• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI DAN KERANGKA

A. Radikalisme

2. Faktor- Faktor Penyebab Radikalisme

Di berbagai dunia termasuk di Indonesia, fenomena radikalisme dan fundamentalisme muncul merupakan buah dari otoritarianisme. Pada masa orde baru radikalisme merupakan common enemy sehingga pemerintah membabat habis gerakan tersebut, pemerintah tidak membeda-bedakan antara radikalisme kanan dan kiri.24

b. Faktor keagamaan

Tidak dapat dibantah lagi bahwa salah satu penyebab munculnya radikalisme adalah faktor sentiment keagamaan. Termasuk juga aksi solidaritas keagamaan untuk saudara seimannya yang tertindas oleh

23 Kumar Ramakhrisna, Radical Pathways: Understanding Muslim Radicalization in Indonesia, (London: Praeger International, 2009),h.7

24 Sun Choirul Ummah, “Akar Radikalisme Islam di Indonesia”, (Jurnal Humanika, 2012), No.12,h.118-121

kalangan tertentu. Dalam kondisi seperti itu lebih tepat menggunakan istilah keagamaan bukan agama, sebab radikalisme selalu menggunakan simbol atau bendera sebagai dalih untuk membela Agama, jihad dan syahid.

Maka dari itu dalam konteks ini emosi keagamaan adalah Agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya intepreatif.25 Dampak yang paling nyata dari terjadinya radikalisme adalah terbentuknya politisasi di dalam agama, dimana agama sangat sensitive sifatnya, sehingga paling mudah untuk membakar fanatisme yang kemudian terjadi berbagai tindakan yang sangat keras, baik dalam kehidupan sosial antar individu maupun kelompok, sehingga terbentuklah dengan yang dinamakan kelompok Islam radikal.26

c. Faktor kultural

Merupakan faktor yang efeknya cukup besar dalam melatarbelakangi munculnya radikalisme, sebagai antitesa terhadap budaya sekularisme. Oleh sebab itu dalam kehidupan sosial, kita sering melihat ada beberapa bagian masyarakat yang berusaha keluar dari kebudayaan yang dianggap tidak sesuai dengan kehidupan secara umum, atau menyimpang dari kebiasaan sebelumnya seperti budaya sekuler. Bahkan memusuhi sekularisme, karena mereka menganggap

25 Ibid,h.118-121

26 Edi Susanto, “Kemungkinan Munculnya Faham Islam Radikal di Pesantren”,(Jurnal Tadris,2007),Vol.2.No.1,h.10-13

budaya tersebut berasal dari Barat yang berusaha merongrong budaya Islam.27 Dalam perkembangannya seperti yang disampaikan oleh Roger Graudy seorang Filosof dari Perancis, radikalisme tidak berkisar hanya pada paham keagamaan, akan tetapi istilah tersebut telah menjelma dalam kehidupan sosial, politik dan budaya.

Dengan demikian berarti, setiap ideology atau pemikiran yang mempunyai dampak negative (side effect) yang dapat membawa seseorang menjadi militan dan fanatik maka hal tersebut dapat dikategorikan dalam radikalisme.28

d. Faktor ideologis antiwesternisme

Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan dalam mengaplikasikan syariat Islam.

Sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi tegaknya syariat Islam. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa, sikap antiweternisme menjadi salah faktor timbulnya radikalisme. Meskipun cara radikal tersebut menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.

e. Faktor kebijakan pemerintah

Ketidakmampuan pemerintah di Negara-negara Islam untuk bertindak memperbaiki situasi atas

27 Sun Choirul Ummah, “Akar Radikalisme Islam di Indonesia”, (Jurnal Humanika, 2012), No.12,h.118-121

28 A.Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdatul Ulama: Masa Depan Moderatisme di Indonesia, (Jawa Timur: PWNU Jawa Timur,2010),h.30-32

berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideology, militer maupun ekonomi dari Negara-negara besar. Seperti yang terjadi pada Negara-negara Islam. Sebab pemerintah dianggap tidak bisa mencari solusi terhadap apa yang terjadi pada negerinya. Sehingga tindakan kekerasan muncul sebagai akibat dari ketidakmampuan pemerintah.

f. Faktor pers atau media massa

Meda massa Barat yang selalu memojokan Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam, faktor ini juga menjadi salah faktor yang membuat seakan akan radikalisme semakin masif dan semakin berkembang.

