• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV STATUS KEPEMILIKAN HAK CIPTA ARSITEKTUR

C. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Arsitektur Dalam

Peraturan hak cipta di Indonesia (Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002) belum cukup mengatur mengenai perlindungan hukum terhadap ciptaan arsitektur.

139

Ibid

140

Cut Era Fitri Yeni, Perlindungan Hak Cipta Karya Arsitektur dalam Suatu Hubungan Kerja (Suatu Penelitian di Kota Banda Aceh), Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 2002, hal. 46

141

Dalam UUHC ini tidak dijelaskan secara rinci bagaimana cakupan ruang lingkup dan tata cara perlindungannya, tidak ada kriteria dan batasan-batasan apa sajakah yang dimiliki hak cipta arsitektur yang dapat dilindungi sebagai pedoman dalam berpraktek bagi para arsitek.

Sehingga selama ini perlindungan terhadap hak cipta arsitektur seperti belum berjalan sebagaimana diharapkan, selain melalui hukum hak cipta seperti tersebut diatas para arsitek didalam praktek juga harus memperkuat perlindungan melalui kontrak. Perlindungan hak cipta arsitektur melalui hukum kontrak merupakan salah satu jalan keluar yang baik untuk menampung kelemahan pelaksanaan hukum hak cipta selama ini.

Arsitek sebagai pekerja pada sebuah perusahaan perencana konstruksi ketika pertama sekali bekerja di perusahaan tersebut, untuk bisa terikat dalam suatu hubungan kerja mereka mengadakan perjanjian kerja antara perusahaan sebagai majikan dan arsitek sebagai pekerja yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dari hasil penelitian tidak semua hubungan kerja itu dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis tetapi dapat juga dalam bentuk lisan atau tidak terulis. Di kota Medan berdasarkan sampel penelitian, sudah sebagian besar perusahaan perencana konstruksi membuat perjanjian kerja tertulis (90%) hanya 10% perusahaan yang tidak membuat perjanjian tertulis.

Padahal UUJK mensyaratkan kontrak kerja konstruksi sebagai bagian penting dari hubungan kerja ini. Yaitu dalam pasal 22 ayat (1) menyebutkan pengaturan hubungan kerja berdasarkan hukum harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi.

Selanjutnya dalam ayat (3) menyebutkan bahwa kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual. Untuk ketentuan ini berdasarkan penelitian dari sampel perusahaan perencana konstruksi dan pengakuan dari para arsitek tidak ada pernah membuat perjanjian tentang klausula hak atas kekayaan intelektual.

Berbeda dengan UUHC yang seharusnya menjadi ujung tombak bagi perlindungan hukum hak cipta akan tetapi tidak ada satupun pasal yang mewajibkan dalam hubungan kerja harus membat perjanjian tentang hak atas kekayaan intelektual. Dimana dalam pasal 8 ayat (3) menyebutkan jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan kerja, pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai pencipta dan pemegang hak cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua belah pihak.

Disini sebenarnya UUHC telah memberikan status kepemilikan hak cipta yang lebih besar kepada arsitek, dimana sepanjang tidak adanya perjanjian maka hak cipta arsitektur tetap ada ditangan arsiteknya sampai kapanpun. Tetapi seorang arsitek sebagai pekerja yang secara sosial ekonomi memiliki status yang lebih lemah dibandingkan dengan pihak perusahaan tempatnya bekerja, akhirnya tidak mampu berbuat banyak ketika status kepemilikan hak cipta ini dilanggar oleh perusahaan. Sebagai contoh bentuk pelanggaran di lapangan berdasarkan penelitian adalah dengan meniadakan nama arsitek sebagai pencipta, menyerahkan dan memperbanyak ciptaan arsitek tanpa izin dari arsitek pencipta, bahkan membangun secara massal bangunan/perumahan berdasarkan gambar rancangan arsitek tanpa memberikan fee atau royalti sedikitpun.

Pihak perusahaan perencana konstruksi berdalih bahwa karena perusahaan telah membayar upah atas hasil kerja mereka, maka sudah sepantasnyalah seluruh hasil ciptaannya menjadi hak milik/ kepemilikan perusahaan. Padahal seperti sudah disebutkan diatas, kontrak kerjanya tidak pernah memuat tentang klausula tentang hak atas kekayaan intelektual.

