• Tidak ada hasil yang ditemukan

RISIKO USAHA YANG BERKAITAN DENGAN PERSEROAN

SELURUH KEWAJIBAN PERSEROAN PER TANGGAL 31 DESEMBER 2010 TELAH DIUNGKAPKAN SELURUHNYA DALAM PROSPEKTUS INI

A. RISIKO USAHA YANG BERKAITAN DENGAN PERSEROAN

Risiko-risiko usaha yang dihadapi oleh Perseroan antara lain:

1. Risiko Kredit

a) Risiko ketidakmampuan mempertahankan kualitas portofolio kredit yang diberikan dan pembiayaan/piutang syariah milik Perseroan

Hasil usaha Perseroan akan terpengaruh secara negatif oleh kredit bermasalah dan kesinambungan pertumbuhan Perseroan akan bergantung pada kemampuan Perseroan untuk menerapkan manajemen risiko secara efektif atas risiko kredit dan mempertahankan kualitas dari portofolio kredit yang diberikan dan pembiayaan/piutang syariah Perseroan.

Agregat kredit yang diberikan dan pembiayaan/piutang syariah bermasalah atau Non Performing

Loan/Financing atau NPL/F Perseroan per 31 Desember 2010 adalah sebesar Rp1.370.397 juta, atau setara

dengan 3,26% (NPL/F bruto) atau 2,66% (NPL/F bersih) dari total keseluruhan kredit yang diberikan dan pembiayaan/piutang syariah oleh Perseroan. Walaupun Perseroan secara berkesinambungan aktif mengelola dan menjalankan program manajemen risiko dan memonitor portofolio kredit yang dimiliki oleh Perseroan serta terus menyempurnakan kebijakan prosedur dan sistem manajemen risiko kredit yang telah ada, Perseroan tidak dapat menjamin bahwa kebijakan, prosedur dan sistem tersebut sempurna. Kegagalan atas kebijakan, prosedur dan sistem manajemen risiko kredit Perseroan dapat mengakibatkan bertambahnya NPL yang dimiliki Perseroan sehingga akan berdampak negatif atas kualitas portofolio kredit yang diberikan dan pembiayaan/piutang syariah Perseroan. Lebih lanjut, kualitas portofolio kredit Perseroan dapat juga memburuk akibat berbagai alasan lainnya, termasuk faktor-faktor yang berada di luar kendali Perseroan. Apabila hal ini terjadi, maka menurunnya kualitas portofolio kredit yang diberikan dan pembiayaan/piutang syariah Perseroan tersebut dapat berdampak secara negatif terhadap kondisi keuangan dan hasil usaha Perseroan.

b) Risiko terjadinya peningkatan penyisihan kerugian untuk menutup kerugian portofolio kredit yang diberikan dan pembiayaan/piutang syariah yang terjadi di masa mendatang

Per tanggal 31 Desember 2010, persentase perbandingan kredit yang diberikan dan pembiayaan/piutang syariah bermasalah atau NPL/F Perseroan terhadap total kredit yang diberikan dan pembiayaan/piutang syariah adalah sebesar 3,26% (bruto) dan 2,66% (bersih). Jumlah penyisihan akan ditentukan berdasarkan penilaian terkini atas portofolio kredit Perseroan dan ekspektasi terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi kualitas portofolio kredit yang diberikan dan pembiayaan/piutang syariah Perseroan berdasarkan peraturan Bank Indonesia. Faktor-faktor tersebut antara lain kondisi keuangan, itikad dan kemampuan melakukan pembayaran oleh debitur, nilai jaminan yang bisa direalisasikan dan kemampuan penjamin untuk memenuhi kewajiban mereka serta keadaan ekonomi Indonesia, kebijakan ekonomi makro Pemerintah, tingkat suku bunga, nilai tukar valuta asing dan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Faktor-faktor di atas berada di luar kekuasaan Perseroan. Apabila penilaian dan ekspektasi atas faktor-faktor tersebut di atas berbeda dari keadaan yang sesungguhnya atau apabila kualitas dari portofolio kredit yang diberikan dan pembiayaan/piutang syariah Perseroan memburuk, penyisihan yang telah dilakukan oleh Perseroan mungkin tidak cukup untuk menutupi kerugian yang terjadi, sehingga Perseroan perlu untuk melakukan penyisihan tambahan untuk kerugian tersebut. Kebutuhan untuk melakukan penyisihan tambahan untuk kerugian atas kredit yang diberikan dapat berdampak secara negatif terhadap kondisi keuangan dan hasil usaha Perseroan.

