• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip-prinsip Perbankan yang Sehat 1. Transaksi Derivatif

SELURUH KEWAJIBAN PERSEROAN PER TANGGAL 31 DESEMBER 2010 TELAH DIUNGKAPKAN SELURUHNYA DALAM PROSPEKTUS INI

E. Prinsip-prinsip Perbankan yang Sehat 1. Transaksi Derivatif

Perseroan terekspos pada risiko pasar terutama perubahan tingkat bunga, dan penggunaan instrumen derivatif sehubungan dengan aktivitas manajemen risiko Perseroan. Perseroan tidak memegang atau menerbitkan instrumen keuangan derivatif untuk tujuan perdagangan. Perseroan percaya bahwa penyisihan kerugian adalah cukup untuk menutupi kemungkinan kerugian pada piutang swap suku bunga.

2. Peraturan Kecukupan Modal

Persyaratan kecukupan modal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, terutama didasarkan pada kesepakatan kecukupan modal berdasarkan Basel Committee dari Bank of International Settlements tahun 1988.

Modal minimum untuk rasio aset tertimbang menurut risiko untuk bank-bank di Indonesia adalah 8% untuk risiko kredit dan risiko pasar. Peraturan Bank Indonesia mengharuskan rasio kecukupan modal disajikan tanpa perhitungan pajak penghasilan yang ditangguhkan. Bank yang tidak dapat memenuhi persyaratan ini akan ditempatkan di bawah pengawasan khusus. Mulai tahun 2010, Bank Indonesia mengharuskan Perseroan memperhitungkan risiko operasional, di samping risiko kredit dan risiko pasar, dalam menentukan rasio kecukupan modal.

Tabel berikut merangkum modal dan rasio kecukupan modal Perseroan yang diukur sesuai dengan peraturan Bank Indonesia, untuk tanggal-tanggal sebagaimana diindikasikan:

(dalam jutaan Rupiah, kecuali persentase)

Keterangan 2010 31 Desember 2009 2008

Modal inti a 5.653.536 4.513.696 2.281.464

Modal pelengkap (maksimal 100% dari modal inti) b 416.033 993.545 943.517 Modal pelengkap tambahan yang dialokasikan untuk

mengantisipasi risiko pasar c - - -

Jumlah modal inti dan modal pelengkap d=a+b 6.069.569 5.507.241 3.224.981 Jumlah modal inti, modal pelengkap dan modal

pelengkap tambahan yang dialokasikan untuk

mengantisipasi risiko pasar e=c+d 6.069.569 5.507.241 3.224.981

Penyertaan f - - -

Jumlah modal untuk risiko kredit g=d-f 6.069.569 5.507.241 3.224.981

Jumlah modal untuk risiko kredit dan risiko pasar h=e-f 6.069.569 5.507.241 3.224.981 Aset tertimbang menurut risiko (ATMR) kredit i 33.282.669 25.289.156 19.620.219

Aset tertimbang menurut risiko (ATMR) pasar j 208.458 277.277 361.636

Aset tertimbang menurut risiko (ATMR) operasional k 2.774.087 - -

Jumlah ATMR untuk risiko kredit dan risiko

operasional l= i+k 36.056.756 25.289.156 19.620.219

Jumlah ATMR untuk risiko kredit dan risiko

operasional dan risiko pasar m=i+j+k 36.265.214 25.566.433 19.981.855

CAR untuk risiko kredit dan risiko operasional n=g/l 16,83% 21,78% 16,44% CAR untuk risiko kredit, risiko operasional dan risiko

pasar o=g/m 16,74% 21,54% 16,14%

CAR minimum yang diwajibkan 8,00% 8,00% 8,00%

Jika peraturan rasio ini dihitung sesuai dengan peraturan Bank Indonesia, maka modal Tier II termasuk semua ketentuan umum yang dimuat dalam laporan keuangan GAAP Indonesia untuk menghindari potensi kerugian kredit di masa depan. Dibutuhkan modal tambahan untuk mendukung pertumbuhan, untuk mempertahankan rasio kecukupan modal Perseroan dalam pedoman Bank Indonesia, dan untuk mempertahankan likuiditas.

