalui suatu proses perjalanan sejarah, yang berbeda dengan bangsa lain.

Keberadaan suatu bangsa pun sering kali dipengaruhi oleh interaksinya dengan bangsa-bangsa lain.

Sebagai suatu bangsa, Indonesia mempunyai ciri atau corak yang khas. Ciri khas itu muncul karena latar belakang sejarah pembentukannya yang berbeda dengan bangsa lain. Salah satu ciri khas bangsa Indonesia yang menonjol adalah bahwa bangsa Indonesia dibentuk oleh kesatuan dari berbagai suku bangsa sehingga disebut bangsa yang majemuk.

1

Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, 2002), hlm. 102.

Setelah membaca bab ini mahasiswa mampu memahami konsep bangsa

dan membangun sikap terbuka dan kritis terhadap kemajemukan bangsa

Indonesia dalam hubungannya dengan masalah integrasi, konflik,

faktor-faktor pemersatu bangsa, serta jati diri bangsa.

(3)

3 Mengenai pengertian konsep suku bangsa, Koentjaraningrat memberikan penjelasan sebagai berikut. Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai komunitas desa, kota, kelompok kekerabatan, atau kelompok adat lainnya,

menampilkan corak khas tertentu yang terutama dilihat oleh orang luar yang bukan warga masyarakat bersangkutan. Corak khas tersebut dapat dilihat pada unsur-unsur kebudayaan yang ada pada komunitas itu, misalnya hasil kebudayaan fisik dan pranata-pranata yang ada pada pola sosial khusus. Kekhasan corak kebudayaan pada suatu masyarakat itu yang

membedakannya dengan masyarakat lainnya. Dalam etnografi (deskripsi atau tulisan tentang bangsa-bangsa), suatu kebudayaan dengan corak khas itu dinamakan suku bangsa atau kelompok etnik (ethnic group).

Di antara kedua istilah di atas —suku bangsa dan kelompok etnik—istilah yang lebih tepat bagi kelompok masyarakat dengan corak yang khas tersebut adalah suku bangsa, bukan kelompok etnik karena suku bangsa merupakan golongan sosial bukan kelompok sosial. Golongan sosial dan kelompok sosial merupakan dua konsep mengenai kesatuan-kesatuan sosial atau unsur-unsur masyarakat. Kedua konsep itu mempunyai pengertian yang berbeda. Golongan sosial merupakan suatu kesatuan manusia yang ditandai oleh suatu ciri tertentu, yang mempunyai ikatan identitas sosial. Kelompok sosial merupakan suatu masyarakat karena memenuhi syarat-syaratnya yaitu adanya sistem interaksi antara para anggota, adat-istiadat serta sistem norma yang mengatur interaksi itu, kontinuitas, serta adanya rasa identitas yang mempersatukan semua anggota tadi. Di samping ketiga ciri tadi, suatu kesatuan manusia yang disebut kelompok juga mempunyai ciri tambahan yaitu organisasi dan sistem kepemimpinan dan selalu tampak sebagai kesatuan-kesatuan dari individu-individu yang pada masa-masa tertentu, secara berulang, berkumpul dan kemudian bubar lagi.

Suku bangsa sebagai golongan sosial adalah golongan manusia yang terikat oleh identitas dan kesadaran akan ―kesatuan kebudayaan‖. Kesadaran dan identitas itu sering kali dikuatkan pula oleh kesatuan bahasa. ―Kesatuan kebudayaan‖ tersebut bukan ditentukan oleh pihak luar, misalnya ahli antropologi, ahli kebudayaan, atau ahli lainnya, dengan metode-metode analisis ilmiah, melainkan oleh warga kebudayaan itu sendiri.

Contoh kebudayaan suku bangsa yang diuraikan di atas ialah kebudayaan Sunda yang merupakan suatu kesatuan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan Jawa atau Batak. Kesatuan kebudayaan Sunda itu bukan ditentukan oleh pihak luar, melainkan karena orang-orang Sunda sadar bahwa di antara mereka ada keseragaman mengenai kebudayaan mereka,

(4)

4 yang mempunyai kepribadian dan identitas khusus, yang berbeda dengan kebudayaan lain. Apalagi adanya bahasa Sunda, yang berbeda dengan bahasa Jawa atau Batak, menyebabkan semakin tingginya kesadaran akan kepribadian khusus tadi. (Koentjaraningrat, 2002: 263— 266.)

Menurut Suparlan, suku bangsa merupakan kategori atau golongan sosial yang askriptif yaitu keanggotaan dalam suku bangsa tersebut diperoleh bersama dengan kelahiran, yang mengacu kepada asal orang tua yang melahirkan dan asal daerah tempat seseorang dilahirkan. Sebagai golongan sosial, suku bangsa terwujud sebagai perorangan atau individu dan kelompok. Sebagai kelompok, suku bangsa terwujud sebagai keluarga, komuniti, masyarakat, atau juga berupa perkumpulan suku bangsa. Sebagai kelompok, suku bangsa mempunyai ciri-ciri berikut.

1. Suku bangsa merupakan satuan kehidupan yang secara biologi mampu berkembang biak dan lestari, yaitu dengan adanya keluarga yang dibentuk melalui perkawinan.

2. Suku bangsa mempunyai kebudayaan bersama yang merupakan pedoman bagi kehidupan mereka, dan secara umum berbeda dengan kelompok suku bangsa lain.

3. Keanggotaan di dalam suku bangsa bercorak askriptif.

Keanggotaan seseorang di dalam sebuah suku bangsa yang bercorak askpritif berbeda dari keanggotaan seseorang di dalam sebuah kelas sosial atau kelompok profesi yang

coraknya diperoleh melalui prestasi kerja atau usaha. Keanggotaan seseorang di dalam suatu suku bangsa adalah keanggotaan terus-menerus atau untuk selamanya, sedangkan

keanggotaan di dalam kelas sosial atau kelompok profesi akan hilang pada waktu yang bersangkutan tidak lagi mampu menunjukkan kemampuan ekonomi yang menjadi ciri-ciri dari kelas sosial yang di dalamnya dia tergolong atau pada waktu seseorang itu tidak lagi mengerjakan profesi yang selama ini ditekuninya. (Suparlan, 2005: 3—6.)

Sebagai makhluk sosial, setiap orang mempunyai lebih dari satu jati diri atau identitas diri. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia maka jati diri seseorang merupakan jati diri bangsa Indonesia. Mengingat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang didukung oleh kesatuan dari aneka suku bangsa, maka diperlukan pemahaman terhadap suku-suku bangsa tersebut. Corak jati diri atau identitas diri bangsa Indonesia sangat ditentukan oleh jati diri suku-suku bangsa pendukung bangsa Indonesia. Jati diri suku bangsa atau kesukubangsaan termasuk salah satu di antara jati diri yang dapat menjadi jati diri utama, atau dapat juga menjadi jati diri yang menempel dan memperkuat jati diri utama seseorang. Oleh karena itu interaksi antar-suku

(5)

5 bangsa, yang masing-masing mempunyai corak jati diri yang berbeda itu, perlu pula

dilakukan dengan tetap mengedepankan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Permasalahan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk berkaitan dengan interaksi antar-suku bangsa akan diuraikan lebih lanjut pada sub-bab mengenai masyarakat majemuk bangsa Indonesia.

2. Indonesia Bangsa yang Majemuk

Menurut Haviland, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang memiliki keberagaman pola-pola kebudayaan (societies that have a diversity of cultural patterns) (Haviland, 2000: 386). Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa suatu masyarakat yang

majemuk akan melahirkan kebudayaan majemuk, yang merupakan interaksi sosial dan politik dari orang-orang yang cara hidup dan cara berpikirnya berbeda dalam suatu masyarakat (Haviland, 2000: 805).

Yang dimaksud dengan bangsa, menurut kamus istilah antropologi, adalah kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Pengertian bangsa ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Haviland yaitu suatu komunitas orang-orang yang

memandang dirinya sebagai ―kesatuan manusia‖ yang didasari oleh nenek moyang, sejarah, masyarakat, institusi, ideologi, bahasa, wilayah, dan sering kali kepercayaan yang sama (Haviland, 2000: 664).

a. Kemajemukan Bangsa Indonesia sebagai Realitas

Di samping pengertian bangsa dalam arti kenegaraan tersebut di atas, bangsa

Indonesia terdiri dari berbagai bagian lagi yang disebut sebagai suku bangsa. Berbagai suku bangsa tersebut ialah suku bangsa Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, Aceh, dan lain-lain. Masing-masing suku bangsa itu mempunyai kebudayaan sendiri, yang berbeda dengan suku bangsa lainnya, yaitu berbeda bahasa, adat-istiadat, cara hidup, dan sebagainya.

Sesungguhnya suku bangsa itu masing-masing merupakan satu bangsa dalam arti etnik, yaitu kebulatan kemasyarakatan yang mempunyai kebudayaan sendiri, karena berasal dari satu keturunan.

Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dengan aneka suku bangsa yang

(6)

6 2010 dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah suku bangsa di Indonesia adalah sebanyak 1.128 suku bangsa, dengan jumlah penduduk keseluruhannya sebanyak 237.556.363 orang, dan dengan luas wilayahnya sekitar 1.910.931 km2.2

Menurut Suparlan, Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas masyarakat-masyarakat suku bangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai satu bangsa atau nasion, yaitu bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia dikatakan sebagai sebuah

masyarakat yang majemuk karena mengenal tiga sistem yang digunakan sebagai acuan atau pedoman di dalam kehidupan warga masyarakatnya. Sistem-sistem itu adalah 1) sistem nasional, 2) sistem suku bangsa, dan 3) sistem tempat-tempat umum. Sebagai sebuah bangsa, masyarakat Indonesia hidup dalam sebuah satuan politik yaitu sebuah negara kesatuan yang menempati sebuah wilayah yang dinamakan Negara Republik Indonesia. Sebagai sebuah masyarakat yang terdiri atas sejumlah suku bangsa, hubungan-hubungan sosial di antara warga suku bangsa yang berbeda itu lazim berlangsung di tempat-tempat umum (pasar, tempat hiburan, kegiatan-kegiatan sosial bersama) yang menjadikan fungsi tempat-tempat umum tersebut menjadi penting untuk berinteraksi. (Suparlan, 2005: 54—60.)

Aneka suku bangsa yang terdapat dalam Negara Republik Indonesia adalah sama banyak jumlahnya dengan bahasa-bahasa mereka, yang disebut bahasa daerah (Loebis, 1979: 10—11). Kemajemukan bangsa Indonesia merupakan suatu realita yang tidak dapat diingkari. Oleh karena itu, aneka suku bangsa yang ada perlu disikapi dengan kesadaran akan Indonesia sebagai bangsa yang satu.

Bentuk pluraritas bangsa Indonesia setidaknya dapat dilihat dalam dua macam yaitu 1) pluralitas horizontal, misalnya keberagaman etnis, agama dan bahasa, dan 2) pluralitas

vertikal, misalnya keanekaragaman profesi, tingkat ekonomi, dan pendidikan. Di samping itu, bentuk pluralitas bangsa Indonesia dapat pula dilihat dari keberagaman kelompok, lapisan, dan golongan (meskipun substansinya sama dengan bentuk pluralitas yang disebutkan terdahulu). Keberagaman kelompok berkaitan antara lain dengan keberagaman kelompok etnik, afiliasi politik, dan agama yang dianut.

2 Rusman Heriawan, Kepala BPS, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR RI, Rabu tanggal 3

(7)

7

b. Masalah-Masalah Terkait Pluralitas Bangsa Indonesia

Konsekuensi dari pluralitas atau heterogenitas masyarakat Indonesia adalah potensi terjadinya konflik atau integrasi. Konflik berpotensi terjadi apabila terdapat cara pandang tertentu seperti sikap etnosentrisme atau primordialisme, yang diwujudkan antara lain dalam bentuk stereotip etnik pada suku bangsa lain. Di sisi lain integrasi bangsa dapat didorong oleh aspek-aspek seperti pengalaman sejarah yang sama, tujuan yang sama, bahasa dan simbol-simbol yang sama sebagai identitas kebangsaan.

Mengapa kemajemukan masyarakat menjadi salah satu sebab munculnya persoalan konflik atau masalah integrasi bangsa di Indonesia? Hal ini dapat dijelaskan dengan menunjukkan bahwa keberagaman suku bangsa di Indonesia menimbulkan beberapa

konsekuensi ketika anggota masyarakat dari berbagai suku bangsa itu berinteraksi satu sama lain. Dalam interaksi antar-anggota masyarakat yang berbeda suku bangsa itu akan muncul jati diri suku bangsa atau kesukubangsaan masing-masing yang diakui oleh anggota

masyarakat dari suatu suku bangsa maupun oleh anggota masyarakat suku bangsa lainnya dalam interaksi yang terjadi. Acuan jati diri suku bangsa adalah kebudayaan suku bangsa yang terwujud dalam bentuk atribut-atribut yang menjadi ciri-ciri dari suku bangsa masing-masing pelaku dalam suatu interaksi.

Kebudayaan yang dimiliki oleh suatu keluarga atau kelompok kerabat pada dasarnya adalah kebudayaan suku bangsa. Sebuah masyarakat yang anggota-anggotanya secara langsung atau tidak langsung berasal dari satu keturunan yang sama, atau yang selama beberapa generasi menempati suatu wilayah, adalah sebuah masyarakat suku bangsa.

Masyarakat suku bangsa ini, sama halnya dengan keluarga atau kelompok kekerabatan, adalah sebuah masyarakat suku bangsa dengan kebudayaan suku bangsa.

Pada masyarakat suku bangsa, kebudayaan suku bangsa menjadi sebuah acuan utama dalam menghadapi lingkungan sosial budaya dari masyarakat tersebut. Dalam masyarakat luas yang heterogen atau majemuk, kebudayaan masing-masing suku bangsa berisikan keyakinan-keyakinan mengenai ciri-ciri suku-suku bangsa dan mencakup juga pengetahuan mengenai diri atau suku bangsa sendiri yang berbeda dengan suku bangsa lainnya. Perbedaan atau pertentangan dengan suku bangsa lainnya itu—secara sadar atau tidak sadar—

memunculkan keberadaan jati diri suku bangsa sendiri dan jati diri suku-suku bangsa lainnya. Pengetahuan mengenai suku bangsa sendiri dan suku-suku bangsa lainnya yang hidup bersama-sama dalam sebuah masyarakat akan memunculkan keyakinan-keyakinan mengenai

(8)

8 kebenaran yang subjektif terkait dengan pengetahuan mengenai ciri-ciri suku-suku bangsa lainnya itu. Pengetahuan anggota masyarakat suatu suku bangsa terhadap suatu suku bangsa lainnya berisikan konsep-konsep yang sering kali digunakan sebagai acuan dalam

menghadapi anggota-anggota suku-suku bangsa lainnya itu. Konsep-konsep ini disebut stereotip (stereotype), dan stereotip dapat berkembang menjadi prasangka (prejudice).

Sebuah stereotip mengenai sesuatu suku bangsa biasanya muncul dari pengalaman seseorang atau sejumlah orang dalam berhubungan dengan para pelaku dari suku bangsa itu. Dari sejumlah pengalaman yang terbatas itu, yang dipahami dengan mengacu pada

kebudayaannya, muncullah pengetahuan yang diyakini kebenarannya dan menjadi bagian dari kebudayaan suku bangsa tertentu, yaitu pengetahuan mengenai ciri-ciri suku bangsa itu. Pengetahuan yang dipunyai oleh seseorang atau sejumlah anggota masyarakat suku bangsa mengenai sesuatu suku bangsa tersebut kemudian disebarluaskan kepada sesama anggota masyarakat sehingga pengetahuan yang sifatnya terbatas mengenai ciri-ciri sesuatu suku bangsa tersebut menjadi sebuah pengetahuan yang bersifat umum dan baku yang diyakini kebenarannya. Padahal, sebenarnya, pengetahuan itu amat terbatas dan subjektif karena berisikan interpretasi dari pengalaman si pelaku sendiri yang terbatas jumlah dan ruang lingkupnya tetapi kemudian digeneralisasi sebagai ciri-ciri dari sesuatu suku bangsa tersebut. Demikianlah pengetahuan itu disebut stereotip. (Suparlan, 2005: 3—6.)

Berkaitan dengan permasalahan masyarakat Indonesia yang majemuk, Jatiman mengemukakan bahwa akar dari bangsa Indonesia adalah satuan sosial atau kelompok yang berbeda-beda dalam suku bangsa, agama dan ras (SARA). Oleh sebab itulah maka

permasalahan integrasi nasional berkaitan dengan konflik dalam hal SARA. Namun lebih jauh dikemukakan bahwa permasalahan yang sesungguhnya bukan hanya itu melainkan juga kesepakatan bangsa tentang keberadaan Pancasila dan UUD 1945 sebagai cita-cita, mengingat bahwa integrasi bangsa Indonesia dilandasi oleh kesamaan nasib dan kesamaan cita yang kemudian secara konkret dituangkan dalam Pancasila dan UUD 1945.

Kemajemukan masyarakat Indonesia dengan keberagaman kelompok, lapisan dan golongan melahirkan keberagaman kebudayaan pula. Kebudayaan yang beragam itu menyebabkan sistem hukum yang ada juga beragam, di samping hukum negara dan hukum internasional. Kemajemukan budaya melahirkan kemajemukan hukum, mengingat hukum merupakan aspek kebudayaan yang memiliki fungsi sebagai pedoman bertingkah laku dan fungsi kontrol sosial. Hukum merupakan aturan yang menjadi pedoman hidup seseorang atau

(9)

9 suatu masyarakat. Aturan tersebut antara lain adalah aturan adat, aturan agama, dan aturan nasional.

Aturan adat ialah orientasi nilai, atau norma/pedoman hidup yang mengatur bagaimana masyarakat adat berperilaku. Orientasi nilai ini sangat ditentukan oleh pranata-pranata primordial dan ikatan kekerabatan yang dijaga melalui mitos-mitos lama, yaitu persamaan nenek moyang, persilangan darah, dan daerah asal. Sebagai contoh, di Maluku Tengah ada aturan adat yang dinamakan pela, yakni kewajiban-kewajiban yang oleh orang-orang Maluku Tengah diakui dan harus dipenuhi berdasarkan perjanjian di antara nenek moyang mereka di masa lalu. Perjanjian itu biasanya dibuat antara dua klen atau negeri, yang di dalamnya ditentukan bahwa para warga klen atau negeri itu dan keturunannya akan selalu saling membantu dan mereka tidak boleh mengadakan hubungan perkawinan. Aturan adat hanya dapat hidup pada perangkat sosial yang paling dasar, yaitu klen (clan), seperti suku di Minang, marga di Tapanuli, dan soa di Maluku Tengah (Ihromi, 1986: 4—7).

Aturan agama tidak ditentukan oleh pranata kekerabatan, melainkan oleh kesamaan keyakinan religius yang melintasi dan meniadakan perbedaan asal-usul, bahkan ras dan golongan.