Dalam dunia bisnis, keterkaitan antara pencipta dengan pemegang hak cipta tidak dapat dipisahkan. Karya-karya yang diciptakan oleh pencipta di dalam suatu perusahaan dapat dengan segera menjadi hak dari perusahaan tersebut. Tetapi, harus didasarkan atas perjanjian di antara pencipta dengan perusahaan, dimana si pencipta menandatangani perjanjian dengan perusahaan yang menjadikan karyanya itu sepenuhnya menjadi milik dari perusahaan. Dalam hal ini, meminjam istilah dari Prof.Dr.Agus Sardjono, SH., dalam bukunya Hak Cipta Dalam Desain Grafis, disebut denganwork for hire, yaitu seseorang dibayar untuk melakukan suatu jenis pekerjaan tertentu, termasuk desain, dan hasilnya akan menjadi milik perusahaan yang membayar, sehingga dari kegiatan ini telah terjadi transfer of rights dari pencipta kepada perusahaan yang menjadi pemegang hak cipta.142

UUHC mengenal sistem perlindungan otomatis, sehingga sejak saat seorang arsitek menuangkan desainnya dalam suatu media apapun, maka sejak saat itu pula ia berhak atas perlindungan hukum. Jadi, yang penting untuk diperhatikan dalam permasalahan ini adalah perjanjian antara arsitek dan perusahaan perencananya.

142

Rachmi Hertanti, 13 Juli 2011, Hak Cipta didalam Desain Arsitektur Rumah, www. http://rachmihertanti.blogspot.com/-hak-cipta-di-dalam-desain-arsitektur.html, Internet, diakses tanggal 16 Agustus 2012

Bagaimana isi perjanjian antara kedua belah pihak tersebut. Apakah ada klausula yang menentukan bahwa Hak Cipta atas arsitektur tetap dipegang oleh arsiteknya? Apabila tidak ada klausula tersebut, maka berdasarkan pasal 8 ayat (3) UU Hak Cipta di atas, arsiteklah yang merupakan Pencipta dan Pemegang Hak Cipta atas arsitektur tersebut.

Pada HaKI terdapat hak eksklusif, yaitu hak yang hanya dimiliki oleh pemilik HaKI dan tidak seorang pun berhak menikmatinya tanpa izin pemiliknya. Hak eksklusif meliputi hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas HaKI yang dimilikinya, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada pemilik HKI berupa hak atas keutuhan karyanya serta hak namanya tetap dicantumkan sebagai pencipta HKI.143

Hak eksklusif yang ada di dalam hak cipta merupakan hak yang khusus hanya dimiliki oleh pencipta. Isi hak itu adalah hak untuk mengumumkan (right to publish

atau right to perform) dan hak untuk memperbanyak (right to copy).144 Oleh karena itu, maka perlindungan diberikan kepada pemegang hak cipta.

Perlu diingat, bahwa tanpa adanya tujuan manfaat ekonomi atas suatu ciptaan, maka perlindungan menjadi tidak signifikan. Hal ini dikarenakan tidak dimilikinya hak ekonomis di dalam karya ciptanya.

143

Sudaryat, dkk., Hak Kekayaan Intelektual: Memahami Prinsip Dasar, Cakupan, dan Undang-undang Yang Berlaku, Oase Media, Jakarta, 2010, hal. 56

144

Agus Sardjono,Hak Cipta dalam desain grafis. Jakarta, Yellow Dot Publishing, 2008, hal.8

Sebagai ciptaan yang dilindungi Hak Cipta, seperti telah dijelaskan diatas, arsitektur memiliki elemen Hak Ekonomi dan Hak Moral. Dalam kerangka Hak Ekonomi, arsitek memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari kemungkinan pemanfaatan ciptaan arsitekturnya oleh pihak lain tanpa izin. Ini berarti, hanya ia sendiri sebagai arsiteknya yang berhak menggunakan haknya untuk dasar atau acuan membangun perumahan, gedung-gedung maupun konstruksi bangunan-bangunan lain yang berpenampilan estetis secara arsitektural.

Terlepas dari kebebasan untuk memberikan izin secara cuma-cuma, arsitek memiliki hak untuk memperoleh manfaat ekonomi. Di antaranya, bila ciptaan

arsitekturnya digunakan oleh perorangan atau kontraktor bangunan untuk

membangun hotel, rumah hunian, amusement, rumah sakit, atau bangunan

perkantoran, misalnya untuk bank. Dalam hal demikian, menurut UU Hak Cipta ia berhak mendapatkan fee atao royalti atau mempersoalkannya sebagai pelanggaran hukum bila tidak dipenuhi.145

Sejalan dengan perlindungan Hak Ekonomi, arsitek juga memiliki Hak Moral,

yaitu hak untuk dinyatakan namanya sebagai pencipta dan hak untuk

mempertahankan keutuhan ciptaannya dari kemungkinan perubahan, pemotongan,

penggantian maupun pengrusakan yang dapat mengganggu reputasi dan

martabatnya.146Meskipun secara hukum hak seperti itu diakui dan dilindungi, praktik

145

Henry Soelistyo,Op Cit, hal 258 146

pelaksanaannya tidak mudah dan sederhana. sebab, nama arsitek tidak lazim dinyatakan dalam bangunan.