3. Kualitas Aset (Asset Quality Ratio)

Kualitas Aset dinilai berdasarkan rasio-rasio, yaitu:

Tahun Rasio Aset Produktif Bermasalah

Rasio

NPL – netto*) Rasio

NPL - gross**) Rasio PPAP Tersedia terhadap PPAP Wajib Dibentuk

31 Desember 2008 2,49% 2,66% 3,20% 123,31%

31 Desember 2009 2,69% 2,75% 3,36% 112,36%

31 Desember 2010 2,80% 2,66% 3,26% 113,02%

*) NPL Netto pembiayaan syariah pada tanggal 31 Desember 2010, 2009 dan 2008 masing-masing adalah sebesar 2,02%, 0,82% dan 0,34%

**) NPL Gross pembiayaan syariah pada tanggal 31 Desember 2010, 2009 dan 2008 masing-masing adalah sebesar 4,90%, 3,35% dan 0,41%

Kualitas Aset (dalam hal ini sebagai Kualitas Aset Produktif) merupakan tingkat/ukuran kemampuan aset atau aset yang dapat menghasilkan. Aset Produktif terdiri atas giro pada bank lain, penempatan pada bank lain, efek-efek dan obligasi Negara Republik Indonesia, pembiayaan/piutang berdasarkan prinsip syariah, efek-efek yang dibeli dengan janji dijual kembali, kredit yang diberikan, tagihan derivative dan komitmen dan kontinjensi yang mempunyai risiko kredit. Kualitas Aset Produktif digolongkan atas Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet. Aset Produktif Bermasalah terdiri dari Kurang Lancar, Diragukan dan Macet. Penggolongan ini ditentukan berdasarkan evaluasi manajemen Perseroan, terutama terhadap prestasi dan kemampuan bayar nasabah (untuk Kredit Perumahan) serta evaluasi terhadap prospek usaha, kondisi keuangan dan kemampuan bayar (untuk Kredit Lainnya dan Aset Produktif Lainnya). Berdasarkan penggolongan atas Kualitas Aset Produktif tersebut dilakukan pembentukan Penyisihan Kerugian atas Aset Produktif yang diatur dengan Surat Edaran BI No. 31/148/KEP/DIR tanggal 12 Nopember 1998 yang umum disebut Pembentukan Penyisihan Aset Produktif (PPAP) Yang Wajib Dibentuk. Dari tabel tersebut di atas, Rasio Aset Produktif Bermasalah dari tahun ke tahun semakin berkurang, sehingga Kualitas Aset Produktif nya semakin membaik. Dan Rasio PPAP Tersedia terhadap PPAP Wajib Dibentuk di atas 100%, sehingga cukup aman bagi Perseroan dalam mengantisipasi kerugian atas Aset Produktif Bermasalah.

4. Manajemen

Prinsip good corporate governance yang dicanangkan oleh Pemerintah untuk menjadi unsur pokok dalam pemulihan perekonomian Indonesia terutama dalam sektor perbankan merupakan landasan yang digunakan oleh Perseroan dalam menjalankan usahanya, berkaitan dengan hal tersebut maka Bank Indonesia telah melakukan fit and proper test kepada seluruh jajaran pimpinan Perseroan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penerapan good coporate governance tersebut merupakan hal yang diyakini Direksi dan Komisaris serta seluruh jajaran Perseroan sebagai faktor utama pendukung kinerja Perseroan, mengingat integritas dan rasa aman adalah sangat penting bagi terciptanya kepercayaan para nasabah dan masyarakat kepada Perseroan.

