• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

E. Kendala dalam pelaksanaan Program

3. Faktor revitalisasi undang-undang

Undang-undang terorisme setelah dilakukan revitalisasi kini menjadi lebih sensitif, pada saat seseorang tersebut mengetahui dan tidak melapor walaupun belum

117 Hasil wawancara langsung dengan Bapak Fauzi selaku Kasi Identifikasi BNPT di Lapas Cipinang yang dilakukan pada tanggal 24 Januari 2020 pukul 11.00

118 Hasil wawancara langsung dengan Bapak Boy selaku Kepala Seksi Bimbingan Kemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Klas 1 Cipinang , Jakarta (Via Video Call) pada tanggal 18 November 2020 pukul 15.13

ada perencanaan untuk eksekusi, maka seseorang tersebut mengalami penangkapan dan selanjutnya mendapatakan pidana hukuman sesuai dengan kasusnya.

“Perkara hukum bukanlah kapasitas dari lapas, tapi bagian dari kepolisian, lapas ranahnya ialah pembinaan, pendampingan, bimbingan. Sedangkan polisi, jaksa, hakim adalah penegak hukum, walau lapas adalah bagian dari penegakan hukum , tapi berada dipintu terakhir karena polisi tidak bertanggung jawab atas pembinaan dari seorang narapidana.”119

Kepolisian dalam prakteknya hanyalah menjalankan penegakan hukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Walaupun hanya menjadi korban dalam kasus terorisme tersebut, pidana tetap dijatuhkan.

Dalam hal ini para staf deradikalisasi harus lebih bergerak aktif untuk memberikan program deradikalisasinya, karena tujuan dari deradikalisasi sendiri ialah menyadarkan dan mengembalikan pemahaman yang menyimpang, walau sebenarnya pada kasus ini para korban yang menjadi narapidana terorisme bisa terlebih dahulu mendapatkan rehabilitasi dari lembaga-lembaga sosial. Untuk selanjutnya bisa diikut sertakan kedalam program pembinaan Lapas. Banyak diantara mereka yang mengalami shock healing , keadaan dimana seseorang mengalami ketidaksadaran keadaan berkepanjangan karena langsung menerima program pembinaan Lapas

119 Hasil wawancara langsung dengan Bapak Ibrahim selaku Pamong Narapidana Terorise di kedai Malabar Roti dan Kopi Jakarta, pada 11 Desember 2020 Pukul 16.40

dengan kasus pelaku kriminal bukan yang menjadi korban.

“kita bisa mendapatkan hukuman pidana dengan catatan karena kita turut membantu atau mendukung kelompok tersebut. masa tahanan yang diberikan juga lebih ringan, karena tingkat kesalahannya berbeda. Tetapi hukuman tetap berjalan, karena di anggap mendukung terorisme.

dalam konteks ini bukan berarti kita enggan untuk memberikan pertolongan, tetapi lebih waspada lagi.

Bahkan ada beberapa kejadian ada orang yang hanya menumpang tidur di rumah bapak A, setelah beberapa hari orang tersebut tertangkap otomatis akan ada penelusuran. Beberapa hari kemarin sempat beristirahat dimana, ketika ia menjawab di rumah bapak A , otomatis bapak A tersebut bisa di kenakan catatan bahwa bapak terbukti menyembunyikan. Hal seperti itu bisa juga mendapat pidana. Seperti halnya menyebar luaskan berita dari group whtasapp juga bisa dikenakan dan dijerat Undang-undang ITE.”120

120 Hasil wawancara langsung dengan Letkol Hendro selaku Kasi Deradikalisasi di Kantor Pusat BNPT yang dilakukan pada tanggal 13 September 2019 pukul 10.00

134

Bab ini berisi analisis hasil temuan peneliti tentang program deradikalisasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Lapas Klas I Cipinang Jakarta

A. Identifikasi Subjek

Subjek Penelitian ini adalah mereka yang menjadi rekomendasi wali pemasyarakatan narapidana terorisme untuk dijadikan informan. Dari jumlah total 10 narapidana teroris saat ini, terpilih 4 orang dengan kriteria :

1. Identitas Narapidana Terorisme

Identitas ini di dapatkan saat penangkapan ketika mereka mendapat penyidikan awal di Mako Brimob sesuai dengan domisili asal mereka, melalui proses Profiling yang merupakan identifikasi untuk subjek hukum pidana khusus dan Litmas (penelitian masyarakat) identifikasi subjek hukum pidana umum, sebelum penempatan kedalam Lapas. Ke empat narapidana teroris yang menjadi informan memiliki pidana hukuman tidak lebih dari empat tahun.

