• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Operasional dan Kondisi Keuangan 1. Ekonomi Indonesia

SELURUH KEWAJIBAN PERSEROAN PER TANGGAL 31 DESEMBER 2010 TELAH DIUNGKAPKAN SELURUHNYA DALAM PROSPEKTUS INI

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Operasional dan Kondisi Keuangan 1. Ekonomi Indonesia

Analisis dan pembahasan yang disajikan dibawah ini disusun berdasarkan, serta harus dibaca bersama-sama dengan mengacu pada, laporan keuangan Perseroan yang telah diaudit untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2010, 2009 dan 2008, yang tercantum dalam Prospektus ini dan telah diaudit oleh KAP Purwantono, Suherman & Surja (dahulu Purwantono, Sarwoko & Sandjaja) (the Indonesian member firm of Ernst & Young Global Limited), berdasarkan standar audit yang ditetapkan oleh IAPI, dengan pendapat wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelasan mengenai Perseroan telah menerapkan PSAK No. 50 (Revisi 2006) “Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan” dan PSAK No. 55 (Revisi 2006) “Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran” efektif 1 Januari 2010 yang dilakukan secara prospektif.

A. Tinjauan Umum

Perseroan merupakan pemberi kredit perumahan terbesar di Indonesia. Dari segi jumlah aset maupun jumlah kredit, Perseroan merupakan bank terbesar ke-10 di Indonesia (berdasarkan data yang diterbitkan oleh Bank Indonesia per 31 Desember 2010). Kredit perumahan yang dimiliki Perseroan adalah sebesar Rp45.161.358 juta per tanggal 31 Desember 2010, mewakili sekitar 26,62% dari jumlah seluruh kredit perumahan di Indonesia (berdasarkan data yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan diolah oleh Perseroan). Per tanggal 31 Maret 2011, Perseroan memiliki 63 Kantor Cabang, 29 Kantor Cabang dan Kantor Cabang Pembantu Syariah, 214 Kantor Cabang Pembantu, 7 Payment Point, 229 Kantor Kas, 207 Kantor Layanan Syariah dan 2.655 Kantor Layanan Setara Kantor Kas (KLSKK) Kantor Pos dan 745 ATM.

Per tanggal 31 Desember 2010, total aset Perseroan sebesar Rp68.385.539 juta, total kredit dan piutang/pembiayaan syariah bersih Perseroan sebesar Rp50.668.815 juta dan total simpanan dari nasabah sebesar Rp47.546.047 juta.

Hasil kinerja operasi dan perbandingan hasil kinerja keuangan selama periode 2008 hingga 2010 telah dan akan tetap dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk kondisi ekonomi Indonesia, industri perumahan di Indonesia, kemampuan Perseroan untuk mencari pendanaan dengan harga menarik, perubahan kebijakan dan peraturan pemerintah mengenai sektor perbankan, dampak rekapitalisasi Perseroan dan fluktuasi suku bunga dan nilai tukar mata uang asing.

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Operasional dan Kondisi Keuangan 1. Ekonomi Indonesia

Kondisi keuangan dan hasil kinerja operasional Perseroan telah dan akan terus terpengaruh secara signifikan oleh kondisi keuangan dan ekonomi Indonesia.

Perkembangan Ekonomi Indonesia 2010

Perekonomian Indonesia di tahun 2010 tumbuh sebesar 6,2% didorong oleh pertumbuhan investasi dan pulihnya kinerja ekpor setelah terpuruk di tahun 2009. Secara umum, perkembangan perekonomian di Negara-negara maju yang masih belum stabil membawa keuntungan bagi Negara-negara emerging markets, termasuk Indonesia yang memiliki fundamental ekonomi dan kebijakan makro yang relative stabil.