Guna mewujudkan tata kelola yang baik, khususnya dalam hal pengawasan aktivitas operasional, Perseroan telah membentuk komite-komite yang membantu pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris, yaitu: Komite Audit, Komite Nominasi dan Remunerasi serta Komite Pemantau Risiko, dan komite-komite yang membantu pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi yaitu: Komite Personalia Pusat, Komite Produk, Komite Manajemen Risiko, Komite Kredit, Komite Kebijakan Perkreditan dan Komite Teknologi.

Asset & Liability Committee (ALCO) bertanggung jawab atas pengelolaan seluruh aset dan kewajiban Perseroan.

ALCO diketuai oleh President Director dan beranggotakan direksi serta manajemen senior lainnya serta didukung oleh divisi treasury. ALCO mengadakan pertemuan sebulan sekali untuk membahas posisi likuiditas Perseroan, kondisi pasar uang, tingkat bunga dan hal lain yang berkaitan dengan pengelolaan aset dan kewajiban Perseroan. Berdasarkan pertemuan tersebut, ALCO menyusun rencana dan strategi yang akan dijalankan oleh Perseroan untuk bulan berikutnya.

5. Rentabilitas/Profitabilitas (Earnings)

Profitabilitas dinilai berdasarkan rasio-rasio sebagai berikut:

Tahun Rata-Rata Aset (ROA) Rasio Laba terhadap Rasio Laba terhadap Ekuitas (ROE) NIM

Rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) 31 Desember 2008 1,80% 19,64% 5,08% 86,18% 31 Desember 2009 1,47% 14,53% 4,60% 88,29% 31 Desember 2010 2,05% 16,67% 5,93% 83,28%

Rentabilitas/profitabilitas merupakan kemampuan Perseroan dalam meraih laba. Rasio yang digunakan secara umum adalah ROA (Rasio Laba terhadap Rata-Rata Aset), ROE (Rasio Laba terhadap Ekuitas), NIM (Rasio Pendapatan Bunga Bersih terhadap Pendapatan Bunga) serta BOPO (Rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional). Penurunan ROA disebabkan oleh strategi Perseroan di tahun 2009 untuk lebih agresif dalam pertumbuhan aset khususnya KPR komersial sedangkan penurunan pada ROE disebabkan oleh meningkatnya ekuitas karena adanya tambahan modal dari Penawaran Umum Saham Perdana pada tahun 2009. Penurunan pada rasio NIM terjadi karena biaya pendanaan yang masih tinggi akibat pengaruh dari krisis global dan pada sisi aset terjadi penurunan suku bunga untuk penyaluran kredit. Rasio BOPO mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan kegiatan usaha.

6. Likuiditas (Liquidity)

Likuiditas dinilai berdasarkan rasio sebagai berikut:

Tahun Rasio Pinjaman yang diberikan terhadap Dana Pihak Ketiga (LDR)

31 Desember 2008 101,83%

31 Desember 2009 101,29%

31 Desember 2010 108,42%

Likuiditas merupakan kemampuan Perseroan dalam memenuhi kewajiban sewaktu-waktu melalui pengelolaan atas simpanan dan hutang lainnya untuk dijadikan aset produktif. Bank Indonesia melalui Surat Edaran No. 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 perihal Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum memberikan ketentuan pokok penilaian Likuiditas, di mana salah satu ukuran Likuiditas adalah LDR (Rasio Pinjaman Yang Diberikan terhadap Dana Pihak Ketiga). Dalam tabel di atas, tingkat posisi LDR Perseroan secara berturut-turut pada tanggal 31 Desember 2010, 2009 dan 2008 adalah 108,42%, 101,29% dan 101,83%, di mana berdasarkan Lampiran 2e Surat Edaran tersebut, LDR Perseroan secara berturut-turut pada tanggal 31 Desember 2010, 2009 dan 2008 diklasifikasikan pada peringkat 4 (100% < Rasio < 120%). Ini menunjukkan bahwa realisasi kredit Perseroan yang semakin meningkat tidak berdampak pada likuiditas karena sumber pembiayaan kredit tersebut juga berasal dari dana di luar Dana Pihak Ketiga antara lain obligasi yang diterbitkan, KLBI dan RDI.