Secara hukum, Hak Moral memberi perlindungan terhadap aspek personal dan reputasi pencipta. Hak seperti itu sekaligus menjadi dasar untuk membela atau mempertahankan integritas ciptaannya dan pencantuman namanya dalam ciptaan. selanjutnya, hanya pencipta dan ahli warisnya yang dapat memiliki atau memegang Hak Moral yang berasal dari pencipta. Hal ini sejalan dengan prinsip tidak dapat dialihkannya Hak Moral kecuali kepada ahli waris menurut hukum waris yang berlaku.147

Apabila Arsitek adalah sebuah berprofesi yang memberikan jasanya kepada orang lain, maka ciptaan arsitektur yang dibuatnya memiliki hak ekonomis. Untuk mengalihkan hak cipta atas arsitektur tersebut, baik seluruhnya maupun sebagian, kepada pengguna jasanya, maka diperlukan perjanjian (assignment) diantara mereka, sebagaimana diatur di dalam Pasal 3 ayat (2.d) UUHC. Maka, dari hal itu, si arsitek telah mendapatkan hak ekonominya serta hak moralnya yang selalu melekat dalam karya ciptanya tersebut.

Begitu juga, jika di dalam sebuah perusahaan perencana/developer yang mempekerjakan seorang arsitek untuk membuat desain property yang akan dipasarkan oleh perusahaan tersebut, maka perjanjian antara arsitek dengan perusahaan tersebut menjadi dasar beralihnya hak cipta arsitektur tersebut dari si

147

arsitek kepada perusahaan dan sepenuhnya menjadi milik perusahaan dan si arsitek mendapatkan bayaran atas kerjanya. Inilah yang disebut denganwork for hire.

Apabila, desain arsitektur diwujudkan dalam bangunan (tiga dimensi), telah terjadi proses adaptasi atau peng-alihwujud-an dari karya cipta arsitektur dua dimensi

ke dalam bentuk bangunan/rumah. Di dalam Pasal 1 angka 6 UUHC,

pengalihwujudan termasuk ke dalam hak untuk memperbanyak atau right to copy.

Untuk hak cipta atas arsitektur bangunan/rumah yang telah diserahkan atau dialihkan kepada pihak lain, dalam pembahasan diatas yakni pengguna jasa arsitektur ataupun perusahaan perencana/developer, maka merekalah yang menjadi penerima hak untuk memperbanyak atas karya cipta tersebut. Maka, bangunan yang dibangun berdasar atas desain arsitektur tersebut diperbolehkan karena telah mendapatkan izin dari penciptanya melalui perjanjian yang telah dibuat diantara mereka.

Pada bentuk inilah, pendaftaran hak cipta atas karya arsitektur diperlukan. Agar arsitek ataupun perusahaan perencana/developer ini tidak kehilangan hak ekonominya, maka mereka perlu untuk mendaftarkan ke Dirjen HKI, sehingga mereka bisa membuktikan bahwa desain bangunan tersebut merupakan miliknya. Apabila ada orang lain yang menggunakan desain tersebut untuk membangun rumah/bangunan tanpa meminta izin mereka, maka orang yang tidak meminta izin tersebut telah melanggar undang-undang hak cipta dan bisa digugat atas tindakannya tersebut.

Dengan adanya perlindungan hukum berarti hak dan kepentingan pencipta diakui dan dilindungi oleh undang-undang sehingga mereka dapat menuntut setiap

orang yang melanggar hak dan kepentingannya atas karya cipta tersebut. Upaya hukum untuk menuntut para pelanggar hak cipta dapat dilakukan oleh pencipta atau organisasi yang terkait dengan ciptaan tersebut, melalui tuntutan pidana atau gugatan perdata.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dapat dilakukan gugatan secara perdata, karena ia telah dirugikan baik dari segi ekonomi maupun moral. Ia dapat menuntut sebagaimana diatur dalam pasal 56 ayat (2) dan ayat (3) UUHC 2002 yaitu berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruhnya atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari hasil pelanggaran hak cipta dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, untuk menghentikn kegiatan pengumuman dan/atau perbanyakan ciptaan atau baran yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta.

Namun gugatan secara perdata berdasarkan penelitian, belum pernah dilakukan arsitek atau pemegang hak cipta sebagai pihak yang telah dirugikan. Ini mungkin karena faktor kurangnya pengetahuan dan informasi tentang perlindungan hak cipta arsitektur dan arsitek tidak mengetahui bahwa karya ciptaannya yang dihasilkan dalam suatu hubungan kerja hak ciptanya ada padanya.

Perusahaan perencana konstruksi yang telah melakukan pelanggaran hak cipta dapat dituntut secara pidana oleh aparat penegak hukum. Terhadap tuntutan pidana dari aparat penegak hukum mungkin akan sedikit mengalami kesulitan, karena untuk melakukan penuntutan aparat penegak hukum harus mempunyai bukti permulaan

yang cukup terlebih dahulu untuk meyatakan bahwa suatu perbuatan ini tindak pidana.