Dampak yang paling dirasakan akibat volatilitas perekonomian Negara-negara maju adalah membanjirnya aliran dana asing ke Indonesia di tahun 2010. Kebijakan Bank Sentral Amerika (The Fed) yang memutuskan untuk melakukan quantitative easing dengan membeli obligasi pemerintah sebesar US$600 miliar sampai dengan bulan Juni 2011 merupakan salah satu pemicu derasnya aliran modal ke Indonesia.

Minat investasi di Indonesia yang cukup besar juga didukung oleh kondisi sosial politik serta ekonomi makro yang relatif stabil. Berdasarkan data World Economic Forum (WEF), peringkat daya saing Indonesia bahkan meningkat ke 44 dari sebelumnya dperingkat 54 seiring dengan membaiknya iklim investasi di Indonesia. Namun, patut dicatat bahwa peringkat daya saing Indonesia masih di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Brunei. Tantangan yang besar ke depan adalah implementasi pembangunan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Saat ini peringkat infrastruktur Indonesia masih rendah, yaitu di peringkat 82, jauh di bawah Singapura (5), Malaysia (30), Thailand (35), Russia (47), China (50), dan Brazil (62).

Pertumbuhan investasi langsung asing (FDI) di tahun 2010 meningkat sebesar 52% dibandingkan tahun 2009, sementara investasi asing dalam negeri (DDI) meningkat 60% di periode yang sama. Mayoritas investasi asing tersebut masuk ke industri makanan dan industri telekomunikasi dan komunikasi. Berdasarkan wilayah, DKI Jakarta dan Jawa Barat masih merupakan tujuan utama investasi asing di Indonesia.

Perkembangan ekonomi Indonesia yang pesat juga ditopang oleh kinerja ekspor yang tumbuh sebesar 35% di tahun 2010, menyiratkan pulihnya ekspor Indonesia setelah mengalami kontraksi sebesar 15% akibat krisis ekonomi global. Pertumbuhan eskpor yang pesat mendorong meningkatnya neraca perdagangan menjadi US$28 milyar di periode yang sama.

Di sektor keuangan, IHSG meningkat sangat pesat karena didorong oleh aliran modal portfolio ke Indonesia. Indeks per akhir 2010 telah mencapai 3.703 atau naik 46% dibandingkan posisi akhir tahun 2009. Sampai saat ini peningkatan IHSG merupakan yang tertinggi di dunia, jika dibandingkan dengan pasar modal Philippina dan Thailand yang menguat sebesar 38% dan 33%. Bahkan jika dibandingkan dengan indeks negara-negara BRIC (Brazil, Rusia, India, dan China), IHSG jauh lebih tinggi. Pasar modal Rusia yang menjadi pesaing utama tahun lalu, hanya tumbuh ytd sebesar 10% sedangkan China yang memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia masih terkontraksi sebesar 14%.

Aliran modal asing yang masuk mencapai sekitar dari Rp. 100 trilyun melalui pasar obligasi pemerintah dan kepemilikan di Sertifikat Bank Indonesia. Kepemilikan asing di obligasi pemerintah mencapai IDR196trilyun atau posisi tertinggi sepanjang sejarah. Saat ini kepemilikan asing tersebut telah mencapai sekitar 31% dari total outstanding obligasi pemerintah. Hal yang sama juga terjadi di sertifikat Bank Indonesia, kepemilikan asing telah meningkat menjadi IDR 55 trilyun di bulan Desember dibandingkan di akhir Desember 2009 yang mencapai IDR 44 triliun. Berbagai faktor menjadi penarik masuknya aliran modal portfolio asing ke Indonesia, seperti ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang membaik, ekpektasi meningkatnya rating Indonesia kembali ke investment grade, dan spread imbal hasil yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negar-negara sekawasan.

Saat ini, selisih imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun dengan US Treasury Bonds adalah sebesar 5%, tertinggi dibandingkan dengan negara lain sekawasan. Jika kurs IDR / USD mengalami penguatan sebesar 5% (seperti saat ini), maka total imbal hasil investasi di obligasi pemerintah Indonesia adalah sebesar 10%. Nilai tersebut sangat menguntungkan jika dibandingkan dengan berinvestasi di dalam negeri mereka sendiri.