Perseroan memiliki LDR dengan rasio yang cukup tinggi mengingat Perseroan dalam melakukan penyaluran kredit dibiayai tidak hanya oleh dana pihak ketiga berupa deposito, giro dan tabungan namun juga oleh sumber dana jangka panjang seperti obligasi yang diterbitkan. Sementara itu dalam perhitungan Rasio LDR menurut ketentuan Bank Indonesia tidak memperhitungkan obligasi yang diterbitkan Perseroan sebagai komponen dana pihak ketiga. Dengan demikian, tingkat LDR yang optimal bagi Perseroan berkisar di atas 100%.

Perseroan menjaga likuiditas Perseroan dengan beberapa strategi diantaranya dengan melakukan transaksi sekuritisasi, mengembangkan produk kredit yang berjangka waktu pendek dan meningkatkan core nominal produk dana pihak ketiga retail.

7. Analisa Laporan Arus Kas

Tabel berikut memuat ikhtisar Laporan Arus Kas Perseroan:

(dalam jutaan Rupiah)

Keterangan 31 Desember

2010 2009 2008

Arus kas bersih dari Aktivitas Operasi (2.832.958) 1.458.866 (215.541)

Arus kas bersih dari Aktivitas Investasi 2.982.362 (3.018.809) (238.630)

Arus kas bersih dari Aktivitas Pendanaan 1.091.678 3.729.876 5.502

Kenaikan (Penurunan) bersih kas dan setara kas 1.241.082 2.169.933 (448.669)

Arus Kas dari Aktivitas Operasi

Arus kas bersih yang digunakan dari aktivitas operasional di tahun 2010 sebesar Rp(2.832.958) juta terutama berasal dari arus kas keluar berupa pemberian kredit dan pembiayaan/piutang syariah sebesar Rp10.895.306 juta dan pembayaran bunga dan bonus, provisi dan komisi sebesar Rp3.141.922 juta, sedangkan arus kas masuk berupa kenaikan penerimaan bunga dan bagi hasil, provisi dan komisi sebesar Rp6.424.521 juta dan kenaikan simpanan giro Wadiah sebesar Rp30.511 juta dan kenaikan tabungan sebesar Rp1.850.934 juta. Arus kas bersih yang diperoleh dari aktivitas operasional di tahun 2009 sebesar Rp1.458.866 juta terutama berasal dari arus kas keluar berupa pemberian kredit dan pembiayaan/piutang syariah sebesar Rp8.794.395 juta dan pembayaran bunga dan bonus, provisi dan komisi sebesar Rp3.462.878 juta, sedangkan arus kas masuk berupa kenaikan penerimaan bunga dan bagi hasil, provisi dan komisi sebesar Rp5.691.970 juta dan kenaikan simpanan giro sebesar Rp4.462.404 juta.

Arus kas bersih yang digunakan untuk aktivitas operasional di tahun 2008 sebesar Rp(215.541) juta terutama berasal dari arus kas keluar berupa pemberian kredit dan pembiayaan/piutang syariah sebesar Rp9.775.606 juta dan pembayaran bunga dan bonus, provisi dan komisi sebesar Rp2.535.349 juta, sedangkan arus kas masuk berupa kenaikan deposito berjangka sebesar Rp6.386.571 juta dan penerimaan bunga dan bagi hasil, provisi dan komisi sebesar Rp4.480.873 juta.

Arus kas operasional yang negatif di tahun 2008 dikompensasi dengan kas Perseroan dalam bentuk Giro pada Bank Indonesia yang sesuai dengan aturan rasio GWM baru di tahun 2008 menjadi lebih kecil dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Arus Kas dari Aktivitas Investasi

Arus kas bersih yang diperoleh dari aktivitas investasi di tahun 2010 sebesar Rp2.982.362 juta yang berasal dari arus kas masuk dari penjualan efek-efek yang dimiliki hingga jatuh tempo sebesar Rp2.304.519 juta dan penjualan obligasi pemerintah yang dimiliki hingga jatuh tempo sebesar Rp1.013.395 juta , sedangkan arus kas keluar berupa pembelian aset tetap sebesar Rp335.552 juta.