Aturan nasional merupakan produk dari pranata politik nasional. Biasanya aturan ini dikembangkan dalam bentuk produk hukum formal yang mencakup masalah ekonomi, sosial, politik dan budaya, misalnya kebijakan politik, kebijakan ekonomi, dan peraturan perundang-undangan.

Masyarakat memiliki tingkat kepatuhan yang berbeda-beda kepada ketiga orientasi nilai tersebut. Hal ini disebabkan mobilitas sosial yang berbeda di dalam seting persekutuan hidup tertentu. Ketiga pedoman perilaku di atas merupakan pemberi dasar kehidupan kesatuan bangsa dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Ketiganya juga menjadi pertimbangan utama dalam sistem pengelolaan konflik.

Masalah integrasi dan konflik merupakan konsekuensi dari suatu masyarakat yang majemuk. Hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor pemersatu bangsa Indonesia sebagaimana diuraikan berikut ini.

3. Faktor-faktor Pemersatu Bangsa Indonesia

Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan perekat atau pemersatu bangsa, antara lain: 1) latar belakang sejarah bangsa, 2) Pancasila dan UUD 1945, 3) simbol-simbol atau

(10)

10 lambang-lambang persatuan bangsa, dan 4) kebudayaan nasional. Faktor-faktor itu tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan saling terkait satu sama lain sebagai landasan bagi

tumbuhnya jati diri bangsa. Di samping itu, keberadaan faktor-faktor itu perlu selalu dijaga untuk dapat tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

a. Latar Belakang Sejarah Bangsa Indonesia

Terbentuknya Negara Indonesia (state building) terjadi melalui suatu proses panjang sejarah pembentukan Bangsa Indonesia (nation building) terlebih dahulu. Sebagaimana telah dikemukakan, Indonesia merupakan kumpulan suku bangsa dalam satu kesatuan, yaitu bangsa Indonesia, yang mempunyai bahasa kesatuan, yaitu bahasa Indonesia, dan satu negara, yaitu negara Republik Indonesia. Kata bangsa di sini ialah bangsa dalam arti politis (kenegaraan), yaitu sebagai pendukung dari negara.

Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia secara garis besar diawali dengan timbulnya kesadaran rakyat untuk menjadi bangsa. Bangsa Indonesia yang terbentuk itu berusaha dengan kuat, berjuang membentuk Negara Indonesia merdeka. Setelah merdeka, seluruh rakyat Indonesia yang berada di dalam negara Indonesia berjuang untuk mengisi kemerdekaannya dengan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya (Simbolon, 1995: xviii—xix).

Dalam proses perjalanan bangsa Indonesia yang berjuang untuk menjadi bangsa yang merdeka dan kemudian membangun bangsanya, dilakukan upaya-upaya untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan masyarakat di satu pihak dan kekuasaan (negara) di lain pihak. Keseimbangan tersebut diwujudkan dalam bentuk lembaga atau pranata (institutions) yang merupakan aturan-aturan, baik yang formal seperti undang-undang atau peraturan, maupun yang informal seperti adat, kebiasaan, dan tata krama. Dalam hal ini lembaga berfungsi sebagai pengatur hubungan antarmanusia. Lembaga dengan aturan-aturan di dalamnya itu terdapat di setiap kehidupan kelompok masyarakat.

Berbeda dengan istilah ―lembaga‖ (dalam arti sebagai institusi, organisasi atau wadah), ―pranata‖ adalah suatu sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan masyarakat. Lembaga (institute) adalah badan atau organisasi yang melaksanakan aktivitas itu. Dalam menjalankan kehidupannya, individu-individu dalam suatu masyarakat banyak melakukan tindakan dalam berinteraksi antara yang satu dengan yang lainnya. Di antara

(11)

11 semua tindakannya yang berpola tadi, ada yang merupakan tindakan-tindakan yang

dilakukannya menurut pola-pola yang tidak resmi, dan ada yang menurut pola-pola yang resmi. Sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu berinteraksi menurut pola-pola resmi, dalam ilmu sosiologi dan antropologi disebut pranata (bahasa Inggris institution), bukan lembaga (institute) (Koentjaraningrat, 2002: 162—171). Pranata yang terkait dengan rangkaian upaya mencapai keseimbangan antara kepentingan masyarakat di satu pihak dan kekuasaan (negara) di lain pihak selalu ada di setiap masyarakat, baik pada kondisi masyarakat yang masih sederhana maupun yang sudah kompleks.

Pranata atau lembaga dalam rangkaian upaya tersebut di atas ada di setiap tahap pembentukan bangsa Indonesia, yang kemudian dalam tahap selanjutnya akan membentuk negara Indonesia. Tahap awal pembentukan bangsa Indonesia dimulai dengan tahap

persebaran penduduk ke Indonesia pada masa prasejarah. Tahap berikutnya—secara berturut-turut— ialah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, kerajaan-kerajaan Islam, kedatangan Portugis, pendudukan VOC dan penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan masa kemerdekaan.

Dalam sejarah persebaran penduduk ke Indonesia, berdasarkan penelitian terhadap fosil-fosil yang ditemukan antara lain di beberapa desa di daerah lembah Bengawan Solo, ternyata manusia Indonesia tertua sudah ada kira-kira satu juta tahun yang lalu. Waktu itu dataran Sunda masih merupakan daratan, Asia Tenggara merupakan bagian benua dan bagian kepulauan yang masih bersambung menjadi satu. Persebaran manusia yang masuk ke

Indonesia merupakan manusia dengan ciri-ciri Austro-Melanosoid (ciri-ciri ras penduduk pribumi Australia, sebelum orang kulit putih menduduki benua itu) yang menyebar ke Papua. Ketika itu Papua masih menjadi satu dengan benua Australia, dan terpisah ketika jaman es keempat berakhir. Selain di Papua, manusia Austro-Melanosoid juga berada di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan.

Di samping pengaruh dari ras Austro-Melanosoid, manusia Indonesia juga

dipengaruhi oleh ras Mongoloid. Ras Mongoloid berasal dari Asia Timur yang menyebar ke selatan melalui kepulauan Ryukyu, Taiwan, Filipina, Sangir, dan masuk ke Sulawesi (sampai ke Sulawesi Selatan). Mengingat manusia Austro-Melanosoid juga masuk sampai ke Sulawesi Selatan, maka daerah Sulawesi Selatan dapat dianggap sebagai tempat perpaduan antara berbagai macam pengaruh kebudayaan dan percampuran antara berbagai ras manusia, yang datang dari berbagai tempat (Koentjaraningrat, 1981: 2—20).

(12)

12 Catatan sejarah lainnya menjelaskan bahwa persebaran penduduk Indonesia, atau rakyat kerajaan kuno Nusantara berasal dari daerah Cina Selatan (propinsi Yunan). Mereka dikenal sebagai ras Melayu, yang datang secara bergelombang. Dua gelombang terpenting adalah Proto-Melayu, yang datang sekitar 3000 tahun lalu, dan Deutro-Melayu, sekitar 2000 tahun yang lalu. Proto-Melayu (Melayu-Polynesia) tersebar dari Madagaskar sampai ke Pasifik Timur. Kebudayaannya masih merupakan kebudayaan batu (neolithicum). Berbeda dengan Proto-Melayu, Deutro-Melayu sudah membawa kebudayaan besi.

Persebaran penduduk melalui proses rumit dan perjalanan panjang melalui berbagai wilayah di dunia tersebut di atas menjadi awal terbentuknya penduduk Indonesia. Penduduk Indonesia atau masyarakat Nusantara pada waktu itu diperintah oleh raja-raja. Ciri pokoknya adalah pembauran manusia dari berbagai ras dan daerah asal, sebagai ciri ―bhinneka tunggal ika.‖

Tahap kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, memberikan pengaruh kepada kebudayaan bangsa Indonesia. Catatan sejarah kerajaan Hindu diperoleh dari batu-batu bertulis yang ada di Jawa Barat, di daerah sungai Cisadane, Bogor, dan di pantai Kalimantan Timur, daerah Muara Kaman, Kutai, sekitar abad IV Masehi. Menurut ahli sejarah purbakala Indonesia, kerajaan yang disebut dalam tulisan-tulisan pada batu-batu tadi merupakan kerajaan-kerajaan Indonesia asli, yang hidup makmur berkat perdagangan dengan negara-negara di India Selatan. Raja-rajanya mengadopsi konsep-konsep Hindu dengan cara mengundang ahli-ahli dan orang-orang pandai dari golongan Brahmana (pendeta) di India Selatan yang

beragama Wisnu dan Brahma.

Tahap kerajaan-kerajaan Islam juga memberikan pengaruh kepada kebudayaan Indonesia. Kerajaan-kerajaan Islam muncul bersamaan dengan penyebaran agama Islam melalui hubungan perdagangan. Para penyebar dakwah atau mubaligh mengajarkan agama Islam kepada para pedagang penduduk asli yang kemudian menyebarkannya kepada penduduk lainnya. Kerajaan Islam di Nusantara yang dipengaruhi oleh kerajaan atau kesultanan Islam di tanah Arab ialah—antara lain—Kerajaan Samudera Pasai di Aceh, Kerajaan Mataram di Jawa, serta Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore di Maluku.

Tahap kekuasaan lokal Nusantara di atas merupakan kekuasaan raja-raja sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat, baik yang dipengaruhi oleh Hindu-Buddha maupun Islam. Menurut beberapa penafsiran dari fakta sejarah yang ada, sifat kekuasaan lokal Nusantara tersebut terpusat di tangan raja. Hal ini berakibat pada rendahnya tingkat kelembagaan dan

(13)

13 kepastian, serta kerasnya penggunaan kekuasaan yang ada bahkan menimbulkan peristiwa berdarah sehingga pada akhirnya kekuasaan raja-raja tersebut runtuh (Simbolon, 1995: 6— 32).