Kemunculan gerakan Islam Radikal di Indonesia di sebabkan oleh dua faktor : pertama, Faktor Internal dari dalam umat Islam sendiri yang telah terjadi penyimpangan norma-norma Agama. Kedua, faktor Eksternal di luar umat Islam, baik yang dilakukan penguasa maupun dominasi dunia Barat.

Sikap berlebihan itu pula yang membuat tatanan kehidupan umat terdahulu menjadi rusak sebagaimana disabdakan Rasullulah SAW, “wahai manusia, jauhilah sikap berlebihan (Al-guluww) dalam beragama.

Sesungguhnya sikap berlebihan dalam beragama telah membinasakan umat sebelum kalian.” (H.R.Ibnu Majah dan An-Nasa‟i). Rasullulah Saw sangat tidak menyukai

umatnya yang mempraktikan agama secara berlebihan, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Sebaliknya beliau ingin mengajarkan sikap beragama yang moderat dan menghindari sikap guluww (radikal) dalam beragama.29 3. Ciri Radikalisasi

Paling tidak ada enam ciri sebuah gerakan disebut dengan gerakan Radikal.

a. Menjadikan Islam sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan individual dan juga politik ketatanegaraan.

b. Nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi sumbernya di Timur Tengah secara apa adanya tanpa mempertimbangakan perkembangan sosial dan politik ketika Al-Qur‟an dan Hadits hadir di muka bumi ini, dengan realitas lokal kekinian.

c. Karena perhatian lebih terfokus pada teks Al-Qur‟an dan Hadits, maka purifikasi ini sangat berhati-hati untuk menerima segala budaya non-asal Islam (budaya Timur Tengah) termasuk berhati-hati menerima tradisi lokal karena khawatir mencampuri Islam dengan bid‟ah.

d. Menolak ideologi, non Timur Tengah termasuk ideologi Barat, seperti demokrasi, sekularisme dan liberalisme.

Sekali lagi, segala peraturan yang ditetapkan harus merujuk pada Al-Qur‟an dan Hadits.

29 Dede Rodin, Islam dan Radikalisme: Telaah atas Ayat-Ayat

“kekerasan” dalam Al-Qur’an,(Jurnal ADDIN, 2016), Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang,Vol.10.No.1.h.36

e. Gerakan kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah. Oleh karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fisik dengan kelompok lain, termasuk pemerintah.

f. Kelompok ini menggunakan teks-teks keagamaan sebagai alat legitimasi atau pembenaran bagi tindakan mereka. Pemahaman literal dan parsial atau sepotong-sepotong terhadap ayat-ayat Al-Qur‟an dan Hadits Nabi, sering mengakibatkan seseorang terperangkap dalam wawasan sempit dan tidak mampu melakukan kontekstualisasi ajaran dengan kehidupan konkrit.

Selain enam ciri di atas BNPT pun juga mempunyai empat kriteria sebuah situs web media dapat dinilai radikal, yaitu :

a. Ingin melakukan perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan Agama.

b. Takfiri atau mengkafirkan orang lain

c. Mendukung, menyebarkan dan mengajak bergabung dengan ISIS

d. Memaknai jihad secara terbatas.30

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Radikalisasi merupakan paham atau aliran yang menginginkan sebuah perubahan orientasi beragama dengan cara kekerasan, ekstrim, fanatic, reaksioner, liberal dan seterusnya.

30 Aghnia Adzkia dan Sandy Indra, “Kriteria Situs Islam Radikal Versi BNPT” https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150401093434-185-43429/kriteria-situs-islam-radikal-versi-bnpt ,di akses pada 4 November 2019

Radikalisasi ini juga terjadi dalam dua bagian yaitu individu dan kelompok, dimana hasil dari keterpaparan bersumber dari sumber online atau media masa maupun pemikiran yang ekstrem.

