• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDAFTARAN HAK CIPTA ARSITEKTUR YANG

C. Faktor Penyebab hak cipta arsitektur yang dibuat

Pada sub bab ini peneliti mengawali terlebih dahulu pada faktor yang merupakan penyebab tidak dilaksanakan perjanjian tentang kepemilikan hak cipta arsitektur di Kota Medan, yaitu:

1. Kurangnya pemahaman dan kesadaran hukum arsitek tentang hak cipta

arsitektur.

Kurangnya kesadaran hukum arsitek tentang hak cipta ini dapat dilihat dari tingkat pengetahuan mereka sebagai salah satu indikatornya. Ketika ditanyakan tentang apakah mereka mengetahui karya arsitektur mereka dilindungi oleh hukum dan diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, pada umumnya (80%) mereka menjawab tidak tahu. Demikian juga pada waktu ditanyakan apakah mereka membuat perjanjian tentang kepemilikan hak cipta arsitektur dalam kontrak kerja, semua (100%) menjawab tidak pernah membuat perjanjian kepemilikan hak ciptanya.

Seorang arsitek yang diwawancarai mengatakan bahwa apabila ia telah menyerahkan karya arsitektur kepada suatu pihak misalnya pengguna jasa/ konsultan

118

perencana tempatnya bekerja dan ia telah dibayar secara layak, menurutnya kepemilikan hak ciptanya sudah beralih. Yang menjadi pemilik berikutnya adalah pengguna jasa/konsultan tersebut, bukan lagi arsitek yang merancang gambar atau bangunannya. “kepemilikannya secara otomatis telah beralih kepada perusahaan pada

saat ongkos kerjanya telah dibayar”.119 Menurutnya perusahaan bebas untuk

menggunakan karya arsitekturnya itu untuk keperluan apa saja yang dikehendaki, tanpa perlu meminta izin atau membayar royalti kepada arsiteknya.

Tingkat pengetahuan dan permahaman perusahaan perencana konstruksi dalam hal ini direktur perusahaan sebagai majikan tempat arsitek bekerja sebagai karyawan juga sangat kurang, khususnya masalah pengaturan kepemilikan hak cipta arsitektur.

Direktur yang dalam hal ini mewakili perusahaan perencana konstruksi tidak pernah tahu bahwa karya arsitektur itu merupakan salah satu jenis ciptaan yang dilindungi oleh UUHC. Dan juga tidak pernah tahu bahwa terhadap karya arsitektur yang diciptakan oleh arsitek yang bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan perencana konstruksi berdasarkan hubungan kerja kepemilikan hak ciptanya ada pada arsitek sebagai pencipta kecuali di perjanjikan lain.

Menurut mereka, kepemilikan atas karya arsitektur yang dihasilkan oleh arsitek tersebut menjadi milik perusahaan dengan alasan, karena arsitek itu telah

119

Zulfrianda Hussein, arsitek pada konsultan perencana We Design Medan, wawancara, 2 November 2012.

diberi gaji, maka sudah sepantasnyalah seluruh hasil ciptaan arsitek tersebut menjadi milik perusahaan.

Menurut Effendi, pihak perusahaan tidak pernah tahu tentang perlindungan hak cipta dan tentang kepemilikan hak cipta arsitektur. Menurutnya kepemilikan terhadap karya arsitektur yang diciptakan oleh arsitek yang bekerja berdasarkan suatu hubungan kerja diperusahaanya hak ciptanya dipegang oleh perusahaan. dengan alasan yang sama yaitu karena pihak perusahaan memberi upah kepada arsitek tersebut.120

Dari hasil penelitian di lapangan, baik arsitek maupun pemilik konsultan perencana, masih rendah pengetahuan tentang hak cipta arsitektur. Pengetahuan dan kesadaran hukum hak cipta arsitektur merupakan satu faktor yang mempengaruhi penegakan hukum hak cipta. Tingkat pemahaman seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya. Orang tahu hukum akan cenderung untuk lebih taat. Dengan kata lain, semakin tinggi kesadaran hukumnya akan semakin tinggi pula kepatuhan hukumnya. Kurangnya pemahaman terhadap hak cipta dapat dimaklumi karena kurangnya pembinaan dan penyuluhan dari aparat hukum.

2. Kurangnya sosialisasi UUHC pada masyarakat arsitektur dan lemahnya

penegakan hukum

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan ditemukan bahwa upaya pihak-pihak yang berkepentingan untuk memberikan sosialisasi UUHC pada masyarakat arsitektur dan melindungi hak ciptanya belum optimal. Pemerintah melalui

PPNS-120

HKI belum melakukan sosialisasi, pembinaan, pengawasan dan penegakan hukum sebagaimana mestinya.

Penyuluhan hukum yang telah dilakukan belum optimal. Ini diakibatkan karena masih banyak masalah lainnya yang menjadi prioritas atau tugas utama sehari-hari sebagai pegawai pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Provinsi Sumatera utara. Selama ini PPNS juga tidak fokus, apalagi jabatan strukturalnya berbeda dengan tugas pokok dan fungsi PPNS. Akhirnya jabatan PPNS hanya sebagai sambilan, Kondisi ini diyakini berpengaruh pada penegakan hukum hak kekayaan intelektual.121

Berkaitan dengan penegakan hukum, UUHC Tahun 2002 telah memberikan kewenangan selain penyidik Polri juga kepada PPNS-HKI untuk melaksanakan penegakan hukum hak cipta.