Derasnya aliran modal menyebabkan penguatan nilai tukar Rupiah yang signifikan. Pada tahun 2010, nilai tukar rupiah menguat ke Rp.9.000 per USD dari sebelumnya Rp.9.400 di akhir tahun 2009.

Hal lain yang memberikan efek positif bagi perekonomian Indonesia adalah terjaganya indikator moneter, seperti tingkat inflasi dan tingkat bunga. Sepanjang tahun 2010, tingkat inflasi di Indonesia mengalami peningkatan sebagai akibat berfluktuasinya harga makanan mentah dan jadi seiring dengan terjadinya anomali cuaca. Meningkatnya inflasi domestik ke 6,96%, jauh lebih tinggi dibandingkan inflasi tahun 2009 yang sebesar 2,78%, lebih banyak disebabkan oleh gejolak harga bahan makanan pokok rakyat Indonesia, seperti beras dan cabai. Namun sebenarnya angka inflasi yang meningkat di tahun 2010 tersebut merupakan angka yang ’normal’ bagi Indonesia, mengingat rata-rata tingkat inflasi Indonesia selama lima tahun terakhir berada dikisaran 6% - 7%. Dengan tingkat inflasi yang kembali kepada kondisi normal, Bank Indonesia masih mempertahankan tingkat bunga acuannya di tingkat 6,5%, sejak bulan Juli 2009.

Perkembangan Ekonomi Indonesia 2011

Perkembangan ekonomi Indonesia di tahun 2011 hampir serupa dengan tahun 2010 dimana faktor eksternal sangat dominan mempengaruhi perekonomian Indonesia. Selama kuartal I ini, faktor yang dapat mewarnai perekonomian domestik adalah peningkatan harga komoditas global, terutama minyak, dan potensi melambatnya perekonomian Jepang karena gempa bumi yang diikuti tsunami dan potensi radiasi dari reaktor nuklir yang bocor.

Sampai dengan tahap ini, diyakini bahwa perekonomian Indonesia akan tetap baik di tahun 2011 ini. Ada beberapa faktor yang mendukung perekonomian yang lebih baik, yaitu: peningkatan kelas menengah Indonesia yang saat ini sudah mencapai 131 juta orang (data Bank Dunia); inflasi yang terkendali seiring dengan rencana pemerintah yang tidak akan menaikkan BBM bersubsidi; dan berlanjutnya investasi asing ke Indonesia.

Dalam laporan terbaru, Bank Dunia menghitung peningkatan kelas menengah di Indonesia menjadi 131 juta di tahun 2010 atau meningkat 50 juta jiwa dalam kurun waktu 2003 – 2010. Meningkatnya kelas menengah ini diharapkan akan makin memperkuat perekonomian domestik di tengah gejolak di perekonomian global saat ini. Gejolak harga minyak dunia tidak akan berdampak besar terhadap outlook inflasi di Indonesia sepanjang pemerintah tidak melakukan kebijakan pencabutan subsidi dengan menaikkan harga BBM bersubsidi. Namun, di sisi lain, anggaran untuk subsidi diperkirakan akan meningkat seiring dengan meningkatnya harga minyak dunia.

2. Pasar Perumahan Indonesia

Kondisi keuangan dan hasil operasional Perseroan secara signifikan dipengaruhi oleh kondisi pasar perumahan Indonesia. Secara historis, ketika ekonomi Indonesia bertumbuh kemampuan membeli dari masyarakat Indonesia juga meningkat, dengan demikian meningkatkan permintaan terhadap perumahan di Indonesia. Ketika permintaan perumahan naik, permintaan untuk kredit perumahan juga naik. Selama krisis Asia dan beberapa

tahun setelahnya, dan selama terjadi gejolak ekonomi global yang terjadi pada akhir tahun 2008 dan awal tahun 2009, tingkat pertumbuhan untuk permintaan perumahan semakin menurun, demikian juga permintaan atas kredit perumahan. Namun pada semester kedua tahun 2009, ekonomi telah menunjukkan perkembangan yang positif dan semakin membaik, permintaan perumahan naik sehingga mendorong pertumbuhan kredit perumahan pada periode tersebut.