c) Risiko konsentrasi kredit pada sektor dan daerah tertentu

Per tanggal 31 Desember 2010, sekitar 93,17% dari portofolio kredit (bruto) Perseroan adalah kredit yang terkait dengan sektor properti termasuk kredit yang dijamin dengan bangunan dan tanah. Perseroan memperkirakan sekitar 60% dari total KPR yang diberikan dijamin oleh bangunan dan tanah yang terletak di Jabotabek dan sekitarnya, di mana Perseroan yakin telah sejalan dengan konsentrasi ekonomi di Indonesia.

Per tanggal 31 Desember 2010 sebesar 23,22% dari total kredit yang diberikan oleh Perseroan berasal dari empat kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan.

Karena portofolio kredit Perseroan terkonsentrasi dalam sektor dan daerah tertentu, maka apabila timbul masalah dalam sektor properti atau di daerah-daerah di mana kredit yang diberikan oleh Perseroan terkonsentrasi, maka hal ini dapat berdampak secara negatif pada kualitas dari total portofolio aset, dan kondisi keuangan serta kinerja operasional Perseroan.

2. Risiko Likuiditas

Sebagian besar dari pendanaan Perseroan berasal dari sumber pendanaan jangka pendek dan menengah, terutama dalam bentuk deposito, tabungan dan giro. Sebagian besar dari deposito tersebut memiliki jangka waktu satu bulan atau tiga bulan. Akan tetapi sebagian besar dari aset Perseroan (seperti sebagian besar dari KPR dan obligasi pemerintah milik Perseroan), memiliki jangka waktu jatuh tempo yang panjang antara 10 sampai dengan 15 tahun, sehingga menciptakan risiko likuiditas. Secara historis, Perseroan dapat melakukan perpanjangan (roll over) terhadap sebagian besar deposito yang dimilikinya pada saat jatuh tempo, akan tetapi tidak ada jaminan Perseroan dapat terus melakukan hal itu di masa yang akan datang. Walaupun Perseroan tidak memiliki sejarah kesulitan likuiditas di masa yang lalu, tidak ada jaminan bahwa Perseroan dapat mempertahankan likuiditas yang cukup untuk menutup penarikan yang dilakukan oleh nasabah Perseroan di kemudian hari, terutama apabila terjadi krisis ekonomi. Apabila sebagian besar nasabah Perseroan yang memiliki deposito tidak melakukan perpanjangan atas dana yang telah didepositokan pada saat jatuh tempo, atau memutuskan untuk menarik tabungan mereka, maka hal ini akan berdampak negatif terhadap posisi likuiditas Perseroan. Apabila hal ini terjadi, Perseroan terpaksa harus bergantung terhadap pinjaman dari Bank Indonesia atau sumber-sumber pendanaan lainnya yang mungkin pada saat itu tidak tersedia atau tersedia dengan persyaratan komersial yang sangat tidak menarik. Kegagalan untuk mendapatkan pendanaan akan berdampak negatif terhadap likuiditas, kondisi keuangan dan hasil usaha Perseroan.

Walaupun Perseroan telah berusaha untuk mengurangi mismatch waktu jatuh tempo pendanaan yang dimiliki Perseroan dengan (i) terus menerbitkan obligasi dengan jangka waktu 5 sampai dengan 10 tahun sejak tahun 1989, (ii) melakukan transaksi sekuritisasi dari aset KPR Perseroan yang dimulai sejak awal tahun 2009; dan (iii) menawarkan produk tabungan jangka panjang, seperti produk tabungan bancassurance dan produk tabungan yang terkait dengan pendidikan, yang rencananya akan diluncurkan pada semester kedua tahun 2011, namun Perseroan tidak dapat menjamin bahwa strategi yang dijalankan Perseroan untuk memitigasi atau mengurangi mismatch waktu jatuh tempo pendanaan yang dimiliki Perseroan akan berhasil.