Jawasmer SH M.Kn mengatakan bahwa Kantor Wilayah Departemen Hukum

dan HAM Provinsi NAD dalam hal ini PPNS-HKI belum pernah menerima

pendaftaran Hak Cipta Arsitektur apalagi menangani kasus pelanggaran hak cipta terhadap hak cipta arsitektur122

Kelemahan yang dialami PPNS-HKI karena yang terjadi selama ini, PPNS memerankan fungsi ganda sebagai pejabat struktural, disamping masih kurang dalam mendapatkan bukti-bukti bahwa arsitek telah dirugikan haknya akibat tidak adanya

121

Jawasmer, SH. M.Kn., PPNS HaKI dan Kasubid Pelayanan Hukum umum pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara,wawancara, 3 Desember 2012.

arsitek yang mendaftarkan ciptaannya juga tidak adanya laporan/pengaduan dari masyarakat.123

Pada awal dikeluarkan UUHC, pelanggaran hak cipta termasuk delik aduan. Hal ini telah diubah menjadi delik biasa dalam UU Nomor 7 Tahun 1987 dan UU Nomor 12 Tahun 1997. Delik biasa masih digunakan dalam UUHC Tahun 2002. Adanya ketentuan delik biasa tersebut seharusnya memberi kesempatan bagi aparat penegak hukum untuk dapat langsung melakukan pemeriksaan bila di lapangan dijumpai pelanggaran hak cipta.

Berdasarkan penelitian penulis di lapangan, lemahnya penegakan hukum ini juga dikarenakan kurang pahamnya penegak hukum mengenai hak cipta arsitektur.

Mereka tidak memiliki pengetahuan khusus tentang ciptaan arsitektur, kecuali

peraturan umum yang telah dijelaskan dalam UUHC. Padahal menyangkut arsitektur ini sulit sekali mengetahui kapan pelanggaran akan terjadi, dan parameter atau tolak ukur pelanggarannya pun tidak jelas.

Sebenarnya yang mengetahui persis apakah telah terjadi suatu pelanggaran hak cipta terhadap arsitektur atau tidak adalah arsitek yang merancang atau merencanakan bangunan tersebut.124

3. Sulitnya mencari pekerjaan

Banyak tantangan yang dijalani oleh seorang lulusan sarjana arsitektur dewasa ini, demi memulai kariernya sebagai seorang arsitek profesional. Banyaknya lulusan

123Ibid 124Ibid

sarjana arsitektur di Indonesia, lapangan kerja yang makin menyempit serta persaingan dengan tenaga kerja arsitek asing yang makin banyak dijumpai.

Pada umumnya, lulusan S-1 jurusan arsitektur yang ingin menjalani karir profesionalnya sebagai arsitek profesional akan berusaha bergabung dengan konsultan perencana dan perancangan untuk bekerja mencari nafkah sekaligus ilmu yang bersifat praktek untuk nantinya menjadi bekal bagi dirinya untuk menjadi arsitek profesional. Selain itu, para lulusan baru ini juga dapat bergabung dengan konsultan pengawas serta perusahaan pengembang perumahan (Real Estates development) yang secara kangsung sangat memerlukan keahlian para arsitek.

Akan tetapi pekerjaan adalah suatu hal yang sangat sulit didapat di era persaingan yang ketat sekarang ini. Seorang arsitek yang menjadi karyawan di sebuah perusahaan konstruksi akan sangat bangga karena telah mendapatkan pekerjaannya tersebut.

Seseorang sebelum diterima bekerja seharusnya akan dibuatkan perjanjian kerja yang antara lain memuat hak dan kewajiban sebagai acuan ia dalam bekerja. Sehingga menjadi jelas nantinya batasan-batasan apa yang harus dilakukan dan apa yang akan diperoleh setelah melakukan pekerjaan dimaksud.

Sebagaimana aturan pada UUHC bahwa karya arsitektur yang dikerjakan oleh arsitek hak Ciptanya ada padanya, kecuali diperjanjiakan lain. Namun dalam prakteknya perjanjian ini tidak pernah dibuat oleh pihak perusahaan dan arsitek juga tidak memanfaatkannya karena khawatir akan dikeluarkan dari perusahaan tersebut.

Sehingga dapat diambil kesimpulan, UU No.19 Tahun 2002 telah gagal melindungi Hak Cipta arsitektur. Walaupun perlindungan bagi arsitektur telah ada dalam UU Hak Cipta, pada kenyataannya ketentuan tersebut tidak dimanfaatkan oleh pencipta maupun pemegang hak cipta atas arsitektur.125

Hal ini dapat dibuktikan dengan belum adanya pendaftaran Hak Cipta dan belum adanya kasus hukum sengketa hak cipta terhadap arsitektur di Kota Medan bahkan di Indonesia. Dari penelitian literatur kepustakaan dan dalam praktek di lapangan ada beberapa faktor yang memengaruhi hal itu:

1. UUHC kurang memberikan perlindungan yang memadai bagi ciptaan arsitektur termasuk pencipta dan pemegang hak ciptanya;

2. UUHC tidak mewajibkan pendaftaran Hak Cipta;

3. Kurangnya sosialisasi UU Hak Cipta kepada masyarakat arsitektur. Banyak arsitek yang belum paham mengenai hal ini. Bahkan, mayoritas dari mereka beranggapan tak perlu diatur.

4. Kurangnya pemahaman dan kesadaran hukum arsitek tentang hak cipta arsitektur.

5. Budaya masyarakat Indonesia yang enggan memanfaatkan UU Hak Cipta dalam kaitannya dengan arsitektur;

6. Lemahnya Penegakan hukum dari pihak-pihak yang terkait.

125

Ali, 21 Juni 2010, UU Hak Cipta Belum Bisa Melindungi Karya Arsitektur, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c1f7d1492475/, Internet, diakses tanggal 1 April 2012.