B. Deradikalisasi

Deradikalisasi, merupakan segala upaya untuk mentransformasi dari keyakinan atau ideologi radikal menjadi tidak radikal dengan pendekatan multi dan interdisipliner (agama, sosial, budaya, dan selainnya) bagi orang yang terpengaruh oleh keyakinan radikal. Atas dasar itu, deradikalisasi lebih pada upaya melakukan perubahan pemikiran atau keyakinan seseorang.31

deradikalisasi bertujuan untuk mengubah seseorang yang semula radikal menjadi tidak radikal, termasuk di antaranya adalah menjauhkan mereka dari kelompok radikal tempat mereka bernaung. Pada perkembangannya memang muncul kontroversi terkait istilah dan kebijakan deradikalisasi yang dianggap sebagai proses de-Islamisasi, pendangkalan akidah, dan tuduhan lainnya. Nasaruddin Umar dengan cukup jelas menyatakan bahwa deradikalisasi bukan berarti sebuah upaya menghadirkan pemahaman dan wawasan baru, apalagi sebagai pendangkalan pemahaman keagamaan (Islam), melainkan sebagai upaya mengembalikan dan meluruskan

31 Suaib Tahir dkk, Ensiklopedi Pencegahan Terorisme, (Bogor: Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme,2016).h.23

kembali pemahaman yang benar tentang agama dan wawasan bernegara.32

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019, Deradikalisasi adalah suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis dan berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal Terorisme yang telah terjadi.33 Oleh karena itu Program Deradikalisasi merupakan upaya merubah pemahaman radikal seseorang atau kelompok atau Oknum, untuk diarahkan dan diluruskan kembali ke arah pemahaman yang damai, moderat, dan toleran. Sehingga dalam pelaksanaan deradikalisasi perlu dilakukan bersamaan dengan deideologi. Deideologi ini kunci utama dalam penyadaran serta proses reorientasi ideologi teroris untuk kembali ke ajaran yang benar. Deradikalisasi telah dilakukan di beberapa Negara baik Barat atau Timur dalam menangani radikal terorisme. Yaman sering dianggap sebagai pionir dalam program deradikalisasi. Negara ini mulai menjalankan program deradikalisasi pada tahun 2002 dengan membentuk Komite untuk Dialog (Committee for Dialogue). Berbeda dengan Yaman, Arab Saudi mendesain model program deradikalisasi yang lebih komprehensif dengan membentuk PRAC (Prevention, Rehabilitation and After Care). Komite ini

32 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an & Hadits, (Jakarta: Gramedia,2014)

33 Pasal 1 nomor 6, Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Pelindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan.

dijalankan oleh suatu lembaga al-Munashah (Komite Penasihat).

Kelompok atau perorangan atau Radikalisme itu banyak macam dan bentuknya. Ada kelompok radikal yang memperbolehkan kekerasan sebagai jalan keluarnya atau bisa juga disebut dengan Kelompok Jihadisme. Kelompok ini bukan hanya terlibat pada aksi kekerasannya, tetapi secara ideologis dengan membenarkan kekerasan sebagai cara perubahan kepada masyarakat sipil atau aparat. Kelompok inilah yang sering disebut sebagai radikal terorisme atau ekstrimis. Namun ada pula kelompok radikal yang tidak menggunakan kekerasan.34 Sasaran deradikalisasi dalam hal ini adalah kelompok radikal kekerasan (violent radicals) yang tidak hanya tindakan, tetapi secara ideologis melegitimasi kekerasan umumnya menggunakan pengabsahan ajaran keagamaan.

Ada beberapa tingkatan dalam melihat output yang dihasilkan. Pertama, Deradikalisasi Ideologis (ideological deradiacalization), yakni seseorang yang menghilangkan ideologi kekerasan, tetapi secara perilaku masih tidak menerima terhadap model keterbukaan dan lainnya. Kedua, Deradikalisasi Perilaku (behavioural deradicalization), ialah ia yang masih memegang teguh ideologi dengan kekerasan walau sudah terbuka untuk berkomunikasi. Ketiga, Deradikalisasi Organisasi (organizational deradicalization), yang bersumber

34 Omar Ashour, The De-Raddicalization of Jihadist; Transforming Armed Islamist Movements, (London: Routledge,2009).h.5

pada pemimpin kelompok dan para mempengaruhi pengikutnya.

Di Indonesia, model deradikalisasi yang dilakukan mengarah pada deradikalisasi secara menyeluruh. Karena itulah, apa yang dikembangkan dari deradikalisasi tidak hanya mengarah pada perorangannya saja seperti yang dilakukan pada narapidana di dalam Lapas, tetapi juga di luar Lapas yang meliputi mantan narapidana teroris, keluarga, jaringannya.

