• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

Bagan 1. 1 Tekhnik Analisis Data

7. Teknik Penulisan

Dalam penulisan penelitian ini, penulis berpedoman dan mengacu pada Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Desertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang merupakan Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor 507 Tahun 2017.

E. Tinjauan Kajian Terdahulu

Tabel 1. 2 Tinjauan Kajian Terdahulu

No.

Indonesia :

dan pembinaan

Terorisme

“Upaya

berbangsa, beragama

Dalam penyusunan Skripsi ini untuk memudahkan peneliti serta memberikan kemudahan pembaca dalam naskah skripsi ini, maka peneliti menguraikan secara singkat dan

sistematika pembahasan dalam susunan penulisan skripsi ini.

Sistematika penulisan skripsi ini terbagi dalam 6 (enam) bab yaitu :

BAB I : PENDAHULUAN.

Pada bab ini memuat Latar belakang, Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodelogi Penelitian, Kajian Terdahulu dan diakhiri dengan Sistematika Penulisan.

BAB II : LANDASAN TEORI

Bab ini membahas tentang teori Radikalisme, faktor-faktor penyebab radikalisme, serta ciri-ciri radikalisme, teori Deradikalisasi, teori Identifikasi, teori Rehabilitasi, teori Reedukasi, teori Resosialisasi atau Reintegrasi, Teori Narapidana sosial, dan diakhiri dengan Kerangka Berfikir.

BAB III : GAMBARAN UMUM PROFIL PENELITIAN Profil BNPT, Visi dan Misi BNPT, Tugas pokok dan fungsi BNPT, Strategi dan Program Nasional BNPT, Struktur Kelembagaan BNPT, Tugas Pokok dan Fungsi Unit kerja BNPT. Sejarah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas I Cipinang, Visi dan Misi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas I Cipinang, Tugas Pokok dan Fungsi Lapas Cipinang, Struktur Bangunan, Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas I Cipinang, Tugas Pokok dan Fungsi unit kerja Lapas Cipinang.

BAB IV : PROGRAM DERADIKALISASI OLEH Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) DI Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas I CIPINANG Jakarta

Pada bab ini membahas Deskripsi informan, Kerjasama Lembaga, Proses Pembinaan Narapidana Terorisme, Program Deradikalisasi dalam Lapas dan Kendala dalam Program Deradikalisasi.

BAB V : PEMBAHASAN.

Identifikasi Subjek, yang terdiri dari identitas Narapidana terorisme, Peran dan keterlibatannya dalam kelompok atau jaringan, Latar belakang bergabung dengan jaringan, pemahaman ideologi yang dianut, tingkat radikalisme, Tingkat loyalitas terhadap jaringan. Dan Analisis program Deradikalisasi oleh BNPT di Lapas Cipinang, Identifiikasi, Rehabilitasi, Reedukasi, Reintegrasi sosial.

BAB VI : SIMPULAN IMPLIKASI DAN SARAN.

Bab ini berisi uraian tentang kesimpulan yang didapat dari proses pembuatan tugas akhir.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

28 A. Radikalisme

1. Pengertian Radikalisme

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, radikal didefinisikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan.16 Dalam kamus politik Radikalisme di artikan sebagai ide-ide politik yang mengakar dan mendasar pada doktrin yang dikembangkan dalam menentang status quo.

Sedangkan Radikal dalam prosesnya disebut dengan Radikalisasi, yang merupakan sebuah proses perubahan individu maupun kelompok mengarah pada penolakan nilai dan sistem yang ada (seperti demokrasi, keagamaan, ideologi yang ada dan lain-lain) dengan keinginan menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai.

Pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto, di pertengahan tahun 1970-an hingga menjelang kejatuhan rezim. Aksi yang dilakukan kelompok-kelompok Radikal belum dalam bentuk pengeboman. Lebih banyak menggunakan pola propaganda politik, pembajakan, penculikan, pembunuhan dan pengeroyokan. Aksi secara terang-terangan bahwa para kelompok-kelompok radikal

16 Suaib Tahir dkk, Ensiklopedi Pencegahan Terorisme, (Bogor: Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme,2016).h.54

melakukan perlawanan muncul dan meningkat sejak Mei 1998 hingga tahun 2001. Puncaknya setelah terjadinya pemboman di Amerika Serikat tepatnya di gedung World Trade Center dan Pentagon di tanggal 11 September 2001.

Setelah pengeboman ini terjadi sentimen anti Islam semakin menguat, pelabelan Terorismepun muncul seiring dengan kemunculan kelompok-kelompok Radikal yang semakin marak dengan mengatas namakan Agama Islam di seluruh dunia maupun Indonesia. Dalam ranah nasional kemunculan aksi Radikalisme melalui perlawanan dengan melakukan pemboman besar yang memakan korban puluhan hingga ratusan, di awali dari peristiwa Bom Bali 1 di tanggal 12 Oktober 2002, kemudian pemboman kedutaan Besar Australia 9 September 2004, peristiwa di tempat yang serupa yaitu Bom Bali 2 di tanggal 1 Oktober 2005, setelah itu berturut-turut terjadi di Hotel Marriot dan Ritz Carlton Jakarta 17 Juli 2009, GBIS Solo 25 September 2011, Sarinah Jakarta 14 Januari 2016.17

Di masa Orde baru sejak peristiwa pemboman Bali berlangsung Indonesia sedang mengalami masa transisi.

Fakta ini diperkuat oleh teori dari Alberto Abadie “bahwa Negara yang tengah mengalami masa transisi dari totalitarianisme menuju demokrasi ditandai dengan

17 Josefhin Mareta, Rehabilitasi Dalam Upaya Deradikalisasi Narapidana Terorisme, (Jurnal : Masalah-masalah Hukum, 2018), Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM, Jilid 47, No.4,h.339

maraknya aksi-aksi kekerasan termasuk terorisme.18 bahkan hingga kini teror-teror yang terjadi langsung mengarah pada pihak keamanan nasional seperti Polri dan TNI. Seperti yang belum lama ini terjadi di Polresta Medan tertanggal 13 November 2019 terjadi Bom bunuh diri, yang dilakukan oleh seorang pemuda berusia 24 tahun yang hingga kini motif terjadinya masih diselidiki. Motif lain yang sering terjadi merupakan aksi bom bunuh diri dimana korban yang sering ditemukan adalah para pemuda. Dominasi faktor internal yang saat ini sangat berpengaruh antara lain heterogenitas etnis, Agama, kultur, kesenjangan ekonomi dan sosial. Dominasi ini yang memicu dan berpotensi memperbesarnya ideologi-ideologi radikal dalam merekrut para anggota baru dengan mudah, mereka menggunakan konstruksi pikiran dan juga cuci otak (Brain wash) kepada para calon anggota baru tersebut. keberpengaruhan faktor ini juga di dukung oleh konsep keagamaan yang kompleks, dimana sikap resisten (perlindungan) dan perlawanan itu akan diposisikan sebagai tugas suci.

Menurut Cilluffo dan Saathof proses radikalisasi terjadi dalam dua bagian, yaitu radikalisasi individual dan kelompok. Radikalisasi individual merupakan hasil dari terpaparnya seseorang dengan sumber online maupun yang memiliki pemikiran yang ekstrim. Inilah yang kemudian dikenal sebagai serigala tunggal (lone wolf) yang

18 Alberto Abadie, Proverty, political Freedom, and the roots of Terrorism, (NBER Working paper 2004), No. 1085,h.3

mengalami proses radikalisasi dengan sendirinya (self-radicalization). Ia tidak harus terhubung dengan jaringan teror, tetapi sangat rentan pada waktunya direkrut dalam jaringan teror. Tipe kedua radikalisasi kelompok adalah proses di mana kelompok mencari dan mempengaruhi individu yang rentan untuk direkrut dalam jaringan teror.

Radikalisasi kelompok ini lebih sistematis terstruktur dan top-down recruiting.19

Menurut Azyumardi Azra, radikalisme merupakan bentuk ekstrem dari revivalisme. Revivalisme merupakan intesifikasi keIslaman yang lebih berorientasi ke dalam (inward oriented), dengan arti bentuk aplikasi dari sebuah kepercayaan hanya diterapkan untuk diri pribadi. Adapun bentuk radikalisme yang cenderung berorientasi keluar (outward oriented), atau kadang dalam penerapannya cenderung menggunakan aksi kekerasan lazim disebut fundamentalisme.20

Menurut Eko Endramoko dalam bukunya menjelaskan arti radikal yang merupakan sinonim dengan fundamental yaitu primer, esensial, ekstrim, fanatic, keras, reaksioner, progresif, liberal, reformis dan seterusnya.21 Dalam sudut pandang ilmu sosial, radikalisme erat

19 Suaib Tahir dkk, Ensiklopedi Pencegahan Terorisme, (Bogor: Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme,2016).h.54

20 Azyumardi Azra, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999),h.46-47

21 Eko Endarmoko, Treasur Bahasa Indonesia, (Jakarta:

GPU,2006),h.501

kaitannya dengan sikap atau posisi yang mendambakan perubahan terhadap status quo dengan jalan menghancurkan status quo secara total, dan menggantikannya dengan sesuatu yang baru, dengan yang sangat berbeda.22 Motif terorisme yang mengatas namakan Agama saat ini lekat kaitannya dengan proses rekrutmen calon anggota kelompok-kelompok Radikal, pada tahapan pertama para calon anggota di tuntut keaktifannya untuk menghadiri kajian-kajian atau pengajian dengan narasumber ustadz-ustadz yang sudah terpilih serta mampu merekontruksi pemikiran dengan ideologi radikalisme kepada para calon anggotanya, dengan kata lain psikisnya diluluhkan dengan perkataan akan ideologi radikalisme, tahapan kedua sering disebut Takniwiyah (pembentukan) pada tahap ini para guru atau ustadz memberikan atau menampilkan hasil rekaman video tentang kekejaman negara-negara penentang terorisme seperti, Amerika serikat dan kaum Yahudi secara berulang-ulang agar membentuk dan memunculkan semangat rasa juang kepada para calon anggotanya , tahapan ketiga yaitu proses pematangan dengan proses Baiat, Pematangan kepada para calon anggota pada tahap ini bahwa aksi terror yang berakar dari radikalisme selalu menghubungkan tindakan mereka termasuk jihad yang hukumnya wajib, merupakan suatu keharusan untuk berjihad dan mengorbankan semangat

22 Edi Susanto, “Kemungkinan Munculnya Faham Islam Radikal di Pesantren”,(Jurnal Tadris,2007),Vol.2.No.1,h.3

jihad kepada umat Islam di seluruh dunia, karena konsep jihad dalam Islam menangkap spirit perang spiritual

“perang suci” melawan diri sendiri dan mati syahid.

Dalam teori self categorisation menurut Kumar Ramakhrisna, gerakan radikalisme didukung adanya seseorang yang mendefinisikan dirinya dalam hubungan kelompok dibanding dengan hubungan pribadi baik sebagai kawan maupun lawan berdasarkan kategori yang dibangun atau berdasarkan identitas sosial yang terbangun.23

2. Faktor- Faktor Penyebab Radikalisme a. Faktor politik atau tekanan kekuasaan

Di berbagai dunia termasuk di Indonesia, fenomena radikalisme dan fundamentalisme muncul merupakan buah dari otoritarianisme. Pada masa orde baru radikalisme merupakan common enemy sehingga pemerintah membabat habis gerakan tersebut, pemerintah tidak membeda-bedakan antara radikalisme kanan dan kiri.24

b. Faktor keagamaan

Tidak dapat dibantah lagi bahwa salah satu penyebab munculnya radikalisme adalah faktor sentiment keagamaan. Termasuk juga aksi solidaritas keagamaan untuk saudara seimannya yang tertindas oleh

23 Kumar Ramakhrisna, Radical Pathways: Understanding Muslim Radicalization in Indonesia, (London: Praeger International, 2009),h.7

24 Sun Choirul Ummah, “Akar Radikalisme Islam di Indonesia”, (Jurnal Humanika, 2012), No.12,h.118-121

kalangan tertentu. Dalam kondisi seperti itu lebih tepat menggunakan istilah keagamaan bukan agama, sebab radikalisme selalu menggunakan simbol atau bendera sebagai dalih untuk membela Agama, jihad dan syahid.

Maka dari itu dalam konteks ini emosi keagamaan adalah Agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya intepreatif.25 Dampak yang paling nyata dari terjadinya radikalisme adalah terbentuknya politisasi di dalam agama, dimana agama sangat sensitive sifatnya, sehingga paling mudah untuk membakar fanatisme yang kemudian terjadi berbagai tindakan yang sangat keras, baik dalam kehidupan sosial antar individu maupun kelompok, sehingga terbentuklah dengan yang dinamakan kelompok Islam radikal.26

c. Faktor kultural

Merupakan faktor yang efeknya cukup besar dalam melatarbelakangi munculnya radikalisme, sebagai antitesa terhadap budaya sekularisme. Oleh sebab itu dalam kehidupan sosial, kita sering melihat ada beberapa bagian masyarakat yang berusaha keluar dari kebudayaan yang dianggap tidak sesuai dengan kehidupan secara umum, atau menyimpang dari kebiasaan sebelumnya seperti budaya sekuler. Bahkan memusuhi sekularisme, karena mereka menganggap

25 Ibid,h.118-121

26 Edi Susanto, “Kemungkinan Munculnya Faham Islam Radikal di Pesantren”,(Jurnal Tadris,2007),Vol.2.No.1,h.10-13

budaya tersebut berasal dari Barat yang berusaha merongrong budaya Islam.27 Dalam perkembangannya seperti yang disampaikan oleh Roger Graudy seorang Filosof dari Perancis, radikalisme tidak berkisar hanya pada paham keagamaan, akan tetapi istilah tersebut telah menjelma dalam kehidupan sosial, politik dan budaya.

Dengan demikian berarti, setiap ideology atau pemikiran yang mempunyai dampak negative (side effect) yang dapat membawa seseorang menjadi militan dan fanatik maka hal tersebut dapat dikategorikan dalam radikalisme.28

d. Faktor ideologis antiwesternisme

Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan dalam mengaplikasikan syariat Islam.

Sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi tegaknya syariat Islam. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa, sikap antiweternisme menjadi salah faktor timbulnya radikalisme. Meskipun cara radikal tersebut menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.

e. Faktor kebijakan pemerintah

Ketidakmampuan pemerintah di Negara-negara Islam untuk bertindak memperbaiki situasi atas

27 Sun Choirul Ummah, “Akar Radikalisme Islam di Indonesia”, (Jurnal Humanika, 2012), No.12,h.118-121

28 A.Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdatul Ulama: Masa Depan Moderatisme di Indonesia, (Jawa Timur: PWNU Jawa Timur,2010),h.30-32

berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideology, militer maupun ekonomi dari Negara-negara besar. Seperti yang terjadi pada Negara-negara Islam. Sebab pemerintah dianggap tidak bisa mencari solusi terhadap apa yang terjadi pada negerinya. Sehingga tindakan kekerasan muncul sebagai akibat dari ketidakmampuan pemerintah.

f. Faktor pers atau media massa

Meda massa Barat yang selalu memojokan Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam, faktor ini juga menjadi salah faktor yang membuat seakan akan radikalisme semakin masif dan semakin berkembang.

Kemunculan gerakan Islam Radikal di Indonesia di sebabkan oleh dua faktor : pertama, Faktor Internal dari dalam umat Islam sendiri yang telah terjadi penyimpangan norma-norma Agama. Kedua, faktor Eksternal di luar umat Islam, baik yang dilakukan penguasa maupun dominasi dunia Barat.

Sikap berlebihan itu pula yang membuat tatanan kehidupan umat terdahulu menjadi rusak sebagaimana disabdakan Rasullulah SAW, “wahai manusia, jauhilah sikap berlebihan (Al-guluww) dalam beragama.

Sesungguhnya sikap berlebihan dalam beragama telah membinasakan umat sebelum kalian.” (H.R.Ibnu Majah dan An-Nasa‟i). Rasullulah Saw sangat tidak menyukai

umatnya yang mempraktikan agama secara berlebihan, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Sebaliknya beliau ingin mengajarkan sikap beragama yang moderat dan menghindari sikap guluww (radikal) dalam beragama.29 3. Ciri Radikalisasi

Paling tidak ada enam ciri sebuah gerakan disebut dengan gerakan Radikal.

a. Menjadikan Islam sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan individual dan juga politik ketatanegaraan.

b. Nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi sumbernya di Timur Tengah secara apa adanya tanpa mempertimbangakan perkembangan sosial dan politik ketika Al-Qur‟an dan Hadits hadir di muka bumi ini, dengan realitas lokal kekinian.

c. Karena perhatian lebih terfokus pada teks Al-Qur‟an dan Hadits, maka purifikasi ini sangat berhati-hati untuk menerima segala budaya non-asal Islam (budaya Timur Tengah) termasuk berhati-hati menerima tradisi lokal karena khawatir mencampuri Islam dengan bid‟ah.

d. Menolak ideologi, non Timur Tengah termasuk ideologi Barat, seperti demokrasi, sekularisme dan liberalisme.

Sekali lagi, segala peraturan yang ditetapkan harus merujuk pada Al-Qur‟an dan Hadits.

29 Dede Rodin, Islam dan Radikalisme: Telaah atas Ayat-Ayat

“kekerasan” dalam Al-Qur’an,(Jurnal ADDIN, 2016), Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang,Vol.10.No.1.h.36

e. Gerakan kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah. Oleh karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fisik dengan kelompok lain, termasuk pemerintah.

f. Kelompok ini menggunakan teks-teks keagamaan sebagai alat legitimasi atau pembenaran bagi tindakan mereka. Pemahaman literal dan parsial atau sepotong-sepotong terhadap ayat-ayat Al-Qur‟an dan Hadits Nabi, sering mengakibatkan seseorang terperangkap dalam wawasan sempit dan tidak mampu melakukan kontekstualisasi ajaran dengan kehidupan konkrit.

Selain enam ciri di atas BNPT pun juga mempunyai empat kriteria sebuah situs web media dapat dinilai radikal, yaitu :

a. Ingin melakukan perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan Agama.

b. Takfiri atau mengkafirkan orang lain

c. Mendukung, menyebarkan dan mengajak bergabung dengan ISIS

d. Memaknai jihad secara terbatas.30

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Radikalisasi merupakan paham atau aliran yang menginginkan sebuah perubahan orientasi beragama dengan cara kekerasan, ekstrim, fanatic, reaksioner, liberal dan seterusnya.

30 Aghnia Adzkia dan Sandy Indra, “Kriteria Situs Islam Radikal Versi BNPT” https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150401093434-185-43429/kriteria-situs-islam-radikal-versi-bnpt ,di akses pada 4 November 2019

Radikalisasi ini juga terjadi dalam dua bagian yaitu individu dan kelompok, dimana hasil dari keterpaparan bersumber dari sumber online atau media masa maupun pemikiran yang ekstrem.

B. Deradikalisasi

Deradikalisasi, merupakan segala upaya untuk mentransformasi dari keyakinan atau ideologi radikal menjadi tidak radikal dengan pendekatan multi dan interdisipliner (agama, sosial, budaya, dan selainnya) bagi orang yang terpengaruh oleh keyakinan radikal. Atas dasar itu, deradikalisasi lebih pada upaya melakukan perubahan pemikiran atau keyakinan seseorang.31

deradikalisasi bertujuan untuk mengubah seseorang yang semula radikal menjadi tidak radikal, termasuk di antaranya adalah menjauhkan mereka dari kelompok radikal tempat mereka bernaung. Pada perkembangannya memang muncul kontroversi terkait istilah dan kebijakan deradikalisasi yang dianggap sebagai proses de-Islamisasi, pendangkalan akidah, dan tuduhan lainnya. Nasaruddin Umar dengan cukup jelas menyatakan bahwa deradikalisasi bukan berarti sebuah upaya menghadirkan pemahaman dan wawasan baru, apalagi sebagai pendangkalan pemahaman keagamaan (Islam), melainkan sebagai upaya mengembalikan dan meluruskan

31 Suaib Tahir dkk, Ensiklopedi Pencegahan Terorisme, (Bogor: Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme,2016).h.23

kembali pemahaman yang benar tentang agama dan wawasan bernegara.32

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019, Deradikalisasi adalah suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis dan berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal Terorisme yang telah terjadi.33 Oleh karena itu Program Deradikalisasi merupakan upaya merubah pemahaman radikal seseorang atau kelompok atau Oknum, untuk diarahkan dan diluruskan kembali ke arah pemahaman yang damai, moderat, dan toleran. Sehingga dalam pelaksanaan deradikalisasi perlu dilakukan bersamaan dengan deideologi. Deideologi ini kunci utama dalam penyadaran serta proses reorientasi ideologi teroris untuk kembali ke ajaran yang benar. Deradikalisasi telah dilakukan di beberapa Negara baik Barat atau Timur dalam menangani radikal terorisme. Yaman sering dianggap sebagai pionir dalam program deradikalisasi. Negara ini mulai menjalankan program deradikalisasi pada tahun 2002 dengan membentuk Komite untuk Dialog (Committee for Dialogue). Berbeda dengan Yaman, Arab Saudi mendesain model program deradikalisasi yang lebih komprehensif dengan membentuk PRAC (Prevention, Rehabilitation and After Care). Komite ini

32 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an & Hadits, (Jakarta: Gramedia,2014)

33 Pasal 1 nomor 6, Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Pelindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan.

dijalankan oleh suatu lembaga al-Munashah (Komite Penasihat).

Kelompok atau perorangan atau Radikalisme itu banyak macam dan bentuknya. Ada kelompok radikal yang memperbolehkan kekerasan sebagai jalan keluarnya atau bisa juga disebut dengan Kelompok Jihadisme. Kelompok ini bukan hanya terlibat pada aksi kekerasannya, tetapi secara ideologis dengan membenarkan kekerasan sebagai cara perubahan kepada masyarakat sipil atau aparat. Kelompok inilah yang sering disebut sebagai radikal terorisme atau ekstrimis. Namun ada pula kelompok radikal yang tidak menggunakan kekerasan.34 Sasaran deradikalisasi dalam hal ini adalah kelompok radikal kekerasan (violent radicals) yang tidak hanya tindakan, tetapi secara ideologis melegitimasi kekerasan umumnya menggunakan pengabsahan ajaran keagamaan.

Ada beberapa tingkatan dalam melihat output yang dihasilkan. Pertama, Deradikalisasi Ideologis (ideological deradiacalization), yakni seseorang yang menghilangkan ideologi kekerasan, tetapi secara perilaku masih tidak menerima terhadap model keterbukaan dan lainnya. Kedua, Deradikalisasi Perilaku (behavioural deradicalization), ialah ia yang masih memegang teguh ideologi dengan kekerasan walau sudah terbuka untuk berkomunikasi. Ketiga, Deradikalisasi Organisasi (organizational deradicalization), yang bersumber

34 Omar Ashour, The De-Raddicalization of Jihadist; Transforming Armed Islamist Movements, (London: Routledge,2009).h.5

pada pemimpin kelompok dan para mempengaruhi pengikutnya.

Di Indonesia, model deradikalisasi yang dilakukan mengarah pada deradikalisasi secara menyeluruh. Karena itulah, apa yang dikembangkan dari deradikalisasi tidak hanya mengarah pada perorangannya saja seperti yang dilakukan pada narapidana di dalam Lapas, tetapi juga di luar Lapas yang meliputi mantan narapidana teroris, keluarga, jaringannya.

Deradikalisasi bukan sekedar faktor keagamaan. Seorang mantan narapidana teroris bisa saja telah meninggalkan paham kekerasan secara ideologis, namun secara sikap ia tetap tidak berubah. Terutama ketika mereka telah kembali pada lingkungan tempat tinggalnya dahulu di luar lapas, mantan narapidana terorisme rawan mengalami kondisi yang kurang baik, seperti persoalan ekonomi, isolasi sosial, gejolak psikis dan lain-lain, yang dapat berpotensi mendorong mantan narapidana tersebut untuk kembali berperilaku keras. Karena itulah, pembinaan kewirausahaan, pendampingan resosialisasi, dan pembinaan keluarga menjadi elemen penting dalam pemberian program deradikalisasi.

Upaya deradikalisasi membutuhkan waktu, ketekunan, keilmuan, dan kesiapan mendengar dari pihak yang dijadikan objek. Dibutuhkan juga pola komunikasi yang baik, saling terbuka, bertukar pendapat, dan saling memahami. Berbeda dengan diktrinisasi atau indoktrinasi yang sifatnya sedikit lebih seram. Karena dalam keduanya mengandung unsur brainwash (cuci otak), meyalahkan lawan bicara, membantai

argumentasi, dan menegaskan idenya sendiri sebagai yang paling benar.

Dalam bahasa sederhana, deradikalisasi itu adalah cara berkomunikasi dari hati ke hati. Atas dasar komunikasi yang demikian diskusi dan tukar pikiran dapat berjalan lebih kondusif. Karena dengan demikian tidak perlu ada pihak yang merasa sedang dipojokan, dipengaruhi, atau dipaksa. Sejumlah riset pernah menyebut, bahwa banyak dari kelompok radikalisme-terorisme tidak pernah berdialog atau diajak bicara dengan pihak yang berbeda dengan keyakinannya, apalagi yang sifatnya intensif. Padahal, siapapun dan apapun tindakan yang pernah dilakukan sebelumnya, mereka tetaplah manusia. Manusia adalah makhluk sosial dan karenanya butuh berkomunikasi. Di alam bawah sadar setiap manusia terbersit keinginan untuk bisa berkomunikasi secara bijak kepada pihak lain. inilah yang seringkali luput dari jangkauan banyak orang.

Di saat banyak pihak lebih memilih menyalahkan pihak lain, BNPT justru secara bijak merangkul orang-orang yang berbeda pandangan untuk berdialog dan bertukar pendapat.35

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Deradikalisasi merupakan proses terencana, terpadu, sistematis dan berkesinambungan untuk merubah, membalikkan, mengurangi atau menghilangkan pemahaman atau ideology Radikal untuk kemudian dikembalikkan, diarahkan dan

35 Suaib Tahir dkk, Ensiklopedi Pencegahan Terorisme, (Bogor: Deputi

35 Suaib Tahir dkk, Ensiklopedi Pencegahan Terorisme, (Bogor: Deputi