Sektor properti Indonesia sejak akhir 2010 dibayangi oleh kenaikan tingkat suku bunga namun hampir seluruh perusahaan pengembang yang tercatat pada Bursa Efek Indonesia pada akhir tahun 2010 mengalami peningkatan pada penjualan dan pendapatan (sumber: riset PT CIMB Securities Indonesia). Melihat perkembangan ekonomi ditahun 2010 yang positif dan antisipasi perkembangan perekonomian yang masih baik ditahun 2011 maka pasar perumahan untuk tahun 2011 masih terlihat positif dan menjanjikan,

3. Kemampuan untuk Mendapatkan Pendanaan dengan Harga Menarik

Manajemen meyakini bahwa secara historis, pertumbuhan kredit telah dibatasi oleh kemampuan Perseroan untuk mendapatkan pendanaan dengan tingkat biaya yang bagus. Mengingat bagian penting dari portofolio kredit Perseroan adalah kredit perumahan, yang memiliki jangka waktu kredit yang panjang, Perseroan berupaya untuk mendapatkan pendanaan dengan jangka waktu yang lebih panjang, termasuk dengan deposito berjangka. Deposito berjangka dan deposito berjangka mudharabah mewakili 66,3% dari jumlah simpanan dari nasabah Perseroan per tanggal 31 Desember 2010, lebih kecil dibandingkan dengan 59,5% per tanggal 31 Desember 2009. Untuk menarik nasabah guna menyimpan deposito berjangka pada Perseroan, Perseroan merasa perlu untuk menawarkan kenaikan tingkat suku bunga, yang mana telah mempengaruhi marjin bunga Perseroan secara signifikan. Untuk tahun 2010, rata-rata biaya pendanaan untuk deposito berjangka Perseroan adalah sebesar 7,06%, dibandingkan dengan 7,89% untuk tahun 2009. Biaya pendanaan total simpanan Perseroan adalah sebesar 6,35% untuk tahun 2010 dan sebesar 6,79% untuk tahun 2009.

4. Kebijakan Pemerintah

Selain diatur berdasarkan kebijakan Perseroan juga dipengaruhi oleh kebijakan Bank Indonesia dan pada ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan Indonesia. Misalnya, pada Oktober 2008, maksimum tingkat jaminan deposito dinaikkan dari Rp100 juta menjadi Rp2 miliar untuk setiap akun deposito.

Untuk menjaga kestabilan moneter, bank-bank di Indonesia diwajibkan untuk memenuhi persyaratan minimum cadangan wajib. Cadangan ini ditempatkan pada akun yang dimiliki oleh bank pada Bank Indonesia. Sebelum Oktober 2008, bank-bank disyaratkan untuk menjaga cadangan wajib minimum sebesar 7% dari total deposit mereka. Cadangan wajib minimum terdiri atas cadangan utama berdasarkan total jumlah deposit yang dimiliki oleh bank dan cadangan sekunder berdasarkan rasio kredit dibandingkan dengan deposit (loan-to-deposit ratio). Pemerintah mendorong penyaluran kredit oleh bank dengan memperbolehkan bank dengan tingkat rasio

loan-to-deposit yang lebih tinggi untuk memelihara cadangan wajib sekunder yang lebih rendah. Berikut adalah batas

untuk cadangan wajib sekunder yang harus dijaga oleh bank:

Rasio loan-to-deposit Cadangan Wajib Sekunder

Lebih besar dari 90,0% Tidak ada

Lebih besar dari 75,0%, hingga dan termasuk 90,0% 1,0% Lebih besar dari 60,0%, hingga dan termasuk 75,0% 2,0% Lebih besar dari 50,0%, hingga dan termasuk 60,0% 3,0% Lebih besar dari 40,0%, hingga dan termasuk 50,0% 4,0%

Kurang dari 40,0% 5,0%

Untuk menambah likuiditas pada pasar kredit di Indonesia, sejak Oktober 2008 hingga Oktober 2009 Bank Indonesia mengurangi syarat cadangan wajib minimum menjadi 5,0% dari total deposit dalam bentuk tunai, dan menghapus persyaratan cadangan sekunder tambahan yang didasarkan pada rasio loan-to-deposit masing-masing bank.

Efektif pada Oktober 2009, Bank Indonesia meningkatkan persyaratan cadangan wajib dengan mensyaratkan semua bank untuk menjaga cadangan wajib minimum sebesar 7,5%, di mana 5,0% (GWM utama) dalam bentuk giro bank pada Bank Indonesia dan 2,5% (GWM sekunder) dalam bentuk giro bank pada Bank Indonesia atau efek-efek milik pemerintah seperti obligasi pemerintah dan Sertifikat Bank Indonesia (”SBI”).

Per tanggal 31 Desember 2006, 2007, 2008, 2009 dan 2010, rasio loan-to-deposit Perseroan adalah masing-masing sebesar 83,8%, 92,4%, 101,8%, 101,3% dan 108,4%, dan Perseroan mempertahankan Giro Wajib Minimum dalam Rupiah (tidak termasuk Syariah) sebesar masing-masing 8,3%, 7,4%, 5,2%, 7,0% dan 8,1% (GWM utama) serta GWM sekunder lebih dari 2,5%.

5. Rekapitalisasi

Akibat dari krisis ekonomi yang dimulai pada tahun 1997, seperti banyak bank-bank lainnya di Indonesia, sebagian besar dari pinjaman korporasi Perseroan menjadi macet dan rasio kecukupan modal Perseroan turun

tajam dibawah tingkat minimum 8,0%. Menindaklanjuti situasi ini, pemerintah memandang untuk merekapitalisasi sejumlah bank pemerintah, termasuk Perseroan, dibawah sebuah program rekapitalisasi. Program rekapitalisasi ini bertujuan untuk menghapuskan sebagian akumulasi kerugian dari bank-bank yang ikut dalam program tersebut, yaitu untuk memenuhi rasio kecukupan modal sebesar 4,0%.

Melalui program rekapitalisasi ini, pada tanggal 28 Mei 1999, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 1999 tentang penambahan penyertaan Pemerintah pada Perseroan dalam rangka Program Rekapitalisasi yang dijalankan oleh Pemerintah dengan nilai setinggi-tingginya sebesar Rp11.200.000 juta. Pada tanggal 21 Agustus 2000, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2000 tentang penambahan modal Pemerintah pada Perseroan dalam rangka Program Rekapitalisasi yang dijalankan oleh Pemerintah dengan nilai setinggi-tingginya sebesar Rp2.805.000 juta, sehingga tambahan penyertaan Pemerintah keseluruhan menjadi sebesar Rp14.005.000 juta. Penambahan modal tersebut dilakukan melalui penerbitan obligasi rekapitalisasi Pemerintah untuk Perseroan sebesar Rp9.803.500 juta dan Rp4.201.500 juta masing-masing pada tanggal 25 Juli 2000 dan 31 Oktober 2000.

Pada 28 Februari 2001, Direksi Perseroan dan Menteri Keuangan menandatangani Kontrak Manajemen yang berisikan antara lain bahwa jumlah kebutuhan rekapitalisasi akhir Perseroan adalah sebesar Rp13.843.540 juta dan kelebihan obligasi rekapitalisasi sebesar Rp161.460 juta harus dikembalikan kepada Pemerintah. Pada tanggal 5 November 2001, kelebihan obligasi rekapitalisasi tersebut dikembalikan kepada Pemerintah.