Tahap setelah kekuasaan raja-raja di Nusantara adalah tahap kolonialisasi atau tahap pejajahan bangsa Indonesia oleh VOC (1602—1800) yang diteruskan oleh Belanda (1800— 1942), dan Jepang (1942—1945). Akibat perang di Eropa, kekuasaan atas Indonesia pernah diambil alih oleh Inggris (1811—1816).

Masa penjajahan yang dialami bangsa Indonesia dari 1602—1945 itu juga merupakan proses panjang pembentukan bangsa Indonesia yang berasal dari berbagai suku bangsa. Proses pembentukan bangsa Indonesia tersebut merupakan salah satu ciri dari suatu proses yang disebut unintended consequences. Istilah ini dapat diartikan sebagai terjadinya akibat yang tidak diperhitungkan dari tindakan yang dilakukan terhadap suatu susunan kehidupan, baik tindakan-tindakan yang dicita-citakan dan direncanakan, maupun yang tidak. Dalam hal ini pengembangan kebangsaan Indonesia merupakan akibat yang tidak diperhitungkan oleh penguasa kolonial terhadap susunan kehidupan masyarakat yang kini disebut sebagai bangsa Indonesia. Ini terjadi karena masyarakat Indonesia bukanlah peralatan otomatis yang

reaksinya selalu dapat diperhitungkan oleh penggunanya (Simbolon, 1995: xxii). Dalam masa penjajahan Belanda, perlakuan-perlakuan kolonial terhadap bangsa Indonesia justru menjadi pemicu munculnya kesadaran berbangsa yang satu sebagai bangsa Indonesia. Hal ini tentu tidak diinginkan dan tidak diduga oleh Belanda yang ingin tetap bertahan sebagai penguasa kolonial di Nusantara. Dua peristiwa bersejarah yang

menunjukkan adanya kesadaran berbangsa yang satu sebagai bangsa Indonesia yang ingin merdeka dari penjajahan yang terjadi antara tahun 1899 sampai 1942 ialah Kebangkitan Nasional yang ditandai oleh berdirinya Boedi Oetomo (20 Mei 1908) dan ikrar Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928). Masa ini merupakan salah satu dampak politik etis yang mulai diperjuangkan sejak masa Multatuli (dr. Douwes Dekker).

Politik etis merupakan kebijakan pemerintahan kolonial Belanda yang seolah-olah memberikan kebaikan-kebaikan kepada bangsa Indonesia sebagai tanda balas budi. Namun sesungguhnya hal itu dilakukan dalam rangka mempertahankan statusnya sebagai penguasa di tanah jajahan. Dalam melakukan politik etis untuk mempertahankan kekuasaannya,

pemerintah kolonial Belanda selalu berupaya menanamkan pengaruhnya kepada para penguasa pribumi melalui birokrasi dan melalui pendidikan bagi generasi penerus para

(14)

14 penguasa. Para pemuda dari kalangan elit itu dididik oleh Belanda untuk menjadi penguasa yang mengabdi kepada pemerintah kolonial Belanda. Mereka dididik di berbagai lembaga pendidikan Belanda, baik di Indonesia—yang umumnya dipusatkan di Pulau Jawa—maupun di Negeri Belanda. Tanpa disadari, Belanda telah mendorong dan menciptakan ruang gerak terjadinya interaksi antar-berbagai suku bangsa melalui interaksi antarpemuda dari kalangan elit suku bangsa. Interaksi ini terjadi terutama di dalam berbagai institusi buatan Belanda, baik pemerintah maupun swasta, yang bergerak di bidang pemerintahan maupun pendidikan.

Di dalam institusi pendidikan terjadi interaksi yang intensif antara pemuda-pemuda yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, tidak hanya yang berada di Pulau Jawa, tetapi juga yang di negeri Belanda. Melalui interaksi itu tumbuhlah benih-benih solidaritas baru yaitu perasaan senasib sebagai bangsa yang terjajah. Ikatan solidaritas ini terus berkembang menjadi suatu semangat persatuan sebagai satu bangsa yang menginginkan kemerdekaannya. Keadaan itulah yang mendorong Kebangkitan Nasional yang ditandai oleh lahirnya kelompok kebangsaan Boedi Utomo pada tanggal 20 Mei tahun 1908.

Hal yang sama juga memunculkan lahirnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, yaitu semangat persatuan yang berkembang dari berbagai suku bangsa yang saling berinteraksi, yang dirumuskan dalam satu kesepakatan dalam bentuk ikrar bahwa mereka: ―Bertumpah darah satu Indonesia, Berbangsa satu Indonesia, dan Menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.‖ Solidaritas yang menumbuhkan semangat persatuan ini

melahirkan cita-cita membangun bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Kebangkitan Bangsa dan Sumpah Pemuda merupakan tonggak sejarah yang menandai kelahiran bangsa Indonesia dari berbagai suku bangsa melalui kesepakatan normatif.3

Bangsa Indonesia menghadapi babak baru dalam sejarah perjuangan bangsa yang dimulai dari masa pembentukan bangsa sampai masa pembentukan Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat, yaitu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Tanggal 17 merupakan tanggal yang sengaja dipilih Bung Karno dengan alasan tertentu sebagaimana terungkap dalam dialog antara Bung Karno dengan para pemuda yang menculik dan membawanya ke

Rengasdengklok: ―Dengan suara rendah ia (Bung Karno) mulai berbicara, ‗Yang paling

3 Sardjono Jatiman, ―Integrasi Bangsa: Antara Kesepakatan Normatif dan Kenyataan Empirik,‖ makalah yang

(15)

15 penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. … Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Tanggal 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci

Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. Tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Qur'an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia‘‖ (Hardi, 1984: 61).

Penjajahan terhadap bangsa Indonesia berhasil diakhiri dengan proklamasi

kemerdekaaan yang memanfaatkan keadaan setelah Jepang dibom oleh Amerika Serikat pada tanggal 6 Agustus 1945 di atas kota Hiroshima. Melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI; dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Junbi Inkai) Indonesia menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Setelah bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945, yang menyebabkan Jepang menyerah kepada sekutu, maka Indonesia memanfaatkan keadaan dengan memproklamasikan kemerdekaannya.

PPKI adalah panitia baru, yang dibentuk untuk melanjutkan tugas Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI; dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu

Junbi Cosakai) yang sebelumnya telah dibentuk pada 29 April 1945. PPKI dibentuk pada

tanggal 12 Agustus 1945 (bukan 7 Agustus 1945 karena pada tanggal 7 Agustus 1945 yang terjadi hanyalah pemberian izin oleh pemerintahan Jepang di Tokyo untuk mendirikan PPKI, sedangkan pembentukannya secara resmi adalah pada tanggal 12 Agustus 1945). Tugas BPUPKI adalah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Dasar guna menyongsong

kemerdekaan, sedangkan PPKI dibentuk untuk menyatakan atau mengesahkan kemerdekaan dan melakukan peralihan kekuasaan dari negara jajahan menjadi negara merdeka (Kusuma, 2004: 1—13).

Setelah melalui tahap pembentukan bangsa dan tahap pembentukan negara, tahap perkembangan bangsa Indonesia selanjutnya adalah tahap mengisi kemerdekaan yang telah diproklamasikan oleh Soekarno dan Moh. Hatta. Namun setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus tahun 1945, Negara Indonesia yang masih baru itu masih mengalami berbagai ujian untuk mempertahankan kemerdekaannya itu. Kerajaan Belanda ketika itu ingin menjajah kembali Indonesia dengan alasan Indonesia dulunya adalah bagian sah dari kerajaan Belanda, namun diambil alih oleh Jepang karena Belanda yang bergabung dengan sekutu-sekutunya

(16)

16 telah kalah perang dengan Jepang pada tahun 1941. Pada perkembangan selanjutnya, dengan kekalahan Jepang dalam perang Pasifik pada tahun 1945, maka Belanda mengklaim bahwa Indonesia secara hukum internasional kembali menjadi bagian dari kerajaan Belanda.

Indonesia baru berhasil mempertahankan kemerdekaannya setelah melalui berbagai upaya seperti perang yang disebut revolusi kemerdekaan sebagai perang konvensional, dan ‗perang‘ diplomasi melalui perundingan-perundingan antar pemerintah kedua negara, sampai akhirnya dicapai persetujuan melakukan Perjanjian Meja Bundar yang berhasil memaksa Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Namun pengakuan itu disertai syarat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diubah menjadi Negara Republik Indonesia Serikat. Setelah syarat dipenuhi, yaitu NKRI diubah menjadi NRIS berdasarkan Konstitusi RIS 1949 pada tanggal 29 Desember 1949, maka sejak itu secara de jure Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, bukan 17 Agustus 1945 (Mahfud, 2009: 120-122).