3. Risiko Pasar

Per tanggal 31 Desember 2010, Perseroan memiliki Rp8.121.627 juta obligasi pemerintah dan efek-efek yang merupakan 11,88% dari total aset Perseroan. Penerimaan bunga dari obligasi pemerintah milik Perseroan mewakili 6,07% dari seluruh pendapatan bunga untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2010. Apabila terjadi keterlambatan atau wanprestasi atas pembayaran bunga atau pokok oleh Pemerintah pada saat jatuh tempo, hal tersebut akan berdampak negatif terhadap kondisi keuangan, likuiditas dan hasil kegiatan usaha Perseroan.

Walaupun sejak tahun 2002 Pemerintah telah membuat kebijakan untuk menstimulasi pasar sekunder yang likuid untuk obligasi pemerintah, harga obligasi di Indonesia masih dapat berfluktuasi secara signifikan. Hal ini tergantung pada berbagai faktor seperti arah kebijakan tingkat suku bunga, peringkat kredit Pemerintah, jumlah obligasi pemerintah yang tersedia di pasar, dan tingkat suku bunga serta ketersediaan investasi berpendapatan tetap lainnya. Tidak ada jaminan bahwa Perseroan dapat menjual obligasi pemerintah milik Perseroan tanpa mengalami kerugian yang signifikan. Lebih lanjut tidak ada jaminan bahwa peringkat kredit Pemerintah dan nilai dari obligasi pemerintah yang dimiliki Perseroan tidak akan turun di masa yang akan datang.

Pengurangan yang signifikan atas nilai atau likuiditas dari obligasi pemerintah atau surat-surat berharga milik Perseroan, perubahan atas peraturan yang berlaku terhadap obligasi atau surat-surat berharga Pemerintah, atau perubahan persyaratan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia untuk melakukan perhitungan berdasarkan harga pasar (mark to market) dan menyimpan efek obligasi atau surat-surat berharga Pemerintah sampai dengan jatuh tempo (held to maturity) dapat berdampak negatif terhadap kondisi keuangan, likuiditas dan hasil usaha Perseroan atau terhadap surat-surat berharga yang dimiliki oleh Perseroan.

Risiko suku bunga juga terjadi apabila terdapat perubahan pada tingkat bunga sumber dana. Meskipun karena sifatnya yang adjustable, Perseroan dapat menyesuaikan tingat bunga kredit, akan tetapi penyesuaian tingkat bunga KPR khususnya tidak serta merta dapat dilakukan bersamaan dengan

perubahan tingkat bunga dana pihak ketiga, sehingga dalam hal terjadi kecenderungan kenaikan tingkat suku bunga, Perseroan menghadapi risiko suku bunga.

4. Risiko Reputasi

Risiko reputasi merupakan risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder yang bersumber dari persepsi negatif terhadap Perseroan. Dalam usaha mempertahankan dan menjaring nasabah, Perseroan membutuhkan citra dan publikasi yang baik mengenai kegiatan usaha dan kinerja Perseroan sehingga nasabah tetap dan calon nasabah dapat tertarik untuk mengunakan berbagai produk dan layanan perbankan yang dimiliki oleh Perseroan.

Kegagalan Perseroan dalam menjaga reputasinya dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap Perseroan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya hilangnya kepercayaan nasabah dan berdampak langsung terhadap penurunan jumlah nasabah yang pada akhirnya akan memberikan dampak pada penurunan pendapatan dan volume aktivitas Perseroan.

5. Risiko Operasional

a) Jaminan yang diberikan untuk menjamin kredit yang diberikan oleh Perseroan mungkin tidak mencukupi dan Perseroan tidak bisa merealisasikan secara penuh nilai jaminan yang diberikan

Sebagian besar dari kredit yang diberikan oleh Perseroan pada umumnya dijamin dengan jaminan dalam bentuk tanah dan bangunan dan uang tunai. Nilai dari jaminan yang diberikan dapat berfluktuasi atau turun secara signifikan akibat berbagai faktor yang berada di luar kendali Perseroan, termasuk faktor makro ekonomi. Sebagai contoh, menurunnya keadaan ekonomi Indonesia dapat mengakibatkan menurunnya harga pasar perumahan yang mengakibatkan turunnya nilai properti yang dipergunakan untuk menjamin kredit yang diberikan oleh Perseroan apabila dibandingkan dengan nilai pokok kredit yang diberikan. Setiap penurunan dari nilai jaminan yang terjadi dapat mengurangi jumlah yang dapat direalisasikan oleh Perseroan pada saat melakukan eksekusi atas jaminan tersebut dan meningkatkan nilai penyisihan yang harus disediakan oleh Perseroan. Perseroan melakukan revaluasi secara periodik terhadap jaminan yang dimiliki oleh Perseroan. Akan tetapi Perseroan tidak selalu melakukan revaluasi atas properti yang telah dinilai oleh penilai independen. Dengan demikian, Perseroan tidak selalu memiliki informasi terkini atas nilai jaminan yang dimilikinya dan hal ini dapat berdampak atas ketepatan penilaian yang dilakukan atas kredit yang dijamin oleh jaminan tersebut. Lebih lanjut, dalam situasi tertentu, pada saat terjadi proses likuidasi, hak Perseroan atas jaminan tersebut memiliki prioritas yang lebih rendah dibandingkan dengan hak pihak lainnya.