Sebagai tindak lanjut dari Kontrak Manajemen tersebut, Menteri Keuangan Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 40/PMK.06/2008 tanggal 29 Februari 2008 tentang penetapan nilai akhir kebutuhan rekapitalisasi Perseroan sebesar Rp13.843.540 juta dan pelaksanaan hak-hak pemerintah yang timbul sebagai akibat penambahan penyertaan modal negara Republik Indonesia ke dalam modal Perseroan dalam rangka program rekapitalisasi bank umum dengan mengkonversi menjadi 13.843.540 lembar saham yang diterbitkan oleh Perseroan dengan nominal Rp1.000.000 (Rupiah penuh) per lembar. Peraturan ini berdaya laku surut sejak tanggal 31 Mei 2007.

Per 31 Desember 2010, sebesar Rp7.193.270 juta, atau 10,52% dari total aset Perseroan yang senilai Rp68.385.539 juta terdiri atas obligasi pemerintah, yang beberapa diantaranya diperoleh dari pasar sekunder. Pendapatan bunga dari obligasi pemerintah untuk tahun yang berakhir pada tanggal-tanggal 31 Desember 2006, 2007, 2008, 2009 dan 2010 masing-masing adalah sebesar Rp1.169.946 juta atau sebesar 28,7%, Rp797.246 juta atau sebesar 20,8%, Rp695.204 juta atau sebesar 15,9%, Rp633.685 juta atau sebesar 11,6% dan Rp383.960 juta atau sebesar 6,10% dari seluruh total pendapatan bunga pada periode-periode dimaksud. Pada tahun 2008, Perseroan memindahkan obligasi pemerintah yang sebelumnya diklasifikasikan sebagai ’diperdagangkan dengan nilai wajar’ sebesar Rp241 miliar menjadi ’tersedia untuk dijual’. Untuk selanjutnya dapat dilihat pada “Kebijakan Akuntansi Penting – Penilaian Efek-efek dan Obligasi Pemerintah”.

6. Perubahan pada Nilai Surat Berharga, Nilai Tukar dan Tingkat Suku Bunga

Nilai tukar, suku bunga dan nilai surat berharga telah berfluktuasi secara signifikan pada tahun-tahun belakangan ini di Indonesia. Fluktuasi ini memberi dampak, diantaranya, permintaan atas produk dan jasa Perseroan, nilai dan tingkat ROA Perseroan, ketersediaan dan biaya pendanaan dan kondisi keuangan para nasabah Perseroan. Perubahan nilai surat berharga dan tingkat suku bunga memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan perubahan nilai tukar terhadap hasil usaha dan posisi keuangan Perseroan. Hal ini dikarenakan sangat kecilnya posisi keuangan Perseroan dalam mata uang asing.

Surat berharga yang dimiliki Perseroan sebagian besar dalam bentuk Surat Utang Negara (Obligasi Pemerintah) berbunga mengambang, yang mana perubahan nilainya lebih stabil dibandingkan bentuk surat berharga lainnya dan surat berharga yang bertingkat bunga tetap.

Posisi keuangan Perseroan dalam bentuk aset kredit yang diberikan dan surat berharga dan dalam bentuk pasiva dana pihak ketiga hampir seluruhnya memiliki tingkat bunga mengambang, sehingga dengan demikian setiap perubahan tingkat bunga akan memberikan pengaruh yang seimbang bagi Perseroan.

Tingkat suku bunga pada SBI telah mengalami fluktuasi pada periode yang sama. Tabel berikut menunjukkan tingkat SBI 1-bulan:

(dalam persentase)

31 Maret 30 Juni 30 September 31 Desember

2006 12,7 12,5 11,3 9,8

2007 9,0 8,5 8,3 8,0

2008 8,0 8,7 9,7 10,8

2009 8,2 7,0 6,5 6,5

2010 6,27 6,26 - -