2. Peran dan keterlibatannya dalam kelompok/Jaringan Posisi seorang narapidana terorisme tersebut dalam kelompok atau jaringan sebagai apa? Ketika seorang narapidana terorisme memiliki posisi secara langsung ia memiliki peran, bisa jadi posisi mereka hanya

menjadi pengikut atau simpatasan. Apakah menjadi seorang amir atau pemimpin kelompok atau jaringan dalam wilayah tertentu, apakah menjadi seoran militan yang memiliki prinsip keras dan rigid (kaku) atau bahkan menjadi seorang narapidana terorisme yang memiliki tipologi hardcore dimana perannya dalam kelompok atau jaringan adalah eksekutor suatu wilayah, tingkatnya adalah high risk. Karena ia berpotensi merangkul, mengajak walaupun dalam Lapas. Mayoritas narapidana terorisme dengan tipologi hardcore mendapatkan masa pidana mati atau pidana seumur hidup.

3. Latar belakang bergabung dengan jaringan

Dalam kategori keterpaparannya napiter simpatisan ada yang mendapatkan doktrin langsung dari Amir (ketua) jaringan atau kelompok tersebut. Ia yang kuat pendirian dan cara pemikiranntya mampu meloloskan diri, sedangkan ia yang tidak kuat dan cara pemikiran mudah dipengaruhi, secara tidak langsung akan ter cuci otaknya oleh para amir (ketua) jaringan atau kelompok tersebut.

Factor lain yang menjadi latar belakang bergabung dengan jaringan terorisme adalah pemahaman yang sempit dalam menerjemahkan nilai-nilai agama. Mencari tahu sendiri dan menafsirkan sendiri sehingga sangat mudah di pengaruhi.

Media sosial juga berperan penting dalam aksi terorisme, Media sosial berperan untuk membentuk persepsi seseorang tentang Islam, negara dan tindakan tidak toleransi dengan berita-berita, gambar ataupun lainnya yang menyebar kebencian dan secara tidak langsung „mengajak‟ orang lain untuk bergabung dalam aksi terorisme.

4. Pemahaman ideologi yang dianut

Identifikasi subjek Informan rata-rata terjerat dengan jaringan Jamaah Anshaarut Daulah (JAD) dan Mujahidin Indonesia timur (MIT). Informan memiliki Ideologi radikal yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, Bhinneka tunggal Ika, UUD 45, konsep NKRI ideologi tentang agama. Adanya ideologi radikalisme berbalut keagamaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

5. Tingkat Radikalisme

Subjek informan dengan tingkat radikalisme medium risk dan low risk. Resiko tersebut meliputi resiko terhadap gangguan keamanan dan ketertiban lapas serta potensi napi teroris untuk mengulang kembali perbuatannya. Tingkat resiko napi teroris tersebut dipengaruhi juga oleh tingkat radikalisme yang dianut oleh seorang napi teroris.

BNPT membagi 4 kategori napi teroris berdasarkan tingkat kekoperatifan. Ciri-ciri narapidana

teroris yang kooperatif, antara lain mau bertegur sapa dengan petugas, mau mengikuti program pembinaan dan mau shalat berjamaah di mesjid utama lapas, sedangkan yang non kooperatif tidak mau bertegur sapa dengan petugas (jika ada perlu saja), tidak mau mengikuti program pembinaan (khususnya pembinaan kepribadian) dan biasanya tidak mau shalat berjamaah di Mesjid utama Lapas. Subjek informan adalah narapidana teroris yang sudah kooperatif diberi kesempatan untuk mengikuti program deradikalisasi di Lapas

6. Tingkat Loyalitas terhadap jaringan

Subjek informan adalah napiter yang memiliki tingkat loyalitas medium dan low. Keterlibatannya dalam jaringan terorisme pada ideologi dan simpatisan, tidak memiliki keterlibatan yang lebih radikal hingga militan.

Napiter yang bersedia juga kooperatif dan akan segera bebas untuk mengikuti program deradikalisasi.

B. Analisis Program Deradikalisasi oleh BNPT di Lapas Cipinang

Pada tahap deradikalisasi, BNPT telah melakukan langkah-langkah yang sesuai dengan teori yang tercantum dalam bab II.

Tabel 5.1 Identitas Subjek

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

Kode Usia Jabatan

B1 - Kasi Deradikalisasi BNPT

B2 34 Tahun Kasi Identifikasi Bina dalam Lapas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas I Cipinang

Kode Usia Jabatan

C1 40 Tahun Pamong Narapidana Terorisme

C2 32 Tahun Kasi Bimkemas

Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) Terorisme

Kode Asal Usia Kasus Pidana

N1 Blitar 50 Tahun Dugaan Selundupan Senjata api

4 Tahun

N2 Solo 37 Tahun Amir JAD Malang 3 Tahun

N3 Riau 32 Tahun - 3 Tahun

N4 Bone 32 Tahun Laskar MIT 3 Tahun

B : Kode Staf BNPT

C : Kode Staf Lapas Cipinang N : Kode Narapidana Terorisme.

1. Identifikasi

Sebagaimana Dari hasil wawancara peneliti dengan Bapak Fauzi bahwa proses identifikasi tidak hanya dilakukan saat napiter pertama masuk lapas, tapi dilakukan secara berkala atau berkesinambungan.

Sebelum kita bertemu dengan narapidananya kita sudah memegang berkas terkait napi yang ingin kita identifikasi tersebut. kita cari informasinya semisal dari napi A kita ketahui dulu dari walinya, seperti apa dia, sikapnya bagaimana, informasi dari instansi lain seperti dari kepolisian, cari tahu dari sumber sumber lain, awal masuk dimana, hal hal apa yang tidak boleh disentuh perlu di cari tahu terlebih dahulu. Treatment treatment yang kita berikan bukan serta merta dilaksanakan tanpa adanya suatu perencanaan, tanpa adanya suatu data awal berdasarkan hasil identifikasi barulah kita bisa mengambil sebuah kebijakan, keputusan mau diapakan napi tersebut. artinya mereka melaksanakan program inipun tidak serta merta berdasarkan waktu tempo, tetapi terus menerus ketika mereka memanggil narapiter untuk diadakan diskusi dan komunikasi diperolehlah suatu informasi dan data yang nantinya dilaporkan kepada pihak pihak terkait seperti BNPT dan densus yang nantinya juga akan di olah dan ditindak lanjuti, seperti apapun kita dapat menerima informasi dan arahan arahan melalui wali napiter tersebut. dan wali napiterpun melaksanakan sesuai dengan apa yang kita harapkan, artinya terjalin sebuah pembinaan yang mengalir ketika wali napiter peduli terhadap keadaan napiternya di situ

program tersebut terus berjalan tidak harus program itu berjalan saat BNPT hadir dan datang saja.(B2)

Dalam melakukan identifikasi awal secara individu per individu kepada narapidana terorisme, Anang Harianto juga mengungkapkan identifikasi dan profiling Lapas dan BNPT diberikan kepada warga binaan pemasyarakatan terorisme secara berkesinambungan.

lebaran kurang sehari. Jadi setelah sholat tarawih, sekitar setengah 8 saya di tangkap, dimasukkan ke mobil. kalo tidak salah ya, karena kondisi saya waktu di tangkap itu di borgol,langsung mata di tutup. Kalo yang saya denger sih kayaknya waktu itu saya mau di bawa ke polres tapi tidak diturunkan, sehabis itu saya tidak tahu mau dibawa kemana tapi, setelah saya sampai sini yaa katanya sih di mako Brimob Surabaya. Saya di interogasi ya seperti itulah di introgasinya. : itu 4 bulan, jadi ditangkap, diinterogasi waktu itu 8 hari berturut-turut, posisi tangan diborgol, mata ditutup, kaki dirantai sudah tidak kemana-mana. Sholat ya disitu, makan disitu, tapi waktu itu ya saya akhirnya ngambil untuk puasa sunnah, saya niati untuk puasa sunnah, karena saya tidak berfikir kalo saya makan saya harus ke kamar mandi juga nanti repot lagi, sudah saya tahan saja, jadi sahur dan buka puasa pun sekedarnya yang ada disitu. Tapi alhamdulillah Allah menguatkan itu semua, terus setelah 8 hari saya dipindah ke Polda Jatim, di Polda Jatim itu 4 bulan nah disini pemberkasan lagi BAP lagi, penyempurnaan BAP mungkin ada

BAP tambahan, setelah itu masuk P21 saya dikirim ke Jakarta. saya ditangkap kan bulan juni, saya ditangkap tanggal 13 juni, saya dipindahkan kesini tuh insyallah masuk ke sini tanggal 16 oktober 2018. Tapi lagi-lagi saya merasa beruntung, karena masih berlaku undang-undang yang lama, karena setelah saya itu diberlakukan undang-undang yang baru, itu penyempurnaan BAP sampe 6 bulan setelah ditangkap, jadi kalo saya prosesnya 4 bulan P21 setelah itu pemberkasan di kejaksaan 2 bulan untuk penyusunan penuntutan, setelah itu maju sidang dan disidangkan, total seinget saya, saya vonis itu 2 April dari juni hingga april 10 bulan mulai dari penangkapan saya. Tapi untuk yang lama setelah saya itu biasanya rata-rata satu tahun, yaa bener ya saya 10 bulan sedangkan yang baru yang tadinya saya 4 bulan jadi 6 bulan mereka, berarti ada penambahan 2 bulan kan, total jadi 12 bulan kan atau satu tahun. jadi masuk sini, disini ada untuk napi teroris ada blok khususnya lah, ada PK masuk di isolasi itu 1 bulan, 1 bulan itu di keong jadi sama aja seperti di polda engga bisa keluar engga bisa kemana-mana, setelah itu bagi yang sudah (seinget saya) putusan itu baru ada jadwal angin-angin. Jadi seperti bisa dikeluarkan di kamar, jadi satu minggu itu kalo tidak salah totalnya 2 jam, jadi sekali setangah jam, setengah jam. (N1)

Dalam proses identifikasi tersebut disesuaikan dengan kebutuhan. Ahmad Fauzi selaku Kasi Identifikasi terkadang ikut turun dalam prosesnya, bahkan satu orang napiter ada yang dipegang oleh dua orang identifikator

sekaligus. Jika tidak seperti itu tingkat subjektifitasnya pun cukup tinggi dan rentan bagi para identifikator jika tidak memiliki bekal serta pelatihan sebelumnya. Tentu saja identifikator mempunyai kualifikasi yang sangat tinggi tentang pemahamanan terorisme dan radikalisme yang bertujuan mencegahnya identifikator terpapar radikalisme. Kualifikasi tersebut juga ditentukan dengan klasifikasi seorang Terorismenya yaitu Hardcore (garis keras), militan, Amir dan Simpatisan.

Saya juga ikut terlibat langsung dalam proses identifikasi, jika untuk jumlah staf yang diturunkan Sesuai kebutuhan, biasanya saya membawa 3 atau 2 tim, atau jika saya membutuhkan banyak orang saya akan membawa banyak orang bahkan bisa dengan metode paralel sekaligus. Dalam pelaksanaannya pun kita juga harus bisa melibatkan beberapa orang. Sehingga adanya beberapa pandangan yang bisa dilihat sambil mengobservasi juga, jika tidak seperti itu tingkat subjektifitasnya pun cukup tinggi, maka dari itu kita juga mencoba melatih mereka, kemudian saya juga menyiapkan tim dimana satu napiter untuk 2 orang, proses pembinaannya di lakukan di dalam ruangan konsultasi atau ruangan pembinaan, karena kita juga mengikuti aturan lapas. (B2)

Proses identifikasi harian rutin dilaksanakan dalam proses pembinaan program Deradikalisasi, Ibrahim

seorang pamong warga binaan pemasyarakatan Lapas bisa memegang hingga delapan orang napiter untuk diawasi kesehariannya.

Narapidana terorisme yang menjadi tanggung jawab saat ini berjumlah 8 orang, dengan mayoritas kasus terorisme yang beragam. Di awal-awal menjabat narapidana yang dipegang oleh para Pamong masih berkisar dua hingga tiga orang napiter. Tetapi semakin berjalannya waktu jumlahnya semakin meningkat, bahkan satu orang Wali Napiter atau biasa kita menyebutnya Pamong, bertanggung jawab atas 8 orang narapidana terorisme, yang kesehariannya harus selalu kita amati, pantau, dan memberikan report.

Tetapi tugas para pamong tidak hanya di situ saja, mereka juga tetap menjalankan program deradikalisasi dalam intensitas waktu setiap hari kepada para napiternya, baik itu berupa identifikasi berkala, ataupun wawasan keagamaan dan wawasan kebangsaan. Dalam pendampingan Napiter saat ini, di Lapas Cipinang mempunyai pendamping atau yang kita sebut sebagai Wali Napiter. wali di lapas cipinang saat ini berjumlah 12 Orang yang berasal dari semua bidang.

Masing- masing satu orang memegang dan mengawasi 8 orang Napiter. hingga pemberian

rutin proses pembinaan program deradikalisasi.

(C1)

Menurut Letkol Hendro Proses identifikasi lanjutan dilakukan satu sesi setiap harinya memang belum maksimal, ditambah dengan jumlah narapidana terorisme cukup banyak dan terbatasnya wali narapidana terorisme.

Tergantung kebutuhan dan tergantung kepada diri setiap napiternya, terkadang perkembangan mereka di lapangan naik turun, terkadang jika hari ini kita sudah mengadakan interaksi komunikasi mereka menyadarinya bahwa mungkin ia radikal dan kemudian intensitasnya turun.

Tetapi jika kembali terpengaruh dengan lingkungannya bukan tidak mungkin intensitas radikalnya kembali naik. Kuncinya adalah, semakin intens atau sering kita melakukan pembinaan seperti pada tahapan program deradikalisasi, itu akan semakin cepat membuat tingkat radikal napiter turun. Tetapi Dalam rentan waktu satu tahun tim deradikalisasi, mungkin mengadakan pertemuan hanya beberapa kali, bahkan terkadang jika sudah terlalu lama tidak mengadakan komunikasi dua arah kepada para napiter, memungkinkan pemikiran radikal mereka akan kembali lagi. Sebaliknya jika memang napiter kurang mendapat perhatian lebih memungkinkan pemulihannya agar memakan

waktu yang lama. Dalam proses penanganan oleh para pamong atau petugas pemasyarakatan, terkadang juga terbatas pada personilnya.

Biasanya satu pamong memegang beberapa orang napiter untuk proses pembinaannya. (B2)

Identifikasi lanjutan atau profiling yang dilakukan satu sesi satu hari maksimalnya diberikan waktu 3 jam untuk 2 orang narapidana terorisme dalam satu sesi per hari oleh 2 orang identifikator.

Sama halnya dengan kasus yang terjadi di masa sekarang, pemahaman seperti apa yang diyakini.

Begitulah deradikalisasi bekerja, membuktikan kepada narapidana terorisme bahwa islam atau agama itu bukan ajaran yang mengajarkan kekerasan, mereka harus bisa menerimanya.

Iya, makanya saya berfikir dia masih istilahnya sama kaya saya lah, saya mendapati ketika di salafi koq dakwah kayanya koq ekslusif, jadi pengen ada nuansa meningkatkan kualitas dakwah lah jadi kemasyarakat juga. Makanya kan saya ada sedikit amanah ilmiah kan yang Allah berikan pada saya kan, yang di sampaikan di warung kopi, di tetangga ikhwan juga waktu itu seperti itu awal-awalnya. Dapat berita seperti itu di chanel dan group termotivasi untuk berangkat akhirnya kan, ternyata bertentangan dengan hukum negara.(N3) Puncaknya saat pembantaian di Suriah itu kan di ekspose di media. Di saksikan banyak orang, ternyata itu masuk ke pembahasan tanda-tanda akhir zaman, nubuah akhir zaman. Dari nubuah

akhir zaman itu tidak terjadi hanya di bumi syam atau Suriah, akan tetapi menyeluruh ke seluruh tempat gitu. Dari situ saya termotivasi untuk bagaimana kalo kejadian ini terjadi di tempat saya, apa yang harus saya lakukan gitu. Saya ngomong kepada salah satu teman, dia bilang kita harus punya persiapan, kita harus latihan. Artinya kita bisa melindungi diri dan keluarga. Saat itu saya tanya memang ada pelatihannya tunjukkan, dia bilang ada insyallah, tempatnya engga diberi tahu katanya itu rahasia, tau-taunya dibawa ke Poso. Iya, oleh karena itu ya dengan pembantaian itu siapa sih yang tidak khawatir ya mba, kita punya keluarga, setidaknya waktu itu saya belum menikah ya, saya punya orang tua, punya adik-adik. Memang disana juga di Sulawesi ada kejadian pembantaian Poso ya, artinya tuh menjadikan gamabaran gituh, kalo kejadian seperti di Suriah tidak jauh beda seperti di Poso, semua kamum muslimim disana kebanyakan dibantai, itu aja sih. (N4)

Dalam Agama Islam yang rahmatan lil alamin sangat menjunjung nilai toleransi, Islam sendiri tidaklah mengajarkan kekerasan, kecuali pada saat situasi dan kondisi tertentu yang mengharuskan. Seperti Rasullulah saat pertama kali menyebarkan Agama Islam tidaklah melakukan perlawanan.terkadang orang dipicu dalam kesadaran beragamanya tetapi salah, dapat membuat orang menjadi radikal. Karena namanya Deradikalisasi, berarti kita menurunkan tingkat radikalisasi, jika kita menghilangkan tidaklah

mungkin, tetapi dari kita berusaha untuk menurunkan radikalisasinya agar tidak ada lagi keinginan untuk melakukan aksi kekerasan. (B1) Di sinilah perang argument dan perang kenyataan terjadi, agar komunikasi yang dibangun tidak dalam dasar berkonflik argument, maka memberikan contoh-contoh untuk memperkuat argument diberikan. Ketika kita berkomunikasi dengan mereka, tidak bisa langsung narapidana terorisme menerima apa yang kita sampaikan, tetapi harus dilakukan pendekatan personal terlebih dahulu, seperti perkenalan. Apakah seorang identifikator yang bisa memengaruhi seorang napiter atau seorang napiter yang memengaruhi identifikator.

Letkol Hendro berkordinasi dengan beberapa narasumber di daerah sekitar Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) seperti Imam Masjid besar, Akademisi Perguruan Tinggi Islam (UIN/STAIN) dan beberapa tokoh agama lain, berusaha memengaruhi bahkan merubah cara fikir seorang napiter agar bisa diturunkan tingkat radikalisasinya, dengan cara komunikasi intrapersonal yang satu frekuensi, hingga sampai di tahap yang ingin identifikasi tersebut sampaikan atau rubah.

Kita tidak hanya memberikan pemahaman Islam yang toleran seperti apa, tetapi kita berusaha untuk mematahkan argumennya. Dalam sesi Identifikasi ini narapidana terorisme yang bersungguh-sungguh merespon akan lanjut ke tahap selanjutnya, yang tidak merespon akan

kembali lagi ke tahap awal identifikasi dan dipisahkan. Di awal sebelum narapidana terorisme mendapat masa tahanan mereka sudah dimintai keterangan berupa nama, alamat tinggal, keluarga, daerah asal, hingga data antaseden yaitu latar belakangnya, pernah terlibat dalam kasus apa saja atau lainnya. Kemudian mengenal aktivitas hariannya dari proses identifikasi harian oleh para pamong atau wali napiter seperti kecenderungan tidak mau mengikuti sholat berjama’ah, tidak mau mengikuti sholat jum’at, enggan bersosialisasi dengan narapidana lain, bahkan beberapa diantaranya tidak mau mengkonsumsi daging yang dimasak oleeh dapur umum, karena bagi mereka proses penyembelihannya tidak diketahui syar’i kah atau tidak. Dengan kata lain mereka tidak tahu apakah daging tersebut halal atau haram. Oleh karena itu, mereka hanya mengkonsumsi sayuran saja.

(B1)

Dalam identifikasi tersebut terdapat sesi Tanya jawab yang dilakukan tidak hanya 1 arah seperti penyampaian materi dalam seminar, melainkan komunikasi 2 arah yang lebih efektif, sesuai dengan tujuan diberikannya materi adalah berubahnya pemikiran subjek (narapidana terorisme) dengan tepat sesuai sasaran.

Saat sesi tanya jawab tersebut, dapat diketahui seorang narapidana terorisme tersebut apakah memiliki

kadar radikal tinggi ataupun tidak dengan melihat dari konteks perilakunya, apakah kadar radikalnya tinggi atau hanya radikal pemikiran yang tiak berimbas pada perilaku kekerasan.

Hal tersebut telah sesuai dengan teori di bab II bahwa menurut Sigmund Freud dalam identifikasi, terjadi suatu proses pemerolehan (acquisition) yang kurang lebih bersifat permanen pada kepribadian. Karena identifikasi adalah satu cara yang dilakukan oleh seseorang untuk mengambil alih ciri-ciri orang lain dan menjadikannya bagian yang terintegrasi dengan kepribadiannya sendiri.

Identifikasi ini lebih dalam daripada hanya sekedar meniru (imitasi), menurut Freud imitasi itu hanya merupakan peniruan secara dangkal dan sementara.

Identifikasi ini lebih dalam daripada hanya sekedar meniru (imitasi), menurut Freud imitasi itu hanya merupakan peniruan secara dangkal dan sementara.