Sebagai tambahan, prosedur untuk merealisasikan nilai dari jaminan berbentuk aset tetap di Indonesia adalah tidak mudah dan dapat menghalangi proses eksekusi dari jaminan tersebut. Kesulitan mengeksekusi jaminan menyebabkan Perseroan mengalami kesulitan untuk merealisasikan nilai jaminan apabila debitur mengalami wanprestasi.

b) Risiko Sistem Teknologi Informasi

Kegiatan operasional Perseroan sangat tergantung pada kemampuan sistem teknologi informasi yang dimiliki Perseroan untuk memproses transaksi dalam jumlah yang sangat besar di seluruh wilayah Indonesia untuk bermacam-macam produk dan jasa yang ditawarkan Perseroan dengan tepat waktu dan secara akurat. Berfungsinya sistem teknologi informasi dengan baik untuk proses kontrol keuangan, manajemen risiko, akuntansi, layanan nasabah dan sistem pemrosesan data lainnya bersama-sama dengan jaringan komunikasi antara berbagai kantor cabang dan kantor cabang pembantu dan data center sangat penting bagi kelangsungan kegiatan usaha Perseroan dan kemampuan Perseroan untuk bersaing secara efektif dengan para pesaingnya.

Perseroan telah membangun system dual data center untuk tetap menjalankan fungsi utama Perseroan apabila terjadi bencana atau kegagalan pada sistem utama Perseroan. Perseroan juga melindungi sistem komputer dan infrastruktur jaringan Perseroan dari pencurian secara fisik, pelanggaran keamanan dan penipuan lainnya atau masalah-masalah yang mengganggu. Kemudian, adanya pelanggaran keamanan yang disebabkan dari pihak yang tidak diberikan wewenang untuk mengakses informasi atau sistem, kehilangan atau korupsi data dan perangkat lunak yang dipergunakan dengan tidak sebagaimana mestinya, perangkat keras atau perlengkapan komputer lainnya dapat memberi dampak negatif terhadap bisnis, reputasi, hasil operasional dan kondisi keuangan Perseroan. Akan tetapi Perseroan tidak dapat menjamin bahwa kegiatan operasional Perseroan tidak akan terganggu secara material apabila terjadi kegagalan atas sebagian atau seluruh sistem teknologi informasi atau jaringan informasi milik Perseroan antara lain akibat masalah dengan perangkat lunak, serangan virus, kesalahan konversi akibat system update, kebakaran, bencana atau peristiwa lainnya yang tak terduga.

c) Risiko Sumber Daya Manusia

Dalam usaha meningkatkan kinerja perusahaan, Perseroan terus mengembangkan organisasi, mengembangkan produk baru maupun pemanfaatan teknologi yang terus diperbaharui. Perkembangan tersebut apabila tidak dibarengi dengan pengembangan jumlah dan kualitas sumber daya manusia yang memadai, Perseroan akan menghadapi risiko operasional karena ketidakmampuan SDM untuk mengimbangi perkembangan bank.

6. Risiko Kepatuhan

Risiko kepatuhan adalah risiko yang disebabkan Perseroan tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, Perseroan harus selalu tunduk terhadap peraturan perbankan yang dari waktu ke waktu terus diperbaharui sesuai dengan perkembangan kondisi perbankan nasional. Di samping itu, Perseroan juga tunduk kepada peraturan yang mengatur Perseroan Terbatas, Peraturan BUMN, peraturan di bidang pasar modal (Bapepam dan LK dan Bursa Efek).