Setelah proklamasi dan masa transisi sampai tahun 1949, mulailah masa Demokrasi Liberal (1950—1959), yang secara berturut-turut diikuti oleh era Demokrasi Terpimpin— yang kemudian disebut Orde Lama—(1959—1965), Orde Baru (1966—1998), dan era Reformasi (1998—sekarang) Proses pembentukan Negara dan hal-hal yang berhubungan dengan negara akan diuraikan lebih lanjut dalam bab II mengenai negara Indonesia.

b. Pancasila dan UUD 1945

Persatuan suku-suku bangsa menjadi bangsa Indonesia dalam suatu negara memerlukan dasar dan ideologi negara sebagai landasan berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Pancasila adalah dasar dan ideologi negara Indonesia yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Dengan demikian Pancasila merupakan kaidah-kaidah penuntun dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum. UUD 1945, yang mencantumkan Pancasila dalam bagian pembukaaannya, merupakan hukum dasar yang mengatur prinsip-prinsip dan mekanisme ketatanegaraan untuk menjamin demokrasi, dan juga memasang rambu-rambu untuk menjaga keutuhan bangsa. Dengan kata lain, Pancasila dan UUD 1945 merupakan dasar pemersatu dan pengikat untuk menjamin keberlangsungan integrasi dan demokrasi di Negara Indonesia.

Mengingat pentingnya Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, maka

keberadaannya harus dipertahankan dan butir-butir muatannya diamalkan agar kelangsungan dan keutuhan bangsa dan negara tetap terjaga. Dalam kenyataannya persoalan Pancasila

(17)

17 bukan hanya masalah menghapal lima butir Pancasila, namun banyak persoalan atau kendala dalam pengamalannya yang terkait dengan kondisi dan kesadaran masyarakat dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai dasar dan ideologi negara, Pancasila dapat dilihat sekurang-kurangnya dari tiga aspek, yakni aspek filosofis, yuridis, dan politis. Secara filosofis, Pancasila merupakan dasar keyakinan tentang masyarakat yang dicita-citakan serta dasar bagi penyelenggaraan negara yang dikristalisasikan dari nilai-nilai yang telah tumbuh dan berkembang serta berakar jauh dari kehidupan leluhur atau nenek moyang bangsa Indonesia. Secara yuridis, Pancasila merupakan cita hukum (rechtside) yang harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum di Indonesia. Oleh sebab itu hukum di Indonesia harus berdasar pada Pancasila. Isi hukum konsisten atau sesuai dengan Pancasila, mulai dari hukum yang hierarkinya paling atas sampai dengan yang paling bawah. Secara politis, Pancasila dipandang sebagai kesepakatan luhur (modus vivendi) yang mempersatukan semua ikatan primordial ke dalam satu bangsa yaitu bangsa Indonesia dalam prinsip persatuan.

Selain Pancasila, UUD 1945 juga merupakan perekat integrasi dan pengawal demokrasi di Indonesia. UUD 1945 memuat dasar aturan politik mengenai mekanisme ketatanegaraan yang demokratis, yang juga menjamin integrasi bangsa dan negara. Hal itu diwujudkan antara lain melalui pemilihan umum (pemilu) yaitu pemilihan pejabat-pejabat publik tertentu secara jujur dan adil dan melalui pengawasan dan perimbangan (checks and

balances) antar-lembaga-lembaga kekuasaan.

Lembaga-lembaga kekuasaan itu adalah kekuasaan kehakiman yang mengawal hukum bagi setiap perbuatan pemerintah dan rakyat yang mengancam integrasi atau mengancam tatanan dan aturan main. Kekuasaan eksekutif, selain menjalankan roda pemerintahan, juga mengawal negara menghadapi ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa melalui kekuatan pertahanan dan keamanan. Demikian pula dengan kekuasaan lainnya yaitu yudikatif, melalui peradilan melawan setiap gerakan disintegratif, dan kekuasaan dari lembaga legislatif yang melakukannya secara politik melalui pembentukan undang-undang. Semua lembaga kekuasaan negara tersebut harus bekerja secara sinergis.

Beberapa muatan dari UUD 1945 yang mengikat bangsa dalam kesatuan bangsa Indonesia adalah yang berikut.

1) Pasal 1 ayat (1) menegaskan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Pasal ini juga dipagari oleh pasal lainnya yaitu Pasal 18 dan Pasal 37 ayat (5).

(18)

18 2) Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan

menurut UUD, yang menunjukkan bahwa sebagai negara kebangsaan Indonesia menganut prinsip dan sistem demokrasi.

3) Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya, setiap kegiatan bangsa dan negara haruslah berdasarkan hukum (nomokrasi). Demokrasi harus berjalan di atas prosedur hukum dengan segala falsafah dan tata urut perundang-undangan yang mendasarinya. Demokrasi tanpa nomokrasi dapat menjadi anarki dan dapat mengancam integrasi bangsa.

4) Pasal 26 mengatur mengenai warga negara dan penduduk, yang sekarang tidak lagi membedakan orang Indonesia asli dan yang tidak asli. Perbedaan tersebut hanya

menunjukkan latar belakang sejarah tetapi tidak untuk membedakan hak dan kewajiban secara diskriminatif.

5) Pasal 30 mengatur tugas pertahanan dan keamanan yang masing-masing dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terhadap ancaman dari luar maupun perpecahan di dalam negeri.

Bagaimana mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 juga menyangkut ketahanan nasional bangsa Indonesia. Menurut Sunardi, ketahanan nasional adalah ―kondisi dinamis suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala macam

ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam, secara langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, indentitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan pembangunan nasional‖ (Sunardi, 2004: 190—195).

Ketahanan nasional diperlukan agar Negara Indonesia sebagai Negara Kebangsaan dapat berlangsung. Namun ketahanan nasional merupakan salah satu saja dari sekurang-kurangnya tiga syarat berlangsungnya Negara Kebangsaan, yaitu kedaulatan, nasionalisme, dan ketahanan (Mahmud MD, 2009: 40—54).

Ancaman terhadap ketahanan nasional atau disintegrasi bangsa dapat berasal dari luar maupun dari dalam negeri Indonesia sendiri. Contoh ancaman dari luar ialah westernisasi atau ―pembaratan‖ yaitu masuknya nilai-nilai budaya Barat yang belum tentu sehat dan sesuai dengan budaya Indonesia, yang melanda masyarakat Indonesia, terutama kaum muda. Contoh ancaman dari dalam negeri ialah kesenjangan taraf hidup masyarakat yang masih

(19)

19 tinggi, korupsi yang merajalela, pertentangan antarkelompok, dan lemahnya penegakan

hukum.

c. Simbol-simbol/Lambang-lambang Persatuan Bangsa

Di samping berbagai istilah yang dikenakan kepada diri manusia, seperti manusia sebagai insan akali dan makhluk sosial, manusia juga disebut manusia budaya yang dengan kegiatan akalnya dapat mengubah dan bahkan menciptakan realitas dengan menggunakan sistem perlambangan, misalnya bahasa atau lambang-lambang tertentu lainnya. Artinya, dalam kehidupan sebagai manusia kita tidak terlepas dari simbol-simbol atau lambang-lambang. Umpamanya, Universitas Indonesia menggunakan makara sebagai lambang yang mempunyai makna khusus di samping sebagai salah satu identitas sebagai suatu perguruan tinggi. Demikian pula dalam bernegara, rasa keterikatan, solidaritas dan identitas anggota masyarakatnya dijaga sebagai satu kesatuan bangsa dan negara dengan menggunakan simbol-simbol atau lambang-lambang persatuan.

Beberapa lambang persatuan itu adalah bendera merah putih, bahasa nasional, lambang negara, dan lagu kebangsaan ―Indonesia Raya‖. Penggunaan lambang-lambang persatuan negara itu diatur dalam UUD 1945: Pasal 35 (mengenai Bendera Merah Putih), Pasal 36 (mengenai Bahasa Indonesia), Pasal 36A (mengenai lambang negara Garuda Pancasila), dan Pasal 36B (mengenai lagu kebangsaan ―Indonesia Raya‖) dan dalam UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Dalam UU Nomor 24 Tahun 2009, dikemukakan bahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lambang-lambang tersebut merupakan manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa, kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.4

4 UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan

(20)

20

d. Kebudayaan Nasional

Pluralitas bangsa Indonesia bukan hanya keanekaan suku bangsanya saja, melainkan juga keragaman agama, pelapisan sosial, dan kelompok yang melahirkan kebudayaan yang beragam pula. Dalam kebudayaan yang beragam itu tentu dapat muncul loyalitas terhadap suku bangsa atau kelompok, yang dalam skala tertentu dapat menimbulkan primordalisme, entnosentrisme, dan sikap stereotip etnik terhadap suku bangsa atau kelompok lainnya. Oleh karena itu, untuk menjaga keutuhan persatuan bangsa dalam Negara Republik Indonesia, kebudayaan nasional mempunyai arti penting sebagai perekat rasa persatuan sebagai satu bangsa dan negara.

(1) Konsep Kebudayaan

Secara konseptual, kebudayaan mempunyai arti yang beragam. Keberadaan kebudayaan tidak terlepas dari adanya suatu masyarakat karena masyarakat merupakan pendukung dari kebudayaan, dan kebudayaan mengatur bagaimana masyarakatnya itu berperilaku. Dengan kata lain, kebudayaan ada dalam berbagai aspek kehidupan yang meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan, sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas pada suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu, yang tercermin dalam perilakunya. Semua itu adalah milik bersama para anggota masyarakat sehingga setiap anggota masyarakat diharapkan melakukan perbuatan yang sesuai dengan kebudayaannya itu. Kebudayaan tidak diwariskan secara biologis melainkan harus dipelajari, terutama melalui sarana bahasa.

Unsur-unsur yang ada pada kebudayaan berfungsi sebagai suatu keseluruhan yang terpadu atau terintegrasi. Kebudayaan ada untuk menangani masalah dan persoalan yang dihadapi suatu masyarakat. Oleh karena itu kelestarian kebudayaan harus dipelihara sehingga kebudayaan dapat mengatur anggota-anggota masyarakatnya untuk dapat hidup secara teratur. Dalam hal ini kebudayaan harus dimiliki bersama dan digunakan untuk menemukan keseimbangan antara kepentingan pribadi masing-masing orang dan kebutuhan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Akhirnya, kebudayaan harus memiliki kemampuan untuk berubah agar dapat menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan baru. (Haviland, 1995: 331—342.)