Arus kas bersih yang digunakan untuk aktivitas investasi di tahun 2009 sebesar Rp3.018.809 juta yang berasal dari arus kas keluar untuk pembelian efek-efek yang dimiliki hingga jatuh tempo sebesar Rp2.660.034 juta, pembelian aset tetap sebesar Rp347.641 juta dan pembelian obligasi pemerintah yang dimiliki hingga jatuh tempo sebesar Rp11.134 juta.

Arus kas bersih yang digunakan untuk aktivitas investasi di tahun 2008 sebesar Rp238.630 juta berasal dari arus kas masuk dari penjualan aset tetap sebesar Rp4.947 juta sedangkan arus kas keluar berupa pembelian aset tetap sebesar Rp134.503 juta, pembelian obligasi pemerintah yang dimiliki hingga jatuh tempo sebesar Rp50.172 juta dan pembelian efek-efek yang dimiliki hingga jatuh tempo sebesar Rp58.902 juta.

Arus Kas dari Aktivitas Pendanaan

Arus kas yang diperoleh dari aktivitas pendanaan sebesar Rp1.091.678 juta di tahun 2010 terutama disebabkan oleh arus kas masuk dari penerimaan surat-surat berharga yang diterbitkan sebesar Rp1.650.000 juta, penjualan kembali obligasi dalam perbendaharaan sebesar Rp20.000 juta dan penerimaan pinjaman yang diterima sebesar Rp415.789 juta. Arus kas keluar pada tahun 2010 terdiri atas pembelian efek-efek yang dijual dengan janji dibeli kembali sebesar Rp100.890 juta, pembayaran atas jatuh tempo surat-surat berharga yang diterbitkan sebesar Rp750.000 juta, dan pembayaran dividen dan program Kemitraan dan bina lingkungan sebesar Rp143.221 juta. Arus kas yang diperoleh dari aktivitas pendanaan sebesar Rp3.729.876 juta di tahun 2009 terutama disebabkan oleh arus kas masuk dari penerimaan surat-surat berharga yang diterbitkan sebesar Rp1.500.000 juta, penjualan efek-efek yang dijual dengan janji dibeli kembali sebesar Rp1.789.710 juta dan arus kas masuk akibat penerbitan saham sebesar Rp1.888.046 juta. Arus kas keluar pada tahun 2009 terdiri atas pelunasan pinjaman subordinasi sebesar Rp250.000 juta, pembelian kembali obligasi dalam perbendaharaan sebesar Rp20.000 juta, pembayaran dividen dan program Kemitraan dan bina lingkungan sebesar Rp55.961 juta, pembayaran pinjaman diterima sebesar Rp297.297 juta, dan pembayaran atas jatuh tempo dari surat-surat berharga yang diterbitkan sebesar Rp750.000 juta.

Arus kas yang diperoleh dari aktivitas pendanaan sebesar Rp5.502 juta di tahun 2008 disebabkan oleh arus kas masuk dari penjualan efek-efek yang dijual dengan janji dibeli kembali sebesar Rp1.124.999 juta, sedangkan arus kas keluar berupa pembayaran pinjaman yang diterima sebesar Rp344.460 juta dan pembayaran atas jatuh tempo dari surat-surat berharga yang diterbitkan sebesar Rp750.000 juta.

8. Rasio Solvabilitas

Solvabilitas adalah kemampuan Perseroan untuk memenuhi seluruh kewajibannya dengan menggunakan seluruh aset yang dimiliki dan modal sendiri, yang diukur dengan perbandingan seluruh kewajiban dengan ekuitas atau dengan seluruh asetnya.