Pada prakteknya, risiko kepatuhan melekat pada risiko Perseroan yang terkait pada perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku, seperti risiko kredit yang terkait dengan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM); Kualitas Aset; Penyisihan Penghapusan Aset (PPA); Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK); Posisi Devisa Neto (PDN), serta risiko strategik yang terkait dengan Rencana Bisnis Bank (RBB), Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP), dan lain sebagainya. Ketidakmampuan Perseroan untuk memenuhi peraturan dan ketentuan dapat berdampak pada kelangsungan usaha Perseroan.

7. Risiko Stratejik

a) Risiko kegagalan penerapan rencana strategi Perseroan

Pada tahun 2008, Perseroan mengadopsi sebuah rencana strategis yang baru dengan nama Vision 2012. Rencana ini dibuat dengan maksud agar Perseroan dapat mencapai kenaikan yang signifikan dalam nilai kredit non perumahan. Ekspansi dari kegiatan usaha Perseroan pada bidang bisnis ini dapat menyebabkan munculnya risiko-risiko dan tantangan tertentu bagi Perseroan, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

x Perseroan tidak memiliki pengalaman atau keahlian pada produk dan layanan baru tertentu dan tidak dapat bersaing secara efektif dalam hal ini; atau Perseroan mungkin tidak dapat melaksanakan rencana ini dengan efektif;

x Produk dan layanan baru Perseroan tidak diterima oleh nasabah Perseroan atau memenuhi ekspektasi keuntungan Perseroan;

x Perseroan perlu untuk merekrut personil tambahan yang mungkin tidak tersedia pada saat itu;

x Perseroan gagal mendapatkan persetujuan berdasarkan peraturan yang berlaku atas produk atau layanan baru Perseroan;

x Perseroan tidak berhasil dalam meningkatkan kapabilitas manajemen risiko dan sistem teknologi informasi Perseroan untuk mendukung produk dan layanan yang lebih luas; dan

x Rasio kredit bermasalah Perseroan dalam portofolio kredit Perseroan dapat meningkat akibat meningkatnya rasio dari kredit bermasalah dalam portofolio kredit non perumahan, karena secara historis rasio kredit bermasalah atas kredit non perumahan lebih tinggi dari portofolio kredit kepemilikan rumah.

Apabila Perseroan tidak dapat mencapai hasil yang diinginkan atas produk dan layanan baru yang diluncurkan, maka akan berdampak secara negatif terhadap kegiatan usaha, kondisi keuangan dan hasil kegiatan usaha Perseroan.

Perseroan juga telah merevisi strateginya untuk mempersempit target pasar dan fokus kepada kredit yang diberikan Perseroan kepada debitur pada industri tertentu, seperti industri telekomunikasi, infrastruktur, pendidikan, pelayanan kesehatan dan industri yang berhubungan dengan perumahan. Sektor-sektor ini memiliki risiko yang unik. Portofolio kredit Perseroan dapat terkena dampak negatif apabila sebagian besar dari kreditur Perseroan pada sektor-sektor tersebut di atas terkena dampak buruk akibat risiko-risiko unik tersebut.

Perseroan memulai kegiatan usaha perbankan syariah pada tahun 2004. Per tanggal 31Maret 2011, Perseroan telah membuka 20 cabang syariah, 8 kantor cabang pembantu syariah dan 207 kantor layanan syariah dan Perseroan bermaksud untuk terus memperluas jaringan syariah Perseroan. Kegiatan usaha perbankan syariah memerlukan keahlian dan pengawasan yang berbeda dibandingkan dengan kegiatan usaha perbankan konvensional dan Perseroan telah membentuk dewan pengawas tersendiri untuk mengawasi kegiatan usaha ini. Pesaing Perseroan termasuk beberapa bank besar dengan kegiatan perbankan syariah yang telah mapan.

Ketidakmampuan Perseroan untuk mengembangkan kegiatan usaha baru milik Perseroan pada bidang ini dapat berdampak negatif terhadap kegiatan usaha, kondisi keuangan, likuiditas dan hasil kegiatan usaha Perseroan.

Dalam beberapa tahun ini, kegiatan usaha Perseroan telah tumbuh dengan pesat. Aset Perseroan telah tumbuh dari Rp58.447.667 juta pada tanggal 31 Desember 2009 menjadi Rp68.385.539 juta pada tanggal 31 Desember 2010. Pertumbuhan tersebut akan memberikan tekanan terhadap kemampuan Perseroan untuk mengelola dan mengontrol risiko-risiko yang pernah terjadi dan risiko yang akan muncul di kemudian hari. Kemampuan Perseroan untuk mempertahankan pertumbuhan tergantung pada kemampuan Perseroan untuk mengelola masalah-masalah penting seperti rekrutmen dan mempertahankan pekerja yang terampil, mempertahankan landasan program Teknologi Informasi yang efektif dan dapat diperbaharui terus menerus secara berkesinambungan, mengembangkan pengetahuan untuk menghadapi tantangan-tantangan baru yang timbul dan mempertahankan kualitas pelayanan nasabah yang tinggi. Ketidakmampuan untuk melakukan hal-hal tersebut di atas dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan kegiatan usaha Perseroan sehingga berakibat negatif terhadap kinerja keuangan Perseroan di masa yang akan datang.

b) Risiko Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas Perseroan

Mayoritas saham Perseroan saat ini dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah secara historis mempengaruhi dan kemungkinan besar akan terus mempengaruhi strategi dan kegiatan usaha Perseroan. Pemerintah juga memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan mengendalikan badan usaha lainnya yang berada di bawah kontrol Pemerintah, yang beberapa diantaranya merupakan pesaing Perseroan dan Pemerintah dapat mengarahkan kesempatan yang ada kepada pesaing Perseroan atau lebih mengutamakan kepentingan mereka daripada Perseroan.

Perseroan tidak dapat menjamin bahwa Pemerintah tidak akan melakukan pengendalian atas Perseroan dan tidak akan mempengaruhi kepentingan bisnis Perseroan atau pemegang saham minoritas Perseroan. Sebagai contoh, Pemerintah berwenang untuk menetapkan kebijakan dan persyaratan KPR bersubsidi. Apabila Pemerintah mengubah kebijakan dan persyaratan tersebut, hal tersebut dapat mempengaruhi Perseroan secara negatif. Walaupun secara historis pertumbuhan kredit Perseroan hanya terbatas pada kemampuan Perseroan untuk mendapatkan pendanaan dan Perseroan yakin dapat menggantikan kredit bersubsidi dengan kredit tanpa subsidi, namun Perseroan tidak dapat menjamin bahwa Perseroan tidak akan terkena dampak negatif apabila dikemudian hari terjadi perubahan kebijakan pemerintah atau perubahan komposisi portofolio kredit Perseroan.

Tidak ada jaminan bahwa Perseroan akan dapat menjadi independen dari Pemerintah sebagai pemegang saham Perseroan, atau walaupun Perseroan menjadi independen, tidak ada jaminan bahwa Perseroan dapat melakukan tindakan independen tersebut secara efektif dalam membuat keputusan sehubungan dengan kegiatan usaha Perseroan. Apabila Perseroan diharuskan bertindak untuk kepentingan Pemerintah dan kepentingan tersebut berbeda dari kepentingan Perseroan, maka tindakan Perseroan tersebut dapat berdampak secara negatif pada kondisi keuangan, likuiditas dan hasil usaha Perseroan, di mana akan membatasi kemampuan Perseroan untuk bersaing secara efektif dan untuk mengembangkan kegiatan usaha Perseroan.

8. Risiko Hukum

Sebagai perusahaan yang berdiri dalam sebuah negara hukum, Perseroan harus selalu tunduk terhadap segala peraturan hukum yang berlaku. Kegagalan Perseroan dalam mengikuti peraturan hukum yang berlaku akan mengakibatkan pada timbulnya tuntutan hukum yang akan ditujukan kepada Perseroan. Semakin banyak tuntutan hukum yang muncul maka semakin besar biaya yang akan dikeluarkan oleh Perseroan. Apabila kondisi ini dialami oleh Perseroan dan bersifat material maka hal ini akan memiliki dampak yang signifikan terhadap kinerja Perseroan.

Dalam situasi tertentu, pada saat terjadi proses likuidasi, hak Perseroan atas suatu jaminan memiliki prioritas yang lebih rendah dibandingkan dengan hak pihak lainnya. Prosedur untuk merealisasikan nilai dari jaminan berbentuk aset tetap di Indonesia adalah tidak mudah dan dapat menghalangi proses eksekusi dari jaminan tersebut. Kesulitan mengeksekusi jaminan menyebabkan Perseroan mengalami kesulitan untuk merealisasikan nilai jaminan apabila debitur mengalami wanprestasi.