Konsep kebudayaan muncul dan dikembangkan oleh para ahli antropologi menjelang akhir abad XIX. Salah satu di antaranya ialah Sir Edward Burnett Tylor, seorang antropolog Inggris, yang pada tahun 1871 mendefinisikan kebudayaan sebagai:

(21)

21 ―kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat atau dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri atas segala sesuatu yang dipelajari oleh pola-pola perilaku yang normatif, artinya mencakup segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak‖ (Ranjabar, 2006: 21).

Pada tahun 1950-an, A. L. Kroeber dan Clyde Kluckhohn, mendefinisikan kebudayaan modern sebagai ―seperangkat peraturan standar yang—apabila dipenuhi oleh para anggota masyarakat—menghasilkan perilaku yang dianggap layak dan dapat diterima oleh para anggotanya.

R. Radcliffe-Brown (1881-1955), mendefinisikan kebudayaan sebagai ―seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat yang kalau— dilaksanakan oleh para anggotanya—melahirkan perilaku yang oleh mereka dipandang layak dan dapat diterima.‖ Masyarakat di sini didefinisikan sebagai ―sekelompok orang yang mendiami suatu daerah tertentu dan yang bersama-sama memiliki tradisi kebudayaan yang sama‖(Haviland, 1995: 331—342).

Koentjaraningrat (2002: 179—185) mendefinisikan kebudayaan yang didasarkan pada pemikiran mengenai sistem tindakan manusia untuk memenuhi keperluan hidupnya. Sistem tindakan itu tidak terkandung di dalam gen manusia, sehingga harus dibiasakan melalui proses belajar, sebagai aspek yang penting, selama manusia hidup. Oleh karena itu kebudayaan didefinisikan sebagai ―keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.‖ Definisi tersebut sejalan dengan yang dikemukakan E. B. Tylor tersebut di atas.

Secara etimologis kata kebudayaan berasal dari kata buddhaya (bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti ‗budi‘ atau ‗akal‘ dalam bahasa Sansekerta). Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Istilah Inggris culture berasal dari kata Latin colere yang berarti ‗mengolah‘ atau ‗mengerjakan‘, terutama mengolah tanah atau ‗bertani‘. Istilah ini berkembang artinya sebagai ―segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam.‖

Definisi kebudayaan lain adalah ―sebagai pedoman bagi kehidupan manusia yang secara bersama dimiliki oleh para warga sebuah masyarakat.‖ Dapat dikatakan pula bahwa ―kebudayaan adalah sebuah pedoman menyeluruh bagi kehidupan sebuah masyarakat dan para warganya.‖ Definisi kebudayaan tersebut antara lain dikemukakan oleh Malinowski (1961) dalam karya-karyanya mengenai kebutuhan-kebutuhan manusia dan pemenuhannya

(22)

22 melalui fungsi dan pola-pola kebudayaan. Kluckhon (1944) melihat kebudayaan sebagai blue

print bagi kehidupan manusia. Dalam pada itu Geertz (1973) melihat kebudayaan sebagai

sistem-sistem makna.

Dalam perspektif tersebut kebudayaan terdiri atas konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode yang diyakini kebenarannya oleh warga masyarakat pemiliknya. Kebudayaan yang demikian merupakan sistem-sistem acuan yang ada pada berbagai tingkat pengetahuan dan kesadaran, dan bukan hanya pada tingkat gejala sebagai tingkat kelakuan atau hasil kelakuan sebagaimana didefinisikan oleh Koentjaraningrat.

Sebagai sistem-sistem acuan, konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode dipilih secara selektif, mana yang paling sesuai sebagai acuan bagi para pemilik kebudayaan dalam menghadapi lingkungannya. Pilihan selektif itu digunakan untuk menginterpretasi dan memanfaatkan lingkungan beserta isinya dalam bentuk tindakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagai manusia. Tindakan itu dapat berbentuk dorongan atau motivasi bagi

pemenuhan kebutuhan maupun sebagai tanggapan-tanggapan (response) atas rangsangan (stimuli) dari lingkungannya.

Kebudayaan dalam kehidupan manusia adalah fungsional dalam struktur kegiatan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sebagai manusia. Kebudayaan merupakan acuan bagi manusia dalam berhubungan/berinteraksi dan mengidentifikasi berbagai gejala sebagai kategori-kategori yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya tersebut (Koentjaraningrat, 2002: 179—185).

(2) Gagasan Kebudayaan Nasional

Mengenai Kebudayaan Nasional (dalam konteks Indonesia), beberapa cendekiawan mempunyai gagasan berbeda, yang dapat dikelompokkan dalam dua golongan. Golongan yang pertama menyatakan bahwa suatu pengembangan kebudayaan nasional Indonesia berlandaskan pada unsur-unsur kebudayaan suku-suku bangsa di daerah. Salah satu tokohnya adalah Ki Hajar Dewantara, yang mengemukakan bahwa kebudayaan nasional harus unik, berkepribadian khas, dan bermutu tinggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan setiap warga bangsa Indonesia akan perasaan bangga terhadap bangsanya sendiri dan menjadi identitas nasionalnya. Disarankan agar unsur-unsur puncak (dalam arti ‗yang paling‘) dari kebudayaan suku-suku bangsa di daerah dan unsur-unsur warisan nenek moyang dijadikan sebagai isi kebudayaan nasional.

(23)

23 Golongan yang kedua menyarankan suatu pengembangan kebudayaan nasional

Indonesia baru, yang lepas dari kebudayaan suku-suku bangsa di daerah dan berorientasi ke peradaban dunia masa kini. Salah satu tokoh golongan kedua ini adalah Sutan Takdir

Alisjahbana. Gagasannya adalah kebudayaan nasional Indonesia harus dipahami setiap warga Indonesia. Oleh karena itu unsur-unsur dari kebudayaan nasional tidak dapat diambil dari kebudayaan suku-suku bangsa di daerah atau dari warisan nenek-moyang. Kebudayaan nasional Indonesia sebaiknya diciptakan baru karena kebudayaan nasional Indonesia harus mengacu ke masa depan, mementingkan sains dan teknologi.

Secara teoretis, suatu kebudayaan nasional mempunyai dua fungsi yaitu 1)

memperkuat rasa identitas nasional warga suatu bangsa atau negara dan 2) memperluas rasa solidaritas nasional warga suatu bangsa atau negara. Berdasarkan dua fungsi itu, sebenarnya gagasan dari dua golongan cendekiawan di atas saling melengkapi untuk memenuhi kedua fungsi tadi. Gagasan kebudayaan nasional dari golongan pertama memenuhi fungsi pertama, dan gagasan kebudayaan nasional dari golongan kedua memenuhi fungsi kedua.

Contoh kebudayaan nasional yang berasal dari puncak-puncak kebudayaan daerah antara lain adalah Borobudur, batik tradisional, tari-tarian tradisional, angklung, gamelan, karapan sapi, dan lain-lain, yang merupakan unsur kebudayaan warisan nenek-moyang. Menurut ahli psikologi E. H. Erikson, rasa identitas diri dapat dikuatkan apabila individu yang bersangkutan dapat mengacu pada suatu karya unik yang dapat dibanggakan. Oleh karena itu, identitas nasional dapat dikuatkan oleh hasil-hasil karya unik yang dapat dibanggakan

sebagai hasil karya bangsanya (Koentjaraningrat, 1987a).

Contoh unsur-unsur kebudayaan yang dapat memperkuat rasa solidaritas atau yang dapat memenuhi fungsi kedua tadi antara lain adalah bahasa nasional (bahasa Indonesia), seni drama masa kini, seni film, dan sistem hukum nasional. Unsur-unsur ini harus dapat

mengintensifkan komunikasi antar-suku bangsa yang berbeda-beda dan dapat dipahami maknanya sehingga dapat menumbuhkan toleransi dan solidaritas.

Sebagian besar unsur-unsur kebudayaan nasional tersebut perlu terus dilestarikan dan dikembangkan. Yang perlu diperhatikan adalah upaya pengembangan kebudayaan nasional tidak hanya menyangkut pengembangan unsur-unsur bagian kebudayaan saja, tetapi juga sistem nilai budayanya. Sistem nilai budaya merupakan inti dari suatu kebudayaan (yang dianggap bernilai tinggi) yang menjiwai semua pedoman yang mengatur tingkah laku warga kebudayaan yang bersangkutan. Pedoman tingkah laku itu adalah adat-istiadat, sistem norma,

(24)

24 aturan etika, aturan moral, aturan sopan-santun, pandangan hidup, dan lain-lain. Menurut C. Kluckhohn, masalah-masalah dalam kehidupan manusia yang dinilai tinggi dan universal ada di setiap kebudayaan di dunia itu menyangkut setidaknya lima hal, yaitu 1) masalah makna atau hakekat hidup manusia, 2) masalah makna pekerjaan/karya dan amal perbuatan manusia, 3) masalah persepsi manusia terhadap waktu, 4) masalah hubungan manusia dengan alam sekitarnya, dan 5) masalah manusia dengan manusia (Koentjaraningrat, 1987b).