Rasio kewajiban terhadap jumlah aset Perseroan pada tanggal 31 Desember 2010, 2009 dan 2008 masing-masing adalah sebesar 90,57%, 90,77% dan 93,16%.

Rasio kewajiban terhadap jumlah ekuitas Perseroan pada tanggal 31 Desember 2010, 2009 dan 2008 masing-masing adalah sebesar 960,69%, 983,7% dan 1.361,51%.

Penurunan rasio solvabilitas disebabkan oleh implementasi strategi pendanaan Perseroan untuk mengurangi kewajiban dalam bentuk deposito nasabah lembaga yang berbunga tinggi. Efek menurunnya rasio solvabilitas berarti menurunnya pula kebutuhan likuiditas Perseroan untuk membayar biaya bunga.

9. Maturity Gap

Masalah maturity gap adalah kondisi yang secara umum menjadi masalah bagi perbankan nasional karena dominasi dana yang berasal dari deposito jangka waktu pendek yaitu 1 bulan dan 3 bulan, demikian juga halnya dengan kondisi Perseroan yang rata-rata masih didominasi oleh deposito yang berjangka pendek. Sementara itu sebagian dana diinvestasikan pada aset produktif yang berjangka menengah. Kondisi mismatch ini oleh Perseroan akan menjadi perhatian dan prioritas dari waktu ke waktu untuk diminimalkan.

Beberapa upaya yang ada saat ini dan akan terus dilakukan adalah:

1. Memonitor dengan ketat “gapping maturity” oleh ALCO meeting untuk melakukan tindak lanjut agar risiko dapat dikelola secara optimal.

2. Meningkatkan sumber dana yang lebih murah dan tidak volatile dari produk-produk tabungan dengan berbagai macam hadiah, yang diharapkan akan dapat menarik dana tabungan dengan basis nasabah yang besar.

3. Menerbitkan obligasi dengan jangka waktu yang panjang, disesuaikan dengan jangka waktu kredit perumahan yang disalurkan.

4. Memenuhi pendanaan jangka panjang melalui sekuritisasi aset. 5. Pemberian kredit perumahan komersial dan kredit beragunan rumah.

6. Menjaga kolektibilitas/ penerimaan kembali pokok kredit yang telah disalurkan.

Melakukan pendekatan dengan para deposan, sehingga tercipta saling percaya antara bank dengan nasabah. Lebih jauh, walaupun sebagian besar tenor deposito 1 bulan, namun sebagian besar dilakukan atas dasar

roll-over, di mana akan selalu diperpanjang apabila jatuh tempo.

(dalam jutaan Rupiah)

Keterangan Jumlah Lainnya s/d 1 bln 31 Desember 2010 >1 bln s/d

6 bln >6 bln s/d 12 bln > 12 bln

Jumlah Aset 66.645.060 (889.036) 7.987.993 2.642.505 2.491.320 54.412.278 Jumlah Kewajiban 60.835.464 - 40.546.781 9.288.998 2.191.144 8.808.541

Selisih 5.809.596 (889.036) (32.558.788) (6.646.493) 300.176 45.603.737

(dalam jutaan Rupiah)

Keterangan Jumlah s/d 1 bln 31 Desember 2009 >1 bln s/d

6 bln >6 bln s/d 12 bln > 12 bln

Jumlah Aset 59.928.590 9.618.379 1.288.015 1.694.602 47.327.594

Jumlah Kewajiban 53.089.425 36.252.360 8.169.680 2.765.166 5.902.219

Selisih 6.839.165 (26.633.981) (6.881.665) (1.070.564) 41.425.375

(dalam jutaan Rupiah)

Keterangan Jumlah s/d 1 bln 31 Desember 2008 >1 bln s/d

6 bln >6 bln s/d 12 bln > 12 bln

Jumlah Aset 46.281.416 4.741.334 822.736 1.102.130 39.615.216

Jumlah Kewajiban 41.917.642 25.178.597 7.240.001 3.997.548 5.501.496

Selisih 4.363.774 (20.437.263) (6.417.265) (2.895.418) 34.113.720

10. Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)

BMPK adalah persentase perbandingan batas maksimum penyediaan dana yang diperkenankan kepada suatu pihak atau suatu grup terhadap modal bank. Bank Indonesia melalui Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/177/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang BMPK sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/49/PBI/2005 tanggal 29 November 2005 tentang Perubahan Kedua atas PBI No. 2/16/PBI/2000 tanggal 12 Juni 2000, telah menetapkan BMPK suatu Bank adalah maksimum sebesar 10% dari modal bank bila diberikan kepada suatu pihak atau sebuah grup yang terkait dengan bank. Bila diberikan kepada suatu pihak atau suatu grup yang tidak terkait sebesar 30% dari modal bank pada awal penerapan peraturan tersebut yang kemudian secara bertahap turun menjadi 25% dari modal bank pada tahun 2002 dan menjadi 20% yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2003, kemudian pada tahun 2004 meningkat lagi menjadi 25%. Bank Indonesia melakukan pembatasan persentase pemberian kredit kepada satu pihak atau satu kelompok terhadap total modal yang dimiliki bank, hal tersebut sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No. 73/3/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit yang telah diubah dengan Peraturan Bank

Indonesia No. 8/13/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia diatas, yang diperinci sebagai berikut:

1. Untuk pihak-pihak tidak terkait dengan bank untuk satu peminjam maupun keseluruhan adalah sebagai berikut:

a. Penyediaan Dana kepada 1 (satu) Peminjam yang bukan merupakan Pihak Terkait ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari Modal Bank.

b. Penyediaan Dana kepada 1 (satu) kelompok Peminjam yang bukan merupakan Pihak Terkait ditetapkan paling tinggi 25% (dua puluh lima per seratus) dari Modal Bank.

2. Untuk pihak-pihak yang terkait dengan bank untuk satu peminjam maupun keseluruhan setinggi-tingginya 10% dari modal bank.

Dari segi BMPK, Perseroan berusaha untuk menjaga BMPK agar selalu sesuai dengan ketentuan dari Bank Indonesia. Sampai dengan tanggal 31 Desember 2009 tidak ada pelanggaran terhadap BMPK Perseroan. Berikut ini tabel mengenai BMPK Perseroan:

(dalam jutaan Rupiah)

Keterangan 2010 % 31 Desember 2009 % 2008 %

Pihak Terkait:

Kredit kepada Pihak Terkait 21.230 19.698 6.892

Ketentuan BMPK BI Pihak Terkait 644.728 10 541.448 10,00 320.872 10,00

Pelampauan BMPK Perseroan - - -

Pihak Tidak Terkait:

Kredit kepada Pihak Tidak Terkait 134.171 135.525 50.019

Ketentuan BMPK BI Pihak Tidak Terkait 1.289.456 20 1.082.896 20,00 641.744 20,00

Pelampauan BMPK Perseroan - - -

11. Giro Wajib Minimum (GWM)

Bank Indonesia menentukan bahwa bank-bank di Indonesia diwajibkan menjaga posisi Giro Wajib Minimum (GWM) yang ditempatkan pada rekening di Bank Indonesia sebesar 5,0% dari jumlah dana masyarakat yang dihimpun dan kewajiban kepada pihak ketiga lainnya.

Pada tanggal 6 September 2005, Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan No. 7/29/PBI/2005 yang berlaku efektif sejak tanggal 8 September 2005, di mana bank juga wajib menambah GWM sesuai dengan besarnya rasio kredit yang diberikan kepada pihak ketiga terhadap dana pihak ketiga (Loan to Deposit Ratio / LDR), yaitu:

 Memiliki LDR Iebih dari 90%  penambahan GWM sebesar 0%  Memiliki LDR Iebih dari 75% sampai dengan 90%  penambahan GWM sebesar 1%  Memiliki LDR Iebih dari 60% sampai dengan 75%  penambahan GWM sebesar 2%  Memiliki LDR Iebih dari 50% sampai dengan 60%  penambahan GWM sebesar 3%  Memiliki LDR Iebih dari 40% sampai dengan 50%  penambahan GWM sebesar 4%  Memiliki LDR kurang dari 40%  penambahan GWM sebesar 5%

Pada tanggal 31 Desember 2007 dan 2006, perhitungan rasio GWM berdasarkan pada Peraturan Bank Indonesia No. 6/15/PBI/2004 tanggal 28 Juni 2004 yang berlaku efektif sejak tanggal 1 Juli 2004, yang menyatakan bahwa selain daripada kewajiban GWM sebesar 5% untuk rekening Rupiah dan 3% untuk rekening mata uang asing, bank umum juga wajib memenuhi tambahan GWM dalam persentase tertentu sesuai dengan jumlah dana pihak ketiga yang dimiliki oleh bank yaitu:

 Sampai dengan Rp1.000.000.000.000,00  penambahan GWM sebesar 0%  Lebih besar dari Rp1.000.000.000.000,00

sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00  penambahan GWM sebesar 1%  Lebih besar dari Rp10.000.000.000.000,00

sampai dengan Rp50.000.000.000.000,00  penambahan GWM sebesar 2%  Lebih besar dari Rp 50.000.000.000.000,00  penambahan GWM sebesar 3%

Pada tanggal-tanggal 31 Desember 2009 dan 2008 perhitungan rasio GWM didasarkan pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/25/PBI/2008 tanggal 23 Oktober 2008 tentang perubahan atas PBI No. 10/19/PBI/2008 tanggal 14 Oktober 2008 tentang GWM Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing sebesar 5% untuk GWM Rupiah.

Pada tanggal 16 Oktober 2009, Bank Indonesia mengeluarkan Surat Edaran No.11/29/DPNP yang berlaku efektif sejak tanggal 24 Oktober 2009, di mana bank wajib memenuhi GWM dalam Rupiah yang terdiri dari GWM Utama dan GWM Sekunder. GWM Sekunder adalah cadangan minimum yang wajib dipelihara oleh Bank berupa Sertifikat Bank Indonesia, Surat Utang Negara, Surat Berharga Syariah Negara dan/atau Excess Reserve, yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari Dana Pihak Ketiga (DPK). Sesuai Peraturan Bank Indonesia yang berlaku saat ini persentase GWM Sekunder dalam Rupiah ditetapkan sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah. Persentase ini dapat disesuaikan dari waktu ke waktu dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia.

Rasio GWM pada tanggal 31 Desember 2010 dihitung berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 12/19/PBI/2010 tanggal 4 Oktober 2010 tentang “Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing.

Perhitungan rasio GWM berdasarkan prinsip perbankan syariah didasarkan pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/21/PBI/2004 tanggal 3 Agustus 2004 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang diamandemen dengan PBI No. 8/23/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 dan PBI No. 10/23/PBI/2008 tanggal 16 Oktober 2008.

Selama ini Perseroan selalu memenuhi Giro Wajib Minimum atas dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh Perseroan. Berikut adalah tingkat GWM Perseroan (tidak diaudit) pada tanggal 31 Desember 2010, 2009 dan 2008. (dalam persentase) Keterangan 2010 31 Desember 2009 2008 GWM Rupiah* GWM Utama 8,08 6,96 5,24 GWM Sekunder 6,06 15,97 -

GWM Dolar Amerika Serikat 1,33 1,21 1,17

*) Tidak termasuk GWM yang berdasarkan prinsip perbankan syariah

(dalam persentase)

Keterangan 2010 31 Desember 2009 2008

GWM Rupiah Syariah 5,69 5,73 5,97

Tabel berikut ini menunjukkan perhitungan Giro Wajib Minimum (GWM) (tidak diaudit) Perseroan per tanggal 31