Deradikalisasi bukan sekedar faktor keagamaan. Seorang mantan narapidana teroris bisa saja telah meninggalkan paham kekerasan secara ideologis, namun secara sikap ia tetap tidak berubah. Terutama ketika mereka telah kembali pada lingkungan tempat tinggalnya dahulu di luar lapas, mantan narapidana terorisme rawan mengalami kondisi yang kurang baik, seperti persoalan ekonomi, isolasi sosial, gejolak psikis dan lain-lain, yang dapat berpotensi mendorong mantan narapidana tersebut untuk kembali berperilaku keras. Karena itulah, pembinaan kewirausahaan, pendampingan resosialisasi, dan pembinaan keluarga menjadi elemen penting dalam pemberian program deradikalisasi.

Upaya deradikalisasi membutuhkan waktu, ketekunan, keilmuan, dan kesiapan mendengar dari pihak yang dijadikan objek. Dibutuhkan juga pola komunikasi yang baik, saling terbuka, bertukar pendapat, dan saling memahami. Berbeda dengan diktrinisasi atau indoktrinasi yang sifatnya sedikit lebih seram. Karena dalam keduanya mengandung unsur brainwash (cuci otak), meyalahkan lawan bicara, membantai

argumentasi, dan menegaskan idenya sendiri sebagai yang paling benar.

Dalam bahasa sederhana, deradikalisasi itu adalah cara berkomunikasi dari hati ke hati. Atas dasar komunikasi yang demikian diskusi dan tukar pikiran dapat berjalan lebih kondusif. Karena dengan demikian tidak perlu ada pihak yang merasa sedang dipojokan, dipengaruhi, atau dipaksa. Sejumlah riset pernah menyebut, bahwa banyak dari kelompok radikalisme-terorisme tidak pernah berdialog atau diajak bicara dengan pihak yang berbeda dengan keyakinannya, apalagi yang sifatnya intensif. Padahal, siapapun dan apapun tindakan yang pernah dilakukan sebelumnya, mereka tetaplah manusia. Manusia adalah makhluk sosial dan karenanya butuh berkomunikasi. Di alam bawah sadar setiap manusia terbersit keinginan untuk bisa berkomunikasi secara bijak kepada pihak lain. inilah yang seringkali luput dari jangkauan banyak orang.

Di saat banyak pihak lebih memilih menyalahkan pihak lain, BNPT justru secara bijak merangkul orang-orang yang berbeda pandangan untuk berdialog dan bertukar pendapat.35

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Deradikalisasi merupakan proses terencana, terpadu, sistematis dan berkesinambungan untuk merubah, membalikkan, mengurangi atau menghilangkan pemahaman atau ideology Radikal untuk kemudian dikembalikkan, diarahkan dan

35 Suaib Tahir dkk, Ensiklopedi Pencegahan Terorisme, (Bogor: Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme,2016).h. 62

diluruskan kembali kea rah pemahaman yang benar tentang Agama dan wawasan bernegara yang lebih damai.

C. Identifikasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Identifikasi di artikan sebagai suatu tanda kenal diri, bukti diri, penentu atau penetapan identitas seseorang, atau benda. Sedangkan jika dilihat dalam segi psikologi merupakan proses psikologi yang terjadi pada diri seseorang karena secara tidak sadar dia membayangkan dirinya seperti orang lain yang dikaguminya, lalu dia meniru tingkah laku orang yang dikaguminya itu.36

Menurut Sigmund Freud dalam identifikasi, terjadi suatu proses pemerolehan (acquisition) yang kurang lebih bersifat permanen pada kepribadian. Karena identifikasi adalah satu cara yang dilakukan oleh seseorang untuk mengambil alih ciri-ciri orang lain dan menjadikannya bagian yang terintegrasi dengan kepribadiannya sendiri. Identifikasi ini lebih dalam daripada hanya sekedar meniru (imitasi), menurut Freud imitasi itu hanya merupakan peniruan secara dangkal dan sementara. Dalam proses Identifikasi, ini berlangsung secara spontan, begiu saja, dan umumnya tidak secara tidak sadar.37

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Identifikasi merupakan proses psikologi secara tidak sadar,

36 KBBI.web.id/identifikasi di akses pada 9 Juli 2020

37 Prof.Dr.Singgih,D.Gunarsa Bunga Rampai Psikologi Perkembangan dari Anak sampai usia Lanjut, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia,2004),h.181

spontan, begitu saja dalam suatu identitas seseorang, yang kemudian menjadikannya sebagai suatu tanda kenal diri bersifat permanen pada kepribadian. Dalam penelitian ini peneliti menyepakati pendapat yang di kutip dari Sigmund Freud.

D. Rehabilitasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Rehabilitasi diartikan sebagai pemulihan kepada kedudukan (keadaan,nama baik) yang dahulu (semula), perbaikan anggota tubuh yang cacat dan sebagainya atas individu (misalnya pasien rumah sakit, korban bencana) supaya menjadi manusia yang berguna dan memiliki tempat dalam masyarakat.38

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, seorang berhak memperoleh Rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum, yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan. Permintaan Rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan.39

38 KBBI.web.id/rehabilitasi di akses pada 9 Juli 2020

39 pasal 97 ayat (1,2,3) , tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-undang nomor 8 tahun 1981

Dalam tujuannya Rehabilitasi sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan kembali nama baik, kedudukan dan martabat seseorang yang telah sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa penangkapan, penahanan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Padahal tindakan yang dikenakan kepada dirinya merupakan tindakan tanpa alasan yang sah menurut undang-undang. Sebagai imbal baliknya orang yang ditangkap, ditahan dituntut dan diadili tidak berdasar alasan yang sah, diberi hak untuk mengajukan tuntutan ganti rugi kerugian dan rehabilitasi.40

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa Rehabilitasi merupakan pemulihan keadaan seseorang, baik secara tindak pidana hukum ataupun tidak dalam tindak pidana hukum yang berdasarkan Undang-undang diberikan hak, untuk mengajukan dan mendapatkan ganti rugi kerugian berupa pemberian Rehabilitasi. Dalam penelitian ini peneliti menyepakati pendapat yang termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang-undang nomor 8 tahun 1981.

E. Reeedukasi

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2019 pasal 39 dan 40 “Dalam penangannya materi Reedukasi diberikan dalam bentuk penguatan

40 D.Y.Witanto, Hukum Acara Praperadilan Dalam Teori dan Praktik,mengurai konflik norma dan kekeliruan dalam praktik penanganan perkara praperadilan (Depok: Imaji Cipta Karya,2019).h. 182

pemahaman keagamaan, penyuluhan mengenai wawasan kebangsaan dan isu perdamaian, kemudian pengetahuan mengenai penyelesaian konflik dan tak lupa pendidikan karakter. Pemberian materi-materi tersebut diberikan melalui metode ceramah atau kuliah umum, diskusi bersama, pembinaan dan pendampingan, penyuluhan atau sosialisasi dan praktik latihan.41

Reedukasi adalah penangkalan dengan mengajarkan pencerahan kepada masyarakat tentang paham radikal, sehingga tidak terjadi pembiaran berkembangnya paham tersebut. Sedangkan bagi narapidana terorisme, reedukasi dilakukan dengan memberikan pencerahan terkait dengan doktrin-doktrin menyimpang yang mengajarkan kekerasan sehingga mereka sadar bahwa melakukan kekerasan seperti bom bunuh diri bukanlah jihad yang diidentikkan dengan aksi terorisme.42

Dalam ensiklopedia pencegahan terorisme Reedukasi merupakan program yang memberikan pendidikan agama atau pengetahuan yang lain yang bersifat moderat, sehingga bisa membuka cakrawala berpikir yang lebih luas.43

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Reedukasi merupakan program pembinaan Deradikalisasi oleh

41 Pasal 39,40,41 Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Pelindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan.

42 Irfan Idris, “Deradikalisasi Terorisme di Indonesia”,https://damailahindonesiaku.net di akses 14 Juli 2020

43 Suaib Tahir dkk, Ensiklopedi Pencegahan Terorisme, (Bogor:

BNPT,2016).h. 55

BNPT dalam bentuk penguatan pemahaman keagamaan, penyuluhan wawasan kebangsaan dan isu perdamaian. Melalui metode ceramah atau kuliah umum, diskusi bersama, pembinaan dan pendampingan, penyuluhan atau sosialisasi dan praktik latihan kepada narapidana terorisme. dalam penelitian ini peneliti menyepakati pendapat yang dikutip dari peraturan pemerintah nomor 77 tahun 2019.

F. Resosialisasi atau Reintegrasi sosial

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Reintegrasi di artikan sebagai penyatuan kembali.44 Makna lain berdasarkan Departemen Pendidikan dan Budaya 1998, Reintegrasi dan Resosialisasi memiliki makna yang sepadan, yang menyatakan jika Reintegrasi sosial sebagai suatu proses penyatuan kembali atau pengutuhan kembali, sedangkan Resosialisasi adalah pemasyarakatan kembali.45

Pendapat lain menyatakan bahwa, Resosialisasi ialah proses pembentukkan norma-norma dan nilai-nilai baru untuk menyesuaikan diri dengan lembaga kemasyarakatan yang telah mengalami perubahan.46

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2019 pasal 42 hingga 46 “Dalam pelaksanaannya Reintegrasi sosial atau Resosialisasi yang

44 KBBI.web.id/reintegrasi di akses pada 14 Juli 2020

45 Departemen Pendidikan dan Budaya 1998

46 Sakidjo,dkk ,Uji Coba Pola Pemberdayaan Masyarakat dalam peningkatan Integrasi Sosial di daerah rawan konflik (Jakarta: Departemen Sosial RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial,2002).h. 8-9

dilakukan kepada narapidana terorisme ialah penguatan rasa percaya diri untuk kembali kepada masyarakat, peningkatan pemahaman dalam berinteraksi dengan masyarakat, peningkatan kemampuan sosial dalam proses integrasi kembali ke masyarakat, dan peningkatan keterampilan untuk dapat menghidupi dirinya dan keluarga. Melalui metode diskusi, pembinaan dan pendampingan, penyuluhan, sosialisasi, pendidikan ketrampilan tertentu, pelatihan dan sertifikat kerja, pelatihan kewirausahaan, magang serta kegiatan sosial.

Dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan dengan melibatkan akademisi, praktisi, tokoh agama, tokoh masyarakat dan aparat penegak hukum.47

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Reintegrasi sosial atau Resosialisasi merupakan suatu proses penyatuan, pengutuhan, pemasyarakatan kembali dengan membentuk norma-norma dan nilai-nilai baru, dalam lembaga pemasyarakatan melalui metode diskusi, pembinaan dan pendampingan, penyuluhan, sosialisasi pendidikan ketrampilan, pelatihan kewirausahaan, magang dan kegiatan sosial lainnya. Serta melibatkan aparatur yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah RI no.77 Tahun 2019.

G. Narapidana

Berdasarkan dasar hukum Undang-undang no.12 tahun 1995 pasal 1 nomor 5 yang berbunyi “warga Binaan

47 Pasal 42-46 Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Pelindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan.

Pemasyarakatan adalah Narapidana, anak didik pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan, Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Lalu untuk Anak Didik Pemasyarakatan adalah :

1. Anak pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

2. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

3. Anak sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

berdasarkan Peraturan Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia No.35 Tahun 2018 tentang Revitalisasi Penyelenggaraan Masyarakat warga binaan pemasyarakatan terbagi menjadi dua yaitu, Tahanan yang merupakan tersangka atau terdakwa yang sedang menjalani proses peradilan dan di tahan di rumah tahanan negara. Sedangkan Narapidana adalah terpidana yang sedang menjalani pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).48 Seseorang yang sudah terjerat

48 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor 35 tahun 2018 , tentang Revitalisasi penyelenggaraan Pemasyarakatan, pasal 1 ayat (2, 3, 10)

pelanggaran hukum dan akan menjalani proses peradilan oleh para penyidik atau Penuntut umum dan Hakim sebagai penentunya di istilahkan dengan Tahanan atau terdakwa.

Dalam menjalani proses peradilannya mereka di tempat tinggalkan di sebuah Rumah Tahanan, di karenakan mereka masih menunggu proses putusan keadlian terkait dengan pelanggaran hukum yang mereka lakukan, oleh Pengadilan

Dalam menjalani proses peradilannya mereka di tempat tinggalkan di sebuah Rumah Tahanan, di karenakan mereka masih menunggu proses putusan keadlian terkait dengan pelanggaran hukum yang mereka lakukan, oleh Pengadilan