Salah satu dari kebudayaan nasional kita yang perlu terus dikembangkan adalah hukum nasional. Pembentukan hukum nasional itu harus ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yaitu membangun segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Dalam pembangunan hukum, Pancasila merupakan dasar pencapaian tujuan negara yang melahirkan kaidah-kaidah penuntun hukum. Kaidah-kaidah bagi hukum yang dibuat di Indonesia haruslah 1) bertujuan membangun dan menjamin integrasi bangsa Indonesia, baik secara teritorial maupun secara ideologis; 2) didasarkan pada demokrasi dan nomokrasi sekaligus; 3) ditujukan untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; dan 4) didasarkan pada toleransi beragama yang berkeadaban (Mahfud MD, 2009: 52—54).

4. Jati Diri Bangsa

Belakangan ini kita sering melihat gaya hidup masayarakat kita, khususnya kaum muda, seperti dalam berbahasa, bertingkah laku maupun berbusana (misalnya kebarat-baratan) yang tidak sesuai dengan nilai budaya bangsa Indonesia. Hal ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan jati dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Di sini terjadi suatu pemahaman keliru antara menjadi modern dan menjadi seperti orang Barat, atau antara mordernisasi dengan westernisasi. Menurut Wilbert Moore, modernisasi adalah penggabungan diri pada masyarakat/bangsa yang telah

mengakumulasikan berbagai hasil dari telaah ilmiah dan menerapkannya, serta menggunakan hasil temuan ilmiah dan teknologi tersebut untuk memecahkan masalah-masalah yang

dihadapi. Hanya untuk masalah-masalah kebendaan dan fisik teori Moore dapat digunakan. Haviland mengkritik konsep modernisasi karena, menurutnya, konsep itu bersudut pandang etnosentris. Artinya, konsep modernisasi ini terbentuk berdasarkan cara pandang satu

(25)

25 kelompok masyarakat yang melihat bahwa kebudayaan yang dimilikinya lebih superior

daripada kebudayaan kelompok masyarakat lainnya (Haviland, 2000: 755).

Dewasa ini kita juga sering mendengar berita-berita di televisi atau media lainnya mengenai banyak peristiwa yang dapat mengarah kepada kondisi disintegrasi bangsa. Peristiwa-peristiwa itu antara lain ialah konflik/perkelahian antara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lain, atau antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, dan perkelahian massal atau tawuran banyak terjadi di kalangan murid sekolah. Hal ini

menunjukkan, antara lain: lemahnya toleransi terhadap perbedaan pendapat; munculnya elemen-elemen separatisme dan kedaerahan/primordialisme; penafsiran keliru terhadap otonomi daerah sebagai federalisme; pendekatan fragmentatif dalam menghadapi persoalan-persoalan bangsa; ketiadaan atau kelangkaan tokoh panutan; lemahnya perasaan gotong-royong, solidaritas, dan kemitraan; dan ketidaksepahaman dalam menyikapi proses globalisasi.5 Semua itu merupakan masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia.

Masalah-masalah tersebut berkaitan dengan rasa kebangsaan anggota masyarakat sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang juga berhubungan dengan jati diri bangsa. Istilah jati diri dapat diartikan sebagai ciri-ciri, gambaran, atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda. Jati diri pun diartikan sebagai identitas.6 Jadi jati diri bangsa Indonesia adalah ciri-ciri atau identitas kita sebagai bangsa Indonesia.

Telaah terhadap jati diri bangsa tidak terlepas dari kondisi bangsa Indonesia yang berasal dari ikatan-ikatan primordial. Pluralitas bangsa Indonesia adalah suatu kenyataan. Oleh karena itu perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa kebhinekaan bangsa Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus diterima sebagai kekayaan bangsa Indonesia. Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia, mulai dari pembentukan kesadaran berbangsa, kemudian pembentukan negara, sampai dengan pengisian kemerdekaan Indonesia sebagai negara bangsa yang berdaulat, perlu menjadi bahan refleksi kita dalam memandang keberadaan kita sekarang. Persatuan bangsa perlu terus diupayakan keutuhannya dengan menyadari jati diri bangsa kita sebagai bangsa Indonesia.

5

Muladi, ―Jati Diri Bangsa‖, makalah pada Diskusi Panel Revitalisasi Jati Diri Bangsa yang diselenggarakan oleh Biro Organisasi dan Humas, Deputi Mensesneg Bidang Sumber Daya Manusia bersama Biro Kewilayahan dan Wawasan, Deputi Seswapres Bidang Politik, Kantor Sekretariat Negara RI, Jakarta, 14 Juni 2006.

6

(26)

26 Mengingat bangsa Indonesia berasal dari ikatan-ikatan primordial, maka jati diri bangsa Indonesia diarahkan pada nilai-nilai yang menunjukkan diri kita sejatinya sebagai bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu mengikat bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan bangsa, yang terumuskan dalam Pancasila dan UUD 1945. Oleh sebab itulah maka acuan bagi jati diri bangsa Indonesia sebagai pedoman tertinggi bangsa atau ideologi dan hukum dasar dalam bernegara adalah Pancasila dan UUD 1945, yang harus dilaksanakan secara benar dan konsisten.

Di samping itu bentuk dari jati diri bangsa Indonesia dapat dikenali dengan mengacu kepada kebudayaan nasional, mengingat bangsa Indonesia terdiri dari ikatan-ikatan primordial atau dari berbagai suku bangsa. Kebudayaan nasional dimaksud adalah yang berlandaskan pada unsur-unsur kebudayaan suku-suku bangsa di daerah (puncak-puncak kebudayaan daerah) yang dapat menimbulkan perasaan bangga terhadap bangsa sendiri dan berfungsi untuk memperkuat rasa identitas nasional warga bangsa atau negara.7 Selain itu jati diri bangsa juga harus ditopang oleh rasa solidaritas bersama antar-suku bangsa atau antar-ikatan primordial yang ada di Indonesia. Hal itu dapat dijalankan melalui fungsi kedua kebudayaan yaitu memperluas rasa solidaritas nasional warga bangsa atau negara. Kebudayaan nasional itu adalah yang dapat dipahami oleh setiap warga Indonesia, diciptakan baru dan mengacu ke masa depan.8

Dalam perjalanan bangsa Indonesia selanjutnya, kesadaran akan jati diri bangsa haruslah terus diperjuangkan, mengingat keberadaan bangsa Indonesia bukanlah di ruang hampa. Arus globalisasi dengan kemajuan transportasi dan telekomunikasi menjadi salah satu ancaman dari luar yang perlu disadari dan dihadapi dengan bijaksana oleh segenap bangsa Indonesia.

Pengalaman sejarah merupakan ―guru‖ yang baik bagi kita sebagai bangsa. Perlu diresapi bagaimana semangat kebangsaan itu tumbuh di masa lalu. Semangat kebangsaan sebagai bangsa yang satu itu tumbuh karena perasaan senasib sepenanggungan sebagai bangsa yang terjajah. Semangat itu diwujudkan dengan lahirnya Kebangkitan Nasional tahun 1908 dan Sumpah Pemuda pada tahun 1928.

7 Lihat uraian di atas mengenai golongan pertama yang mengemukakan mengenai kebudayaan nasional;

contohnya ialah batik, tari-tarian, dan masakan tradisional Indonesia.

8 Lihat uraian di atas mengenai golongan kedua yang mengemukakan mengenai kebudayaan nasional;

(27)

27 Pada saat ini ketika kita sudah merdeka, maka pemahaman musuh bersama itu harus digantikan dengan masalah-masalah yang melanda bangsa Indonesia yang harus kita hadapi secara bersama-sama. Perasaan sebagai bagian dari negara kesatuan harus dikembangkan, antara lain melalui pendekatan kebudayaan dan pengembangan kebudayaan nasional.

Pendekatan kebudayaan sebagai media untuk dapat saling memahami antar-suku bangsa, dan pengembangan kebudayaan nasional sebagai upaya untuk meningkatkan rasa soliaritas dan menumbuhkan rasa bangga sebagai bangsa Indonesia.

Di samping itu, dalam pembentukan jati diri bangsa juga diperlukan teladan yang baik dari pemimpin-pemimpin bangsa yang tangguh, baik yang sudah tiada (pahlawan bangsa) maupun yang sekarang berkuasa atau menduduki jabatan. Dengan demikian diharapkan berbagai upaya yang dilakukan akan dapat membentuk jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat.

(28)

28

BAB II

NEGARA INDONESIA

1. Hakikat Negara

Menurut Ir. Soekarno di hadapan Sidang BPUPKI, ―Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan‖.9

Oleh karena itu, setelah membangsa orang menyatakan tempat tinggalnya sebagai negara. Dalam perkembangan selanjutnya mereka membentuk wadah organisasi yang akan melindungi diri dan tempat tinggalnya. Organisasi itu disebut negara (state). Dalam pengertian ini, negara meliputi wilayah, rakyat, dan pemerintah yang bersifat konstitutif dan telah dikukuhkan melalui Konvensi Montevideo.

Ketiga syarat negara itu dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut. Wilayah yang dimaksud adalah wilayah yang telah dinyatakan sebagai milik bangsa, dan batas-batasnya ditentukan melalui perjanjian internasional. Rakyat adalah rakyat yang mendiami wilayah tersebut, yang dapat terdiri atas berbagai golongan sosial, serta harus patuh pada hukum dan pemerintah yang sah. Pemerintah adalah pemerintah yang berhak mengatur dan berwenang merumuskan serta melaksanakan peraturan perundang-undangan yang mengikat warganya.

Kepada ketiga syarat tersebut dapat pula ditambahkan adanya pengakuan kedaulatan dari negara lain (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, 2001: 36) dan tujuan negara yang tersurat/tersirat dalam konstitusi. Kedaulatan merupakan ciri yang membedakan organisasi pemerintah dengan organisasi sosial. Agar mampu menghadapi musuh, negara berhak menuntut kesetiaan para warganya. Rumusan tujuan nasional dalam konstitusi merupakan

9

Sekretariat Negara Republik Indonesia, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Jakarta, 1992), hlm. 66.