Sejauh ini belum pernah ada kasus pelanggaran hak cipta yang sampai ke pengadilan di Indonesia, namun dari penelitian berdasarkan literatur di Internet, pernah ada kasus di negara lain mengenai hak cipta yang dapat memperkaya penelitian ini, yaitu Ringkasan Kasus Posisi Mr. Jones vs. Mr. Johnson.

Singkatnya kasus ini terjadi antara arsitek yang bernama Mr. Johnson dimana ia dihentikan dari proses perancangan sebuah rumah mewah milik Pengguna jasa/

bouwheer yang bernama Mr. Jones. Dimana pada penghentian di tengah proses itu pihak Mr. Jones (pemberi tugas) dan Mr. Johnson (arsitek) belum sempat menandatangani kontrak standar yang biasa AIA ( Ikatan Arsitek Amerika) rekomendasikan yang didalamnya ada klausul tentang kepemilikan seluruh gambar kerja atau hak cipta atas arsitektur yang dipunyai arsitek. Akan tetapi setelah

penghentian tersebut, pemberi tugas tidak memberikan fee kepada arsitek Mr.

Johnson yang merupakan arsitek perancang pada tahap awal. Selanjutnya pemberi tugas mengundang pihak ketiga untuk meneruskan pekerjaan Mr. Johnson, yang

ternyata menjiplak gambar kerja Johnson yang telah disetujui city council dan

diuntungkan dan mendapatkan fee dari desain dan pembangunanya. Kemudian kasus ini masuk ke pengadilan dan Pengadilan distrik setempat memberikan putusan bahwa

Johnson berhak atas gross total revenue yang didapatkan pihak ketiga dan

mewajibkan tergugat Jones untuk membayarkan fee atas kerja Johnson pada tahap

proyek tersebut). Selanjutnya Mr. Jones tidak berkewajiban atas pelanggaran Hak

Cipta dikarenakan pada saat itu belum terjadi kesepakatan

kontrak antara Mr. Jones dan Mr. Johnson.148

Kasus ini terjadi karena ada gugatan dari arsitek pencipta, sehingga walaupun tuntutan atas pelanggaran hak cipta tidak dikabulkan pengadilan karena belum terjadi kesepakatan kontrak, tetapi karena hak cipta mempunyai sistem perlindungan otomatis, sehingga sejak saat seorang arsitek menuangkan desainnya dalam suatu media apapun, maka sejak saat itu pula ia berhak atas perlindungan hukum. Sehingga putusan pengadilan akhirnya memberikan fee yang layak didapatkan oleh arsitek pencipta. Berbeda dengan di Indonesia yang budaya menggugat di pengadilan masih sangat kurang, sehingga sulit menemukan kasus pelanggaran hak cipta di indonesia.

Ironisnya, tidak ada arsitek di Kota Medan yang mendaftarkan hak Ciptanya, apalagi sampai ke Pengadilan. Alasan keengganan untuk menuntut sesama arsitek ataupun pihak lain tempatnya bekerja, yang telah meniru dan melanggar ciptaannya

menjadi misteri gelap dari dunianya. ’Mimesis mimeseos’ atau tiruan atas tiruan,

ternyata cukup mewarnai bangunan-bangunan yang saat ini ada. Tanpa ingin menyebutkan bangunan yang mana meniru yang mana, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa warna kota kita menjadi seragam. Bahkan daerah-daerah bangunan

148

Reinaldi Tamim, 27 Maret 2003, Ringkasan Kasus Posisi Jones vs. Johnson, www.yahoo.group/reinalditamim.com, diakses tanggal 13 Juni 2012.

konservasi perlahan-lahan melenyap terkikis modernisme dalam wajah bangunan- bangunan minimalis yang semakin merasjalela.149

Perlindungan hak cipta terhadap suatu arsitektur bukan berarti menghambat kreatifitas. Pelarangan meniru hasil cipta orang lain justru seharusnya menjadikan

kita semakin kreatif, bagaimana agar kita jauh dari plagiarisme. Arsitek adalah

profesi yang sangat hebat. Mereka perlu dilindungi. Bahkan mereka harus melindungi dirinya sendiri baik itu dari para plagiat, karena permintaan perusahaan perencana/developer berdasarkan hubungan kerja ataupun dari klien-klien yang dapat membuat mereka hanya sebagai tukang yang harus mengikuti perintah.150

149

Belinda Rosalina, 8 Januari 2008, Arsitek Lindungi karya Ciptamu, http//www.belinda rosalina’s weblog.wordpress.com, Internet, diakses tanggal 27 juli 2012.