Setelah membaca bab ini, mahasiswa mampu memahami konsep

negara, ideologi, dan konstitusi, serta mampu membangun pikiran yang

terbuka dan kritis terhadap masalah negara dalam arti wilayah, yang

terkait dengan konsep geostrategi dan geopolitik/ wawasan nusantara,

maupun dalam arti institusi/organisasi njegara, yang terkait dengan

sistem pemerintahannya.

(29)

29 pedoman untuk mencapai tujuan nasional dalam bernegara. Tujuan nasional bangsa Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 (alinea IV) yang antara lain menyatakan ―Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan kesejahteraan sosial.‖

Menurut Logemann, negara adalah suatu organisasi masyarakat yang bertujuan, dengan kekuasaannya, mengatur serta menyelenggarakan sesuatu masyarakat. Sementara menurut Max Weber, negara adalah suatu struktur masyarakat yang mempunyai monopoli dalam menggunakan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah. Dengan demikian negara merupakan alat masyarakat untuk mengatur hubungan manusia dengan masyarakat. Dalam mengatur hubungan itu, ada legitimasi bagi negara untuk memaksa dengan

kekuasaannya yang sah terhadap semua kolektiva dalam masyarakat.

Di atas telah dikemukakan bahwa negara tidak terlepas dari konsep kedaulatan. Yang dimaksud dengan kedaulatan adalah konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam suatu

negara. Menurut Jack H. Nagel, dalam setiap analisis mengenai konsep kekuasaan ada dua hal penting yang terkait yaitu lingkup kekuasaan (scope of power) dan jangkauan kekuasaan (domain of power). Lingkup kedaulatan adalah gagasan kedaulatan sebagai konsep mengenai kekuasaan tertinggi yang meliputi proses pengambilan keputusan, misalnya seberapa besar kekuatan keputusan-keputusan yang ditetapkan itu, baik di lapangan legislatif maupun

eksekutif. Jangkauan kekuasaan meliputi siapa yang menguasai dan apa yang dikuasai, namun titik beratnya ada pada apa yang dikuasai.

Kedaulatan pada prinsipnya dapat dipegang oleh seseorang, sekelompok orang, sesuatu badan, atau sekelompok badan yang melakukan legislasi dan administrasi fungsi-fungsi pemerintahan. Dalam ilmu hukum dikenal lima teori atau ajaran mengenai siapa yang berdaulat, yaitu teori kedaulatan Tuhan, teori kedaulatan raja, teori kedaulatan negara, teori kedaulatan hukum, dan teori kedaulatan rakyat.

Ajaran kedaulatan Tuhan menganggap Tuhan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara. Dalam praktiknya, kedaulatan Tuhan ini dapat menjelma dalam hukum yang harus dipatuhi oleh kepala negara atau dapat pula menjelma dalam kekuasaan raja sebagai kepala negara yang mengklaim wewenang untuk menetapkan hukum atas nama Tuhan.

(30)

30 Ajaran kedaulatan raja beranggapan bahwa rajalah yang memegang kekuasaan

tertinggi dalam suatu negara. Pandangan ini muncul terutama setelah periode sekularisasi negara dan hukum di Eropa.

Ajaran kedaulatan negara merupakan reaksi terhadap kesewenangan raja yang muncul bersamaan dengan timbulnya konsep negara bangsa dalam pengalaman sejarah di Eropa. Masing-masing kerajaan di Eropa melepaskan diri dari ikatan negara dunia yang diperintah oleh raja, yang sekaligus memegang kekuasaan sebagai Kepala Gereja. Ada tiga sifat

kedaulatan yang harus dicermati oleh penyelenggara negara yaitu 1) memaksa, 2) monopoli, dan 3) mencakup semua. Memaksa berarti bahwa negara memiliki kekuasaan untuk

menggunakan kekerasan fisik secara sah (legal) agar dapat tertib dan aman. Monopoli berarti bahwa negara mempunyai hak dan kuasa tunggal menetapkan tujuan bersama dari

masyarakat. Mencakup semua berarti bahwa semua peraturan perundang-undangan mengenai semua orang—warga atau penduduknya. Dari ketiga sifat inilah timbul konsep negara

hukum.

Ajaran kedaulatan hukum menganggap bahwa sesungguhnya negara tidaklah memegang kedaulatan. Sumber kekuasaan tertinggi adalah hukum dan setiap kepala negara harus tunduk kepada hukum.

Ajaran kedaulatan rakyat meyakini bahwa yang sesungguhnya berdaulat dalam setiap negara adalah rakyat. Kehendak rakyat merupakan satu-satunya sumber kekuasaan bagi setiap pemerintah.

Sebagai teori, tidak satu pun dari kelima ajaran itu yang dapat disebut paling modern. Akar perkembangan gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dari tradisi Romawi kuno, sedangkan gagasan kedaulatan hukum tumbuh dari tradisi Yunani kuno. Dalam kenyataan saat ini, hampir semua negara modern menganut asas kedaulatan rakyat. Menurut penelitian Amos J. Peaslee tahun 1950, 90% negara di dunia dengan tegas mencantumkan dalam konstitusinya masing-masing bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, dan kekuasaan pemerintah

bersumber dari kehendak rakyat. Demikian pula halnya dengan di Indonesia. Menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Konsep kedaulatan rakyat adalah prinsip dasar yang kemudian dikenal sebagai konsep demokrasi. Secara formal, demokrasi menjadi sesuatu yang diidealkan di tiap negara. Namun,

(31)

31 implementasinya di satu negara berbeda dengan di negara lain. Ini adalah persoalan yang dihadapi pelaksanaan dalam demokrasi di zaman sekarang.

2. Ideologi dan Konstitusi Negara

Agar kehidupan berbangsa dan bernegara tetap serasi, selaras, dan seimbang,

diperlukan suatu pedoman hidup. Pedoman itu adalah ideologi bangsa dan negara yang digali dari budaya bangsa. Menurut Kaelan, makna ideologi bagi negara adalah 1) mencerminkan cara berfikir masyarakat, bangsa dan negara, serta membentuk masyarakat menuju cita-cita; 2) merupakan sumber motivasi dan semangat bangsa; dan 3) bersifat terbuka, reformatif dan dinamis. Ini semua harus tercermin dalam berbagai bidang dan kebijakan program-program negara. Ideologi negara bagi bangsa Indonesia adalah Pancasila yang ditetapkan di dalam konstitusi sebagaimana tersurat di dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, penjabaran peraturan perundang-undangan dan aspek normatif lainnya, termasuk penyusunan doktrin bangsa, harus mengacu kepada Pancasila.

Persayaratan lain suatu negara modern adalah adanya konstitusi. Kata konstitusi (dari bahasa Perancis constituir yang berarti ‗membentuk‘) diartikan sebagai pengaturan dasar pembentukan negara. Orang Belanda menyebutnya grondwet yang mengandung pengertian aturan dasar atau fundamental law. Yang dimaksud dengan aturan dasar adalah sejumlah aturan dasar dan ketentuan yang dibentuk untuk mengatur fungsi dan struktur lembaga negara dan lembaga pemerintah, termasuk kerja sama antara rakyat (masyarakat) dan negara dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsitusi adalah dokumen tertulis formal yang merupakan 1) hasil perjuangan politik bangsa di masa lampau; 2) tingkat tertinggi

perkembangan ketatanegaraan bangsa; 3) pandangan pendiri/tokoh bangsa yang hendak diwujudkan untuk masa sekarang dan yang akan datang; dan 4) suatu keinginan,

perkembangan ketatanegaraan bangsa.

Menurut Budiardjo (2008: 17), dalam negara demokrasi konstitusional, konstitusi (UUD) berfungsi khas membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Konstitusi Indonesia dimungkinkan untuk diubah melalui 1) sidang legislatif dengan tambahan syarat; 2) referendum/plebisit; 3) persetujuan ¾ negara bagian; 4) musyawarah khusus (convention). Menurut UUD 1945, perubahan UUD dimungkinkan, bila sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MPR hadir dan sekurang kurangnya 2/3 dari anggota yang hadir itu setuju.

Gambar

Gambar 3.1.  Contoh poster film yang dibuat untuk menunjukkan jati diri bangsa.
Gambar 3.2. Wilayah Indonesia
Gambar 3.3.  Indonesia adalah warga dunia.

Referensi

Dokumen terkait

8 Diisi dengan keterangan yang dianggap perlu terkait barang yang bersangkutan, misalnya: penyebab rusak, hilang dan sebagainya. di unduh dari

Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum yang mengatur tingkah laku manusia agar dapat tertib dalam berhubungan dengan sesamanya. UU 18 tahun 2013

8 Diisi dengan keterangan yang dianggap perlu terkait barang yang bersangkutan, misalnya: penyebab rusak, hilang dan atau keterangan

Sesuai dengan kompetensi inti (KI) yang telah ditentukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemdikbud RI) , KI 1 dan KI 2 berkaitan

Kode etik pegawai Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat adalah pedoman sikap. tingkah laku, dan perbuatan yang mengikat Pegawai dalam melaksanakan tugas

tingkah laku prososial adalah perilaku positif yang dilakukan. seseorang atau sekelompok orang dengan sukarela

A. Aspek Hukum Bagi Kasus Pembunuhan oleh Anak di Bawah Umur Hukum tidak lepas dari kehidupan manusia karena hukum merupakan aturan untuk mengatur tingkah laku manusia

Budaya organisasi juga diartikan seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi